Rabu, 11/11/2015 20:15 WIB
Saskia Wieringa, Ketua Pengadilan Rakyat Internasional 1965. (Dok. 1965tribunal.org)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia atau International People's Tribunal (IPT) 1965, Saskia E. Wieringa, mengatakan berinisiatif untuk mengungkap kebenaran di balik peristiwa 1965 setelah melakukan riset selama 35 tahun lebih di Indonesia.
Profesor dari Universitas Amsterdam itu semula mendalami studi tentang Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Organisasi perempuan yang pernah aktif sepanjang dekade 1950 sampai 1960-an itu disebut Wieringa sebagai penggerak masyarakat.
Wieringa tertarik untuk mencari tahu alasan di balik melemahnya posisi perempuan di Indonesia saat memasuki era tahun 1980 hingga 1990-an. Pada saat yang sama, Wieringa mendapati organisasi buruh dan tani di Indonesia ikut mati ditelan zaman.
Wieringa lantas menyimpulkan fenomena itu perlu ditelisik lebih mendalam. Di kemudian hari dia mendapati matinya gerakan masyarakat di era Orde Baru itu punya kaitan erat dengan Peristiwa 1965, sejarah kelam Indonesia yang terkubur.
"Untuk itulah International People’s Tribunal ada. Saya sebagai Ketua IPT 1965, dan juga orang-orang di Indonesia, bermaksud untuk membongkar kebisuan tentang apa yang terjadi pada 1965 dan sesudahnya," kata Wieringa dalam pernyataan terbuka pada IPT 1965 di Den Haag, Belanda, yang dimulai Selasa (10/11).
Wieringa menyatakan Pengadilan Rakyat digelar untuk mengungkap kebenaran di balik pembunuhan massal yang hingga kini telah memakan jutaan nyawa.
Kebenaran dianggap penting untuk diungkap bukan hanya untuk memberi penjelasan kepada para korban peristiwa 1965, melainkan juga untuk memberikan fakta yang sebenarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Wieringa berkata, peristiwa 1965 bukan hanya soal pembunuhan massal, tapi juga tentang ratusan ribu orang yang telah dituntut untuk melakukan kerja paksa, disiksa, dipenjara, dan tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual.
Wieringa rela menghabiskan puluhan tahun untuk mendalami dan membongkar fakta di balik peristiwa 1965 lantaran dia menemukan adanya upaya pembasmian massal yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan terencana dengan matang.
"Mana bisa di Indonesia tetangga itu bisa saling membunuh. Tapi ini yang membunuh itu bukan hanya tentara, tetapi juga sesama tetangga. Kenapa itu bisa terjadi? Karena ada peran propaganda yang begitu besar," ujar Wieringa.
Dalam IPT 1965, Indonesia duduk sebagai terdakwa. Negara dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda.
Semua tindakan tersebut dituding merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematis yang ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana berharap melalui pengadilan rakyat itu, pemerintah Indonesia mau mengakui kejahatan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya usai Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Profesor dari Universitas Amsterdam itu semula mendalami studi tentang Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Organisasi perempuan yang pernah aktif sepanjang dekade 1950 sampai 1960-an itu disebut Wieringa sebagai penggerak masyarakat.
Wieringa tertarik untuk mencari tahu alasan di balik melemahnya posisi perempuan di Indonesia saat memasuki era tahun 1980 hingga 1990-an. Pada saat yang sama, Wieringa mendapati organisasi buruh dan tani di Indonesia ikut mati ditelan zaman.
Wieringa lantas menyimpulkan fenomena itu perlu ditelisik lebih mendalam. Di kemudian hari dia mendapati matinya gerakan masyarakat di era Orde Baru itu punya kaitan erat dengan Peristiwa 1965, sejarah kelam Indonesia yang terkubur.
"Untuk itulah International People’s Tribunal ada. Saya sebagai Ketua IPT 1965, dan juga orang-orang di Indonesia, bermaksud untuk membongkar kebisuan tentang apa yang terjadi pada 1965 dan sesudahnya," kata Wieringa dalam pernyataan terbuka pada IPT 1965 di Den Haag, Belanda, yang dimulai Selasa (10/11).
Wieringa menyatakan Pengadilan Rakyat digelar untuk mengungkap kebenaran di balik pembunuhan massal yang hingga kini telah memakan jutaan nyawa.
Kebenaran dianggap penting untuk diungkap bukan hanya untuk memberi penjelasan kepada para korban peristiwa 1965, melainkan juga untuk memberikan fakta yang sebenarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Wieringa berkata, peristiwa 1965 bukan hanya soal pembunuhan massal, tapi juga tentang ratusan ribu orang yang telah dituntut untuk melakukan kerja paksa, disiksa, dipenjara, dan tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual.
Wieringa rela menghabiskan puluhan tahun untuk mendalami dan membongkar fakta di balik peristiwa 1965 lantaran dia menemukan adanya upaya pembasmian massal yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan terencana dengan matang.
"Mana bisa di Indonesia tetangga itu bisa saling membunuh. Tapi ini yang membunuh itu bukan hanya tentara, tetapi juga sesama tetangga. Kenapa itu bisa terjadi? Karena ada peran propaganda yang begitu besar," ujar Wieringa.
Dalam IPT 1965, Indonesia duduk sebagai terdakwa. Negara dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda.
Semua tindakan tersebut dituding merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematis yang ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana berharap melalui pengadilan rakyat itu, pemerintah Indonesia mau mengakui kejahatan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya usai Gerakan 30 September 1965 (G30S).
G30S yakni tragedi berdarah pada malam 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh. Peristiwa semalam itu diduga memicu pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia terhadap mereka yang dituding sebagai sayap kiri. (agk)
0 komentar:
Posting Komentar