Minggu, 15 November 2015 | 23:23 WIB
Pengadilan Rakyat Internasional (Internasional People’s
Tribunal) tentang kasus 1965 (IPT 1965) baru selesai digelar di Den
Haag, Belanda. Meski oleh sebagian kalangan dipandang sebagai
kontroversi, pengadilan yang digawangi hakim-hakim ternama di dunia ini
tetap mengambil sejumlah keputusan.
Peristiwa pembunuhan massal ini sendiri dipicu oleh kejadian misterius di tanggal 1 Oktober dini hari yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S). Saat itu enam orang perwira tinggi Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh serombongan pasukan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang, sehingga pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisannya terjadi masif.
Peristiwa ini masih disebut misterius karena belum terungkap siapa dalang sesungguhnya dengan mengajukan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya (atau anehnya), sejumlah orang yang dapat menjelaskan keterlibatan PKI, seperti D.N. Aidit dan Nyoto, malah langsung dibunuh setelah ditangkap tanpa dibawa ke pengadilan. Pengadilan militer yang sempat dijalankan pun penuh dengan rekayasa dan menutup-nutupi atau mengabaikan banyak fakta.
Sejumlah peneliti telah mengajukan pendapatnya, dan salah satu yang paling awal dan dikenal adalah versi Prof. Dr. W. F. Wertheim, seorang pakar sosiologi asal Belanda kelahiran 1907 yang pernah mengajar di Indonesia. Wertheim, yang telah lama memiliki perhatian terhadap politik Indonesia ini, menyebut Soeharto lah yang paling diuntungkan oleh peristiwa G30S . Ia banyak mengajukan kejanggalan terkait peristiwa tersebut.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan sebagai suplemen majalah Arah tahun 1990 berjudul “Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi” Wertheim menggambarkan salah satu kejanggalan yang menarik sehubungan dengan pertemuan antara Soeharto dengan Kolonel Latief, orang ketiga dalam pucuk pimpinan G30S, di malam tanggal 30 September 1965 atau beberapa jam sebelum penculikan para jenderal terjadi.
Lewat penjelajahannya, Wertheim menemukan inkonsistensi (kebohongan) pengakuan Soeharto setidaknya sebanyak tiga kali di waktu dan tempat yang berbeda.
Pertama, pengakuan Soeharto kepada seorang jurnalis Amerika Serikat, Arnold Brackman, yang diterbtikan dalam buku The Communist Colapse in Indonesia (1970). Di halaman 100 buku itu terdapat wawancara Soeharto yang menceritakan pertemuannya dengan Kolonel Latief.
Kutipannya sebagai berikut:
“Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah”.
Menurut perkiraan Wertheim, wawancara itu dilakukan antara tahun 1967-1968.
Kedua, wawancara Soeharto dengan salah satu majalah mingguan ternama Jerman (Barat), Der Spiegel, yang terbit tanggal 20 Juni 1970. Kali ini Suharto memberikan jawaban yang sama sekali berlainan, ketika ditanya oleh wartawan: Mengapa tuan Suharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?
Soeharto menjawab: “Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum.”
Wertheim mempertanyakan, bagaimana mungkin Latief berada di sana untuk membunuh Soeharto empat jam sebelum aksi mereka yang beresiko terbongkar dan gagalnya seluruh rencana subuh itu.
Ketiga, Wertheim mengambil pengakuan Soeharto dari buku otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Di buku yang terbit di tahun 1989 (atau sembilan belas tahun setelah wawancara Der Spiegel) ini Soeharto berdalih bahwa ia tidak bertemu Kolonel Latief, dan bahwa pada malam itu ia hanya melihat dari ruangan tempat anaknya dirawat tempat ia berjaga bersama Ibu Tien. Ia melihat Kolonel Latief berjalan di koridor melewati ruangan perawatan tersebut.
Menurut Wertheim, juga sangat aneh bahwa ketika jam 12 malam keluar dari Rumah Sakit, Soeharto tidak berupaya memberi tanda waspada kepada para jenderal sesama rekannya, tapi malah pulang ke rumah untuk tidur.
Sementara dalam pembelaannya di pengadilan pada tahun 1978, Kolonel Latief menyebutkan bahwa tanggal 30 September malam ia diutus oleh Letkol Untung dan Brigjen Suparjo menemui Soeharto untuk memperoleh dukungan atas G30S.
“Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang”. Demikian paparan Latief dalam pembelaannya. Kolonel Latief meminta pengadilan untuk memanggil Soeharto dan Ibu Tien sebagai saksi, tapi pengadilan menolaknya.
Mardika Putera
http://www.berdikarionline.com/inkonsistensi-keterangan-soeharto-seputar-g30s-menurut-prof-dr-w-f-wertheim/
0 komentar:
Posting Komentar