Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 29 Desember 2012

Sandyakala Andalusia

Kekuasaan Islam di Kordoba pernah mencapai puncak keemasan di bidang ilmu pengetahuan dan budaya.

Muhammad Husnil - 29 Desember 2012


DI KORDOBA, 1198, Ibnu Rusyd, ulama-cum-dokter yang di Barat dikenal sebagai Averous dan dianggap tokoh filsuf Rasionalisme, menghembuskan nafas penghabisan dalam kondisi mengenaskan. Banyak karyanya dibakar. Ajaran filsafatnya menjadi barang haram. Ramalannya mulai menuju kebenaran bahwa masa depan negaranya takkan ramah untuk orang-orang yang tercerahkan seperti dirinya.

Di tempat yang sama dan waktu hampir bersamaan, dokter, juru tulis, dan filsuf Yahudi Musa Ibn Maymun atau Maimonides harus angkat kaki dari kampung halamannya. Kordoba, yang dikuasai kerajaan-kerajaan kecil dan saling berperang, mulai menutup pintu bagi kaum Yahudi.
Bahkan ketika kaum Muwahidun berkuasa, mereka membantai ribuan orang Yahudi. Musa Ibn Maymun pindah ke Mesir. Di sana dia mendapatkan tempat terhormat dengan menjadi penasihat Salahuddin al-Ayubi, kelak dikenal sebagai penakluk Yerusalem, hingga meninggal dunia pada 1204.

Seiring kematian dua filsuf besar itu, Kordoba, tempat yang pernah menelurkan peradaban tinggi yang dikenal dengan Peradaban Andalusia, perlahan masuk liang lahat. Padahal, dua abad sebelumnya, tepatnya pada abad ke-9, Kordoba merupakan prototipe modernitas. Dari jendela istananya yang megah, Hisyam dan putra sekaligus penggantinya, al-Hakam I, menyaksikan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.

Yang mengagumkan dari sejarah Andalusia, tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dan penuh toleransi –atau dalam bahasa Spanyol disebut convivencia. Kebijakan ini lahir dari tangan Abdurahman I, pemimpin kharismatik yang fasih bicara ihwal agama dan budaya di mimbar-mimbar masjid serta kerap menganggit puisi dan membacakannya di depan publik.

Selain menerbitkan harmoni sosial, kebijakan ini memberi kesempatan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk menjadi pejabat negara. Penerusnya, Abdurahman III, menjaganya dengan mengangkat Hasdai Ibn Shaprut, seorang Yahudi, sebagai penasihatnya dan Racemundo, seorang uskup Katolik Elvira, sebagai dutabesar Kordoba untuk Konstantinopel.

Pengadaptasian teknologi pembuatan kertas, yang didapatkan dari peradaban Tiongkok, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan dipenuhi buku-buku berharga. Dari segi penyebaran ilmu pengetahuan, Kordoba hampir menyamai Baitul Hikmah di Baghdad, think thank pemerintahan Abbasiyah di Timur Tengah, yang sepanjang sejarah melahirkan segudang ilmuwan besar.
Di bawah bimbingan para ahli Muslim di Kordoba Khalifah al-Hakam II al-Mustansir, Gerbert dari Aurillac menerbitkan buku teks empat halamannya yang revolusioner tentang matematika baru. Buku ini mencampakkan cara berhitung Romawi yang rumit, seperti XXIV+XLIII=LXVII, dan menggantikannya dengan sembilan angka Hindu dan angka nol Arab.

Peradaban Andalusia, yang kosmopolitan, menghargai perbedaan, dan mendorong ilmu pengetahuan, menjulang tinggi. Meski diselingi satu-dua pertempuran kecil dan upaya untuk memperluas kekuasaan, kondisi masyarakatnya cukup stabil. Andalusia mencapai puncak keemasan pada abad ke-10 dan 11. Pada masanya ia kerap menjadi rujukan negara-negara lain.

Namun, harmoni mulai retak saat gelombang radikalisme agama mulai menggumpal, sementara kekuatan Islam moderat perlahan tapi pasti kian melemah. Ketika paham-paham keagamaan yang kaku merembes ke Andalusia melalui Afrika Utara dan penguasa lebih mendengarkan saran ulama-ulama konservatif, hampir tak ada kata ampun atas segala sesuatu yang dianggap penyimpangan. Kristenisasi dilarang dan hukuman mati ditimpakan pada setiap Muslim yang menjadi Kristen. Sebaliknya, tak ada hukuman sama sekali bila orang Kristen memeluk Islam.

Orang-orang Kristen fanatik tak rida melihat saudara-saudara seiman beralih ke Islam. Jumlah mereka kian berkurang, bahkan tak lagi menjadi mayoritas. Sebagai reaksi putus asa, sekelompok kecil Kristen Andalusia menentang rezim Muslim pada pertengahan abad ke-9. Para pendeta Kristen dan orang awam juga mulai secara terbuka menghina Islam.

Satu-dua peperangan antara Islam dan Kristen pun bergolak. Sementara kalangan Yahudi, yang sejak mula adalah minoritas, terjepit dalam peperangan ini, bahkan tak bisa berbuat banyak ketika menjadi sasaran kebencian Islam dan Kristen. Sejak itu, ketiga agama besar itu mulai mencopoti batu bata bangunan toleransi yang menjadi dasar peradaban Andalusia.

Ada satu faktor lagi yang ikut meruntuhkan Andalusia: lembeknya kelas menengah. Warga Andalusia –Kristen, Muslim, dan Yahudi– yang mendapatkan kemudahan dan kemewahan ekonomi lebih suka memikirkan bisnis dan keselamatan diri ketimbang menengahi berbagai kecamuk. Ketika keadaan makin gawat, kelas menengah ini berbondong-bondong pindah ke daerah lain untuk memulai lagi usaha mereka.

Tepat 38 tahun setelah kematian Ibnu Rusyd dan 32 tahun setelah kematian Musa Ibn Maymun, kekuasaan Islam di Kordoba kian berkurang dan akan berakhir dengan masuknya sang pemenang Ferdinand III dari Kastilia pada 1236. Bangunan-bangunan megah hanya tersisa beberapa, perpustakaan dan buku menjadi barang langka kembali, dan toleransi ketiga agama besarnya menjelma hanya menjadi catatan sejarah.

Rabu, 12 September 2012

Prof. John Roosa: Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965


BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.

Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan bangkai manusia sebangsa.  Setelah September 1965, kita seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II. Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang menyertainya, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang  memahaminya.

Salah satu dari sedikit sarjana yang mendedikasikan dirinya dalam upaya mengungkap Peristiwa G30S tersebut adalah sejarahwan John Roosa, yang saat ini menjadi profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Bukunya, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), adalah bagian dari upayanya untuk memahami peristiwa tersebut. Untuk itu, bertepatan dengan bulan ‘gelap’ ini, M. Zaki Hussein dari Left Book Review (LBR), berbincang-bincang dengan John Roosa. Berikut petikannya:

Apa yang membuat Anda tertarik untuk meneliti G30S dan pembantaian orang-orang PKI serta sayap kiri pada 1965-1966?

Waktu saya belajar sejarah Asia Tenggara di universitas tahun 1990an, saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil. Sebagai sejarahwan, saya lihat ada kebutuhan untuk investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, saya benci dengan rezim Suharto.
Rezim itu berfungsi sebagai attack dog buat modal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah.
Akhir tahun 1990an, saya heran kenapa gerakan reformasi tidak mempersoalkan kejahatan-kejahatan yang terjadi waktu Orde Bobrok baru dimulai, tidak bisa melihat rezim itu sebagai satu package dari 1965 sampai 1998. Miseducation orang Indonesia selama 32 tahun cukup lengkap. Untuk mengerti rezim itu, kita harus kembali ke hari-hari lahirnya.

’Saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.’


Sekalipun sekarang sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan Kejaksaan untuk melarang buku, tetapi buku Anda, Dalih Pembunuhan Massal, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009. Apa komentar Anda mengenai hal ini?

Dari satu segi, pelarangan itu bisa dianggap sebagai penghargaan. Ternyata kekuatan buku saya tinggi sekali, sampai pejabat-pejabat takut buku itu bisa mempengaruhi rakyat Indonesia. Dan pejabat-pejabat di Clearing house-nya Kejaksaan Agung teliti sekali waktu membaca Dalih. Konon, mereka telah siapkan laporan panjang dan mendaftar 143 kesalahan dari Dalih. Tapi, dari segi lain, pembredelan itu tentu saja, menyedihkan. Kok di era reformasi dan era internet ada pejabat yang mengira mereka masih bisa membredel buku. Saya lihat kemenangan kami di MK tahun 2010 sebagai  kemenangan untuk rule of law dan hak kebebasan berekspresi. Yang tetap menjengkelkan, Kejaksaan Agung tidak mau membuka laporannya. Saya masih penasaran, apa keberatan mereka terhadap buku saya dan kenapa mereka membredel Dalih?

Anda menyebutkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam G30S, tapi ada individu PKI yang terlibat tanpa persetujuan partai, bisa anda jelaskan secara singkat hal ini?

G30S itu operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti Central Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar)  di tingkat propinsi, tidak pernah membicarakan G30S, apalagi ambil keputusan. Menurut Iskandar Subekti, panitera Politbiro, banyak dari anggota Politbiro itu sendiri tidak tahu persis apa itu G30S (Di Politbiro ada kira-kira 12 orang: Aidit, Lukman, Sudisman, dll.).
Soal yang dibicarakan di Politbiro adalah: lebih baik PKI mendukung para perwira progresif untuk mendahului Dewan Jenderal (DJ) atau tunggu sampai DJ melakukan kudeta. Politbiro ambil keputusan bahwa PKI harus mendukung para perwira progresif dan Aidit ditugaskan untuk melaksanakan keputusan itu.
Sehingga anggota Politbiro tidak melihat G30S sebagai aksi partai. Aidit membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa anggota Politbiro, misalnya Sudisman dan Oloan Hutapea, dan hanya tim inti itu, tim ad hoc di luar institusi formal di partai, yang bekerja dengan Sjam di Biro Khusus untuk merancang operasi G30S. Tapi, belum tentu tim inti itu tahu persis apa itu G30S.
Tampaknya, Aidit dan pemimpin PKI lain di tim inti itu tetap berpikir bahwa kelompok perwira progresif (Untung cs.) yang memegang peran utama dalam aksi G30S. Mereka kira Untung, Latief, dan Suyono punya kekuatan militer yang cukup untuk melawan jenderal-jenderal kanan dan punya rencana yang jelas. Padahal, Untung cs. berpikir bahwa pemimpin PKI yang memegang peran utama. Dua kelompok itu (orang PKI di tim intinya Aidit dan perwira militer) tidak pernah duduk bersama untuk menyusun G30S. Karena Sjam jadi perantaranya, persiapan aksi itu jadi kacau.

Rezim Suharto menangkap lebih dari satu juta orang atas nama ’penumpasan G30S.’ Jelas penangkapan semasif itu sebenarnya tidak perlu sebagai reaksi terhadap aksi kecil. Pepatah yang dipakai Sukarno benar: tentara ’membakar rumah untuk membunuh tikus.’ G30S merupakan dalih saja untuk kepentingan yang lebih besar.

’Kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa.’


Anda mengatakan bahwa peristiwa G30S itu sebenarnya merupakan dalih untuk sebuah pembantaian massal. Lalu, apa sebenarnya tujuan utama di balik pembantaian massal itu?

Ada dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan? Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.

Anda nyaris tidak membahas apa yang terjadi di Lubang Buaya saat peristiwa G30S, kenapa demikian? Apakah karena kurangnya data atau karena kejadian-kejadian di Lubang Buaya memang tidak signifikan untuk merekonstruksi narasi tentang peristiwa G30S?

Memang tidak  banyak informasi yang bisa diandalkan tentang apa persisnya yang terjadi di Lubang Buaya. Hampir semua orang yang hadir di sana, tidak mau mengakui kehadiran mereka atau tidak mau cerita secara jelas dan jujur tentang kejadian-kejadian di sana. Wajar, kalau kita ingat teror yang mereka alami. Yang jelas, propaganda kelompok Suharto tentang Lubang Buaya itu bohong belaka. Ya, rezim itu sendiri tidak peduli dengan fakta: mereka tidak pernah membuat investigasi dengan benar. Malah, mereka memaksa beberapa gadis yang tidak punya hubungan dengan peristiwa itu mengaku membunuh para jenderal. Ada buku baru yang mengharukan tentang hal ini: Aku Bukan Jamilah (2011), oleh R. Juki Ardi. Kalau geng Suharto mau menghargai jenderal-jenderal itu, seharusnya mereka melacak kejadian di Lubang Buaya sampai bisa tahu persis siapa yang membunuh mereka dan atas perintah siapa. Kalau informasi itu bisa diketahui, kita bisa memahami proses pengambilan keputusan di dalam kelompok G30S (Sjam, Untung cs).

 
Presiden Suharto di Museum ‘Lubang Buaya’, foto: Setneg 

Anda menyebutkan bahwa Amerika Serikat memiliki kontak dengan kelompok Jenderal Angkatan Darat yang dinamakan ‘brain trust.’ Apakah kelompok ini yang disebut dengan ’Dewan Jenderal?’ Seberapa erat sebenarnya hubungan mereka dengan Amerika Serikat?

Brain trust’ itu istilah yang dipakai oleh CIA sendiri dalam laporan tentang G30S tahun 1968. Saya kira, tidak ada satu kelompok perwira AD yang sering rapat dan menyusun bersama strategi yang jelas untuk semacam konfrontasi terhadap PKI. Organisasi mereka lebih informal dan strateginya disusun dalam pertemuan-pertemuan biasa. Yang jelas, jenderal Abdul Haris Nasution menjadi pemimpin para perwira antikomunis dan dia sering bicara dengan perwira lain tentang strategi untuk menghancurkan PKI. Hubungan antara pimpinan AD dan AS erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak perwira AD diterbangkan ke AS untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant untuk militer AS. AS kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. AS membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan AS berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto.

 ’Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak.’


Ada yang menyatakan bahwa sekalipun pembantaian 1965-1966 diorganisir oleh Angkatan Darat, tetapi adanya ketegangan dan persaingan tajam antara kelompok komunis dan nonkomunis juga menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pembantaian tersebut. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?

Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran.
Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya. Mereka adalah pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya.

Menurut Anda, apa dampak pembantaian 1965-1966 yang sampai sekarang masih terasa, baik terhadap korban maupun rakyat Indonesia secara umum?

Ya jelas masih terasa. Identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.  Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total. Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme, dll.

Apa pelajaran yang bisa diambil gerakan Progresif di Indonesia sekarang agar peristiwa mengerikan semacam G30S itu tidak terulang kembali? 

Peristiwa G30S sendiri sebenarnya tidak begitu mengerikan. Seperti Bung Karno katakan, G30S merupakan gelombang kecil dalam sejarah Indonesia yang penuh dengan perang (RMS, DI/TII, PRRI/Permesta) dan kerusuhan. Berapa kali Bung Karno mau dibunuh? G30S membunuh duabelas orang (enam jenderal, satu letnan, anaknya Nasution, satpam di rumah sebelah rumah Leimena, keponakan Maj. Gen. Panjaitan, dan dua perwira di Jawa Tengah). Yang jauh lebih mengerikan adalah pembunuhan massal yang terjadi sesudah G30S. Sekarang yang penting menurut saya adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran di Indonesia tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi pada waktu itu. Secara umum orang Indonesia tidak tahu apa-apa tentang kejahatan itu. Juga harus ada pengakuan dari negara bahwa memang tentara dan orang sipil yang melakukan kejahatan. Extra-judicial killings, penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir.

Orang kiri sekarang harus mengoreksi diri juga: selama ini partai-partai Marxis-Leninis tidak menghargai prinsip-prinsip HAM. Kita harus belajar bagaimana berpolitik dan berperang melawan imperialisme dan kapitalisme seraya tetap memegang Universal Declaration of Human Rights dan Konvensi-konvensi Geneva.

Rabu, 18 April 2012

Douwes Dekker Dan Pergerakan Nasional Indonesia

18 April 2012 | 22:08
 

Nama Douwes Dekker mengacu pada nama dua orang. Yang pertama, Eduard Douwes Dekker, sering menggunakan nama pena “Multatuli”, adalah penulis novel terkenal berjudul “Max Havelelaar”. Sedangkan yang kedua adalah Ernest Douwes Dekker, punya nama Indonesia Danudirja Setiabudhi, adalah pelopor pergerakan nasional Indonesia dan pendiri organisasi politik bernama Indische Partij.

Kita akan bercerita tentang Ernest Douwes Dekker yang kedua. Ki Hajar Dewantara, salah seorang rekan seperjuangannya, menyebut Ernest Douwes Dekker sebagai pencipta Partai Kebangsaan Indonesia—sering disebut Indische Partij.

Tujuan Indische Partij adalah kemerdekaan Hindia. Saat itu, nama “Indonesia” belum dikenal. Nama “Indonesia” sendiri baru diciptakan oleh Perhimpunan Indonesia di Deen Haag, Negeri Belanda, pada tahun 1920-1921. Nama Indonesia resmi diadopsi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922.

Indische Partij didirikan oleh Ernest Douwes Dekker bersama dua tokoh pergerakan Indonesia lainnya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya sering dinamai “Tiga Serangkai”.


Dekat dengan rakyat pribumi

Ernest Douwes Dekker dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker, seorang agen perbankan. Sedangkan ibunya, Louisa Margaretha Neumann, seorang indo campuran Jerman-Jawa.

Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest harus bekerja sebagai pengawas di sebuah perusahaan perkebunan di kaki gunung Semeru. Ia menyaksikan penderitaan rakyat, khususnya buruh-buruh perkebunan kopi, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kopi.

Ernest mundur dari pekerjaan. Konon, kepergiaannya dilepas dengan kesedihan oleh buruh-buruh di tempatnya bekerja. Ia kemudian pindah bekerja di sebuah perusahaan gula di Pasuruan. Di sana, ia juga menyaksikan pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Tindakan itu sangat merugikan rakyat di sekitar perkebunan. Ernest pun meninggalkan pekerjaan.

Ernest begitu terpukul begitu ibunya meninggal tahun 1899. Ia sangat sedih dan frustasi. Di saat itulah ia mendengar berita tentang perang Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang-orang Belanda yang bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan Inggris. Ernest pun memilih untuk menjadi pejuang Boer melawan Inggris.


Jurnalis kritis

Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa. Ernest, yang saat itu berusia 24 tahun, memilih bekerja sebagai wartawan. Ernest kini sudah berubah menjadi seorang yang berfikiran radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat bekerja di surat kabar De Locomotief; dan kemudian bekerja di Surabajaas Handelsblad.

Tulisan-tulisannya sangat pedas mengiritik penguasa. Itu membuatnya terlempar dari surat kabar ke surat kabar. Sampai akhirnya, ia bekerja di surat kabar bernama Bataviaas Nieusblad. Di surat kabar ini, Ernest menempati posisi yang cukup vital: pejabat redaksi.

Ernest menjadikan surat kabar ini sebagai cikal bakal pembangunan gerakan. Di sana, ia merekrut banyak pemuda-pelajar: Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo. Ia juga menjalin hubungan dengan pemuda-pemuda radikal di STOVIA. Rumahnya menjadi pusat pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.

Bataviaas Nieusblad tak bisa lagi dijadikan alat pergerakan. Karenanya, Ernest pun keluar dan membuat surat kabar sendiri: mula-mula membuat majalah bulanan Het Tijdshrift, lalu kemudian mendirikan koran De Express. De Express benar-benar dibuatnya bergaris radikal. Orang-orang menyebutnya “Neo-Multatulian”.


Mendirikan Indische Partij

IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan “Hindia untuk orang Hindia”. Artinya, kemerdekaan Hindia dari Belanda.

Bung Hatta, ketika memberi ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, 22 Mei 1974, berusaha mengurai perbedaan IP dan Sarekat Islam (SI) sebagai berikut: “Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politk dan melarang anggota-anggotanya berpolitik, Indische Partij tegas menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi menuntut diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”

IP resmi berdiri melalui sebuah vergadering di Bandung, 25 Desember 1912. Sedangkan pembentukan IP dan kepengurusanya sudah dilakukan lebih dahulu. Duduk di kepengurusan pusat (Hoofdbestuur): Ernest Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangkukusumo sebagai wakil.

Tekanan propaganda IP adalah kalangan indo. Pada tahun 1913, dari dari 7000-an anggota IP, hanya 500-an orang yang pribumi. Takashi Shiraishi, dalam buku “Zaman Bergerak”, mengatakan, “sekalipun IP sangat didominasi oleh kaum indo, tetapi pengaruhnya di kalangan pribumi tidaklah kecil.”
Kehadiran IP sangat penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk orang Hindia” sangat maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering. HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering IP.

Douwes Dekker mengatakan, berdirinya IP adalah pernyataan perang, yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” terang Takashi Shiraishi.

Pada November 1913, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis, ada keinginan pula membuat perayaan serupa di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah.

IP melawan rencana itu. Soewardi Soerjaningrat menulis karangan berjudul “Als ik een Nederlander was…” (“Kalau saya seorang Belanda…”) Soewardi antara lain menulis: “Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!

Gara-gara tulisan itu, Soewardi dan Tjipto ditangkap. Akhirnya, Douwes Dekker, yang baru pulang dari Belanda, menulis pula karangan berjudul : “Onze helden” (“Pahlawan Kita”). Ia memuji kepahlawanan Soewardi dan Tjipto. Douwes Dekker pun ditangkap.

Tiga serangkai ini kemudian dibuang ke eropa. Pada tahun itu juga IP dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sekembalinya ke Jawa, tiga serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka mereka mendirikan NIP (Nationaal Indische Partij). Organisasi ini pun segera dibubarkan penguasa kolonial.


Pro-Republik sampai akhir

Pada tahun 1940-an, menjelang kedatangan fasisme, terjadi penggeledahan besar-besaran terhadap sejumlah tokoh pergerakan di Indonesia. Douwes Dekker juga ditangkap dan ditahan di Ngawi.

Begitu jepang mendarat di Indonesia, Douwes Dekker diangkut ke Suriname—salah satu jajahan Belanda di Amerika Selatan. Di sanalah ia diasingkan oleh penguasa kolonial. Hampir 5 tahun ia ditahan di sana.

Pada tahun 21 januari 1947, melalui perjuangan yang berat, Douwes Dekker berhasil kembali ke Indonesia. Ia menyelundup dengan nama samara: Radjiman. Ia langsung bertemu dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang memberi nama “Danudirja Setiabudhi”. Danudirja berarti banteng yang kuat. Sedangkan Setiabudhi berarti jiwa kuat yang setia.

Di kabinet Sjahrir, Douwes Dekker sempat menjadi salah seorang menteri pendidikan. Ia juga pernah menjadi penasehat Presiden, sekretaris politik Perdana Menteri, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pengajar di Akademi Ilmu Politik di Jogjakarta. Pada saat agresi militer Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangka, termasuk Douwes Dekker.

Pada tahun 1949, Douwes Dekker kembali dan menempati rumah yang sudah reot di Bandung, Jawa Barat. Pada 28 Agustus 1950, Ernest Douwes Dekker menghembuskan nafas yang terakhir.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

http://www.berdikarionline.com/douwes-dekker-dan-perjuangan-nasional-indonesia/