Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 27 Februari 2016

PERNYATAAN SIKAP KOMITE BELOKKIRI.FEST “KEMERDEKAAN BEREKSPRESI DISERANG”



BelokKiri.Fest adalah kerja kreatif kebudayaan dan intelektual yang digarap secara kolektif oleh kalangan muda negeri ini. Kerja ini adalah perayaan atas perjalanan sejarah gemilang bangsa kita, sejak kebangkitan semangat kebangsaan hingga perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme yang terjadi lebih dari tujuh dekade silam.
Namun, setengah abad yang lalu, cita-cita dan semangat emansipasi sosial para pendiri Republik itu, sayangnya, telah dihancurkan oleh suatu rezim yang disebut Orde Baru dengan Suharto sebagai panglima tertingginya.
Lebih dari setengah juta manusia dibantai dan jutaan lainnya kehilangan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia dan manusia.
Mereka dikucilkan, disiksa, dipenjara tanpa diadili. Ratusan ribu orang diperbudak dalam kamp kerja paksa. Orde baru bukan hanya menginjak-injak hukum. Orde Baru juga menciptakan ‘hukumnya’ sendiri, melancarkan propaganda dan teror dengan membasmi hingga ke akar-akarnya apa yang dalam bahasa universal dunia disebut sebagai kaum Kiri.
Kaum kiri adalah mereka yang mengembangkan suatu posisi kritis terhadap dehumanisasi akibat penghisapan dan penindasan kapitalisme. Kaum kiri juga adalah mereka yang sedia berjuang bagi masa depan seluruh umat manusia yang demokratis dan emansipatoris. Bukan hanya itu. Semua gagasan, pikiran dan perjuangan garda depan yang sesungguhnya merupakan inti dari nasionalisme Indonesia dan perlawanan terhadap kolonialisme pun dibungkam, dilarang, dan dihancurkan oleh rezim Suharto dan antek-anteknya.
Sejarah gemilang perjuangan kemerdekaan Indonesia dan penghancuran terhadap semangat dan cita-cita para pendiri Republik dua dekade kemudian di atas adalah intisari dari buku “Sejarah Gerakan Kiri di Indonesia untuk Pemula”. Hari ini, 27 Februari 2016, kami merencanakan peluncuran buku yang disusul serangkain acara pameran, diskusi, lokakarya, dan pertukaran pengalaman dan gagasan-gagasan kiri.
Karya kolektif ini dengan rendah hati kami persembahkan kepada rakyat Indonesia, kepada kaum muda yang mengemban cita-cita, dan menjadi tumpuan harapan masa depan Indonesia.
Untuk itulah kami memilih Taman Ismail Marsuki, salah satu wahana pendidikan, ekspresi seni dan budaya yang terhormat dan tertua di Jakarta sebagai lokasi penyelenggaraan Festival ini.
Taman Ismail Marzuki kami andaikan sebagai tempat yang bisa mempertemukan mereka-mereka yang punya pikiran dan semangat untuk membangun Indonesia ke depan yang lebih baik. Akan tetapi menjelang acara dibuka, kami tidak memperoleh izin oleh UPT TIM dan Aparat Kepolisian—sebagaimana yang sudah dijelaskan pada kronologi dan siaran pers—sehingga kami terpaksa membatalkan kegiatan tersebut di tempat ini.
Permintaan pembatalan, dengan alasan aturan izin keramaian dan ancaman pembubaran dari kelompok tertentu merupakan dalih yang dikemukakan oleh pihak Kepolisian. Otoritas adminstrasi TIM pun tidak memberikan alasan yang masuk akal, selain izin yang belum kami dapatkan dari Kepolisian. Ancaman dan pelarangan serupa ini bukan pertama kali terjadi. Berbagai acara serupa semakin mentradisi dan menjadi kebiasaan.
Alih-alih menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, khusunya kebebasan bereskpresi yang dijamin Konstitusi, pihak Kepolisian malah membungkam kami dengan berbagai dalih, termasuk ikut mengintimidasi dan tidak mencegah ancaman kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menghormati kemerdekaan berpendapat.
Yang juga patut disesalkan adalah sikap UPT TIM. Mereka lebih tunduk pada berbagai aturan yang mengekang dan membatasi kebebasan berpendapat/berekpresi secara tidak sah dan tidak proposional ketimbang menjalankan mandatnya sebagai pengelola suatu lembaga yang seharusnya menjamin hak-hak setiap orang untuk berkesenian dan mengekspresikan serta berpartispasi dalam urusan pendidikan dan kebudayaan. Inilah wajah paling menyedihkan dari para birokrat kesenian.
Kami, seperti suri teladan para pendiri Republik tercinta ini, tidak akan pernah menyerah dan terus berjuang untuk merebut kembali hak-hak dan kemerdekaan yang telah dirampas oleh otoritarianisme Orde Baru selama 32 tahun dan yang kini hendak direnggut kembali. Indonesia tetap ada dan akan menjadi lebih baik karena perlawanan terhadap kezaliman dan kebodohan terus dikumandangkan. Oleh karena itu, sebagaimana sikap banyak kawan-kawan yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, kami tetap berlawan. Kami tetap menentang kezaliman dan kebodohan di negeri ini. Berjuang, berjuang, dan berjuang.
Salam Juang,

Komite BelokKiri.Fest

http://belokkirifest.org/2016/02/27/pernyataan-sikap-komite-belokkiri-fest-kemerdekaan-berekspresi-diserang/

https://www.youtube.com/watch?v=oP_vmrHk8Zs&feature=share

Jumat, 26 Februari 2016

Hendro Sangkoyo : Tentang SDE dan Gerilya Pemulihan Krisis

by Yusni Aziz on February 26, 2016 

Sore itu, di sebuah kafe di kawasan Kemang, ia tidak datang sendirian. Di belakangnya saya lihat dua orang mengikutinya secara perlahan, mengimbangi derap langkahnya yang penuh kehati-hatian. Saya spontan berdiri setelah melihatnya, dan tersenyum lebar. “Halo pak Yoyok”, sambut saya yang dibalas hangat jabat tangannya. Ia kemudian memperkenalkan saya ke kedua rekannya. Dinar, seorang ahli biologi yang saat itu tengah hamil besar, dan Sanca, suaminya, seorang peneliti yang juga aktivis seni rupa.

Mereka bertiga adalah sebagian dari pengurus Sekolah Ekonomika Demokratika (SED), atau juga disebut School of Democratic Economics (SDE). Sekolah yang kiprahnya membuat tim RUANG penasaran, dan kami rasa sangat patut untuk diketahui oleh para sahabat.

Hendro Sangkoyo, atau biasa dipanggil Yoyok, merupakan salah satu pendiri sekolah tersebut. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur ITB, ia melanjutkan studi tentang Perencanaan Wilayah dan Kota dan Kajian Asia Tenggara, dan kemudian menyambungnya dengan Planning Theory and Comparative Politics di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Sebelum pendirian SED di tahun 2007, ia sempat mengajar di Institut Teknologi Indonesia, menjadi peneliti dan pengajar tamu di Royal Melbourne Institute of Technology, Universitas Melbourne, dan Cornell. Setelah semuanya telah memesan makanan dan minum, pembicaraan pun kami mulai.


Yusni Aziz (YA): Sebelum pertemuan ini, kami sudah berusaha mencari informasi tentang SED di internet. Namun sangat minim sekali data yang kami dapatkan. Apa pak Yoyok bisa menceritakan lebih jauh mengenai sekolah ini?

Hendro Sangkoyo (HS): Ide awalnya muncul sekitar 20 tahun yang lalu, dari rangkaian perjalanan pribadi untuk belajar memahami krisis di kepulauan Indonesia. Ceritanya di mana-mana seperti ini. Di Kalimantan Barat, seorang tetua yang bertahun-tahun merintis gerakan akar-rumput di situ mengajak ikut keluyuran belajar. Suatu ketika saya berdiskusi mendalam dengan sekitar seratus anak muda Dayak, mendengarkan tuturan mereka tentang perubahan di kampung halaman mereka; kapan terakhir kali mereka masuk sungai; kenapa tidak ke sana lagi, dan sebagainya. Ternyata, sungai-sungai yang melekat dengan sejarah sosial dan pembentukan permukiman mereka pelan-pelan terpenggal oleh kegiatan pembalakan, ditimbun untuk jalan-kayu gelondongan, banyak anak sungai akhirnya mati tersumbat. Ruang hidup di pedalaman pulau raksasa itu memang sejak 1970-an diperlakukan sebagai lansekap operasional / operational landscape[1] dari proses perluasan industri dan wilayah perkotaan – suatu aksi membongkar dan mengeruk hasil alam yang seringkali kita tak acuhkan.

Pada tahun 2007, menjelang pembukaan SDE, kawan-kawan yang ikut merintis awal pendiriannya mempertimbangkan berbagai bentuk organisasi dominan sampai akhir abad kedua puluh, seringkali di bawah rubrik “masyarakat sipil”, tidak jarang yang cukup miskin imajinasi sosialnya. Karena moda energetikanya, acapkali gerakan warga terpelajar ini lebih repot dengan urusan manajerial dalam diri dan jaringannya, atau menjadi birokratis seperti komponen-komponen hirarkis dari alur perakitan di pabrik, seperti taylorism.[2]
Untuk menghindari salah paham, perlu dikatakan bahwa menghimpun kesepakatan untuk bertindak menjawab krisis secara kompak (“pengorganisasian”) itu tak tergantikan pentingnya. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana membuka ruang-tutur tandingan buat orang biasa untuk mengemukakan dan mempertukarkan pengetahuan akan lintasan perubahan yang dialaminya. Dalam hal ruang bertutur tandingan tersebut, imajinasi rhizomatic learning dari Deleuze dan Guattari atau berbagai pengalaman menyejarah di negara dunia ketiga juga tidak bisa diabaikan. Rizoma artinya perambatan horizontal dari organisme bawah tanah, seperti akar pohon beringin atau sulur-suluran. Dari permukaan nampak tunggal, tetapi di bawahnya jauh lebih rumit. Proses belajar dengan pemahaman macam ini penting, karena membuka ruang bagi semua orang untuk dapat membalik krisis dengan model belajar yang non-hirarkis dan tidak menunggu siapa-siapa. Sebaliknya, kapan sebuah tindakan kolektif harus dilakukan belum tentu perlu mengacu pada tuntutan kemendesakan atau jadwal-jadwal acara dari “organisasi pendamping”, patronnya, atau kantor-kantor pengurus publik.
SDE mengajak menyuburkan ruang bertutur tandingan yang berdimensi kemanusiaan dan ekologis, arena bagi warga biasa untuk mengemukakan cerita-cerita perubahan yang selama ini didominasi oleh representasi sempit bahkan distortif oleh jejaring pembentukan pengetahuan yang mengasingkan pengalaman kolektif. Kata kunci utamanya adalah krisis. Ruang ini akan menjadi arena perlawanan terhadap proses yang membuat krisis ini semakin dalam dan belum pernah mengalami pembalikan. Demikian pula, arena tersebut memungkinkan banyak orang berperan dalam tindakan menyembuhkan/memulihkan kerusakan yang terus meluas.


YA: Krisis seperti apa yang dimaksud bapak ?

HS: Sebuah krisis berskala global yang sejarahnya bisa ditarik jauh ke masa revolusi industri, saat terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan mentah. Di masa awal itu Karl Marx misalnya telah mengenali ada gap yang membesar antara dua jenis metabolisme. Pertama, metabolisme untuk kepentingan reproduksi yang instruksinya genetik. Misalnya, kalau kamu makan 10 hari sekali juga tidak akan makin sehat dan sejahtera. Kebutuhanmu kan tetap. Nah, yang kedua ini biang keroknya – teknometabolisme. Dia melayani bukan cuma reproduksi, juga akumulasi dari sistem pendukung kehidupan rakitan/jadi-jadian. Misalnya, kebutuhan akan kota yang lebih fancy meskipun tidak pernah mengatasi masalahnya sendiri—jalan macet memunculkan layanan helikopter bagi yang mampu. Kebutuhan rakitan yang dipicu oleh sektor pasokan tersebut tidak ada batasnya, ad infinitum.


Pertumbuhan kota tanpa batas menjadi sumber meningkatnya krisis sosial ekologis. Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/08/Fairmont%2c-Raffles%2c-dan-Target-Wisman-di-Indonesia
Pertumbuhan kota tanpa batas menjadi sumber meningkatnya krisis sosial ekologis.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/08/Fairmont%2c-Raffles%2c-dan-Target-Wisman-di-Indonesia

Metabolisme yang pertama bersifat tetap, namun teknometabolisme memperbesar gap di antara metabolisme masyarakat manusia dengan metabolisme reproduksi sistem kehidupan di biosfera. Pembesaran gap itu disebut sebagai metabolic rift, sobekan metabolis, atau ecological rift.
SED mengajukan penglihatan bahwa harus ada imperatif untuk membalik logika pemburukan krisis ini. Kami ajukan agenda belajar tandingan yang ujung tombaknya bersisi tiga. Pertama, harus ada rasionalitas tandingan dari konsumsi ruang, bahan dan energi—termasuk penggunaan tenaga dan waktu kerja orang untuk melayani reproduksinya sendiri. Misalnya, sekarang anak-anak di kampung yang tidak punya pekerjaan layak bersedia menyabung nyawa dengan waktu kerja lebih dari 12 jam sebagai TKI atau TKW di pinggiran kota bahkan di seberang lautan. Berapa juta hektar wilayah daratan pulau yang dikuasai untuk industri ekstraktif? Harus ada rasionalitas tandingan. Apa tandingannya?

Harus ada respons sosial besar-besaran dan sistematis untuk menolak perusakan syarat-syarat keselamatan manusia dan keutuhan biosfera, serta pemulihan ruang-ruang hidup. Ini bukan gagasan abstrak, melainkan sesuatu yang bisa dikerjakan siapa saja di ruang-ruang hidupnya sendiri—yang secara generik kami kodifikasi sebagai historical social-ecological entity, atau kesatuan sosial ekologis menyejarah.

Jadi, kami melihat kampung bukan sebagai penanda tempat, seperti apa yang terjadi pada Kampung Ambon atau Kampung Kebun Kacang di Jakarta sekarang, misalnya. Tetapi kampung dengan subyek sejarah di situ, beserta sejarah sosial ekologisnya. Kenapa suatu kampung berada di lembah, karena kedekatannya dengan aliran air. Jika kita paham konteks reproduksi sosial dari sebuah kesatuan semacam itu, kita bisa mengerti sistem pendukung kehidupan yang harus mati-matian dipertahankan di situ.

Kedua, apa protokol atau framework dari rasionalitas tandingan ini. Mengurus gitu ya, tapi kepengurusan yang seperti apa? Saya lihat pengurus publik saat ini begitu sempitnya melihat apa yang harus dikembangkan dan apa yang justru harus dijaga supaya tidak berubah; sistem kenegaraan untuk memelihara aset bersama terpenting yaitu ruang-ruang hidup bersama dan keselamatan warga-negara, justru sulit sekali dicari dalam kenyataan. Misalnya, apa masih bisa kita biarkan jika menteri atau presiden masih terus berbicara tentang menaikkan pertumbuhan, apalagi sudah masuk dalam klub G20, tanpa pertimbangan sama-sekali mengenai hal-hal tadi? Tunggu dulu… sektor-sektor yang difasilitasi habis-habisan di garis depan pertumbuhan itu, seperti logging, perkebunan sawit, pertambangan ekspor berskala raksasa, jelas merusak jaminan jangka panjang kehidupan di kepulauan Indonesia. Ada tidak yang merespons dengan kritis rencana menaikkan pendapatan domestik brutto yang gegabah seperti itu? Rasionalitasnya harus dikoreksi dulu, baru protokolnya.

Ujung tombak ketiga ini paling sulit, cara belajarnya. Anda arsitek, lalu saya, misalnya, insinyur teknik sipil, dia ahli ekologis, dan kita bersama melihat persoalan yang lebih besar. Belajarnya seperti apa? Bagaimana mengajak lawan-belajar, para manajer negara yang sekarang sedang dipimpin oleh Jokowi ini, untuk mulai mendengar?

Lantas agenda belajarnya apa? Apa yang kita musti pelajari? Sebagai ilustrasi, di tahun 2015 ini kami bersama berbagai regu-regu belajar lainnya menginjak tahun kedua belajar bersama dengan jejaring komunitas dengan ±50.000 warga, di lereng utara Gunung Halimun. Proses perubahan sosial-ekologis selama dua puluh lima tahun terakhir, yang dipicu oleh pembongkaran bentang alam untuk pertambangan, telah menjadi sebuah krisis yang terus memburuk, dan dampak dari cerita pembongkaran di lereng itu meluas sampai dengan kehidupan terumbu karang dan biota laut di kepulauan Seribu. Agenda belajarnya tidak mungkin ditemukan lewat pengkajian, perencanaan atau perumusan anggaran di kota. Dalam tempo kurang dari satu generasi kehidupan warga berubah dramatis. Sebutir tomat harus dibeli seharga 500 rupiah. Penghargaan pada tani-pangan dan tani pekarangan hampir hilang. Siklus kehidupan lereng gunung dihancurkan. Kesadaran akan dimensi melingkar/siklis dari waktu menghilang, juga pada warga usia muda.


Tambang Emas Pongkor, Jawa Barat. Sumber: http://warmada.staff.ugm.ac.id/Photos/tambang/images/pongkor1.jpg
Tambang Emas Pongkor di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat
Sumber: http://warmada.staff.ugm.ac.id/Photos/tambang/images/pongkor1.jpg

Dalam cerita seperti itu, proses belajarnya tidak bisa cepat seperti “ayo sekarang kita berubah!” Kehadiran para pelajar-tamu seperti kami hanyalah sebagai semacam tali penghubung untuk menciptakan ruang bertutur bagi banyak orang biasa, tentang bagaimana perubahan menurut pengalaman batin warga sendiri. Soalnya bukan pengelolaan pengetahuan, tapi pengelolaan proses belajar. Bagaimana melancarkan proses belajar yang rumit, yang melibatkan warga kampung dengan berbagai kecakapan dan keterbatasannya, arsitek, ahli ekonomi, etnografer, dokter, akhli kesehatan masyarakat, akhli geologi tata-lingkungan dan sebagainya—yang juga serba terbatas pengetahuannya—untuk memahami dan mencoba mengatasi krisis ini bersama-sama.

Memahami imajinasi konstruksi politik, atau political construct, yang membuat kita “jauh dari tanah”, juga penting. Misalnya, untuk ngomongin terobosan dalam pemerintah, maka makna dari institusinya itu harus kita lucuti dari konotasi kolonialnya. Kami tidak pernah memakai kata “pemerintah”, kami selalu memakai istilah “pengurus publik” untuk institusi publik. PEMDA gimana? Ya, pengurus daerah. Karena akar kata “pemerintah” itu dalam penggunaan sehari-hari adalah“perintah.” Artinya, di dalam sikap mental kita, kita/warga harus patuh pada sang perintah itu. Kalau kita gunakan kata-kunci “urus”/kepengurusan, para pegawai di berbagai kantor pengurus publik kita tempatkan pada peran utamanya, yaitu pelayan, atau jongos. Sekarang siapa kepala jongosnya? Ya, Jokowi namanya. Jadi dengan sendirinya ada satu proses demokratisasi di dalam pikiran.

Nah sekarang, siapa yang sesungguhnya mengendalikan perubahan? Pengurus publik? Perluasan kapital industrial sekarang berlangsung di bawah koordinasi dan bayang-bayang dari kapital keuangan/perbankan yang mengalami kemajuan pesat dalam proses akumulasi, terutama sejak 1980an. Hal ini juga perlu dimengerti oleh dunia pendidikan dan profesi arsitektur. Akumulasi berlebihan pada saat ini dipicu oleh kapital keuangan, yang lebih memudahkan pencaplokan ruang dan valuasi ekonomik atas infrastruktur sosial-ekologis, seperti pegunungan dan wilayah resapan air di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Tapi, kita tidak pernah mempelajarinya selain sebagai peluang bagi profesi, bukan pertimbangan kunci untuk menetapkan persyaratan bagi penciptaan dan perluasan ruang-ruang perkotaan.

Henri Lefebvre juga mengajukan bahwa sekarang kita sebetulnya sudah memasuki era “urbanisasi berskala planeter.” Salah satu pelajar gejala ini, Neil Brenner dari laboratorium perkotaan universitas Harvard, misalnya, mendorong lebih jauh pengamatan Lefebvre, bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan proses urbanisasi/industrialisasi tersebut, wilayah-wilayah “bukan urban” berperan vital sebagai “lansekap operasional”. Warga di banyak lansekap operasional urbanisasi/industrialisasi paham mengenai gejala ini, bahkan menjadi korbannya. Wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan dibongkar untuk memasok batubara bagi pembangkitan energi dan industri di Jakarta. Sumber-sumber energi primer dari daratan dan perairan kepulauan dikeruk dan diekspor untuk mendukung kehidupan kota/industri di Jepang atau di Guangzhou.


YA: Jadi hanya ada sebagian yang menjadi kota dan sebagian lainnya operational landscape?

HS: “Urbanisasi planeter” dalam fikiran Lefebvre melahirkan bagi-kerja spasial di antara lansekap-operasional dan situs proses urbanisasi/industrialisasi. Kota selalu membesarkan selubung-selubung dari sistem pendukungnya, dalam sebuah proses tak kunjung usai yang disebut sebagai “perusakan kreatif.” Kampung-kampung kota dengan sejarah sosial panjang dalam satu generasi sejak 1980an telah berubah menjadi “segitiga emas” bagi industri properti, dengan kerumunan superblok untuk penghuni barunya. Jadi kota sendiri telah menjadi sebuah lansekap operasional di mana manusia boleh dipindah-pindahkan atau dikorbankan, karena ada kebutuhan perusakan-kreatif tanpa-batas itu tadi. Ini semua bonanza untuk dunia penciptaan arsitektur. Meskipun misalnya hal ini terjadi di masa lalu tanpa campur-tangan generasi baru arsitek yang baru muncul, tetapi seharusnya kita ikut bertanggung jawab atau ikut pening untuk mencegah proses serupa berjalan tanpa kendali.

Nah sekarang, bagaimana kita membayangkan arsitektur dan urbanisme yang mengandung unsur terobosan untuk mengatasi krisis, dan mampu menyuburkan daya cipta gila-gilaan dari anak muda yang sedang belajar arsitektur itu?


YA: Lantas apakah bapak pernah terlibat dalam penggodokan kurikulum studi arsitektur dan apa ada yang harus diubah?

HS: Bukan hanya menghimbau, tetapi sejak dulu mencoba mengintervensi langsung, meski bisa dibilang gagal. Saya mengemukakan tantangan, apakah kearifan dan pengetahuan pokok yang harus disiapkan untuk menghadapi krisis yang membesar dengan cepat ini? Bagaimana pembentukan pengetahuannya? Mungkin mahasiswa semester pertama tidak perlu mengkaji banyak teori. Lihat dulu kenyataan, lalu berpikir sendiri, apa yang sebenarnya berlangsung dulu dan sekarang, bagaimana duduk-perkaranya, dan apa yang harus dilakukan?

Setiap daerah di kepulauan kita mencatat lintasan pembangkitan dan pemburukan krisisnya sendiri-sendiri, menurut kekhasan sejarah sosial-ekologis di situ. Oleh karenanya terobosan atau pemecahan masalah yang muncul dari profesi-profesi keteknikan juga harus “membumi”, bertumpu pada pemahaman yang baik atas lintasan perubahan di situ. Kalau sekarang ini, kita seperti cowok atau cewek panggilan saja. Persis seperti itu. Karena kita tidak mau membicarakan apalagi menjawab masalah krisis yang besar atau genting, kita mirip dengan seseorang yang hanya mencari kesenangan dari daya cipta kita… aku, aku, aku.

Misalnya, keterkaitan arsitektur dengan pengurusan perubahan. Apakah aturan yang memperbolehkan pencaplokan lahan/land grab besar-besaran menjadi gosip politik sehari-hari di antara kita? Menurut berbagai data resmi, sekitar 5,1 juta hektar lahan sawit di Indonesia itu dikuasai oleh 29 orang saja lho! Dari sebuah riset kecil, kami menemukan bahwa ada lima instrumen hukum/perundang-undangan yang secara tidak langsung memperbolehkan monopoli penggunaan dan pencaplokan ruang-ruang daratan hingga 100 tahun lamanya. Saya tidak heran melihat pendidikan kita miskin sekali. Seluruh imajinasi kita tentang pembentukan pengetahuan, konteks zaman, basis krisis, daya dobrak itu miskin. Belum lagi membicarakan cara belajar yang  dikelola oleh kanal-kanal pendidikan resmi.


Pencakupan hutan untuk lahan kelapa sawit di Kalimantan. ©Rhett A. Butler
Pencakupan hutan untuk lahan kelapa sawit di Kalimantan. ©Rhett A. Butler

YA: Saya ingin mengaitkan dengan metode penataan kota. Pak Yoyok pernah mengatakan, dalam sebuah wawancara, bahwa modernisme perlu dikritisi lebih lanjut. Lantas apakah sudah terpikirkan alternatif tandingan terhadap modernisme yang dipakai pemerintah kita dalam mengembangkan kota Indonesia?

HS: Saya tidak yakin sebetulnya bahwa beberapa generasi pengurus publik kita selama ini secara kolektif mengerti dan secara sadar memilih ideologi modernisasi. Daya pukau modernisasi itu sendiri sudah lama rontok di negeri-negeri industri maju. Eropa, ujung depan dari modernisasi sendiri, sekarang harus memeriksa jati-diri kolektifnya dan pencapaian pencerahan dari masa lampaunya. Ketika proporsi warga dari negara bekas jajahan di ruang-ruang hidupnya di Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Latin yang menetap atau mencoba peruntungan di negara-negara maju membesar, rasisme tumbuh sebagai persoalan kelas.

Ilustrasi lain tentang ilusi modernisasi adalah keyakinan dan petuah bahwa “negara-negara sedang berkembang” seperti Indonesia akan mampu untuk menempuh lintasan modernisasi ekologis/ecological modernization. Memang sekarang kita harus main bongkar, memacu industri keruk. Tapi ketika nilai uang dari produksi dan konsumsi telah mencapai tingkat yang memadai, kita akan menjadi jauh lebih pembersih dan ramah pada alam dan manusia. Salah satu penjelasan formal dari kepercayaan tersebut adalah kurva-lingkungan hidup dari Kuznets, yang menunjukkan korelasi di antara pendapatan dengan moda transaksi dengan alam.[3] Dulu Jerman dan Inggris berkembang lewat industrialisasi yang jorok sekali. Tetapi, ketika GDP-nya sudah menembus angka tertentu, sistem produksi barang di situ menjadi “bersih.” Apa yang tidak dituturkan di sini adalah bahwa dalam rerantai-pasokan barang industrial, komponen-komponen industri yang paling buruk, mencemari, atau paling rendah nilai-tukar yang diciptakannya pindah lokasi ke negara-negara yang jauh lebih lunak regulasi lingkungan hidupnya.

Lalu tepat sepuluh tahun lalu, Mathias Wackernagel dan William Rees mengembangkan kerangka tuturan telapak-ekologis/ecological footprint.[4] Telapak ekologis Tokyo di tahun 2009 sudah lima kali lipat luas seluruh kepulauan Jepang. Ke mana dia dibebankan atau dipindahkan? Antara lain juga ke kita di sini. Pasar industri otomotifnya, ekstraksi logam dasarnya, .
Ironi dalam tuturan modernitas, misalnya, bisa dipelajari dari salah satu pulau terkering di Indonesia timur, yaitu pulau Adonara. Begitu kecilnya lubang lesung yang mereka pakai menumbuk menunjukkan sangat terbatasnya produksi bulir-buliran di situ. Kalau di sekitar April hujan turun, mereka bisa menyimpan jagung. Jika tidak ada hujan, mereka kemungkinan harus membeli sumber zat tepung untuk setahun. Ketika mereka melakukan proses reproduksi di tingkat keluarga, mereka dilatih untuk bersabar, seperti melakukan hibernasi. Tingkat konsumsinya pelan, dan anak-anak dilatih untuk puas dalam berkonsumsi serba terbatas. Sejarah ruang waktu dari sejarah ekologis dan sosial di situ tidak mungkin kita plot pada angan-angan tentang trajektori perubahan menjadi “yang modern.” Kontras sekali dengan citra modernitas di kota-kota besar yang konsumsinya dan penggunaan energinya besar sekali. Kalau warga kepulauan diminta untuk berbagi impian tentang konsumsi ruang, waktu, bahan dan energi seperti di simpul-simpul perkotaan kita, artinya sistem pengurusan publik kita bisa dikatakan buta krisis. Kita bahkan tidak perduli untuk menghancurkan rumah kita sendiri, dengan mempercepat transformasi dalam konsumsi sosial, seperti aksi bunuh diri besar-besaran.

Kembali ke pendidikan, apakah mereka mau kembali berada di tengah atau sedang minggir teratur, decentering? Melakukan divestasi dan melayani pasar saja?


YA: Jadi, SED juga mempelajari sistem hidup beberapa kepulauan Indonesia untuk diolah lebih lanjut guna mencari tandingan terhadap krisis?

HS: Ada satu interaksi yang terus menerus dan tidak ada habisnya untuk ikut dalam proses pembentukan pengetahuan tandingan dan bertindak, bolak-balik. Ada tiga sektor belajar. Pertama, Regu Belajar orang biasa. Bisa sebuah kampung/KSEM, atau beberapa guru-besar, atau jejaring aktivis akar-rumput, misalnya.

Sektor belajar kedua mencakup berbagai regu, badan pendidikan atau riset. Yang paling susah berubah adalah mereka yang mendapat manfaat terbesar dari status quo ini. Misalnya, semua disiplin yang menyangkut penataan keuangan dan ruang binaan. Profesi arsitektur sudah barang tentu secara umum masuk dalam golongan ini secara umum, karena dia terkait erat dengan proses pembesaran lansekap operasional itu tadi.

Yang ketiga adalah gugus belajar pengurus publik, misalnya pengurus lokal seperti kepala desa atau pemimpin komunitas. Kami bisa bergerak dengan siapa saja, tanpa mau sok jago. Pengetahuan itu seharusnya tidak seperti imajinasi korporasi yang bisa dikuasai, bahkan harus dilengkapi dengan copyright.


YA: Lantas pemilihan lokasi belajarnya berdasarkan apa?

HS: Dengan berbagai keterbatasan dan beberapa pertimbangan lain, siasat belajar yang kami pilih tidak sepenuhnya berbeda topologinya dari imajinasi moda belajar rhizomatik yang disinggung tadi. Lansekap belajar utama kami adalah Asia Timur, terutama kepulauan Indonesia. Lokasi belajar bukan hasil pilihan acak, karena permintaan selalu muncul dari garis depan krisis.
Selain riset mandiri kami sendiri, kegiatan kolaboratif kami umumnya berdasarkan undangan belajar bersama. Kami juga belajar bersama dan dari mitra belajar di tempat-tempat lain di Asia daratan, Sebaliknya, berbagi catatan tentang bagaimana menghadapi dinamika krisis di Indonesia juga menjadi penting untuk kawan-kawan di wilayah Bumi lainnya.
Nah, baru-baru ini kami juga sedang belajar bersama teman-teman Maluku. Mungkin Sanca bisa menceritakannya.

Sanca (SP): Bulan Februari kemarin kami diajak teman-teman untuk melihat persoalan di Maluku. Lokasi belajarnya di kampung orang gunung yang sederhana sekali gaya-hidupnya. Mereka hidup tanpa memakai baju, berbalut kain kepala merah. Mereka biasanya berburu dan meramu tanaman. Persoalan pertama yaitu pola hidup berburu dan meramu mereka terbatasi dengan hadirnya taman nasional. Mereka selalu dituduh sebagai perusak. Padahal mereka sudah di sana terlebih dahulu.

Kami melanjutkan ke pulau Buru, tempat tahanan politik dahulu. Di zaman Soekarno, pulau Buru sudah dilihat sebagai pulau yang cocok untuk transmigrasi karena penduduknya masih sedikit dan dataran rendahnya baik untuk pertanian. Namun ide itu tidak jadi dilaksanakan, karena yang dikirim malah para tapol. Setelah itu baru masuk transmigran dari Jawa dan Madura yang menggarap sawahnya sendiri. Saat ini, persoalannya datang dari tambang emas. Aneh, tetapi tambang emas yang kita temukan selalu di tempat-tempat sumber kehidupan seperti sawah, atau di hulu, sumber air. Tambang emasnya gila-gilaan, hingga mengundang kedatangan puluhan ribu penambang luar.

Persoalan lain muncul dari penggunaan merkuri yang berdampak pada pencemaran padi dan ikan-ikan. Kasus bayi cacat juga sudah ada.


Perkampungan ilegal penambang emas di Pulau Buru. Sumber: http://beritaenam.com/view.php?id=20151127045736
Perkampungan ilegal penambang emas di Pulau Buru. Sumber: http://beritaenam.com/view.php?id=20151127045736

YA: Jadi, sebelumnya dilakukan pemetaan terhadap krisis yang terjadi, kemudian belajar bersama masyarakat untuk mencoba menandingi itu?

SP: Iya. Akhirnya, dengan beberapa teman dari pulau Seram, kami mencoba jenis ekonomi yang cocok untuk warga setempat. Melihat keadaan alam dan kemampuan mereka bertani, kami mencoba menanam kopi. Pada tahun 1970-an, masyarakat setempat pernah mendapat bibit kopi dari pemerintah sebagai alternatif dari cengkeh. Ketika harga cengkeh jatuh, mereka mulai menanam kopi. Namun, ketika harga cengkeh naik lagi, kopi mulai ditebang. Akhirnya, kami berdialog dengan keluarga setempat, belajar untuk memilah kopi dan semuanya dimulai dari nol.


YA: Dalam satu kawasan perkampungan?

SP: Operasinya di seluruh pulau Seram. Teman-teman Regu Belajar kesulitan karena transportasi yang kurang memadai. Sehingga, mereka terbiasa membawa motor dari satu ujung ke ujung lain. Kadang motornya dipanggul jika melewati sungai yang tidak ada jembatannya.


YA: Jadi sekarang perkembangannya seperti apa?

SP: Itu mereka sendiri yang atur, jadi tidak ada target. Yang penting mereka dapat memahami logika perubahan sosial ekologis. Itulah yang kami pelajari bersama untuk mencari jalan keluar atau proses belajar berikutnya.

HS: Mungkin saya bisa menambahkan contoh kasus lain. Seluruh belahan utara pulau Flores sedang terancam. Pada awal tahun 1990-an sebuah penelitian dari Jepang yang menemukan bahwa wilayah tersebut sedang mengalami desertifikasi atau penggurunan. Sejak akhir 1990an wilayah tersebut Mangan untuk dikirim ke Tiongkok dengan operasi semut. Padahal tiga kabupaten ini, Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur merupakan bagian gemuk dari pulau Flores. Jadi, daerah yang sumber airnya paling banyak, dihajar selama bertahun-tahun. Padahal mereka terancam akan menjadi gurun juga.

Kami bolak-balik ke sana sebagai pelajar, atas undangan teman-teman yang selalu mengabari jika ada sesuatu yang baru atau krisis baru terjadi. Banyak yang kami temukan. Misalnya, petir di satu tanjung, pertanda alam penting untuk awal musim tanam, tidak datang lagi ketika tanjung dibongkar oleh pertambangan. Semua kami dokumentasikan. Sampai saat ini desa-desa dan institusi pengurus warga utama di situ terus berikhtiar untuk melakukan proses penyembuhan dari kehidupan warga dan ruang-ruang hidupnya.
Sesungguhnya subyek telaah dan urusan dari arsitektur adalah ruang hidup. Akal budi kita kan tidak mencipta, tetapi hanya menggubah.

Kembali ke pemerintah kita yang buta krisis. Karena krisisnya tidak terkodifikasi apalagi terukur, arah perubahan sekarang justru menjadi tawanan dari sektor pasokan. Kantor yang mana yang siap menjawab pertanyaan mengenai duduk perkara dan bangunan krisis untuk pulau Sulawesi atau pulau Taliabu misalnya?

Nah, sekarang kemanusiaan dan biosfera sedang dirusak cepat. Apa benar ada pemampatan waktu perubahan? Ada.

Agenda perlawanan dan pemulihan sekarang bertujuan mengembalikan syarat keselamatan manusia dan keselamatan biosfera dalam perubahan. Kami sebisa-bisanya menuturkan ceritanya dalam berbagai bahasa si pelajar. Kami akan bekerja sama di lapangan bersama rekan-belajar lain untuk mendengarkan dan mempelajari tuturan tandingan mengenai kekhasan lintasan krisis di situ, dari warga yang paling paham tentang ruang hidup mereka sendiri.


Saya bersama Hendro Sangkoyo, Dinar dan Sanca. ©RUANG
Saya bersama Hendro Sangkoyo, Dinar dan Sanca. ©RUANG

Catatan Kaki:
[1] Operational Landscape: Zona untuk pengerukan sumber daya, wilayah industri agrikultur, infrastruktur logistik dan komunikasi, turisme dan pembuangan limbah, yang mencakup area tepi kota, daerah terpencil yang juga termasuk “pedesaan” atau “alam terbuka”…. Hal ini merupakan bentuk pemekaran kapitalisme yang mengandalkan pencakupan dan pengoperasian sebuah wilayah dalam skala besar di luar kota untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi, siklus metabolik dan kepentingan pertumbuhan kota – (Neil Brenners. Implosions/Explosions : Towards a Study of Planetary Urbanization. 2014)
[2] Taylorism: Teori manajemen yang menganalisa dan mensintesa alur produksi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan efisiensi secara ekonomi, terutama produktivitas pekerjanya. – (Wikipedia)
[3] Environmental Kuznets Curve: Hipotesa dari sebuah hubungan antara berbagai macam indikasi dari degradasi lingkungan dan pendapatan per kapita. Di tahap awal dari pertumbuhan ekonomi, perusakan lingkungan dan polusi naik. Tetapi setelah pendapatan per kapita mencapai level tertentu, tren menjadi terbalik. Peningkatan ekonomi dalam level yang tinggi juga membawa peningkatan kualitas lingkungan. – (David I. Stern. The Environmental Kuznets Curve. 2003)
[4] Ecological Footprint: sebuah ukuran dari dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan – (WWF)

http://membacaruang.com/hendro-sangkoyo-tentang-sde-dan-gerilya-pemulihan-krisis/

Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna

Penulis: Saleh Abdullah | 29 Februari 2016

“Mustahil menghilangkan ketidakadilan di dunia, tapi kita bisa menguranginya.”


4 JANUARI 1947, hujan turun lebat di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kapal M.S. Sloterdijk dari Belanda merapat di dermaga pelabuhan. Seorang pemuda 21 tahun menuruni tangga kapal dengan menyandang ransel dan senjata. Di pos wajib lapor, saat ditanya surat pengantar yang seharusnya dia bawa, sambil mengusap air hujan di mukanya, dia menjawab surat itu mestinya jadi tanggung jawab perwira administrasi dalam rombongan prajurit.
Sebenarnya serdadu muda itu tahu persis bahwa si perwira telah membuang surat itu ke laut, sebagai ungkapan protes terhadap pengiriman kembali tentara Belanda untuk merebut kembali Indonesia.
H.J.C. “Poncke” Princen, serdadu muda itu, sudah tahu dan mengikuti pro-kontra pengiriman kembali tentara Belanda ke Indonesia, lewat koran dan radio. Menurut undang-undang Belanda, tentara Belanda tidak diperbolehkan dikirim berperang ke luar negeri. Jika terpaksa, harus minta izin parlemen dulu. Saat itu persetujuan parlemen belum diperoleh, tapi tentara sudah dikirim. Publik Belanda gempar.
Sejak sebelum dikirim ke Indonesia, pada dasarnya Poncke sudah mempunyai sikap untuk melawan penjajahan atas kehendak manusia merdeka. Secara militer, Poncke Princen memang desertir. Tapi, pembelotan itu tidak semata karena kepentingan pribadi yang sempit. Ketika dia ditugaskan dalam barisan kesehatan garnisun Ede di Belanda, dia mendapatkan informasi dari atasannya bahwa dia akan dikirim ke Indonesia.
Hati nuraninya tidak bisa membenarkan tindakan memerangi bangsa yang sudah merdeka. Dia memutuskan lari ke Prancis. Di sana dia bekerja sebagai buruh pemetik anggur, sambil sesekali menjadi pengamen di sebuah restoran kecil di Nice. Ia kemudian bertemu dengan seorang fotografer Yahudi eks-buronan Nazi. Bisa jadi, pertanyaan-pertanyaan dari si fotograferlah yang membuat Poncke membalikkan biduk kehidupannya.
“Mengapa engkau lari? Apa yang kau peroleh dari melarikan diri? Jika kau tidak setuju terhadap sesuatu, katakanlah! Misalnya, ihwal pengiriman kembali tentara Belanda ke Indonesia, kau harus melakukan sesuatu. Mengapa kau tidak melakukan sesuatu dan malah lari-lari?”

Ketika perwira administrasi membuang surat pengantar ke laut dalam perjalanan M.S. Sloterdijk ke Tanjung Priok, takdir mungkin sedang mengarahkan Poncke untuk membelot dan melawan balik negara asalnya.
Setelah mendapat hukuman dari para petinggi KNIL (tentara Kerajaan Hindia Belanda) di beberapa penjara di Jawa Barat, rute hidup Poncke kemudian membawanya ke Demak, Kudus, dan Pati, wilayah utara pantai Jawa. Tujuannya satu: membelot dan bergabung dengan tentara Indonesia. Berbekal uang 25 gulden dari Sri Murtosiah Tasan, seorang mantan sekretaris Perdana Menteri Sjahrir, Poncke berangkat ke Semarang.
Turun dari pantai utara Jawa Tengah, ketika kemudian Poncke berada di Yogyakarta, Mayor Kemal Idris, komandan Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi, memberi pilihan kepada Poncke: “Tentaramu sudah sampai di Malioboro. Kalau kau mau kembali, silakan.”
Poncke menjawab, “Saya sudah berkata A. Apa saya mesti sebut juga B atau sekalian semua aksara?”
Pasukan Kemal saat itu tiba ke Yogya setelah membebaskan Pati. Poncke tanpa berpikir panjang bergabung dengan Batalyon Kala Hitam. Pasukan ini dikenal melakukan pawai legendaris dengan berjalan kaki 900 kilometer dari wilayah selatan Candi Borobudur menuju Jawa Barat. (Kemal Idris kelak menjadi Panglima Kostrad pada 1967 dan pensiun sebagai letnan jenderal. Dia dikucilkan Soeharto karena aktif di kelompok Petisi 50 dan dijuluki sebagai “jenderal sampah”).
Batalyon Kala Hitam diminta kembali ke Jawa Barat untuk bertugas sepanjang Cianjur–Sukabumi. Di wilayah inilah Poncke menggoreskan reputasi tempurnya. Dia dipercaya untuk memimpin sebuah pasukan khusus Siliwangi, dengan tugas khusus merampok senjata pasukan Belanda.
Menurut catatan Y.B. Mangunwijaya, sejumlah aksi penyerbuan dan perampokan senjata yang dipimpin Poncke: serangan pada 28 Maret 1948 di Pada Asih tempat Poncke dan pasukannya berhasil merebut 17 senapan Mauser super baru; lalu menyusul serangan dan perampokan senjata lainnya di Baros, Harjasari, stasiun kereta api Gandasoli, dan di Takokak. Biasanya, untuk penyerbuan-penyerbuan itu, Poncke hanya membawa sekitar 7 sampai 10 gerilyawan pilihan. Karena prestasi mengagumkan itu, Poncke menjadi buah bibir masyarakat kawasan Sukabumi dan Cianjur dan mendapat julukan “Pak Persen, maung (harimau) Sukabumi”.
Atas jasa-jasanya itu, menurut catatan Kemal Idris, Poncke yang mempunyai nomor pokok keanggotaan sebagai prajurit TNI 251121085 merupakan satu dari tujuh prajurit pertama Siliwangi yang memperoleh Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno tahun 1949.
Bintang Gerilya itulah yang kemudian, pada era Orde Baru, selalu dia pajang di tembok ruang kantor Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia.

“Karena saya aktif membela aktivis-aktivis dan memprotes pelanggaran HAM, kantor ini selalu didatangi intel tentara. Mereka selalu tanya macam-macam. Saya pikir mereka bisa melihat Bintang Gerilya yang saya pajang itu, dan saya harap mereka bisa berpikir,” ujarnya satu kali.
Menurut Mangunwijaya, “perang gerilya adalah perang gerilya”, yang tidak melulu berkisah penyerangan dan pembunuhan. Ia juga memuat kisah penculikan dan pengkhianatan.
Belanda yang geram dan dendam atas pengkhianatan Poncke, berdasarkan informasi yang diperoleh dari asisten wedana (orang Indonesia), memerintahkan kepada Mayor Jenderal E. Engles, komandan KNIL Teritorium Jawa Barat, untuk membentuk sebuah kompi pembunuh yang dikomandani Letnan Henk Ulrici (Eric). Tugas khususnya adalah menangkap Poncke, hidup atau mati.
Eric dan pasukan hanya punya waktu empat hari sebelum gencatan senjata, 10 Agustus 1949, yang akan berujung pada Konferensi Meja Bundar. Eric dan kompi pembunuhnya bergerak cepat, dibimbing kicauan sang asisten wedana, menuju hutan rimba Clutung Gerang di daerah Sukabumi. Di tempat itulah Poncke, istrinya Odah yang sedang mengandung anak, dan pasukannya bersembunyi.
Pagi dini hari, 9 Agustus 1949, dari jarak hanya 40 meter, pasukan pembunuh Eric melempar granat dan memberondong gubuk peristirahatan Poncke dan pasukannya. Poncke berhasil selamat. Tapi, Odah dan anak dalam kandungan serta beberapa anak buah terbaiknya, tewas mengenaskan.

“Tiga hari aku menangis. Bintang gerilya dari Presiden Sukarno tidak dapat mengobati luka-lukaku kehilangan Odah,” cerita Poncke.
SEJARAH resmi, bila pun ada, hanya mencatat samar-samar semua pengorbanan dan bintang jasa yang diperoleh Poncke. Panggung sejarah selalu ditentukan dan diurus oleh mereka yang berkuasa.
Poncke pernah mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia di mana dia duduk sebagai anggota Konstituante tahun 1956. Penghargaan kedua dia peroleh pada 1992 lewat Yap Thiam Hien Award sebagai pembela hak asasi manusia.
Poncke mungkin pemula, atau setidaknya generasi awal, yang bersama Yap Thiam Hien, Aisyah Amini, Dr. Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr. Tambunan, membentuk lembaga pembela hak asasi manusia di Indonesia tahun 1966 bernama Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia. Bersama mendiang Yap Thiam Hien pula, di samping para pendiri lain, Poncke membidani lahirnya Lembaga Bantuan Hukum tahun 1970, yang nantinya menjadi Yayasan LBH Indonesia.
Poncke pernah menggegerkan Indonesia dan dunia internasional ketika Orde Baru masih balita. Tahun 1969 dia membongkar kasus pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Jawa Tengah. Rezim militer Soeharto yang mendapat dukungan blok Barat setelah menjatuhkan Sukarno, betul-betul ditempeleng oleh laporan Poncke. Laporan itu kemudian ramai lewat pemberitaan sejumlah media nasional seperti, di antaranya, Harian Kami dan Sinar Harapan. Media-media luar terutama di Belanda getol menyuarakan laporan Poncke. Mereka menjadi ganjalan Orde Baru dalam upaya diplomasi internasional untuk memperoleh dukungan lewat kerja sama pembangunan.
Sepak terjang Poncke sebagai aktivis HAM terus berlanjut dalam pembelaan dingin dan konsistennya pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk pembantaian 1965-1966 dan dampak lanjutannya, serta pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Sungguh menarik melihat transformasi eksistensial Poncke: dari tentara prajurit tempur menjadi aktivis HAM. Satu pilihan yang pernah dia tulis ke papa dan mamanya di Belanda sebagai het moeten kiezen (keharusan memilih): “Jan Poncke harus memilih, antara suatu hidup yang pada dasarnya tidak mungkin menjadi hidup karena tidak memiliki suatu dasar apa pun, dan suatu perburuan terus-menerus ke arah jauh yang belum kukenal….”
Pembelotan Poncke dari tentara KNIL menjadi gerilyawan yang menyerang balik tentara-tentara asalnya, didasari oleh alasan kemanusiaan yang sulit disanggah: menolak penjajahan, penistaan manusia atas manusia merdeka. Diperlukan hati nurani yang luar biasa jernih dan kuat serta keberanian luar biasa bagi seorang prajurit untuk melakukan pembelotan dengan membela negara jajahan melawan negaranya sendiri yang menjadi penjajah. Itulah yang dilakukan Poncke menurut sahabatnya, mendiang Y.B. Mangunwijaya.
Lahir di atas toko cerutu di sudut Jalan Van Dijk dan Jalan Hobbema, Den Haag, pada 21 November 1925, Poncke yang awalnya berwarga negara Belanda pindah warga negara Indonesia karena aksi pembelotannya. Para penguasa tiga negara—Jerman (saat pendudukan Nazi), Belanda, dan Indonesia—pernah menjebloskannya dari penjara ke penjara, yang bila ditotal sudah belasan kali. Dua penguasa awal Indonesia, Sukarno dan Soeharto, sudah pernah memenjarakan Poncke karena sikap kritis dan pembelaannya terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. Terakhir dipenjara pada masa Orde Baru karena dianggap terlibat dalam gerakan Malari 1974. Di negara asalnya sendiri, Poncke mendapat ancaman pembunuhan dari beberapa mantan serdadu KNIL.
Karena suara-suara kritisnya dalam penegakan demokrasi dan HAM, baik di dalam maupun di luar negeri, oleh beberapa penguasa Orde Baru, Poncke dianggap pengkhianat. Seorang bekas Ketua Komnas HAM pada masa Orde Baru malah berkata: “Sekali pengkhianat tetap pengkhianat.” Pejabat dari sebuah negara, yang oleh “pengkhianatan” Poncke, dia bela dengan segala pengorbanan, meminjam wacana penjajah Belanda dan menuding Poncke sebagai pengkhianat.
Dalam tulisan kado ulang tahun Poncke ke-70 tahun 1995 silam, mendiang Mangunwijaya menulis: “Oleh kalangan-kalangan mantan militer tentara kolonial Belanda, ia dimaki-maki sebagai desertir yang harus ditembak mati. Oleh kalangan-kalangan tertentu di Indonesia sekarang pun, ia dimaki-maki sebagai desertir yang sekali berkhianat tetap berkhianat. Sangat menarik sebenarnya sikap pararel ini.”
Poncke Princen yang eks-pelajar seminari di Weet, Belanda, adalah penyuka filsafat dan puisi. Dia bergaul akrab dan banyak berdiskusi dengan seniman-seniman Senen dan sastrawan lain, seperti Aoh Kartahadimadja, Mohammad Balfas, Chairil Anwar, Slauerhof, Du Perron dan lain-lain. Dia adalah seorang yang perasa dan mudah jatuh cinta.
Setelah diserang stroke 7 kali, akhirnya pada 22 Februari 2002, 14 tahun lalu, Haji Johannes Cornelis Princen wafat. Dia meninggal di Jakarta dalam kesederhanaan: meninggalkan sebuah rumah kontrakan, sebuah mobil Suzuki Cary, seorang istri, dan seorang anak.
Dalam satu perjalanan, Poncke pernah berkata, “Jongen (anak muda), akan sangat sulit, bahkan mungkin mustahil, kita bisa menghilangkan ketidakadilan di dunia ini. Yang bisa kita lakukan hanya menguranginya.”

***
___ 
Catatan:
Sebagian bahan untuk tulisan ini berdasarkan catatan diskusi dan obrolan serta pergaulan dengan Almarhum. Kutipan diambil dari buku kecil H.J.C. Princen 70 Tahun: Gerilya yang Tak Pernah Selesai (1995), kumpulan tulisan dari para sahabat Poncke, yang disunting oleh Saleh Abdullah.

Kamis, 25 Februari 2016

Indonesia: Hak Asasi di Bawah Ancaman Karena Pemerintahan Joko Widodo Gagal Memenuhi Janji-Janjinya

Rabu, 24 Februari 2016 
Press-Release :

Amnesty International
Indonesia: Hak Asasi di Bawah Ancaman Karena Pemerintahan Joko Widodo Gagal Memenuhi Janji-Janjinya

Indonesia terus menghadapi serangkaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mana pemerintahan President Joko Widodo gagal untuk atasi dan di beberapa kasus bahkan terlihat lebih buruk di bawah masa satu tahun jabatannya, menurut Amnesty International pada peluncuran Laporan Tahunan HAM globalnya hari ini.
Laporan ini mendokumentasikan serangkaian masalah HAM endemk di Indonesia sepanjang tahun lalu, termasuk hal mengkhawatirkan dan meningkatnya pengekangan kebebasan berkespresi, pembatasan kebebasan beragama, penggunaan kekuatan berlebihan, dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, dan kembalinya penggunaan hukuman mati.
“Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya punya banyak hal untuk dilakukan jika mereka mau memenuhi janji-janjinya untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia. Kami melihat suatu bahaya kemunduran di banyak isu HAM pada 2015,” menurut Josef Benedict, Deputi Direktur Kampanye Asia Tenggara Amnesty International.
“Meskipun pemerintah telah berulang kali membuat janji-janji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM serius masa lalu, mereka masih keras kepala untuk melanjutkan komitmen-komitmen tersebut.”

Kebebasan berekspresi dan beragama
Dibebaskannya aktivis pro-kemerdekaan Papua Filep Karma pada November – setelah ia menghabiskan lebih dari satu dekade di dalam penjara karena ekspresi politik damainya – merupakan sesuatu yang baik, tetapi tidak bisa menutupi pengekangan kebebasan berekspresi yang lebih luas di segala penjuru Indonesia.
Lebih dari 50 tahan nurani (prisoners of conscience) masih ada di balik jeruji di Papua dan Maluku, sementara penangkapan ratusan aktivis damai di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi sepanjang tahun lalu. Janji-janji Presiden Joko Widodo untuk menghapus pembatasan akses jurnalis asing ke Papua belum terpenuhi hingga akhir tahun lalu.
“Pemerintah Indonesia harus berhenti menangkap dan mengkriminalisasikan mereka yang berbicara secara damai. Semua tahanan nurani harus segera dan tanpa syarat dibebaskan, dan ketentuan hukum yang digunakan untuk memenjarakan mereka harus dicabut”, menurut Josef Benedict.
Gangguan, intimidasi, dan serangan terhadap minoritas agama terus terjadi, difasilitasi oleh ketentuan hukum yang diskriminatif baik di tingkat nasional maupun lokal.

Impunitas
Korban-korban konflik bersenjata dan represi kekerasan masa lalu masih terus dilupakan di Indonesia, tahun lalu ditandai oleh peringatan ke-50 tahun mulai terjadinya peristiwa pembantaian massal 1965-66, ketika hingga satu juta orang kehilangan nyawanya di segala penjuru Indonesia. Meskipun laporan-laporan resmi menghubungkan aparat keamanan kepada serangkaian kasus tersebut di atas dan pelanggaran HAM serius lainnya di masa lalu, budaya impunitas terus berjaya dan hanya segelintir orang yang bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Tahun lalu, pemerintah Indonesia bahkan mencoba mencegah pertemuan-pertemuan yang akan diselenggarakan oleh para korban dan aktivis untuk memperingati peristiwa 1965.
“Daripada mengganggu mereka yang mencoba memperingati kejadian masa lalu, Indonesia harus menjamin bahwa hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan dihormati. Memendam masa lalu hanya mempertahankan penderitaan dan tidak memutus rantai impunitas dan pelanggaran HAM yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun”, menurut Josef Benedict.

Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat 
Paling tidak 108 orang dicambuk di Aceh di bawah hukum Syariah karena perjudian, meminum alkohol, atau “zina” selama tahun 2015. Pada bulan Oktober, Hukum Pidana Islam Aceh (Qanun Jinayat)  mulai berlaku, memperluas penggunaan penghukuman yang kejam bagi pelaku hubungan seksual sejenis dan hubungan intim antara dua orang di luar ikatan perkawinan, dengan hukuman cambuk maksimum masing-masing 100 dan 30 kali.
“Hukum cambuk merupakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, dan bisa merupakan penyiksaan.  Qanun Jinayat di Aceh dan implementasinya merupakan pelanggaran yang jelas terhadap kewajiban HAM internasional Indonesia, dan harus dicabut oleh pemerintah pusat,” menurut Josef Benedict.

Hukuman Mati
Pemerintah Indonesia mengeksekusi mati 14 orang pada in 2015. Juga mengkhawatirkan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan eksekusi mati pada 2016 – secara potensial menempatkan nyawa dari terpidana mati dalam resiko, dan tak terhindarkan akan menempatkan mereka dan keluarga mereka dalam situasi kecemasan yang hebat dan ketakutan.
Amnesty International menegaskan kembali seruannya kepada pemerintah Indonesia untuk segera menerapkan moratorium eksekusi mati dengan pandangan untuk menghapus secara total hukuman mati.

Laporan penuh: https://www.amnesty.org/en/latest/research/2016/02/annual-report-201516/

Dokumen Publik

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi tim media Amnesty International di London, Inggris, di: +44 20 7413 5566 atau +44 (0)777 847 2126
email: press@amnesty.org twitter: @amnestypress
International Secretariat, Amnesty International, 1 Easton St., London WC1X 0DW, UK


Selasa, 23 Februari 2016

Massa Pro Demokrasi Melancarkan Aksi Tandingan Terhadap Kelompok Reaksioner

Feb 23rd, 2016

Pada hari Selasa, 23 Februari, ratusan orang dari berbagai organisasi dan individu yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) melancarkan aksi tandingan terhadap aksi Angkatan Muda-Forum Ukhuwah Islamiyah (AM-FUI).
AM-FUI sendiri merencanakan aksi menolak LGBT di Titik Nol KM. Di dalam selebarannya, AM FUI menyerukan pemberian hukuman kepada LGBT dengan dibakar, rajam atau dijatuhkan dari tempat tinggi. Ini merupakan kebiadaban yang sama yang sudah dipraktekan oleh ISIS di daerah yang mereka kuasai (Sumber : Dailymail )
Sementara SPD merencanakan aksinya dimulai di McDonald Sudirman dan rally ke Tugu Yogyakarta. Didalam SPD sendiri terdapat kawan-kawan LGBT, aktivis perempuan, waria, mahasiswa, kawan-kawan Papua, aktivis kiri, buruh, aktivis LSM, pekerja hukum, dosen dan bahkan pemuka agama. Sementara SPD mengecam dan menentang homofobia, transfobia, diskriminasi, intimidasi, fasisme, rasisme, sikap intoleran, stigma dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. SPD juga menyerukan kepada seluruh elemen pro demokrasi dan rakyat untuk melakukan konsolidasi gerakan dan solidaritas untuk merebut kembali ruang-ruang demokrasi.
Sudah sebelum aksi diselenggarakan pihak kepolisian berupaya untuk menggembosi aksi SPD. Dengan mengirimkan pesan ke berbagai organisasi meminta untuk menunda aksi. Beredar juga broadcast dari AM FUI yang akan membubarkan aksi serta memburu yang bertanggung jawab dalam aksi. Bahkan AM FUI mengancam akan membuntuti hingga ke tempat tinggal penanggung jawab aksi. Namun SPD tetap terus melanjutkan keputusan untuk melancarkan aksi tandingan dan menyebarluaskan seruan solidaritas.
Sekitar pukul 1 siang massa SPD mulai berdatangan, aparat kepolisian juga berusaha membujuk SPD untuk membatalkan aksinya. Sekitar pukul 3 sore massa SPD mulai berbaris dan bersiap-siap untuk rally ke Tugu. Spanduk, poster dan perlengkapan aksi mulai dibagikan ke massa aksi.
Namun belum sempat bergerak, polisi sudah membuat barikade menghadang massa aksi SPD. Pihak kepolisian melarang massa aksi untuk bergerak ke Tugu. Polisi kemudian mempermasalahkan berbagai hal teknis terkait dengan aksi tersebut. Seperti surat pemberitahuan aksi, tidak jelas siapa koordinatornya bahkan termasuk mengatakan bahwa aksi tersebut mengancam ketentraman Yogyakarta.
Massa dengan kompak menjawab bahwa polisi sudah lama melindungi kelompok-kelompok reaksioner yang justru mengancam ketentraman. Massa meneriakan berbagai kasus penyerangan terhadap ruang-ruang demokrasi yang dilakukan oleh kelompok reaksioner dan dibiarkan atau bahkan dilindungi oleh kepolisian. Seperti kasus penyerangan LKiS, pembubaran pemutaran “Senyap” di UGM, upaya pembubaran pemutaran “Senyap” di UIN serta penyerangan terhadap aksi mahasiswa Papua menuntut hak menentukan nasib sendiri, dsb. Tim Negosiator SPD juga menyatakan dengan tegas bahwa surat pemberitahuan sudah diberikan kepada pihak kepolisian.
Massa aksi SPD kemudian memutuskan untuk menerobos barikade aparat kepolisian. Setelah terjadi dorong-dorongan, kekuatan massa SPD berhasil menerobos barikade aparat kepolisian, beberapa polisi terlihat jatuh dan mundur kebelakang. Massa SPD kemudian berusaha bergerak ke jalan Sudirman yang mengarah ke Tugu. Namun tidak jauh kembali dihadang dengan aparat keamanan yang berjumlah lebih banyak lagi.
Sepanjang aksi massa menerikan yel-yel seperti: Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! Rakyat Bersatu Lawan Homofobia! Rakyat Bersatu Lawan Rasisme! Dsb. Sejak awal aksi hingga selesai terjadi belasan kali dorong-dorongan antara massa aksi SPD dengan pihak kepolisian.
Dalam aksi dorong-dorongan tersebut, tanpa provokasi dari massa aksi, aparat kepolisian mengambil kesempatan untuk melakukan penganiayaan terhadap massa aksi. Beberapa massa aksi perempuan diinjak-injak, sementara yang lainnya mengalami pemukulan. Penganiayaan tersebut berakibat sedikitnya 10 orang mengalami luka ringan dan satu orang luka di bagian perut. Pihak kepolisian juga menangkap satu orang peserta aksi. Peserta aksi tersebut ditangkap ketika membela seorang perempuan massa aksi yang dipukuli oleh polisi.
Sekitar pukul 4 sore, massa aksi mendapatkan kabar bahwa massa AM FUI yang melakukan aksi di Titik Nol KM sudah berpindah ke Tugu. Massa SPD kemudian berusaha untuk menembus barikade aparat kepolisian menuju Tugu, namun tidak berhasil. Massa aksi tetap bertahan dan tidak akan bubar hingga AM FUI membubarkan diri.
Aksi kemudian diisi dengan orasi-orasi dari berbagai organisasi dan individu serta pembacaan pernyataan sikap. Latar belakang aksi SPD sendiri tidak bisa dilepaskan dari perjuangan panjang demokrasi khususnya di Yogyakarta. Perjuangan tersebut tidak terlepas dari berbagai perdebatan yang terjadi antara berbagai kelompok gerakan pro demokrasi di Yogyakarta.
Secara umum terkait dengan persoalan apakah kita bisa mengharapkan negara untuk menegakan hukum pada kelompok-kelompok reaksioner yang melakukan serangan terhadap demokrasi? Ataukah rakyat harus percaya pada kekuatannya sendiri untuk melawan serangan-serangan kelompok reaksioner tersebut. Hal tersebut bersamaan dengan semakin meningkatnya serangan-serangan kelompok reaksioner terhadap ruang-ruang demokrasi, khususnya di Yogyakarta.
Kemajuan dalam gerakan pro demokrasi bisa dikatakan ditandai dengan keberhasilan pemutaran film “Senyap” di UIN. Ditengah ancaman penyerbuan oleh FUI dan upaya penangkapan oleh aparat kepolisian. Berbagai organisasi yang menjadi panitia dan pendukung pemutaran tersebut kemudian bersatu membentuk Front Perjuangan Demokrasi (FPD).
Dalam perjalanannya FPD berhasil mempertahankan berbagai ruang demokrasi. Seperti melakukan mobilisasi saat pemutaran sidang IPT di Social Movement Institute mendapat ancaman; bersolidaritas dalam aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang mendapat ancaman dari Front Jogja Anti Separatis (FJAS); mengintervensi dengan propaganda anti rasisme saat diskusi di UIN yang menghadirkan FJAS; termasuk beberapa hari lalu berhasil menyelenggarakan diskusi IPT di UIN, yang sebelumnya dibatalkan di berbagai tempat karena ketakutan ancaman serangan kelompok reaksioner.
Walaupun aksi SPD tidak berhasil mencapai Tugu Yogyakarta namun aksi SPD merupakan aksi pertama yang dirancang secara sadar untuk menanding aksi dari kelompok-kelompok reaksioner. Ini merupakan sebuah kemajuan lagi dalam gerakan pro demokrasi. Tentunya menjadi pelajaran berharga bagi kelas buruh dan rakyat dalam perjuangannya melawan serangan-serangan dari kelompok reaksioner (da, imk)

http://www.arahjuang.com/2016/02/23/massa-pro-demokrasi-melancarkan-aksi-tandingan-terhadap-kelompok-reaksioner/

Senin, 22 Februari 2016

Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi

Andre Barahamin | Harian Indoprogress


ilustrasi gambar diambil dari wordpress.clarku.edu
TAHUN 2015 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 5 orang yang tewas, 39 orang menjadi korban penembakan, 124 orang dianiaya dan 278 orang lain ditahan.[1] Semua jumlah tersebut terkait dengan konflik agraria di Indonesia yang semakin menunjukkan gejala peningkatan. Setahun kemarin juga mencatat peningkatan jumlah kasus sengketa tanah sejak lima tahun terakhir.
Selanjutnya, laporan KPA tersebut menyebutkan bahwa pelaku kekerasan dalam berbagai konflik agraria di Indonesia, didominasi oleh perusahaan (35 kasus), polisi (21 kasus) dan TNI (16 kasus). Dari total tersebut, 30 persen kasus terjadi di dua daerah, yaitu Riau (14,40 persen ) dan Jawa Timur (13,60 persen). Sementara daerah lain seperti Sumatera Selatan (13,60 persen) dan Sulawesi Tenggara (6,40 persen) juga menjadi titik panas konflik agraria.
Dari jumlah kasus agraria di atas, 50 persen merupakan konflik di bidang perkebunan. Sisanya, 28 persen terjadi di konflik terkait pembangunan infrastruktur (28 persen) dan sektor kehutanan (9 persen). Konflik lain juga terjadi di sektor pertambangan dan pesisir.

kpa

Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Krisis Ekonomi 2008 dan Perubahan Tren Pasar Global
Sejak krisis finansial 2008 mereda, kita menyaksikan fenomena global baru yang disebut dengan perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing). Yaitu sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional. The Economist dalam laporannya di tahun 2009 mencatat bahwa total ada sekitar 37-49 juta hektar yang telah berhasil dirampok sejak tahun 2006.[2] Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya paska krisis 2008.
Sebuah laporan di awal November 2014 dari Lund University, Swedia, membenarkan prediksi di atas.[3] Laporan tersebut memberikan gambaran mengerikan tentang ekpansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah di mana Cina (bertransaksi dengan 33 negara), Inggris (30 negara) dan AS (28 negara) muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah dengan negara-negara di Afrika dan Asia sebagai destinasi. Negara-negara seperti Ethiopia sebagai contoh, telah menggadaikan tanahnya kepada 21 negara. Filipina dan Madagascar telah membuka dirinya untuk 18 negara berbeda. Sementara Brazil, Sudan, Mozambique dan Tanzania laris manis menjual tanah kepada investor dari 17 negara berbeda.

jual tanah
Model transaksi macam inilah yang disebut sebagai “perdagangan virtual baru” yang mana membuat sebuah perusahaan dapat mengimpor hal yang seharusnya tidak diperdagangkan. Berbeda dengan bentuk perdagangan virtual lama yang hanya mendefinisikan proses transaksi jual beli di bursa saham, perdagangan bentuk baru ini mengambil langkah maju yang lebih radikal. Hari ini produk-produk seperti sumber air, tanah hingga polusi diperjualbelikan melewati batas-batas negara.
Dalam kacamata ekonomi neoliberal, perdagangan virtual memiliki beberapa keunggulan.
Misalnya, negara-negara yang memiliki empat musim dan tanahnya tidak memungkinkan untuk ditanami buah-buahan tropis, dapat membeli tanah di negara-negara tropis untuk kemudian diubah menjadi perkebunan skala besar yang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi juga dapat memenuhi ambisi ekspor ke negara lain. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengubah negara-negara yang masih memiliki lahan yang cukup menjadi lumbung pangan dunia, seperti yang sedang terjadi di Merauke, Papua, melalui program sejuta hektar sawah baru yang terintegrasi dalam skema Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).[4] Sebagai gantinya, negara-negara yang telah merelakan tanah mereka kemudian diberikan kemudahan dalam skema pengajuan hutang dan garansi keterlibatan yang lebih luas dalam kancah politik luar negeri berbentuk aliansi-aliansi regional atau internasional.
Jenis perdagangan virtual seperti ini juga memiliki tujuan untuk mencegah monopoli sebuah negara terhadap kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki. Monopoli oleh negara dipandang buruk karena tidak sejalan dengan skema liberalisme total di mana pasar akan diberikan kekuasaan sepenuhnya dan korporasi adalah pengendali utamanya. Jenis ‘perdagangan virtual baru’ membuat negara-negara kaya mampu memiliki akses legal untuk melakukan penggerukan sumber daya alam yang dimiliki negara-negara miskin atau negara-negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas konsumsi domestiknya.
Sebagai contoh kita dapat melihat soal ekstraksi mineral Cobalt (Co) yang menjadi salah satu bahan baku untuk baterai ponsel pintar (smartphone). Material ini paling banyak terdapat di Kongo yang menjadi pemasok 40 persen kebutuhan pasar global,[5] selain juga cadangan di Zambia dan Republik Afrika Tengah. Di Kongo sendiri, ekstraksi Cobalt dijalankan oleh Central African Mining and Extraction Company (CAMEC), yang berkantor pusat di London, Inggris. CAMEC sendiri terkenal sebagai pelaku perdagangan kotor (Blood Cobalt) dan perbudakan anak-anak di bawah umur.[6]

Pasar Pangan dan Energi
Merebaknya jenis perdagangan baru ini, juga disebabkan oleh meningkatnya harga minyak bumi dan batu bara dalam beberapa tahun terakhir: biaya produksi yang dianggap semakin mahal sementara cadangan sumber daya yang semakin menipis. Oleh karenanya, tuntutan untuk menemukan sumber-sumber energi baru semakin menguat. Ini adalah salah satu poin pendorong lahirnya tren ‘energi alternatif’ yang mulai ramai sejak awal 2009 kemarin. Isu pemanasan global sejak satu dekade lalu telah direkuperasi sekaligus menjadi momentum yang tepat untuk ekonomi neoliberalisme bergerak merevitalisasi dirinya setelah dihantam krisis. Ditambah lagi dengan meningkatnya laju populasi di seluruh dunia, sehingga isu mengenai kebutuhan akan ketersediaan pangan menjadi hal mutlak yang tidak bisa diacuhkan.
Meski penting untuk dipahami bahwa perampasan tanah bukanlah fenomena yang baru terjadi belakangan ini. Brutalitas yang sama telah terjadi sejak beratus-ratus tahun lalu. Contohnya adalah kedatangan para kolonial Eropa untuk mencari dunia baru yang akhirnya membuka jalan terhadap perampasan tanah dan penyingkiran masyarakat asli. Contoh-contoh kasusnya membentang dari pedalaman Amazon, gurun Sahara hingga apa yang sedang berlangsung di Papua saat ini. Proses kekerasan yang secara esensi dan formasi serupa dan masih terus terjadi. Jauh sebelum tren global berubah, di Indonesia kita menyaksikan bagaimana isu konservasi lingkungan justru berbalik digunakan sebagai alasan bagi negara dan perusahaan untuk mengusir masyarakat asli dari tanah ulayat mereka. Kasus kawasan konservasi Kerinci yang mengusir Orang Rimba, penyingkiran masyarakat dari dalam Hutan Lindung Lore Lindu, hingga Malind-Anim yang harus merelakan tanah ulayat untuk pembangunan Hutan Lindung Wasior, adalah beberapa contoh di antaranya.
Namun hari ini, sesuatu yang lebih brutal sedang berlangsung. Dua krisis global yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (yaitu krisis finansial 2008 dan krisis pangan di periode 2007-2008)[7] telah berhasil membuka penemuan jalan baru bagi neoliberalisme. Dua agenda yang awalnya tampak berjalan paralel kini telah menemukan titik temu dan berjalan bergandeng tangan.
Pertama adalah masalah ketahanan pangan. Banyak negara maju yang selama ini menggantungkan dirinya pada impor pangan dan selalu khawatir mengenai pengetatan pasar, akhirnya menemukan saluran baru untuk menginvestasikan keberlimpahan uang dari dalam negerinya. Investasi yang dipandang jauh lebih aman dan memberi garansi keuntungan jangka panjang dan konsisten berbentuk sistem ‘outsourcing’ dalam produksi pangan. Caranya adalah dengan membeli kontrol terhadap produksi sumber-sumber makanan di negara-negara miskin dan negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multi-nasional. Kekhawatiran akan ketidakmampuan sebuah negara yang maju dalam ekonomi dan teknologi untuk menyediakan pangan berkualitas dan terjangkau bagi penduduk negaranya, berhasil dijawab melalui model ‘perdagangan virtual’ yang murah.
Pemerintah di negara-negara yang menjadi sasaran tembak, ditawarkan untuk mendapatkan sejumlah kecil keuntungan dari pasar pangan berupa kucuran dana segar untuk pembangunan infrastruktur dan sokongan untuk pembangunan bisnis properti yang telah terbukti dahulu gagal dan memicu krisis ekonomi global. Alasan ini mendorong Cina, US dan Inggris begitu aktif mencari ‘tanah-tanah baru’ di Afrika dan Asia sebagai cadangan pangan. Agar tampak lebih humanis, negara-negara koloni itu disebut sebagai ‘lumbung pangan dunia’. Ilusi yang sebenarnya digunakan untuk menutupi liberalisasi pangan guna kepentingan daya tahan sekaligus perluasan pasar.
Ini adalah strategi jangka panjang yang cerdas karena berhasil menjawab dua kebutuhan dalam satu sapuan. Pertama, untuk menepis keraguan mengenai krisis pangan (persoalan cadangan dan akses harga) di masa depan yang mungkin terjadi di negara-negara maju, sekaligus memberikan keuntungan karena tersedianya jumlah konsumen yang terus membesar dan jumlah permintaan yang terus meningkat.
Sebagai contoh, sejak Maret 2008 pemerintah Arab Saudi, Jepang, China, India, Korea, Libya dan Mesir telah mengutus para pejabat tingginya untuk bernegosiasi dan mencari lahan pertanian subur di berbagai tempat seperti Uganda, Brasil, Kamboja, Sudan, Pakistan, India, Indonesia dan Filipina. Proses ini dilakukan melalui sebuah praktik diplomatik bilateral maupun regional. Ironisnya negara-negara yang menjadi sasaran kerjasama tersebut justru termasuk rentan dan sedang mengalami krisis pangan domestik. Di Darfur, Sudan, misalnya terdapat sekitar 5,6 juta pengungsi yang membutuhkan makanan.[8] Di Kamboja, sekitar 100 ribu unit keluarga mengalami kekurangan pangan.[9] Di Indonesia sendiri, harga beras terus menerus melambung sejak tahun 2008 bersamaan dengan kemiskinan yang semakin meluas hingga membuat akses terhadap pangan bertambah sulit. Ironisnya untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah di negara-negara tersebut justru mengandalkan impor secara berkala dan masif. Di saat yang bersamaan membuka dirinya untuk praktek jual-beli lahan untuk industri berskala besar di bidang pertanian.
Jalur kedua adalah keuntungan finansial. Mengingat krisis keuangan saat ini, segala macam pemain di industri keuangan dan pangan – melalui rumah investasi yang mengelola dana pensiun pekerja, dana ekuitas swasta – telah bergerak aktif mencari formulasi-formulasi baru yang dapat memberikan keuntungan secara cepat, konsisten dan terus membesar. Dana-dana jaminan secara berkala dalam jumlah besar terus dialihkan dari pasar derivatif yang sekarang runtuh. Pedagang gabah mencari strategi baru dengan beralih ke tanah, sebagai sumber untuk makanan dan bahan bakar produksi
Tanah itu sendiri awalnya bukanlah investasi yang familiar untuk banyak perusahaan-perusahaan transnasional. Sebabnya, tanah dipandang sarat dengan konflik politik di mana, dalam banyak kasus, selalu mengalami problem mengenai kepemilikan dan beberapa peraturan pembatasan yang mengatur soal pelarangan pihak asing untuk tidak dapat membeli lahan. Mengalihkan model dagang dengan menyasar tanah juga bukan pekerjaan yang murah dan singkat. Untuk mendapatkan keuntungan, investor harus meningkatkan kapasitas produksi tanah yang tentu saja memakan waktu dan biaya. Hal ini juga berarti beban kerja yang lebih berat jika dibandingkan dengan bisnis finansial atau tambang mineral. Tapi krisis gabungan antara kelangkaan sumber makanan dan problem di sektor keuangan telah mengubah nilai lahan pertanian di mata investasi. Fakta lain yang mendukung adalah murahnya harga tanah di negara-negara miskin dan negara berkembang. Kondisi yang turut dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar mata uang dan ketergantungan ekonomi negara-negara selatan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Negara-negara maju yang telah sejak lama menyerahkan kendali pengelolaan kepentingan publik kepada korporasi dengan mudah memberikan mandat bagi badan-badan multinasional ini untuk ikut terlibat. Sebab lainnya adalah ketidakberdayaan negara pasca krisis finansial yang membuat banyak pemerintahan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan invetasi baru berbiaya tinggi. Oleh karenanya, menyerahkan kerja-kerja tersebut kepada perusahaan transnasional menjadi opsi yang paling masuk akal.
Itu mengapa, Anda tidak perlu kaget jika melihat ke sekeliling dan menemukan bahwa produksi pangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ini sama sekali tidak ditujukan untuk menjawab kebutuhan pangan masyarakat sekitar. Infografis di atas, yang menggambarkan jumlah transaksi tanah di berbagai negara, mesti dipahami sebagai bagaimana ekspansi perusahaan multinasional yang terkadang mengatasi isu-isu kepentingan domestik sebuah negara. Namun, tentu ada perbedaan mendasar yang penting digarisbawahi dari ragam investasi sektor pangan yang dimotori negara-negara maju.
Cina, misalnya, meski memiliki wilayah yang cukup luas, namun jumlah populasi yang tidak berhasil dikontrol membuat ketersediaan pangan adalah isu serius di negeri ini. Ditambah lagi dengan berkurangnya secara drastis luas lahan pertanian produktif yang berlangsung sejak dua dekade terakhir. Penyusutan tersebut tidak lepas dari masifnya industrialisasi. Ketimpangan itu jelas terlihat. Jumlah petani di Cina berkisar 40 persen dari total petani di dunia, namun lahan yang tersedia hanya 9 persen dari keseluruhan luas lahan produktif di dunia. Karenanya tidak mengejutkan jika Partai Komunis Cina menjadikan persoalan pangan dan energi sebagai prioritas. Dengan cadangan devisa yang mencapai 1,8 trilyun dolar, Cina memiliki kelimpahan finansial untuk digunakan dalam investasi.
Para pemimpin serikat tani di negara-negara Asia Tenggara telah mengetahui dengan jelas bahwa Negeri Tirai Bambu telah memulai ‘outsourcing pangan’ sejak awal 2007, jauh sebelum krisis terjadi.[10] Dengan politik luar negeri yang agresif, Cina berhasil memaksakan lebih dari 30 perjanjian investasi di bidang pertanian di kawasan Asia Tenggara. Sebagai gantinya, Beijing menyediakan teknologi, pelatihan dan kucuran uang untuk pembangunan infrastruktur pendukung, seperti dam-dam raksasa dan jalur transportasi yang nantinya akan mendukung mata rantai distribusi. Pelebaran sayap ini juga bahkan sampai ke Asia Selatan dan Afrika. Hasilnya, sekitar 12 negara telah resmi dijadikan mitra kerjasama dalam pengembangan mega-bisnis di bidang agrikultur.
Secara umum dapat dikatakan bahwa model perampasan tanah oleh Cina tergolong yang paling konservatif. Selain mengacuhkan ‘pedoman-pedoman etis’ dalam investasi, Cina sangat protektif terhadap investasinya dan di saat bersamaan berupaya dengan segala cara memaksimalkan segala peluang yang dapat menggaransikan pasokan pangan berkelanjutan untuk negara itu di masa depan. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa di dalam negeri, Cina mengalami kekurangan lahan pertanian dan sumber air yang dapat dipasok untuk menghidupi lahan-lahan agar produktif. Negeri ini ‘tidak memiliki pilihan lain’ selain menggalakkan investasi pangan di luar negeri.[11]
Selain Cina, ekspansi gila-gilaan juga dilakukan oleh negara-negara Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Meski patut dipahami bahwa negara-negara di kawasan Teluk ini menghadapi realitas yang sama sekali berbeda dengan Cina. Dibangun di padang gurun, negara-negara ini memiliki persoalan kelangkaan tanah dan air sebagai prasyarat untuk melakukan produksi pertanian. Tapi sejumlah besar kekayaan yang didapatkan dari minyak memberikan kekuatan untuk membayar ketergantungan mereka terhadap negara-negara penghasil pangan. Namun strategi ini bukan tanpa masalah. Ketika krisis pangan terjadi, ketergantungan terhadap nilai tukar mata uang terhadap dolar yang ikut dipengaruhi oleh krisis finansial membuat negara-negara ini kemudian mesti menanggung beban inflasi yang membengkak.[12] Apalagi ketika terjadi krisis 2008, para pekerja migran berupah rendah yang merupakan populasi mayoritas di negara-negara ini mengalami kesulitan untuk mengakses pangan sehingga mengharuskan subsidi dari negara untuk menyediakan makanan dengan harga terjangkau demi mencegah kerusuhan sosial.[13] Selain fakta bahwa industri penyewaan dan jual beli properti di kawasan ini juga ikut terpukul dengan kolapsnya ekonomi global. Ini adalah dorongan-dorongan utama yang menjadi alasan bagi negara-negara di kawasan Teluk untuk mengambil jalan lain dan mengalihkan investasi ke sektor pangan.
Melalui Gulf Cooperation Council (GCC) yang menjadi badan kerjasama negara-negara di kawasan Teluk, mereka kemudian merumuskan strategi bersama ‘outsourcing pangan’ di negara-negara produsen beras seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ide utamanya adalah melakukan penawaran (khususnya kepada negara-negara di mana Muslim adalah mayoritas, seperti Indonesia dan Malaysia) untuk memberikan pinjaman berbunga rendah, minyak dengan ‘harga khusus’ sebagai alat tukar untuk mendapatkan akses ke lahan-lahan pertanian. GCC menawarkan pembukaan anak perusahaan di negeri-negeri seperti Burma, Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Vietnam, dan Pakistan yang secara spesifik menjadi kontraktor ekspor pangan ke negara-negara di kawasan tersebut.
Strategi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, antara Maret hingga Agustus 2008, negara-negara GCC melalui konsorsium atau perusahaan tunggal telah berhasil mengamankan sewa terhadap jutaan hektar lahan pertanian yang memulai panen di pertengahan tahun 2009. Setelah sebelumnya di Januari 2009, GCC melakukan pertemuan yang didedikasikan untuk merumuskan poin-poin kritis terkait kerjasama regional ini sebelum kemudian disepakati sebagai kebijakan bersama yang resmi.[14]
Pemain lain dalam zona investasi ini adalah Jepang dan Korea Selatan. Pemerintah dua negara kaya dari Asia Timur ini bahkan sejak lama telah sepenuhnya bersandar kepada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri masing-masing. Kebutuhan pangan dalam negeri Jepang sebesar 60 persen merupakan impor. Sementara Korea, sekitar 90 persen beras dari keseluruhan konsumsi domestik ditebus dari negara lain.
Di permulaan tahun 2008, pemerintah Korea Selatan mengumumkan bahwa mereka telah merumuskan sebuah rencana nasional untuk memfasilitasi akuisisi lahan di luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan produksi makanan Korea. Rencana ini tentu saja akan diserahkan kepada pihak swasta sebagai pemain utama. Langkah awalnya adalah dengan membeli tanah di Mongolia dan Rusia Timur, untuk memproduksi makanan yang akan diekspor kembali ke Korea Selatan. Di saat yang bersamaan penjajakan kerjasama serupa juga tengah menyasar Sudan, Argentina dan Asia Tenggara.
Jepang, di sisi lain tampaknya bergantung sepenuhnya kepada sektor swasta untuk mengatur impor pangan. Sementara pemerintah bertugas memberikan bingkai politik melalui perjanjian perdagangan bebas, perjanjian investasi bilateral dan pakta kerja sama pembangunan. Ini adalah peran pasif yang diemban negara. Itu sebabnya di dalam negeri, Jepang memiliki kebijakan administratif yang menghalangi segala bentuk upaya untuk melakukan restrukturisasi dan reformasi sektor pertanian dalam negeri. Di negeri ini ada larangan yang tidak memperbolehkan keluarga atau perusahaan untuk memiliki tanah yang akan digunakan untuk bisnis pertanian. Kepemilikan tanah luas yang dipusatkan di tangan negara membuat penduduknya tidak memiliki pilihan lain kecuali menggantungkan diri pada impor.
Di tempat lain, tren investasi ini juga ikut merambah India. Sektor pertanian dalam negeri dianggap telah sangat berantakan dan membutuhkan biaya yang besar untuk memperbaikinya. Berbanding terbalik dengan tawaran yang jauh lebih murah dan lebih menjanjikan jika menggelontorkan dana untuk mengambil alih lahan-lahan pertanian di negeri asing. Perlawanan terus menerus dari serikat-serikat tani India dan gerilyawan pemberontak Naxalite terkait perampasan tanah, membuat alasan di atas semakin masuk akal. Upaya untuk meliberalisasikan tanah dalam kawasan-kawasan ekonomi khusus menghadapi masalah serius terutama di bidang keamanan. Belum lagi menyoal persoalan kelangkaan air dalam jangka panjang untuk mendukung industri pertanian. Ditambah dengan kekhawatiran soal bakal tertinggalnya India dalam percaturan bisnis pangan membuat banyak perusahaan negara kemudian mengalihkan sasaran untuk menghasilkan produk makanan di luar negeri. Jenis yang diincar adalah tanaman biji berminyak (oilseed crops), kacang-kacangan dan kapas. Strategi ini, misalnya, berjalan sukses di Burma yang di akhir 2009, berhasil memasok 1 juta ton dari total kebutuhan impor kacang-kacangan yang mencapai angka 4 juta ton per tahun untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri yang hanya mencapai 15 juta ton dari kebutuhan konsumsi domestik yang mencapai hampir 20 juta ton per tahun. Dengan dukungan aktif pemerintah, perusahaan-perusahaan asal India berhasil mendapatkan ijin pengelolaan lahan di Burma, dengan harga sewa dan upah buruh yang lebih murah ketimbang melakukan produksi di dalam negeri. Junta militer di Burma begitu kooperatif terhadap investasi asing. Hal yang menjadi alasan di balik dukungan finansial pemerintah India untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan dan dorongan aktif untuk terlibat dalam perdagangan bebas.
Selain Burma, India juga melebarkan sayapnya dengan berinvestasi di Indonesia, Paraguay, Brazil dan Uruguay. Di Indonesia, India melakukan investasi serius di sektor perkebunan kelapa sawit yang menjadi sumber biofuel. Di Amerika Latin, target mereka adalah mencari tanah untuk ditanami kacang-kacangan agar bisa memutus ketergantungan terhadap produksi dalam negeri. Untuk mendukung itu semua, India melakukan deregulasi terkait ijin bagi perusahaan-perusahaan multinasional dalam melakukan kerjasama lintas negara, pembelian properti di luar negeri dan dukungan modal untuk investasi skala raksasa di bidang pertanian.
Dukungan untuk perluasan perkebunan-perkebunan yang akan menjadi sumber energi biofuel juga dilakukan oleh Inggris dan AS. Mensponsori pembukaan ladang-ladang sawit dan perkebunan tebu skala raksasa menjadi tren baru. Untuk itu, ekspansi kemudian diarahkan ke wilayah Asia Tenggara yang hangat dan masih memiliki banyak lahan yang tersedia. Filipina, Malaysia dan, tentu saja, Indonesia menjadi sasaran empuk. Inggris dan AS bahkan ikut mendukung terbentuknya pakta perdagangan sawit regional antara Indonesia dan Malaysia.[15]Pakta kerjasama ini diharapkan dapat mengurangi kompetisi antar kedua negara penghasil sawit terbesar di dunia untuk kemudian dapat saling membantu dalam ekstensifikasi industri minyak sawit mentah (crude palm oil).
Industri biofuel dengan bahan baku sawit, jagung dan tebu memang menjadi isu strategis lima tahun terakhir. Peralihan tendensi negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan trans-nasional untuk mulai secara perlahan meninggalkan energi fosil yang tidak terbarukan menuju sumber energi yang lebih murah bukan diakibatkan kepedulian akan krisis iklim atau ketakutan soal degradasi lingkungan.
Biofuel dianggap sebagai solusi pasar yang lebih rasional. Ia sama sekali telah mengacuhkan dan akan tetap tidak peduli dengan seruan-seruan mengenai penyelamatan lingkungan yang dikampanyekan oleh aktivis lingkungan. Argumentasi paling telanjang dapat ditemukan melalui Robert J. Samuelson, yang mengatakan[16] bahwa peralihan tersebut sebenarnya sangat sederhana. Bahwa industri tidak menyukai harga bahan bakar yang tinggi. Mendapatkan sumber bahan bakar dengan harga yang lebih murah jelas menjadi tawaran menggiurkan untuk menekan biaya produksi dan memperbesar keuntungan. Untuk itu, berbagai pembenaran gila disodorkan kepada publik mengenai betapa pentingnya peralihan dari energi fosil menuju biofuel. Bahwa semua orang akan diuntungkan dari peralihan ini, mulai dari petani, kalangan konsumen dan tentu saja para pelaku industri. Bahwa biofuel akan membuka lapangan pekerjaan di desa-desa dan membuat negara mampu menghemat anggaran yang biasanya dibelanjakan untuk membeli minyak dari negara-negara asing.
Oleh sebab itu menjadi kewajaran, misalnya, jika dalam pertemuan konferensi internasional mengenai perubahan iklim beberapa tahun belakangan ini,[17] para pelaku industri dan pemegang kebijakan begitu ramah terhadap tuntutan untuk mulai mengurangi penggunaan energi tidak terbarukan yang bersumber dari batu bara dan minyak bumi. Mereka tampak berada di satu jalur yang sama dengan para aktivis lingkungan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan pencegahan krisis iklim menjadi lebih buruk. Meskipun jika dilihat secara radikal, tidak ada perubahan komitmen yang lebih serius mengenai langkah-langkah praktis dan detil yang harus diambil untuk mencegah degradasi lingkungan semakin parah.
Itulah alasan yang ikut mendorong perluasan besar yang akhirnya menjadi industri perkebunan sawit sebagai emas baru di Asia Tenggara. Kenyataan ini tidak lepas dari fakta bahwa sawit merupakan bahan baku paling murah untuk biofuel jika dibanding dengan jagung dan kedelai. Bersamaan dengan itu, konsumsi minyak sawit di dunia terus menunjukkan gejala peningkatan dari tahun ke tahun.

sawit

Indonesia sendiri merupakan kekuatan paling besar di sektor ini dengan luas lahan mencapai 15 juta hektar (per tahun 2014) yang tersebar dari Sumatra, Kalimantan, Papua dan sebagian kecil di Sulawesi. Malaysia berada di posisi kedua dengan luas lahan mencapai hampir 5 juta hektar. Kedua negara ini menyuplai 85% kebutuhan sawit dunia.[18] Menyusul di belakangnya adalah Thailand yang memiliki sekitar 650 ribu hektar sawit.
Mega-agribisnis tentu saja memiliki masalah serius. Friends of the Earth mencatat bahwa 87 persen deforestasi yang berlangsung di Malaysia sejak tahun 1987 hingga tahun 2000 disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit skala besar. Di Indonesia, WALHI dan Green Peace telah berkali-kali menyebutkan dalam berbagai laporan mereka sejak lima tahun terakhir bahwa laju deras penebangan hutan tropis dan pengeringan lahan-lahan gambut disebabkan sebagian besarnya oleh ekspansi industri kelapa sawit. Indonesia dan Malaysia masing-masing tercatat memproduksi sekitar 25 juta dan 19 juta ton sawit mentah di tahun 2012. Thailand menyumbang kontribusi sebesar 2 juta di tahun yang sama.
Di Indonesia, dari luasan bentang lahan perkebunan sawit tersebut, sebagian besarnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Riset yang dilakukan oleh TuK Indonesia[19]menemukan bahwa 62 persen lahan sawit di Kalimantan dikuasai oleh lima perusahaan besar, yaitu Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar dan Surya Dumai. Perusahaan-perusahaan ini juga dominan di Sumatra dengan penguasaan yang mencapai 32 persen dari total seluruh perkebunan.

pemilik sawit
Peralihan bentuk energi ini sebenarnya telah terjadi jauh sebelum kolapsnya ekonomi dunia di tahun 2008. Krisis finansial pada akhirnya hanyalah memperkuat basis argumentasi mengapa migrasi energi menjadi mendesak untuk dilakukan. Royal Dutch Shell misalnya, hingga tahun 2007 telah mengucurkan dana lebih dari 1 milyar US dollar selama lima tahun ke belakang untuk penelitian, pengembangan dan proyek-proyek percobaan biofuel, pembangkit listrik tenaga matahari dan atau tenaga angin, dan hidrogen. Meski di tahun yang sama, bersama Chevron, Shell menginvestasikan 10 milyar dolar US untuk proyek pertambangan pasir di Kanada dan Afrika.
Perusahaan otomotif seperti Ford dan BMW, juga kemudian mulai menganggarkan biaya riset untuk kemudian menciptakan mobil yang lebih ramah lingkungan dan menggunakan energi biofuel atau sumber energi lain seperti matahari sebagai bahan bakar. Ujicoba-ujicoba ini diharapkan akan membuka ruang yang lebih luas untuk penemuan-penemuan dalam skala yang lebih luas dan tentu saja masif. Targetnya adalah untuk mengalihkan tren penggunaan bahan bakar fosil yang dianggap kotor dan merusak lingkungan menuju mode baru yang lebih murah, tanpa harus mengorbankan diri dengan kehilangan pasar konsumen yang telah terbentuk selama berdekade.
Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan yang kini mengalihkan perhatiannya ke sektor perkebunan kemudian menganggarkan dana pertanggungjawaban sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) untuk mendukung program-program pengalih perhatian. Aksi-aksi tanam pohon, bersih lingkungan-alam dan sejenisnya yang disponsori oleh dana CSR tidak lain merupakan bentuk investasi tidak langsung sekaligus untuk menyuap pemerintah dan “pekerja sosial kerah putih” untuk mendukung atau minimal tidak mengganggu jalannya investasi di sektor industri pangan dan energi.
Penjelasan di atas mungkin terdengar seperti sebuah permainan raksana di mana hanya para presiden, perdana menteri dan CEO perusahaan yang memiliki hak untuk bicara dan menentukan arah ke mana masyarakat hari ini akan melangkah. Tapi faktanya, negara-negara Asia dan Afrika menjadi target empuk perampasan tanah, sejak 2008 justru tampak begitu sumringah menerima banyaknya proposal-proposal proyek yang disertai kucuran dana hutang. Bagi pemerintah di Asia dan Afrika, investasi di sektor apapun selalu wajib diterima hangat. Sebab ini berarti akan terbukanya kesempatan dan sumber pembiayaan untuk melakukan modernisasi di daerah-daerah pedesaan (rural areas), pembangunan infrastruktur yang semakin cepat, konsolidasi kegiatan industri pertanian serta peluang untuk kemudian dilibatkan lebih sering dalam percaturan politik luar negeri. Menyewakan lahan-lahan produktif di negaranya untuk kepentingan industri pangan dengan label menjadi “lumbung pangan nasional” merupakan kehormatan bagi negara-negara di Asia dan Afrika. Yang menjadi paling penting adalah bagaimana kemudian negara-negara maju akhirnya menunjukkan ketergantungannya yang baru terhadap negeri-negeri miskin dan berkembang, selain buruh murah dan industri pariwisata seperti dekade-dekade yang lampau.
Blok-blok perdagangan regional di Asia dan Afrika didorong untuk terus membuka diri agar investasi sektor agribisnis dapat dengan mudah melakukan penetrasi. Penandatanganan perjanjian dagang antara ASEAN dengan negara-negara kayak seperti Australia, Selandia Baru, Cina dan Uni Eropa sebagai contohnya. Di saat yang bersamaan, para pemimpin negara-negara ini berlomba-lomba untuk mempromosikan dirinya sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk dunia investasi pangan dan energi.
Sayangnya, rincian yang detil mengenai berapa banyak perampasan tanah ini telah dan akan berlangsung untuk kepentingan produksi pangan di luar negeri – di mana lokasinya, berapa hektar yang akan dirampas, siapa investornya, model pendanaan yang dilakukan, siapa mitra pengusaha lokal yang diajak bekerja sama – tidak mudah didapat. Sangat jelas bahwa pemerintah begitu ketakutan jika kemudahan akses akan data-data tersebut dapat memicu kerusuhan sosial atau protes berkepanjangan.

Indonesia: Zona Perang Tanah
Memandang kondisi di atas, kita perlu menengok warisan penting dari Amartya Sen, mengenai bencana kelaparan sebagai sebuah produk dari monopoli pangan. Pemenang Nobel Ekonomi asal India ini dahulu telah melakukan kritik terhadap pendekatan Malthusian yang menyederhanakan masalah dengan memandang bahwa bencana kelaparan timbul akibat berkurangnya ketersediaan pangan.[20] Sen justru melihat bahwa bencana kelaparan justru tidak disebabkan oleh macetnya mata rantai suplai pangan. Sebaliknya, yang terjadi adalah runtuhnya kemampuan dan hak seseorang untuk mengakses sumber pangan secara legal – termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan peluang produktif, kesempatan perdagangan, hak-hak kelayakan ketika berhadapan dengan negara, dan metode lain yang biasanya digunakan seseorang untuk mengakses pangan.[21] Untuk menjawab persoalan itu, Sen mengajukan demokrasi sebagai sebuah cara yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan ketimpangan distribusi dan akses akan makanan.
Namun persoalannya adalah instrumen demokrasi hari ini justru semakin tampak tidak efektif untuk mencegah bencana kelaparan di sebuah region yang justru mengalami keberlimpahan pangan.[22] Perangkat demokrasi, justru makin efektif digunakan untuk perluasan monopoli dalam sektor industri pangan. Demokrasi sebaliknya tampak begitu masuk akal dan logis untuk mengajukan upaya liberalisasi penuh sektor pangan dan energi. Demokrasi dan sistem ekonomi neoliberalisme kemudian mengorganisir dirinya ke dalam bentuk lembaga-lembaga donor yang anggotanya adalah negara-negara maju pemberi hutang dan negara-negara miskin atau negara berkembang yang akan menjadi target pasar.
Di Indonesia, sebagai contoh. Dalam “Buku Biru” BAPPENAS,[23] terdapat 29 kategori program yang akan melibatkan dana hutang dalam proyek-proyeknya. Misalnya pembiayaan Dam Jatigede di Jawa Barat yang akan menggunakan dana pinjaman sebesar 52.200.000 US dolar. Pembiayaan Program Pengembangan Air Minum (Drinking Water Development Program), pemerintah akan menganggarkan pinjaman sebesar 1.197.680.000 US dolar yang tidak termasuk suntikan uang swasta sebesar 59.434.000 US dolar. Sementara untuk infrastuktur transportasi, semisal pembangunan jalan tol Manado-Bitung di Sulawesi Utara, pemerintah akan menggunakan dana hutang sebesar 80.000.000 USD ditambah dengan pembiayaan dari belanja kas negara sebesar 8.000.000 USD. Lalu akan ada hutang sebesar 201.000.000 US dolar yang nanti dibelanjakan dalam program yang disebut sebagai Rural Settlement Infrastructure Development (RSID). Program ini akan juga menyedot kas pemerintah sebesar 10.050.000 US dolar untuk kemudian memperbaiki jalan, membuka jalan baru, drainase dan sanitasi di daerah-daerah pedesaan. Targetnya tentu saja adalah daerah-daerah yang nanti akan termasuk dalam mata rantai distribusi pasar.
Daftar di atas bisa diurutkan lebih panjang lagi. Dokumen setebal 246 halaman ini, memang secara rinci mengurutkan berapa banyak biaya yang akan dibebankan dari hutang, kementerian mana saja yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proyek dan tentu saja menyebutkan lokasi proyek.
Inilah alasan di balik terbentuknya lembaga-lembaga keuangan dan kerjasama regional baru yang tidak lain merupakan cara untuk mendukung mekanisme pembiayaan tersebut. Bentuk kekuatan-kekuatan ekonomi ini yang kemudian mengorganisir dirinya hari ini, misalnya dipelopori oleh Cina dan AS. Kita dapat melihat bagaimana Cina dan satelit kekuatan ekonominya berkumpul membentuk Asian Infrastructure and Investment Bank (AIIB)[24], sementara US mengumpulkan aliansinya ke dalam satu payung bernama Trans Pacific Partnership (TPP). AIIB akan terdiri dari 57 negara, sedangkan TPP untuk saat ini telah disepakati oleh 11 negara. Seperti yang juga diketahui bersama bahwa Indonesia termasuk salah satu dari negara-negara pendiri AIIB dan juga sedang mengajukan diri untuk terlibat di dalam TPP.
Dua badan tersebut memiliki skenario yang sama. Yaitu bertugas untuk memastikan mengalirnya uang pinjaman untuk pembangunan infrastruktur di negara-negara koloni, dan juga menjadi “uang muka” untuk paket-paket deregulasi domestik terkait kepemilikan lahan dan urusan sewa menyewa dalam mata rantai global.
Paket deregulasi tidak hanya ditujukan ke negara-negara target perdagangan tanah, tapi juga deregulasi domestik di negara-negara maju dari mana investasi tersebut berasal sebagai cara melapangkan jalan investasi. Semisal aturan yang melarang penggunaan dana jaminan sosial oleh negara untuk digunakan dalam investasi dan regulasi yang melarang kepemilikan properti (tanah) di luar teritori sebuah negara.
Sementara di negara-negara tujuan pasar, deregulasi tidak hanya dipahami sekadar urusan administratif yang menyangkut persoalan pembebasan tanah. Lebih jauh dari itu, negara-negara miskin dan berkembang diharuskan untuk segera mendorong kebijakan upah buruh murah lengkap dengan sistem perburuhan yang tidak adil. Tersedianya buruh murah adalah pelicin penting dalam mengundang investasi luar negeri. Selain itu di sektor agraria, negara-negara tujuan investasi diharuskan melakukan legalisasi tanah dalam bentuk sertifikasi hak individu. Sertifikasi tanah sebagai milik perseorangan tidak lain dimaksudkan sebagai tahapan menuju konsolidasi alat-alat produksi agar semakin mudah diambil alih.[25] Itu mengapa, investor di bidang pangan dan energi mendorong penuh semangat pendataan-pendataan wilayah komunal untuk kemudian segera diberikan pengakuan hak milik individu. Kepemilikan tanah secara kolektif dengan basis argumentasi mengenai tapal batas dan kepemilikan yang dilandaskan pada sejarah atau sistem tenurial tradisional, dianggap menghambat perluasan investasi di sektor pangan dan energi.
Untuk mendukung hal tersebut, melalui campur tangan badan-badan pertanahan, negara menggalakkan kampanye agar setiap tanah yang selama ini belum terdata segera dipetakan, didata sebelum kemudian didistribusikan dalam pecahan-pecahan yang lebih kecil.[26]
Selain industri pangan dan energi yang merupakan ‘perampasan tanah dari luar’ (external land grabbing), negara-negara miskin dan negara berkembang juga akan mendorong dirinya untuk melakukan ‘perampasan tanah ke dalam’ (internal land grabbing). Jika ‘perampasan dari luar’ berarti tanah akan digunakan sebagai alat tawar hutang dan oleh karenanya harus diagunkan ke investor asing, dalam mekanisme ‘perampasan tanah ke dalam’ negara adalah aktor yang akan melakukan perampasan tanah terhadap warganya. Tanah-tanah yang akan dirampas ini kemudian akan dialihfungsikan untuk pembangunan infrastruktur (mis. sarana transportasi) dan pengembangan jenis-jenis bisnis satelit seperti properti dan waralaba.
Jika ‘perampasan tanah dari luar’ akan marak terjadi di daerah-daerah pedesaan, maka ‘perampasan tanah ke dalam’ justru akan mengambil lokasi di daerah perkotaa dan atau sub-urban. Kita menyebutnya, penggusuran.
Sebagai contoh, pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung. Proyek yang disponsori Cina ini tidak hanya menyingkirkan rakyat yang tanahnya diambil untuk pembangunan rel kereta api dan stasiun antara. Namun, mereka yang berada di sepanjang lintasan kereta tersebut (terutama yang berlokasi di sekitar stasiun) secara otomatis menjadi kelompok paling rentan dan sasaran tembak paling mudah dari pembebasan lahan untuk bisnis properti dan waralaba. Dalam beberapa tahun ke depan, kita akan menyaksikan tumbuhnya apartemen-apartemen yang disediakan bagi kelompok berpendapatan menengah ke atas, dan toko-toko sejenis Alfa Mart, Indo Maret dan 7-11 akan bertebaran.
Kasus lain, seperti proyek reklamasi Teluk Jakarta yang diperkirakan akan menelan biaya 400 trilyun rupiah. Selain menyingkirkan kelompok nelayan dan mengganggu tatanan ekosistem pantai dan laut, reklamasi ini ditujukan sebagai sarana pendukung investasi dengan menyediakan pusat industri jasa dan lahan baru untuk berkembangnya bisnis properti. Kita bisa menengok sejarah beberapa kasus reklamasi di Jakarta. Reklamasi pantai Pluit sepanjang 400 meter di awal dekade 80-an kemudian menjadi pemukiman mewah bernama Pantai Mutiara. Tahun 1981, sisi utara Ancol direklamasi untuk menjadi pusat rekreasi bernama Taman Ancol. Tahun 1991, kawasan hutan bakau Kapuk direklamasi dan akhirnya menjadi perumahan mewah Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, dilakukan kembali reklamasi untuk dijadikan zona industri yang disebut Kawasan Berikat Marunda.[27]
Daftar tersebut harusnya dapat menjawab pertanyaan mengapa reklamasi getol dilakukan. Setelah teluk Manado, lalu bergeser ke selatan dengan menimbun pantai Losari di Makassar dan kini teluk Benoa.
Persoalan yang kemudian menggelitik adalah masih banyak di antara kita yang tampak tidak mampu untuk melihat ikatan antar persoalan-persoalan ini sebagai sebuah kesatuan. Paket upah buruh murah yang diluncurkan Jokowi dipandang terpisah dengan deregulasi mekanisme pemberian ijin alih fungsi hutan dan tata cara pembebasan lahan. Terbitnya rencana ekonomi untuk membangun 24 pelabuhan yang akan mendukung tol laut, 15 bandara baru untuk menggantikan bandara lama yang dianggap tidak layak,[28] rencana pembangunan 9 bandara kargo baru, terbitnya rencana untuk membangun jalur kereta api di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi serta berbagai penggusuran yang marak terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lain dalam beberapa tahun terakhir, mestinya harus dilihat sebagai hal-hal yang terkait dan terikat dengan rencana investasi perkebunan skala raksana untuk sumber energi dan pangan.
Kesadaran akan pentingnya melihat sebuah persoalan secara totalitas inilah, yang mendesak dilakukan oleh seluruh gerakan progresif saat ini. Jika kita terus terjebak dalam advokasi dan perjuangan berdasarkan pada isu-isu tertentu yang terisolasi satu sama lain, sebagaimana yang kita lakukan sepanjang15 tahun lebih pasca tumbangnya Soeharto, maka selama itu pula advokasi dan perjuangan kita akan selalu berujung pada kebuntuan, untuk tidak mengatakan kegagalan.***

Penulis adalah Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat

——————
[1] Laporan akhir tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2015. Laporan dapat diunduh di tautan berikut: http://www.kpa.or.id/news/publikasi/
[2] The Economist, Buying Farmlands Abroad, The Economist (21 Mei 2009), diakses 5 Februari 2016. http://www.economist.com/node/13692889
[3] J. W. Seaquist, Emma Li Johansson, Kimberley Nicholas, Architecture of the global land acquisition system: applying the tools of network science to identify key vulnerabilities. (Lund University, November 2014)
[4] Andre Barahamin, “Hikayat Beras Pemangsa Sagu: Etnosida Terhadap Malind-Anim Melalui Mega Proyek MIFEE”, Harian IndoPROGRESS, (21 Oktober 2015) diakses 5 Februari 2016.http://indoprogress.com/2015/10/hikayat-beras-pemangsa-sagu-etnosida-terhadap-malind-anim-melalui-mega-proyek-mifee/
[5] British Geological Survey, African Mineral Production, (BGS, Juni 2009)
[6] Sara Nordbrand dan Petter Bolme, Powering the Mobile World: Cobalt Production for Batteries in DR Kongo and Zambia, (Swed Watch, November 2007)
[8] Edmund Sanders dan Tracy Wilkinson, “A Perfect Storm of Hunger”, Los Angeles Times, 1 April 2008, diakses 5 Februari 2016.https://www.globalpolicy.org/component/content/article/217/46255.html
[9] Di tahun 2008, Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengumumkan penyewaan sawah orang-orang Khmer kepada Qatar dan Kuwait. Tujuannya agar supaya kedua negara tersebut dapat memproduksi beras mereka sendiri. Hun Sen memang tidak menyebutkan berapa luas sawah yang akan dipinjamkan. Namun yang jelas, industri agribisnis tergolong rakus dalam penguasaan tanah. Pada saat yang bersamaan, Food and Agricultural Organization (FAO), mengucurkan bantuan sebesar 35 milyar dolar untuk membantu bencana kelaparan yang menimpa desa-desa di bagian selatan dan barat negeri itu.
[10] Ujjaini Halim (ed), Neoliberal Subversion of Agrarian Reform 2nd Edition, (I3D Foundation, 2014)
[11] Li Ping, “Hopes and Strains in China’s Oversea Farming Plan”, The Economic Observer, 3 Juli 2008, diakses 5 Februari 2016. http://www.eeo.com.cn/ens/Industry/2008/07/03/105213.html
[12] Di tahun 2008, negara-negara Teluk mesti menanggung gelembung inflasi atas impor bahan makanan yang membengkak dari 8 milyar USD hingga menyentuh 20 milyar USD (kenaikan 150%). Ketika Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pertama kali diluncurkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2006, Bin Laden Group yang berasal dari kawasan ini telah menyanggupi untuk pembiayaan investasi. Mereka kemudian menarik diri akibat krisis finansial yang terjadi tahun 2008 karena melemahnya mata uang lokal di hadapan dolar Amerika.
[13] Di Uni Emirat Arab misalnya, 80% populasinya merupakan pekerja migran yang datang dari Asia yang merupakan pemakan beras dan bukan gandum (makanan utama di negeri tersebut).
[14] Pertemuan ini dilangsungkan 19-20 Januari di Kuwait. Pertemuan ini disebut “The Arab Economy Summit” lebih lanjut lihathttp://www.da.gov.kw/eng/articles/arab_economic_summit_2009.php?from=archive
[15] Indonesia dan Malaysia akhirnya bersepakat untuk menjalin kerjasama di sektor sawit dengan membentuk Council of Palm Oil Production Countries. Lihat:http://bisnis.liputan6.com/read/2353156/akhirnya-indonesia-dan-malaysia-akur-dalam-bisnis-minyak-sawit
[16] Robert J. Samuelson, “Blindness on Biofuels”, The Washington Post, 24 Januari 2007, diakses 6 Februari 2016. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/01/23/AR2007012301562.html
[17] Biasa dikenal dengan nama COP (Conference of the Parties). COP terakhir, untuk ke 21 kalinya diselenggarakan di akhir tahun 2015 kemarin di Paris.
[18] Sime Darby Plantation, Palm Oil Facts and Figures in Malaysia, (SDP, April 2014)
[19] Tuk Indonesia, Kuasa Taipan: Kelapa Sawit di Indonesia, (TuK Indonesia, 2015)
[20] Amartya Sen, Poverty and Famine: An Essay Entitlement and Deprivation, (Oxford, 1981)
[21] Ibid (hal. 45)
[22] Kasus kematian 5 orang anak di dusun Zanegi, Merauke, Papua, dapat menjadi contoh. Lihat: http://www.forestpeoples.org/node/4638
[23] Ministry of National Development Planning/National Planning Development Agency, “List of Medium-Term Planned External Loans 2015-2019”, (Bappenas, 2015)
[24] Lebih lanjut sila baca: http://www.aiib.org/
[25] Kasus konsolidasi tanah ini misalnya terjadi di Cina dan India dalam lima tahun terakhir. Negara mengambil inisiatif untuk melakukan sertifikasi atas lahan-lahan kolektif untuk kemudian didistribusikan menjadi kepemilikan individual. Tanah-tanah yang telah terdivisi atas nama perseorangan ini kemudian dapat dengan mudah diambil alih karena melemahnya ikatan tenurial yang dahulu eksis ketika pengelolaan dan pengakuan atas tanah didasarkan pada komunalisme.
[26] Lembaga-lembaga pemetaan yang mayoritas adalah gerakan masyarakat sipil (non-government organizations) banyak yang abai soal ini. Imajinasi mengenai pengakuan negara dan dorongan agar tanah dapat segera didata dalam bentuk apapun, luput melihat bahwa strategi perampasan tanah justru akan jauh lebih mudah dilakukan ketika urusan jual-beli dibebankan kepada tiap-tiap orang.
[27] M. Putri Rosalina, “Dilema Reklamasi Pantai Jakarta”, Kompas, 11 November 2015, diakses 6 Februari 2016. http://print.kompas.com/baca/2015/11/11/Dilema-Reklamasi-Pantai-Jakarta
[28] Bandara-bandara lama ini kemudian diserahkan pengelolaannya kepada TNI Angkatan Udara.

http://indoprogress.com/2016/02/perang-tanah-wajah-baru-neoliberalisme-di-sektor-pangan-dan-energi/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29