Bagus Wijanarko , CNN Indonesia | Rabu, 11/11/2015 10:31 WIB
Sidang IPT 1965 di Den Haag, Belanda. (Dok. Akun Flickr International People's Tribunal Media)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sastrawan Martin Aleida mengaku bahagia setelah menjalani hari pertama Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda kemarin. Lelaki bernama asli Nurlan Daulay itu mengatakan persidangan berlangsung mendebarkan namun lancar.
Martin hadir sebagai saksi di IPT 1965. Sidang hari pertama, menurut dia, dihadiri 200 pengunjung. “Lancar, mengalir, mendebarkan. Saya berbahagia sekali dengan jalannya persidangan IPT,” tulis dia di akun Facebook-nya, Rabu (11/11).
Martin mengaku terkesima setelah melihat Ketua Majelis Hakim IPT 1965, Zak Yacoob, yang memiliki cacat fisik, yakni buta. Zak Yacoob adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang buta sejak bayi. Dengan keterbatasan fisiknya itu, Yacoob berhasil meraih gelar sarjana hukum di University of Kwa-Zulu Natal.
Pada 1991-1998, Yacoob tercatat sebagai anggota kongres bawah tanah African National dan tergabung dalam komunitas yang terlibat dalam kampanye antiapartheid. Selama menjadi hakim konstitusi (1998-2013), nama Yacoob mulai dikenal dunia internasional dalam kontribusinya terkait yurisprudensi hak sosial-ekonomi Afrika Selatan.
Gerak-gerik Yacoob selama persidangan tak pelak menarik hati Martin. “Aku percaya hati dia (Yacoob) adalah emas. Dan dia paling jelas melihat kejahatan di negeriku dibandingkan semua yang hadir. Salam bahagia, Kawan,” kata Martin, terharu.
Pengacara Todung Mulya Lubis turut hadir dalam persidangan tersebut sebagai Ketua Tim Jaksa.
Martin menceritakan, saat hakim meninggalkan ruang sidang untuk beristirahat, para hadirin duduk kembali setelah memberi hormat. Ketika itu Martin menjabat tangan Todung. Hal ini dia lakukan setelah mendengar pidato sambutan advokat tersebut.
“Pernyataan Todung sungguh kuat, mengharukan bagi saya sebagai seorang korban,” kata Martin.
Sidang Rakyat 1965, menurut Martin, bukan sebuah pengadilan dalam artian hukum sesungguhnya. Majelis hakim yang hadir pun bukanlah hakim yang memiliki kewenangan formal.
“Kami sedang menjalankan fungsi untuk berupaya bersama mencari kebenaran dan keadilan,” kata Martin.
Ia berharap agar para hakim berani dan bijak untuk membawa para korban ke ‘pelabuhan’ tujuan. “Dan berlayar pulang membawa kebenaran dan keadilan di dalam genggaman kita,” ujarnya.
Sejarawan Asvi Warman Adam juga hadir dalam persidangan IPT 1965. Ahli sejarah itu dengan meyakinkan mengatakan kepada majelis hakim bahwa negara bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Pulau Buru.
(bag)
Martin hadir sebagai saksi di IPT 1965. Sidang hari pertama, menurut dia, dihadiri 200 pengunjung. “Lancar, mengalir, mendebarkan. Saya berbahagia sekali dengan jalannya persidangan IPT,” tulis dia di akun Facebook-nya, Rabu (11/11).
Martin mengaku terkesima setelah melihat Ketua Majelis Hakim IPT 1965, Zak Yacoob, yang memiliki cacat fisik, yakni buta. Zak Yacoob adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang buta sejak bayi. Dengan keterbatasan fisiknya itu, Yacoob berhasil meraih gelar sarjana hukum di University of Kwa-Zulu Natal.
Pada 1991-1998, Yacoob tercatat sebagai anggota kongres bawah tanah African National dan tergabung dalam komunitas yang terlibat dalam kampanye antiapartheid. Selama menjadi hakim konstitusi (1998-2013), nama Yacoob mulai dikenal dunia internasional dalam kontribusinya terkait yurisprudensi hak sosial-ekonomi Afrika Selatan.
Gerak-gerik Yacoob selama persidangan tak pelak menarik hati Martin. “Aku percaya hati dia (Yacoob) adalah emas. Dan dia paling jelas melihat kejahatan di negeriku dibandingkan semua yang hadir. Salam bahagia, Kawan,” kata Martin, terharu.
Pengacara Todung Mulya Lubis turut hadir dalam persidangan tersebut sebagai Ketua Tim Jaksa.
Martin menceritakan, saat hakim meninggalkan ruang sidang untuk beristirahat, para hadirin duduk kembali setelah memberi hormat. Ketika itu Martin menjabat tangan Todung. Hal ini dia lakukan setelah mendengar pidato sambutan advokat tersebut.
“Pernyataan Todung sungguh kuat, mengharukan bagi saya sebagai seorang korban,” kata Martin.
Sidang Rakyat 1965, menurut Martin, bukan sebuah pengadilan dalam artian hukum sesungguhnya. Majelis hakim yang hadir pun bukanlah hakim yang memiliki kewenangan formal.
“Kami sedang menjalankan fungsi untuk berupaya bersama mencari kebenaran dan keadilan,” kata Martin.
Ia berharap agar para hakim berani dan bijak untuk membawa para korban ke ‘pelabuhan’ tujuan. “Dan berlayar pulang membawa kebenaran dan keadilan di dalam genggaman kita,” ujarnya.
Sejarawan Asvi Warman Adam juga hadir dalam persidangan IPT 1965. Ahli sejarah itu dengan meyakinkan mengatakan kepada majelis hakim bahwa negara bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Pulau Buru.
(bag)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151111103131-12-90895/ketua-hakim-buta-saksi-sidang-rakyat-1965-terkesima/
0 komentar:
Posting Komentar