Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 29 November 2014

Joshua Oppenheimer: Selama TAP MPRS Masih Ada, Selama itu Pula Negara Mempertahankan Cerita Resminya Mengenai G30S

 by  in Bincang

Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam catatan sejarah bangsa ini masih menjadi momok yang menakutkan. Doktrin dan stigma yang disematkan oleh rezim Orde Baru pada partai sempalan dari Sarekat Islam ini sampai sekarang masih mengakar kuat di pikiran masyarakat. Segala macam buku sejarah maupun buku pelajaran masih saja menceritakan kisah-kisah kekejaman partai ini.
Ketika Orde Baru tumbang, tak serta merta catatan hitam PKI versi pemerintah ikut tumbang. Semua itu tetap tersimpan di ingatan banyak orang. Yang menarik, isu PKI ini sempat dijadikan isu sensitif oleh salah satu pasangan capres dan cawapres dalam menjatuhkan lawan politiknya. PKI yang juga memiliki jasa bagi kemerdekaan bangsa ini menjadi sasaran empuk oleh mereka yang hanya mengenal sejarah PKI versi pemerintah Orba.
Isu mengenai PKI ini jugalah yang membuat seorang sineas muda asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, mengangkat kembali sejarah pasca tumbangnya partai ini. Banyak kisah yang tak tersampaikan kepada masyarakat bahwa ada ratusan ribu, bahkan jutaan, nyawa tak berdosa menjadi tumbal awal mulanya berdirinya rezim Suharto.
Rakyat biasa yang pekerjaan sehari-hari sebagai petani menjadi korban pembunuhan massal. Seperti peristiwa holocaust Nazi di Jerman, begitu jugalah yang terjadi di Indonesia.
Perbedaan antara Nazi dan Orba adalah cara membunuh yang digunakan. Bila Nazi menggunakan berbagai macam alat seperti kamar gas, senjata, maupun alat eksperimen, Suharto menggunakan rakyat sipil untuk menjalankan aksinya.
Dengan mengerahkan berbagai macam kalangan baik intelektual, rohaniawan, maupun rakyat jelata, Suharto mampu memobilisasi mereka semua untuk membasmi dan membantai orang-orang, baik anggota PKI maupun simpatisan PKI. Dengan dalil bahwa darah orang-orang ini halal, sesuai perintah agama, serta sebuah tindakan yang nasionalis. Masyarakat yang tersulut ini begitu bangga melakukan kekejian tanpa merasa bersalah, bahkan di antara mereka ada yang riang gembira melakukan pembunuhan secara massal tersebut.
Melalui dua film yang dibuatnya, Jagal dan Senyap, Joshua ingin menyampaikan sebuah kekejian yang hilang dari buku sejarah bangsa ini, bahwa ada begitu banyak nyawa yang menjadi korban dari sebuah pergulatan politik. Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai dua film yang dibuatnya serta motivasi apa yang menggerakkan dirinya mengisahkan peristiwa tragedi 65 ini, berikut petikan wawancara Citizen Daily dengan Joshua Oppenheimer:
Apa motivasi awal Anda ingin membuat film tentang Indonesia, khususnya daerah Sumatera Utara?
Pada mulanya saya datang ke Indonesia atas undangan serikat buruh pangan internasional untuk membuat film mengenai serikat buruh perkebunan di Sumatera. Saya datang pada 2001, tiga tahun sesudah reformasi.
Saya mengira akan memfilmkan situasi Indonesia yang sedang berubah dan serikat buruh independen yang bersemangat mengubah keadaan. Kenyataannya tidak demikian.
Sesudah reformasi itu buruh masih hidup dalam penderitaan dan ketakutan, organisasi mereka menemui banyak sekali kesulitan. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan bahwa kekerasan dan pembunuhan massal akan terjadi lagi kalau mereka menuntut perbaikan hidup seperti yang pernah dilakukan oleh paman, ayah, ibu, dan kakek-nenek mereka yang dulu tergabung dalam serikat buruh dan tani. 
Saya berusaha memfilmkan akar persoalan ini dengan mewawancari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965, tetapi selalu diganggu oleh aparat kemanan, militer, intel, atau orang-orang (preman-Red) yang disewa perusahaan. Keluarga korban dan penyintas pun merasa waswas karena kini mereka juga jadi diawasi oleh aparat keamanan. Mereka diintimidasi agar tidak bicara kepada saya. 
Para penyintas mendesak saya, “Sebelum kamu menyerah dan pulang, cobalah filmkan para pelaku. Mereka mungkin akan menceritakan bagaimana mereka membunuh saudara-saudara kami.”
Kalimat ini yang menjadi motivasi bagi saya. Ada sebuah cerita penting dari masa lalu yang disembunyikan yang menjadi sumber dari berbagai masalah kemanusiaan hari ini; mengenai kematian kebudayaan, gagalnya demokrasi, korupsi, dan kekerasan yang terus-menerus menggejala ketika normalitas kehidupan bermasyarakat dibangun di atas kebohongan dan teror.
Secara pribadi, sebagai keturunan penyintas Holocaust, ketika saya mewawancarai para pembunuh massal yang dengan bangga membualkan kejahatannya, saya merasa sedang berada di Jerman, hari ini, dengan Nazi yang masih berkuasa dan menang.
Jika kejahatan terhadap kemanusiaan bisa diceritakan sebagai sebuah perjuangan heroik, jika para pembunuh massal menang dan menulis sejarah —seperti kata-kata klise, “Sejarah ditulis oleh para pemenang”—kita harus melihat ulang dunia kita. Kita harus menilai ulang apa arti menjadi manusia.
Dan ini bukanlah masalah Indonesia semata, ini adalah juga masalah Amerika Serikat, Inggris, dan negara lain. Ini adalah masalah umat manusia.
Kalau dilihat dari sudut pandang dan cerita yang Anda angkat, ini sangat berbeda dengan mayoritas sineas muda di Indonesia yang selalu mengangkat tema tentang Indonesia dari segi sejarah yang tak terlalu tabu untuk difilmkan. Anda membuat film yang berbeda. Apa alasannya?
Indonesia adalah bangsa yang punya sejarah yang panjang dan kaya. Ada banyak bagian dalam sejarah Indonesia yang cukup menarik untuk dijadikan film. Hanya saja persoalannya, bagi saya, sejarah pembantaian 1965 yang dianggap tabu itu justru adalah yang punya dampak penting dan kuat sampai hari ini.
Pembantaian 1965, justru karena disembunyikan dan ditabukan, menjadi sangat relevan dalam mengkritisi Indonesia hari ini. Dan ini sangat penting kalau kita mau merancang sesuatu untuk masa depan.
Ada kejadian luar biasa besar dan penting dengan dampak sangat besar pada Indonesia hari ini, tetapi justru disembunyikan dan digelapkan; dan ini menggandakan kekuatan alasannya. Pertama karena hal tersebut penting, kedua bagaimana mungkin hal tersebut justru digelapkan.
Bagaimana proses dan cara bekerjanya penggelapan itu, bagaimana cara bertutur (story telling) yang mengiringi proses penggelapan ini. Dan semakin Anda menelisik proses itu, semakin kita bisa melihat berbagai kepentingan di belakangnya.
Kesimpulan dari film Jagal mungkin tidak mengenakkan; bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku itu daripada yang ingin kita bayangkan. Ini adalah pil pahit yang harus ditelan kalau kita mau bergerak ke arah perubahan.
Film Senyap memberikan harapan kesembuhan itu walaupun redup. Kita bisa berubah kalau kita mau melihat diri dengan lebih jujur.
Bicara tentang tragedi 1965, apa pandangan Anda mengenai peristiwa ini?
Indonesia selalu berada di dalam percaturan perebutan kekuasaan dunia karena dunia punya kepentingan yang besar pada wilayah yang kaya dan padat penduduk ini. Pembantaian massal 1965 adalah salah satu titik puncak dari pergulatan kepentingan politik dunia; antara negara-negara Barat yang ingin menguasai kembali sumber daya Indonesia setelah meninggalkan zaman kolonial dengan bangsa Indonesia yang sedang mencari jalannya sendiri.
Pembantaian massal 1965 meninggalkan bekas yang mendalam pada Indonesia hari ini. Di atas pembantaian dan kuburan massal inilah rezim impunitas, yang tidak pernah meminta pertanggungjawaban para pelakunya, dibangun.
Ketika impunitas menggejala, ketidakadilan merajalela. Warga negara tidak pernah benar-benar setara di depan hukum. Mereka yang membunuh ratusan manusia tak bersalah, mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu sampai satu juta orang, mereka yang merampas hak dan masa depan jutaan keluarga, tidak pernah dihukum.
Tanpa kesetaraan di depan hukum, demokrasi kehilangan tonggaknya.
Apa yang ingin Anda sampaikan dari film Jagal dan Senyap?
Pada Jagal dan Senyap kita bisa melihat bagaimana kekerasan ekstrem merusak sendi-sendi kemanusiaan dan memporakporandakan kehidupan. Setiap peristiwa kekerasan massal menciptakan trauma bagi pelaku dan terutama bagi para korbannya.
Setelah semua kehancuran itu, di atas puing-puing itu, yang tersisa adalah pertanyaan bagi semuanya, bagaimana kita memaknai ini semua?
Para pelaku, kita lihat di kedua film tersebut berusaha memaknai kekerasan itu dengan propagandanya, sebuah alasan untuk meyakinkan diri bahwa apa yang diperbuatnya itu perlu dan benar. Di seberangnya para korban melihat kekerasan itu sebagai sebuah kejahatan dan mereka tidak punya kesalahan apa pun sehingga tidak pantas diperlakukan sedemikian keji.
Di sini kedua pernyataan menjadi kontradiktif, dan acuan mengenai salah dan benar menjadi hilang. Lebih dari sekadar siapa salah dan siapa benar, siapa perlu dihukum dan siapa perlu direhabilitasi, saya melihat yang pertama kali adalah yang menjadi korban adalah kebenaran. Itu sebabnya rekonsiliasi, pertama kali, adalah pengungkapan kebenaran, ketika semua cerita disampaikan tanpa rasa takut, ketika dengan pikiran jernih kita bisa kembali melihat acuan mana yang benar dan mana yang salah dengan terang benderang.
Kedua film saya bukanlah semata-mata film tentang Indonesia karena kekerasan massal bukan hanya terjadi di Indonesia dan bukan hanya terjadi pada tahun 1965, melainkan juga di Serbia, Rwanda, Jerman, Suriah, di abad yang lalu dan juga masih terjadi di abad ini. Ada sebuah pertanyaan yang bukan hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga pada umat manusia.
Kadang kita bisa mencegah kekerasan terjadi meluas, tetapi ketika kekerasan massal itu sudah terjadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membenahinya dan menjamin bahwa kekerasan massal itu tidak akan terjadi lagi? Satu hal yang kita tahu, kita tidak bisa menjamin kekerasan massal tidak berulang, kalau kita belum membenahi dan menyelesaikan persoalan kekerasan massal di masa lalu.
Kelihatannya, dari situasi dunia saat ini, dengan perang dan konflik bersenjata masih terjadi hari ini di berbagai tempat, kita masih perlu waktu panjang untuk mendapatkan jawaban yang baik. Yang perlu kita ingat, jawaban yang baik hanya datang ketika kita bertanya, dan seperti Adi Rukun, saat yang tepat untuk bertanya adalah sekarang.
Apakah menurut Anda, upaya rekonsiliasi itu bisa dilaksanakan, mengingat masih ada Tap MPRS 1966 yang membuat mereka yang dituduh komunis masih dianggap aib bagi bangsa ini?
Rekonsiliasi adalah sebuah jalan yang berat. Rekonsiliasi tidak pernah berjalan mulus. Ada ketidakenakan, kegelisahan, dan ketakutan yang harus dihadapi. Rekonsiliasi adalah jalan yang berat, tetapi bukan jalan yang tak mungkin. 
TAP MPRS tahun 1966 yang melarang disebarluaskannya ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme itu adalah juga salah satu penghalang terjadinya rekonsiliasi. Dalam arti, selama TAP MPRS itu masih ada, selama itu pula negara mempertahankan cerita resminya mengenai G30S, mengenai pembunuhan massal yang dianggap sepatutnya, dan mengenai asumsi dasar yang mendasari propaganda Orba merendahkan nilai-nilai kemanusiaan bahwa pembantaian massal semuanya dilakukan pada komunis. Bahwa komunis adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya penculikan dan pembunuhan perwira tinggi dalam G30S, bahwa komunis pasti orang yang bermoral, dan oleh karenanya pembantaian massal 1965, bukan hanya wajar, tetapi juga diperlukan.
TAP MPRS tahun 1966 adalah tonggak kekacaubalauan cerita resmi versi pemerintah. Kalau pemerintah mau berubah, bukan hanya sikap dan hukum saja yang perlu diubah, tetapi juga cara bagaimana Indonesia menceritakan sejarahnya sendiri. Tanpa perubahan pemahaman mengenai sejarah, tanpa upaya memaknai peristiwa dalam sejarah, juga bagaimana menafsir sejarah itu ke dalam hukum dan kebijakan, rekonsiliasi hanya akan menjadi ajang maaf-maafan, yang bahkan tidak menyebutkan maaf untuk kesalahan dan kejahatan yang mana.
Memelihara cerita resmi dan tafsir tunggal atas sejarah—lebih buruk lagi, cerita dan tafsir yang dibuat oleh rezim pembantai massal—adalah menolak rekonsiliasi. Ketika antikomunisme masih dijadikan propaganda, yang terjadi bukanlah rekonsiliasi, melainkan rekonfirmasi pada rezim lama.
Bagaimana pandangan tentang Presiden Jokowi? Yang seperti kita ketahui kita masa kampanye pilpres kemarin ada tuduhan kalau dia sebagai antek dari Komunis?
Pada Jokowi ada harapan. Jokowi menulis dalam janji kampanyenya sebuah komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dari masa lalu, termasuk tragedi 1965, dan menghapus segala bentuk impunitas. Ini yang membedakan ia dari pesaingnya, Jenderal Prabowo yang justru sibuk menangkis tuduhan sebagai pelanggar HAM.
Yang kita punya sekarang barulah sebuah janji, dan itu artinya ada pekerjaan besar bagi rakyat Indonesia untuk mendesak dan mendukung Presiden Jokowi untuk memenuhi janjinya itu.
Lucunya, Jokowi pada masa kampanye bukan hanya dituduh keturunan atau antek komunis, ia juga dituduh antek Amerika Serikat. Ini menunjukkan kekacauan pikiran penuduhnya. Kita bisa melihat betapa tuduhan atau fitnah asal-asalan masih menggejala di Indonesia, dan ini bukan perkara ringan. Dari pembantaian dan kekerasaan massal 1965, kekerasan massal 1998, konflik Ambon, dan banyak kasus kekerasan lainnya kita bisa lihat betapa kekerasan yang meluas bisa disulut dari fitnah yang asal-asalan seperti ini.
Kita harus belajar berpikir dengan lebih jernih, melihat manusia terlebih dahulu sebagai manusia dengan berbagai kesamaannya, sebelum menghakiminya dengan predikat ideologi, etnis, agama, dan embel-embel lainnya.
Bagaimana juga pandangan Anda terhadap Jusuf Kalla yang merupakan pasangannya dia saat ini di pemerintahan RI?
Saya sangat kecewa dengan pemilihan Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi. Jusuf Kalla, sekalipun bukan pimpinan Pemuda Pancasila, ia sama sekali tidak keberatan hadir dalam acara Pemuda Pancasila dan memuji organisasi itu sebagai diperlukan, dan bahwa menggunakan kekerasan—berkelahi—itu perlu.
Itu menunjukkan bahwa ia masih menjadi bagian dari rezim lama dengan cara pandang lama. Ia tidak cukup banyak belajar sejarah—yang sebenarnya, bukan sejarah resmi—dan mengetahui bagaimana Pemuda Pancasila, serta organisasi massa lainnya, terlibat dalam pembantaian massal dan pelanggaran HAM berat.
Walaupun begitu, jika saya harus memilih antara Jusuf Kalla yang memuji Pemuda Pancasila dan Jenderal Prabowo; memilih the lesser evil, saya lebih memilih mendukung Jokowi dengan wakil presidennya Jusuf Kalla daripada Presiden Prabowo, siapapun wakilnya. Prabowo memang tidak masuk dalam film Jagal, tetapi segala yang digambarkan dalam film Jagal ada pada Prabowo: kekerasan, pelanggaran HAM, dan impunitas.
Saya hanya berharap bahwa Jokowi menjadi sosok yang lebih kuat dalam menerjemahkan janjinya menyelesaikan kasus HAM masa lalu dan menghapus segala bentuk impunitas. Saya berharap bahwa Jusuf Kalla akan lebih berhati-hati menghadiri acara yang diselenggarakan oleh organisasi massa yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, mengubah pandangannya mengenai sejarah di Indonesia, serta tidak memandang remeh apalagi menganjurkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik.
Menurut Anda, pantaskah toleransi di Indonesia ini menjadi contoh negara-negara lain (ucapan Obama di APEC 2014) jika kita bandingkan dengan dua film yang Anda buat juga dengan kasus-kasus intoleransi yang ada di Indonesia?
Kita harus lihat konteks ucapan Obama adalah posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Indonesia punya penduduk Muslim paling banyak di dunia, lebih dari negara manapun di Timur Tengah, sumber ajaran agama Islam itu sendiri.
Dibandingkan dengan banyak negara Timur Tengah yang mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia adalah contoh bagi toleransi kehidupan beragama. Tidak ada aturan khusus berpakaian, kecuali di beberapa tempat, hukum didasarkan pada konsensus masyarakat, bukan hukum agama mayoritas, Indonesia punya hari libur berbagai agama, dan seterusnya menunjukkan bahwa orang Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim lebih toleran.
Namun, Indonesia tidak boleh berhenti di situ, atau malah mundur dengan berusaha menjadi Timur Tengah yang intoleran. Memang kita melihat sekarang ada upaya ke arah itu, tetapi sebetulnya itu disuarakan oleh sedikit sekali orang Islam di Indonesia. Sayangnya, sedikit orang ini suaranya kencang sekali.
Kalau Indonesia mau menjadi negara yang lebih toleran, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi hal yang pokok melintasi sekat-sekat batas agama, aliran dalam agama, etnis, bahasa, ideologi, pandangan politik, dan pengotakan lainnya.
Apa pendapat Anda tentang PKI di Indonesia?
PKI adalah salah satu partai di Indonesia yang punya sumbangsih pada kemerdekaan dan pembangunan karakter Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Seperti partai atau kelompok politik lain di Indonesia, PKI juga punya metode, pendekatan, strategi, dan cara pandangnya sendiri yang khas mengenai seperti apa Indonesia yang akan dibangun.
Pandangan PKI tidak selalu disetujui oleh semua pihak, apalagi oleh lawan-lawan politiknya. Dan hal ini adalah hal yang biasa dalam politik. PKI mengalami jatuh bangunnya, melewati berbagai masa sulit, dan masa kejayaan. Kita perlu memilah lagi dan melihat PKI dengan lebih objektif jika kita ingin melihat sejarah, yang artinya identitas diri, dengan lebih jernih.
Terlepas dari semua persoalan ideologis, politik, dan kepartaian, yang terpenting dari apa yang saya pelajari mengenai sejarah Indonesia bukanlah ideologi komunismenya itu sendiri ketika kita membahas bagaimana PKI dan komunisme runtuh di Indonesia. Apa yang menghancurkan komunisme di Indonesia adalah ketika kata “komunisme” itu diberi makna yang serampangan sebagai sebuah stigma dan hinaan. Dari keserampangan pemaknaan kata inilah muncul fitnah dan kekacauan pikir di masyarakat luas.
Mungkin sekarang membicarakan komunisme, bahaya laten komunisme, dan hantu komunisme sudah tidak relevan lagi, tetapi masalahnya, kekacauan makna yang melahirkan kekacauan pikiran itu masih ada dan menggejala. Ini juga PR besar yang perlu dibenahi.
Pertanyaan terakhir, apakah Anda tidak takut nyawa Anda akan terancam mengingat dua film yang Anda buat seperti mengemukakan kembali sejarah yang sebenarnya sudah memvonis bahwa pelaku tunggalnya adalah komunis hingga mengakar di benak masyarakat Indonesia kebanyakan?
Tentu saya punya kecemasan tersendiri mengenai keselamatan saya, tetapi yang lebih saya pikirkan adalah keselamatan kru Indonesia yang masih tinggal di Indonesia, dan Adi Rukun beserta keluarganya. Para awak film berkebangsaan Indonesia memilih untuk tetap berada di Indonesia dan menyebarluaskan filmnya serta terlibat lebih jauh dalam upaya perubahan dan rekonsiliasi di Indonesia. Mereka bisa kapan saja meninggalkan Indonesia, tetapi memilih untuk tetap tinggal di negeri kelahiran mereka agar upaya-upaya mereka pasca pembuatan film ini bisa lebih efektif dan berdampak lebih kuat.
Melihat keberanian para awak film Indonesia itu, para anonim, dan Adi Rukun dalam upayanya berpartisipasi membenahi sengkarut bangsanya, membicarakan risiko atas keselamatan saya sungguh tidak relevan dan tak berarti.
http://citizendaily.net/joshua-oppenheimer-selama-tap-mprs-masih-ada-selama-itu-pula-negara-mempertahankan-cerita-resminya-mengenai-g30s/

Rabu, 26 November 2014

26 November 2014; Kau di mana [?]

25 November 2014 pukul 0:14

Sebarkan Seluas-Luasnya---Bertarung di Dunia Maya, Bertarung di Jalanan....SERUAN PUSAT PERLAWANAN RAKYAT INDONESIA (PPRI)
Bersatulah Mahasiswa-Buruh-Rakyat Miskin;

Batalkan Kenaikan Harga BBM! Tolak Politik Upah Murah!
Lawan Represifitas Aparat! Hentikan Liberalisasi Ekonomi!

“Mengapa Harus Membatalkan Kenaikan Harga BBM? “

  1. Sebenarnya selama ini tidak pernah ada subsidi terhadap harga BBM, karena harga BBM sudah sangat jauh di atas biaya produksi-seharusnya dengan keuntungan 10%, harga BBM hanya Rp 1700.
  2. Penggunaan BBM selama ini justru digunakan untuk aktivitas produktif; ada sekitar 76,3 juta sepeda motor di Indonesia, sementara mobil penumpang hanya sekitar 10,4 juta, dan sebagian besar digunakan untuk hilir mudikmencari nafkah, bukan untuk hura-hura.
  3. Kenaikan harga BBM justru mempermudah SPBU yang dikuasai oleh Swasta (terutama Internasional) merajalela—karena harga BBM menjadi sama dengan harga internasional. Sudah ada ijin untuk 80 ribu SPBU Asing yang siap beroperasi di Indonesia pasca kenaikan harga BBM ini.
  4. Persoalan lainnya adalah selama ini pengelolaan tambang minyak sebagian besar dikelola oleh swasta (terutama internasional) sehingga hanya 25 % saja hasil minyak bumi yang menjadi “hak” negara, sehingga kebutuhan dalam negeri selalu kurang dan harus membeli ke swasta dengan harga sangat mahal.
  5. Pemerintah mengatakan dana BBM akan dialihkan ke infrastuktur-jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, bandara dll---kenyataannya selama ini semua pembangunan infrastruktur tidak membuat rakyat semakin sejahtera, melainkan hanya untuk memfasilitasi para pemodal dalam melakukan usahanya.
  6. Tanpa harus menjadi Presiden atau menteri, atau pengamat ekonomi, kenaikan harga BBM jelas memicu kenaikan berbagai macam harga kebutuhan hidup lainnya, dan rakyat kecil yang paling merasakan dampaknya---sekarang kita sudah merasakan hidup makin sulit karena kenaikan harga BBM kemarin.
  7. KIS-KIP atau kartu lainnya, selain hanya untuk sebagian kecil rakyat, juga tidak cukup untuk mengatasi kenaikan hargaharga kebutuhan hidup.
  8. Sementara rakyat dipaksa untuk semakin “berhemat”, di sisi lain, tidak ada pengurangan yang signifikan untuk fasilitasgaji para Pejabat-Pejabat Negara (mereka tetap hidup sangat kaya; mobil mewah, rumah mewah, makanan mewah, ke rumah sakit pun bisa ke luar negeri, menyekolahkan anak-anak ke luar negeri, bahkan jalan-jalan pun ke luar negeri).
  9. Juga tidak ada usaha pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan Indonesia—yang selama ini hanya dinikmati sebagian kecil orang, menjadi lebih merata. 10 orang terkaya di Indonesia, total kekayaannya mencapai 620 Trilyun atau sama dengan total upah untuk 1 juta buruh DKI selama dua puluh tahun (dengan UMP 2015 sebesar 2,7 juta) 
“Mengapa Harus Menolak Upah Murah? “
  1.  Buruh adalah bagian dari kelompok masyarakat yang karena kerjanya, membuat kita semua bisa menggunakan baju,celana, listrik, alat elektronik, tranportasi, obat, rumah dan lain sebagainya—pendek kata, tanpa kerja buruh, dunia mati.
  2. Selama puluhan tahun, buruh Indonesia hanya diperas tenaganya, dan tak pernah mendapatkan kejahteraan yang memadai---sama dengan rakyat miskin non buruh formal. Ini membuat selama puluhan tahun, kerja buruh (yang menghasilkan barang-jasa) justru sebagian besar dinikmati oleh pengusaha dan tentu saja pemerintah.
  3. Sehingga anak-anak buruh dan keluarga buruh tidak bisa berkembang sebagai manusia yang seutuhnya—tinggal dikontrakan kumuh, makan kurang gizi, tak berkembang pengetahuan, dan bentuk bentuk ketertinggalan lainnya.
  4. Alasan bahwa pengusaha akan bangkrut, adalah alasan untuk menakut-nakuti buruh—dan sekaligus mencari dukungan masyarakat---agar buruh tidak menuntut kenaikan upah yang cukup memadai, karena belum ada bukti bahwa mayoritas perusahaan bangkrut karena kenaikan upah, dan misalnya perusahaan bangkrut harusnya pemerintah bisa menalangi dengan memberikan suntikan modal atau jenis-jenis bantuan lainnya, tanpa harus mengorbakan buruh.
  5. Saat ini, tuntutan buruh secara umum adalah kenaikan upah 30 %, walaupun Pemerintah sudah menetapkan kenaikan upah di bawah 30 %. Tuntutan kenaikan upah 30 % barulah sebatas untuk bertahan hidup sebelum BBM dinaikkan, belum untuk menjadi sejahtera. Oleh karenanya peningkatan upah harus segaris lurus dengan pembatalan kenaikan harga BBM.

“Bagaimana Memenangkan Tuntutan?”

  1. Persatuan rakyat adalah kunci. Selama ini gerakan penolakan kenaikan harga BBM masih didominasi oleh mahasiswa. Sedangkan gerakan buruh yang bergolak di beberapa daerah dalam menuntut upah belum banyak mengangkat penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Begitu juga rakyat di kampung-kampung, belum bergerak sama sekali. Padahal kenaikan harga BBM dan Upah Murah, justru akan semakin memiskinkan rakyat di setiap sektor baik buruh,tani, nelayan, kaum miskin kota, maupun pelajar-mahasiswa. Sedangkan gerakan mahasiswa mendapat kesulitan dalam memperluas perlawanan karena sering diadu-domba dengan pihak-pihak yang mengatasnamakan ‘rakyat’. Sehingga yang dibutuhkan untuk memenangkan perjuangan adalah bersatunya Buruh, Pemuda-Mahasiswa, Miskin kota, dan Tani.
  2. Pergerakan inipun tidak bisa lagi bergerak secara lokal, tanpa pergerakan dan perlawanan secara nasional yang lebih massif dan lebih kuat. Perlawanan yang massif secara nasional—apalagi jika sudah menyatu kekuatan mahasiswa, buruh dan rakyat miskin—akan sanggup menghadapi upaya untuk membenturkan aksi mahasiswa dengan rakyat, sekaligus sanggup menghadapi tindakan respresif aparat yang semakin hari semakin keras.
  3. Sebagai awal untuk menyatukan kekuatan secara nasional, kita akan BERGERAK SERENTAK, Pada Hari Rabu, 26 November 2014,  yang akan meliputi 15 Propinsi dan 60 kota.
  4. Perlawanan Serentak Nasional akan menjadi bagian dalam persiapan menuju Pemogokan Umum Rakyat—di mana buruh akan menghentikan produksi di pabrik-pabrik, mahasiswa akan mogok belajar, kaum miskin kota akan mogok berativitas; Intinya sebuah pemogokan besar-besaran! Karena tanpa desakan yang sangat kuat, mustahil kenaikan harga BBM bisa dibatalkan, mustahil kenaikan upah minimal 30 % bisa didapatkan. Intinya, mustahil ada perubahan,jika rakyat tidak bergerak dengan gelora perlawanan yang pantang menyerah.
  5. Untuk Mahasiswa-Kaum Buruh-Kaum Miskin Kota di JABOTABEK, dan untuk siapapun yang sudah bosan dengan kemiskinan, sudah bosan dengan tipuan elit, sudah muak dengan ketidakadilan, marah dengan kenaikan harga BBM, marah dengan pendapatan yang selalu kurang. 
"Datang dan Berkumpul bersama kami dalam “Rapat Akbar Perlawanan Rakyat “ Hari Rabu, 26 November 2014; Jam 13.00 di depan Universitas Indonesia, Salemba. Satukan kekuatan Mahasiswa-Buruh-Rakyat Miskin-- menghadapi REJIM PENINDAS RAKYAT"

“Jangan Ragu, Jangan Takut! Yakinlah Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! “

Namun itu, karena setiap orang yang ‘tak waras’ selalu berkata “kalau kamu jadi presiden juga akan menaikkan harga BBM” seraya mendukung kebijakan sesat pemerintah, maka kami perlu memberikan solusi yang mampu membatalkan kenaikan harga BBM.

Apa Solusinya? Jangka Pendek:
1. Pangkas biaya-biaya perjalanan pejabat negara; pangkas gaji dan tunjangan pejabat negara!
2. Terapkan pajak progresif yang ketat bagi para pengusaha dan orang kaya!
3. Berantas korupsi dan sita harta-harta koruptor bagi pemasukan negara!
4. Tunda pembayaran hutang luar negeri!

Jangka Menengah dan Panjang:
1. Hentikan liberalisasi ekonomi!
2. Nasionalisasi sektor migas serta aset-aset vital lainnya dibawah kontrol rakyat bagi kemandirian nasional dan kesejahteraan rakyat!
3. Hapus hutang luar negeri!

Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI):
SGBN, FPBI, KSN, SBTPI, SBMI, GSPB, Frontjak, FBLP, RTP, GKRI, SPRI, Aliansi Mahasiswa Indonesia (LMND, Semar UI,Formasi IISIP, GUNADARMA, UHAMKA, UIN, UP, UNAS, PARAMADINA, UBK, TRISAKTI, APP, UNISMA, UNTIRTA, KP FMK,PEMBEBASAN, FORMAD, FMN, SMI, KANITA IISIP), SGMK, KPOP, KPRI, Rekan Indonesia, SeBumi, PRP, PPI, PPR, KPO-PRP, Politik Rakyat.

https://www.facebook.com/notes/10152604343431925/

Senin, 24 November 2014

Celakanya membenarkan cara berfikir ini: Subsidi BBM dialihkan ke Sektor yang lebih Penting dan Produktif!

24 November 2014 pukul 13:23

Subsidi BBM dialihkan ke Sektor yang lebih Penting dan Produktif? 
Bukankah itu Statemen yang terang membodohi?
Bagaimana Ceritanya BBM dan Energi lainnya tidak Penting?

Kenyataannya, perubahan harga atas Energi (Utamanya BBM) dipastikan akan mempengaruhi hampir seluruh aspek dalam penghidupan Rakyat.
Setidaknya, Pencabutan subsidi dan Kenaikan harga BBM pasti akan mempengaruhi:
  1. Jumlah dan nilai upah
  2. Biaya jasa transportasi
  3. Biaya Produksi
  4. Harga barang dan kebutuhan Pokok
  5. Biaya Kesehatan: Terkait dengan kenaikan biaya produksinya akibat naiknya harga BBM, karena biaya produksi obat-obatan, alat-alat kedokteran dan kesehatan lainnya di produksi menggunakan energy, ditambah biaya distribusi (relasinya dengan ongkos transportasi)
  6. Biaya Pendidikan: Sama dengan Kesehatan, Seluruh kebutuhan sarana prasarana, perlengkapan, alat dan bahan kegiatan belajar-mengajar (KBM), sampai pada seragam sekolah diproduksi menggunakan energy dan membutuhkan biaya distribusi.
  7. Dll.
*Jadi, melihat dampak pencabutan subsidi dan penaikan harga BBM tidak bisa dilihat hanya dalam transaksi jual beli di SPBU semata.

Problemnya adalah, Bukan sama sekali seperti Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah bahwa: Produksi minyak nasional turun, sedangkan kebutuhan konsumsi naik, Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit), Alokasi anggaran untuk sector lain lebih rendah (menggunakan logika perbandingan), harga minyak dunia naik/turun, dan alasan-alasan lainnya.

Produksi minyak Turun?
Indonesia tidak produksi kok, hanya terlibat dalam proses lifting (Pengangkatan) dari jatah pembeliannya terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan tersebut. Kemudian diolah menjadi minyak jadi dengan menitipkan lagi (Mengolah di Industri milik swasta) untuk menjadi minyak jadi.

Jadi, klaim pemerintah soal Produksi minyak nasional tersebut adalah bukan hasil eksploitasi yang dilakukan oleh Indonesia melalui perusahaan Negara, melainkan jatah pembelian terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan.

Kebutuhan Konsumsi Naik?
Perkara kebutuhan Konsumsi naik, ini adalah perkembangan yang “Niscaya” seiring perkembangan yang ada didalam negeri, baik perkembangan atas pertumbuhan penduduk, kebutuhan produksi dan seterusnya. Namun, alasan Pemerintah ini seolah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki kemampuan hitung atas perkembangan seperti diatas (Sekedar Asumsi sekalipun). Lantas kenapa dalam menghitung pertumbuhan secara manipulative sangat lihai?

Keterangan:
Lihat saja bagaimana pemerintah dalam permainan angka menghitung pertumbuhan ekonomi PDB secara makro (Termasuk menghitung omzet perusahaan swasta yang bukan samasekali milik Indonesia), menghitung penurunan angka kemiskinan dan klasifikasi golongan (miskin, hampir miskin, menengah dan, kaya).
Padahal, pemerintah menghitung pertumbuhan tersebut hanya dengan melihat:
  1.  Pendapatan Per-Kapita sebesar Rp. 210.000-280.000 (Miskin),
  2. Pendapatan Rp. 280-400.000 (Hampir Miskin) dan,
  3. Pendapatan Rp. 400.000-Seterusnya (Menengah dan Kaya).
Bukankah dengan perhitungan seperti ini, Pengemis dan Pengamen akhirnya dapat digolongkan minimal menjadi golongan “hampir miskin”? kemudian buruh beserta pekerja lainnya dengan Upah minimum Rp. 2,7 Juta (Contoh DKI Jakarta) kemudian otomatis menjadi klas menengah dan golongan Kaya?  
*Perhitungan yang sangat tidak manusiawi bukan?

Jadi, naiknya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri yang “diluar prediksi” pemerintah tersebut justeru semakin menunjukkan bahwa Pemerintah memang tidak pernah memiliki data dan analisis komprehensif (Menyeluruh) yang Objektif atas keadaan Umum Indonesia.

Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit)?
Alasan ini semakin lucu, dengan Alasan ini Pemerintah berusaha membodohi rakyat bahwa Pemerintah Hanya sebagai pengelola Anggaran dan bukan pemegang Kewenangan dalam menyusun dan Menetapkannya. Lantas siapakah yang menyusun dan menetapkannya, sehingga Pemerintah “se-Olah” begitu panic ketika menerima Dokumen APBN yang akan dikelolanya tidak sesuai dengan kebutuhan.

Problem sesungguhnya, bukan pada bagaimana pengalokasiannya (pembagian alokasi untuk setiap sector) semata. Tapi disinilah tempatnya untuk meletakkan Politik yang tepat dalam mengatur Anggaran (belanja dan pendapatan) berdasarkan perspektif dan Orientasi yang tepat pula.

Berbicara Subsidi dan anggaran untuk BBM, Pemerintah tidak seharusnya mengarahkan Rakyat pada pikiran  distribusi semata (proses jual-beli minyak oleh Pemerintah kepada Rakyat, kemudian terfokus pada harga), kecuali pemerintah memang tetap ingin menjebak Rakyat dengan segala pembodohan agar tidak memahami dimana problem pokoknya.

Pemerintah harusnya dalam berbicara “Politik Anggaran (Red: Politik Logistik Kata Ir. H. Joko Widodo)” untuk BBM dan Energi lainnya, paling pertama dan utama harus meletakkan perspektifnya lebih pada bagaimana Negara harus berdaulat atas produksi dan distribusinya atas minyak dan energy lainnya, kemudian bagaimana mampu melakukan produksi secara mandiri.

Artinya bahwa, Pemerintah harusnya berusaha keras membangun Industri Nasional (Untuk produksi minyak misalnya), mulai dari Eksplorasi, Eksploitasi, Lifting dan, Proses produksi lainnya sampai pada proses Distribusi.

Benar bahwa dalam aspek ini, kendalanya adalah Modal dan teknologi. Maka inilah bagian yang harus dipikirkan dan diselesaikan lebih utama oleh Pemerintah, bagaiamana untuk mengalokasikan modal produksi, termasuk mendapatkan teknologinya (terutama teknologi mesin). Kenyataannya Indonesia memiliki bahan bakunya kok, yang selama ini dikeruk habis-habisan oleh perusahaan swasta milik kapitalisme monopoli (Imperialisme) dan borjuasi komprador (Perpanjangan tangannya) didalam negeri. Kekayaan Alam Indonesia telah menyediakan segalanya, sebagai Syarat untuk bisa membangun Industri nasional dan melakukan produksi secara mandiri.

Masalahnya adalah, Pemerintah sangat tergantung pada Modal Asing beserta teknologinya, yang didapatkan melalui mekanisme utang, hibah dan Investasi. Ditengah ketidak mampuannya memecahkan problem tersebut, Pemerintah justeru kemudian MENGUNDANG Kapitalisme monopoli Internasional untuk melakukan Investasi dan membuka Industri (Tambang minyak contohnya) di Indonesia, kemudian mengeruk seluruh cadangan minyak yang terkandung dalam perut bumi Nusantara ini. Sementara Negara hanya mendapatkan sebagin kecilnya saja dari hubungan produski tersebut.

Dilain sisi Pemerintah bahkan memberikan jaminan yang sedemikian rupa untuk kelansungan serta keamanan produksi dan distribusi (pasar dan harga) bagi perusahaan Imperialisme dan Borjuasi komprador didalam Negeri. Mulai dari jaminan keringanan pajak(berbagai jenis pajak), keringanan biaya Eksport-Import (Alat kerja dan hasil Produksi)bahkan, sampai pada jaminan refitalisasi yang juga ditanggung oleh Pemerintah menggunakan uang Negara (Refitalisasi: Peremajaan dan pengadaan alat kerja baru_Mesin dan lain sebagainya), jaminan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan lain-lain.

Celakanya, Pemerintah bahkan memberikan perlindungan atas jaminan tersebut secara vulgar melalui Undang-undang. Sementara Imperialisme terus meraup keuntungan berlimpah, baik dari proses produksi, hasil distribusi sampai pada keuntungan jual mesin dan alat kerja lainnya untuk peremajaan dan pengadaan baru yang di Import dari luar Negeri yang sesungguhnya adalah produksi dari Imperialisme itu sendiri.

Kesimpulannya adalah, tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi minyak dalam Negeri, bukanlah karena kian berkurangnya produksi dan cadangan minyak bumi Indonesia semata, juga bukan karena rendahnya alokasi anggaran yang menyebabkan deficit, apalagi dengan alasan yang menuduh Rakyat terlalu Konsumtif dan Boros menggunakan BBM,“Seolah Rakyat beli Minyak untuk Menyiram pekarangan rumah dan atau untuk ngepel laintai saja!”

Problem pokoknya adalah:
Karena Adanya kontrol oleh Imperialisme di indonesia yang melakukan monopoli (Penguasaan secara luas) atas produksi minyak dan Dominasi atas pasar dan harga (Distribusi) Minyak.

Sumber https://www.facebook.com/notes/1558536181045666/

Minggu, 23 November 2014

Bukan Menaikan Harga BBM, Tapi Melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 !

Minggu, 23 November 2014 | 10:04 WIB | Editorial 

Tanggal 17 November lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Nilai kenaikannya cukup signifikan: sebesar Rp 2000,- untuk jenis premiun dan solar.
 
Jokowi menjelaskan, kenaikan harga BBM tidak bisa dihindarkan. Menurutnya, alokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM terlalu besar dan cenderung boros. Ia mencatat, dalam lima tahun terakhir, alokasi subsidi BBM mencapai Rp714 triliun. Sementara, pada periode yang sama, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya Rp574 triliun dan sektor kesehatan sebesar Rp220 triliun.

Jokowi menyakinkan bahwa besarnya alokasi subsidi BBM menyebabkan pemerintah tidak punya ruang fiskal untuk menjalankan programnya, terutama yang terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, Jokowi menyebut agenda pemangkasan subsidi BBM ini sebagai bentuk ‘pengalihan subsidi dari aktivitas konsumtif menjadi aktivitas produktif’. Maksudnya, anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru.

Benarkah demikian? Mengkambing-hitamkan subsidi BBM sebagai pemborosan dan mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai programnya pembangunannya adalah sebuah penyesatan.  Yang dilupakan, subsidi BBM bukan satu-satunya pos belanja di APBN. Ironisnya lagi, ada pos belanja yang sangat boros dan merugikan negara yang justru tidak pernah disentuh: pertama, belanja rutin birokrasi, termasuk gaji pegawai, yang cukup tinggi; dan kedua, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.

Taruhlah soal pembayaran utang. Di APBN 2015 ini porsi pembayaran bunga utang mencapai Rp154 triliun atau hampir 8% dari total belanja APBN kita. Dan untuk diketahui, sepanjang tahun 2005-2011, porsi pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK tidak pernah menyinggung persoalan beban utang luar negeri ini. Padahal, tidak semua dari komponen utang luar negeri itu adalah utang sah. Tidak sedikit dari jumlah utang itu yang masuk kategori utang ilegal (illegal debt), utang najis (oudius debt), dan utang tidak sah (illegitimate debt).

Dengan demikian, kalau saja pemerintahan Jokowi-JK berani melakukan proses audit terhadap utang itu dan menegosiasikan ulang dengan para kreditur, maka pemerintah akan punya sedikit ruang fiskal. Lagi pula, soal utang luar negeri ini bukan hanya soal beban kewajiban membayar pinjaman dan beban bunganya, tetapi terkait dengan proyek neokolonialisme di Indonesia. Untuk diketahui, utang luar negeri telah menjadi alat bagi para kreditur, yang notabene negara-negara kapitalis maju dan perwakilan kepentingan korporasi multinasional, untuk menjerat leher negeri dunia ketiga dan mendikte kebijakan ekonomi-politiknya.

Selama ini pemerintah melihat persoalan subsidi BBM hanya sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi saja. Mereka lupa bahwa subsidi BBM juga berkontribusi dalam menggerakkan aktivitas produksi, seperti industri, pertanian, nelayan, dan usaha kecil (UKM dan industri rumah tangga). Subsidi BBM berkontribusi dalam meringangkan biaya produksi dan distribusi. Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, maka aktivitas produksi tersebut akan mengalami gangguan akibat kenaikan biaya produksi dan distribusi. Alhasil, jika terjadi kenaikan BBM, sektor-sektor produksi tersebut akan tergencet dan berpotensi gulung tikar.

Wacana pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti untuk infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru, perlu diberondong pertanyaan kritis. Pasalnya, wacana ini juga sangat getol disuarakan oleh Bank Dunia. Dan, sebagaimana ditegaskan oleh petinggi Bank Dunia sendiri, investor asing berharap kenaikan harga BBM segera dilakukan pemerintah sehingga dana subsidi bisa dialihkan ke sektor infrastruktur. Tentu saja, pembangunan infrastruktur yang dimaksud bertujuan untuk melayani proses akumulasi kapital. Apalagi, pada saat berpidato di Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) lalu, Jokowi mengundang para investor asing untuk ambil-bagian dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Malahan, untuk menarik minat para investor asing tersebut, Jokowi menjanjikan kemudahan dalam perizinan dan pembebasan lahan. Artinya, penggusuran dan penyingkiran rakyat dari lahan penghidupannya akan dilakukan oleh rezim Jokowi-JK untuk memastikan kapital asing merasa nyaman mengakumulasi keuntungan di Indonesia.

Yang harus diingat oleh Jokowi-JK, kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan rakyat Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, penduduk Indonesia dengan pendapatan harian sebesar US $ 11/hari harus mengalokasikan 33 % pendapatan mereka untuk mendapatkan segalon bensin (1 galon setara dengan 1,9 liter). Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, pendapatan harian mereka tentu akan sangat tergerus. Apalagi kalau pendapatan harian mayoritas rakyat Indonesia dihitung hanya US $ 2/hari, tentu kehidupan mereka makin sulit. Belum lagi efek berantai yang dipicu oleh kenaikan harga BBM, seperti kenaikan biaya transportasi, kenaikan harga barang kebutuhan, kenaikan biaya hidup, kenaikan biaya produksi yang memicu efisiensi (PHK), dan lain-lain. Singkat cerita, kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ekonomi cukup mendalam dan berjangka panjang kepada rakyat Indonesia.

Nah, untuk meredam dampak kenaikan harga BBM, Jokowi-JK menerbitkan tiga ‘kartu sakti’, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan semacam ini, yang di Amerika Latin sana disebut ‘kebijakan sosial neoliberal’, dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang dibatasi pula. Kebijakan ini hanya menarget mereka yang paling miskin atau yang paling rentan. Kalau kita lihat, kebijakan semacam ini tak ubahnya  pekerjaan “palang merah” di medan perang. Memang ia berhasil menolong banyak korban di medan perang, tetapi tidak semua korban, dan tetap saja tidak bisa menghentikan berjatuhannya korban akibat perang.

Yang juga sering disampaikan ke kita, bahwa kita jangan lagi berharap banyak dan bergantung pada BBM. Menurut mereka, cadangan minyak terbukti (proved reserves) kita menipis, yakni hanya sekitar 3,7 miliar barel atau 0,25% dari total cadangan dunia, sedangkan cadangan minyak potensial kita hanya 3,857 miliar barel. Jadi totalnya hanya 7,5 miliar barel saja dan diperkirakan akan habis dalam hitungan belasan tahun kedepan.
Kemudian, produksi minyak mentah (lifting) kita juga terus menurun. Pada tahun 2004, lifting minyak kita masih 1,4 juta barel/hari. Jumlah itu terus menurun. Pada tahun 2012, lifting minyak kita tinggal 890.000 barel/hari. Alhasil, sejak tahun 2004 lalu, Indonesia berubah predikat dari negeri “pengekspor” menjadi “pengimpor” minyak.

Kenapa bisa demikian? Cadangan minyak terbukti kita memang menipis, tetapi bukan berarti cadangan minyak kita sudah habis. Banyak ahli perminyakan, termasuk petinggi Pertamina, yang menegaskan bahwa cadangan minyak kita sebetulnya masih banyak. Seketaris SKK Migas, Gde Pradyana, memperkirakan negeri ini masih memiliki potensi cadangan minyak baru sebesar 43,7 miliar barel.

Hanya saja, untuk membuktikan potensi tersebut menjadi cadangan minyak terbukti dibutuhkan kegiatan eksplorasi yang intensif. Sementara kegiatan eksplorasi ini butuh dana yang sangat besar. Konon, satu sumur saja membutuhkan biaya mencapai US$100 juta atau setara Rp1 triliun. Itupun resiko kegagalannya sangat besar alias menemukan sumur kosong (dry hole).  Nah, di sinilah letak masalahnya: pemerintah sangat lemah dalam mendorong dan menyediakan anggaran untuk eksplorasi. Bayangkan, alokasi APBN untuk kegiatan eksplorasi hanya 0,07 %.

Sejak Orde baru hingga sekarang, pemerintah kita bertindak tak ubahnya hanya sebagai penerima rente. Untuk diketahui, Pertamina harus menyerahkan 93% keuntungannya kepada pemerintah sebagai dividen. Akibatnya, pertamina mengalami kendala finansial untuk eksplorasi. Menurut kami, kedepan separuh dari keuntungan minyak dikembalikan ke kegiatan migas sebagai investasi.  Selain itu, pemerintah perlu menciptakan petroleum fund untuk menopang kegiatan eksplorasi di masa depan.

Persoalan lainnya adalah kegiatan eksplorasi dan produksi minyak Indonesia masih mengandalkan sumur-sumur tua. Perlu pengayaan teknik dan teknologi untuk memaksimalkan sumur-sumur tua ini. Dalam konteks ini, selain dengan melakukan pengembangan teknik sendiri, pemerintah mestinya bisa mendorong konsep alih-teknologi dengan kontraktor asing.

Dan satu persoalan terbesar yang tidak pernah disinggung-singgung pemerintah, termasuk pemerintahan Jokowi-JK, adalah dominannya penguasaan korporasi asing terhadap ladang-ladang migas Indonesia. Data Indonesian Re­sour­ce Studies (IRESS) mengungkapkan bahwa Pertamina  hanya memproduksi minyak sebesar 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh korporasi asing. Sementara data Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan,  pertamina hanya  memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). 

Pengelolaan gas kita juga bernasib sama. Hampir 90% produksi gas Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni Chevron, Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil. Sementara untuk batubara penguasaan asing diperkirakan mencapai 70%. Inilah yang menyebabkan kita tidak pernah berdaulat di bidang energi. Bagi kami, tanpa mengoreksi dominasi kepemilikan dan penguasaan asing ini, kita jangan bermimpi terlalu tinggi untuk bisa mewujudkan swasembada energi.

Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK enggan, atau mungkin sengaja, tidak menyentuh akar persoalan tersebut. Dan, untuk diketahui, salah satu pangkal dari semua masalah karut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia itu bermuasal dari pengesahan UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. UU ini merupakan hasil kongkalikong antara rezim Megawati kala itu dengan kekuatan asing, khususnya IMF dengan Letter of Intent (LoI)-nya. UU inilah yang membentangkan karpet merah kepada modal asing untuk menguasai bisnis migas Indonesia dari hulu hingga ke hilir.

Dan sejak awal kami pun sudah mencium indikasi kuat, bahwa pencabutan subsidi BBM di Indonesia sangat terkait dengan agenda liberalisasi di sektor hilir migas kita. Untuk diketahui, sejak Orde Baru hingga tahun 2000-an, korporasi asing sudah sukses berjaya di sektor hulu. Sekarang ini mereka sangat ngiler untuk menguasai sektor hilir migas kita.

Dan, seturut dengan pengesahan UU migas di tahun 2001 itu, SPBU asing pun mulai menjalar di Jakarta dan sekitarnya. Namun, untuk sementara, SPBU asing itu tidak bisa berkembang pesat dan berekspansi ke daerah-daerah karena kalah bersaing dengan SPBU Pertamina. Sebagaimana kita ketahui, harga jual BBM di SPBU Pertamina lebih murah ketimbang di SPBU asing. Karena itulah, sejak saat itu berdengun keraslah tuntutan pencabutan subsidi BBM sebagai prasyarat membawa harga jual BBM di Indonesia sesuai mekanisme pasar.

Sayang, upaya membawa harga BBM ke mekanisme pasar ini sempat terjegal di tahun 2004, saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa penyerahan harga BBM ke mekanisme pasar adalah inkonstitusional. Alhasil, dalih lain pun mesti dicari. Muncullah argumentasi: subsidi BBM menyebabkan defisit APBN dan alokasi subsidi BBM salah sasaran. Dua argumentansi inilah yang senantiasa dipergunakan pemerintah, baik rezim SBY maupun rezim Jokowi-JK saat ini, untuk menghalalkan penghapusan subsidi BBM.  Dan, ingat juga, bahwa yang paling getol mendesak pemerintahan Jokowi-JK mencabut subsidi BBM adalah lembaga-lembaga imperialis, seperti Bank Dunia dan IMF. Malahan, kenaikan harga BBM jenis premium sebesar Rp 8.500 sekarang ini persis seperti yang direkomendasikan oleh Bank Dunia.

Tak mengherankan, yang paling bertepuk tangan dengan senyum sumringah dalam kenaikan harga BBM ini adalah SPBU asing dan korporasi asing yang berniat berpartisipasi dalam bisnis BBM di Indonesia. Sementara SPBU Pertamina, yang notabene perusahaan milik negara, harus mengelus dada ketika sebagian besar pelanggannya beralih ke SPBU asing.
Karena itu, terkait dengan kenaikan harga BBM ini, kita patut mengajukan satu pertanyaan penting kepada pemerintahan Jokowi-JK: masih adakah komitmen mereka untuk memperjuangkan cita-cita Trisakti sebagaimana didengunkannya semasa kampanye pemilu kemarin? Kalau memang masih ada, maka tidak ada pilihan lain selain membatalkan kenaikan harga BBM.

Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menghentikan liberalisasi migas di Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir. Sebagai tahap awal, pemerintahan baru ini harus mencabut UU migas tahun 2001. Selanjutnya, mereka harus mengembalikan tata-kelola migas Indonesia sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Bagi kami, yang mendesak dilakukan pemerintahan Jokowi-JK adalah mengembalikan kedaulatan dan kontrol bangsa ini terhadap semua kekayaan alam dan aset nasionalnya.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20141123/bukan-menaikan-harga-bbm-tapi-melaksanakan-pasal-33-uud-1945.html#ixzz3JuLfB9M8

Jumat, 14 November 2014

90 Tahun Manifesto Komunis