Kamis, 12 November 2015 | 20:02 WIB
Sejumlah aktivis KontraS yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan ke-298 di depan
Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2013). Aksi tersebut untuk
kembali memberikan masukan dan desakan kepada Bapak Presiden atas
lambannya penanganan peristiwa Pelanggaran HAM oleh pemerintah yang
mengakibatkan keadilan dan kepastian hukum bagi korban menjadi terus
terabaikan. Kamisan ini juga memperingati 15 tahun berdirinya Komisi
untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 20
Maret, kemarin.
JAKARTA, KOMPAS.com -
Aksi kamisan yang biasa dilakukan anggota keluarga korban pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) di depan Istana Negara, setiap Kamis kini tidak
lagi diizinkan.
Kepolisian kembali menegaskan larangan berunjuk rasa sepanjang 100 meter di depan Istana Negara.
"Hari ini diizinkan, tapi mulai Kamis depan sudah tidak boleh," ujar Maria Katarina Sumarsih (52), ibunda korban kejahatan HAM masa lalu kepada Kompas.com, Kamis (12/11/2015).
"Hari ini diizinkan, tapi mulai Kamis depan sudah tidak boleh," ujar Maria Katarina Sumarsih (52), ibunda korban kejahatan HAM masa lalu kepada Kompas.com, Kamis (12/11/2015).
Maria adalah ibu dari mendiang Bernardus Realino Norma Irmawan,
mahasiswa Atma Jaya yang tewas dalam peristiwa Semanggi 1998.
Sumarsih mengatakan, saat dia dan beberapa rekannya melakukan aksi Kamisan siang tadi, ia diberitahu oleh sejumlah polisi bahwa aksi Kamisan tidak dapat lagi dilakukan di depan pagar Istana.
Polisi tersebut lantas mengarahkan Sumarsih dan beberapa rekannya untuk melakukan aksinya di lokasi yang lebih jauh dari pagar Istana.
Sumarsih mengakui bahwa apa yang dilakukan selama ini menyalahi aturan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum melarang aksi unjuk rasa dilakukan di sepanjang 100 meter dari objek vital, termasuk Istana Negara.
Meski diminta untuk berpindah tempat, Sumarsih mengaku akan tetap melakukan aksi Kamisan di depan pagar Istana.
Ia pun tidak merasa takut akan dikenai sanksi karena melanggar aturan.
"Saya tanya, kalau tidak mau apa sanksinya? Tapi Polisi itu bilang 'kalau pengunjuk rasa yang lain mau diatur, kalau Bu Sumarsih selalu susah diatur'," kata Sumarsih.
Semakin Jauh, Semakin Tak Dipedulikan
Sumarsih telah berjuang selama 17 tahun menuntut pemerintah mengusut aktor peristiwa Semanggi 1998 yang membuat buah hatinya tiada.
Aksi Kamisan yang dilakukan Sumarsih dan keluarga korban HAM lain, adalah bentuk kekecewaan atas sikap pemerintah yang lebih dulu tidak menaati undang-undang.
Pelanggaran HAM, yang seharusnya diselesaikan oleh Negara, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tidak pernah dilakukan.
"Saya jujur melanggar undang-undang, tapi aparat juga harus mengakui membunuh anak saya," kata Sumarsih.
Dia mengatakan, bahwa ia tidak akan berhenti melakukan aksi sebelum pemerintah menyelesaikan masalah pelanggaran HAM.
"Semakin saya dekat dengan Istana, Presiden semakin mendengar dan menindaklanjuti Kalau semakin jauh, akan semakin diabaikan," kata Sumarsih.
Sumarsih mengatakan, saat dia dan beberapa rekannya melakukan aksi Kamisan siang tadi, ia diberitahu oleh sejumlah polisi bahwa aksi Kamisan tidak dapat lagi dilakukan di depan pagar Istana.
Polisi tersebut lantas mengarahkan Sumarsih dan beberapa rekannya untuk melakukan aksinya di lokasi yang lebih jauh dari pagar Istana.
Sumarsih mengakui bahwa apa yang dilakukan selama ini menyalahi aturan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum melarang aksi unjuk rasa dilakukan di sepanjang 100 meter dari objek vital, termasuk Istana Negara.
Meski diminta untuk berpindah tempat, Sumarsih mengaku akan tetap melakukan aksi Kamisan di depan pagar Istana.
Ia pun tidak merasa takut akan dikenai sanksi karena melanggar aturan.
"Saya tanya, kalau tidak mau apa sanksinya? Tapi Polisi itu bilang 'kalau pengunjuk rasa yang lain mau diatur, kalau Bu Sumarsih selalu susah diatur'," kata Sumarsih.
Semakin Jauh, Semakin Tak Dipedulikan
Sumarsih telah berjuang selama 17 tahun menuntut pemerintah mengusut aktor peristiwa Semanggi 1998 yang membuat buah hatinya tiada.
Aksi Kamisan yang dilakukan Sumarsih dan keluarga korban HAM lain, adalah bentuk kekecewaan atas sikap pemerintah yang lebih dulu tidak menaati undang-undang.
Pelanggaran HAM, yang seharusnya diselesaikan oleh Negara, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tidak pernah dilakukan.
"Saya jujur melanggar undang-undang, tapi aparat juga harus mengakui membunuh anak saya," kata Sumarsih.
Dia mengatakan, bahwa ia tidak akan berhenti melakukan aksi sebelum pemerintah menyelesaikan masalah pelanggaran HAM.
"Semakin saya dekat dengan Istana, Presiden semakin mendengar dan menindaklanjuti Kalau semakin jauh, akan semakin diabaikan," kata Sumarsih.
Penulis | : Abba Gabrillin |
Editor | : Sabrina Asril |
http://nasional.kompas.com/read/2015/11/12/20024111/Mulai.Pekan.Depan.Aksi.Kamisan.Dilarang.Dilakukan.di.Depan.Istana
0 komentar:
Posting Komentar