Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 23 November 2015

Pernyataan Akhir Majelis Hakim Tribunal Rakyat Internasional tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Indonesia pada 1965

November 23, 2015

Pada penutupan bukti tanggal 13 November 2015
Hakim Tribunal Rakyat Internasional, Den Haag 2015

Tribunal yang ditunjuk oleh Yayasan IPT 1965 untuk meninjau pergolakan dan kekerasan yang mengguncang Indonesia selama dan sesudah September-Oktober 1965, untuk memastikan bahwa kejadian-kejadian ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mengeluarkan kesimpulan apakah negara Indonesia dan/atau negara lain harus bertanggung jawab bagi kejahatan ini dan merekomendasikan langkah-langkah apa yang dapat diambil supaya bisa mencapai kedamaian berkeadilan serta kemajuan sosial di Indonesia.
 
Majelis Hakim menyesalkan bahwa baik Pemerintah Indonesia maupun negara lain yang sudah diundang tidak mengirim wakilnya untuk hadir dalam tribunal ini.
 
Pernyataan ini ditulis pada tanggal 13 November 2015, pada akhir dengar pendapat kesaksian para korban dan saksi ahli yang berlangsung selama empat hari, demikian pula setelah memperhatikan latar belakang sejarah yang luas, hasil-hasil penelitian, tulisan-tulisan serta pendapat dan khususnya:
 
a. Pernyataan Komnas HAM pada tanggal 23 Juli 2012 tentang hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat Peristiwa 1965-1966;
 
b. Laporan Komnas Perempuan yang berjudul: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965; serta
 
c. Kesimpulan observasi Komite Hak-Hak Asasi Manusia PBB yang pada tahun 2013 menyatakan prihatin terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia tahun 1965 dan sesudahnya, pengulangan keprihatinan itu pada tahun 2015, termasuk keprihatinan yang dinyatakan pada tahun 2012 oleh Komite PBB bagi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
 
Latar belakang sejarah yang luas mencakup bahan-bahan yang berkaitan dengan Pemerintah Indonesia sebelum peristiwa 1965, laporan peristiwa ini dan dampaknya, tahun-tahun kediktatoran Soeharto sampai menjelang pergantian abad, konstitusi baru yang lebih reformis yang diangkat setelah penolakan menyeluruh terhadap rezim Soeharto seperti juga kejadian-kejadian sesudah itu.
 
Majelis Hakim secara khusus memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada bahan-bahan terandal yang membantah adanya pelanggaran berat hak-hak asasi manusia ini, diloloskannya UU kebenaran dan rujuk nasional Indonesia dalam upaya menerima kenyataan bahwa peristiwa ini memang telah terjadi, tidak adanya penyangkalan oleh pemerintahan di Indonesia terhadap peristiwa ini serta janji Presiden Joko Widodo bahwa pelanggaran ini akan ditangani.
 
Semua bahan yang ada ini memastikan diluar keraguan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia serius yang diajukan kepada para hakim memang benar-benar telah terjadi.
 
Majelis Hakim beranggapan bahwa pernyataan jaksa tentang telah terjadinya pembunuhan yang kejinya tak terperikan, serta pembunuhan massal terhadap lebih dari puluhan ribu orang, pemenjaraan ratusan ribu orang yang tak dapat dibenarkan tanpa pengadilan, dan dalam waktu yang terlalu lama serta dalam keadaan penuh sesak, kemudian penerapan siksaan yang tidak manusiawi serta kejam dan kerja paksa yang bisa mengarah pada perbudakan, semua itu sepenuhnya mendasar.
 
Juga telah ditunjukkan bahwa kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, berlangsung secara sistematis dan rutin, khususnya pada periode 1965-1967, bahwa banyak lawan politik dianiaya dan diasingkan, dan ribuan orang yang, menurut wacana propaganda dan kebencian, dianggap tidak cukup mendukung kediktatoran Soeharto, telah hilang.
 
Semua ini dibenarkan dan didorong melalui propaganda yang bertujuan untuk menegakkan pendirian palsu bahwa mereka yang melawan rezim militer sudah langsung tidak bermoral dan sangat bejad.
 
Sudah dibuktikan bahwa negara Indonesia sepanjang periode itu melalui sayap militer dan polisinya melakukan dan mendorong pelaksanaan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang serius ini secara sistematis dan meluas. Majelis Hakim juga percaya bahwa ini dilakukan demi tujuan politik: untuk membasmi PKI dan mereka yang dianggap sebagai anggota atau simpatisannya, juga lebih luas lagi para pendukung Sukarno, aktivis serikat buruh dan serikat guru.
 
Rancangan seperti ini bertujuan untuk memunculkan rezim diktator yang bengis yang dengan benar telah dimasukkan dalam sejarah oleh rakyat Indonesia. Tak diragukan lagi bahwa tindakan-tindakan ini, yang semula dievaluasi secara terpisah untuk kemudian disatukan, telah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik secara hukum internasional maupun menurut kaidah dan tata hukum zaman reformasi seperti telah diterima oleh rakyat Indonesia 17 tahun silam.
 
Tribunal ini telah mendengar bukti secara terperinci dan mengharukan yang dikemukakan oleh para korban serta keluarga mereka, seperti juga bukti-bukti yang dikemukakan oleh para pakar. Majelis Hakim melihat rangkaian bukti ini sebagai puncak gunung es, dengan beberapa contoh nyata dan jelas tapi memilukan tentang bagaimana kehidupan manusia dicabik-cabik, bukan saja yang ditampilkan di hadapan Majelis Hakim tapi juga keseluruhan jaringan kehidupan manusia sebagai bagian besar masyarakat Indonesia.
 
Jaksa penuntut juga menunjukkan bahwa negara-negara lain telah membantu rezim bengis Soeharto untuk mencapai semua ini dalam upayanya mencapai tatanan internasional tertentu pada kerangka Perang Dingin. Kami akan mempertimbangkan hal ini dalam keputusan akhir nanti.
 
Bahan-bahan yang disampaikan kepada hakim bisa membuktikan bahwa telah dilakukan tindak pidana berat lain. Masalah ini juga akan diuraikan pada putusan akhir itu.
 
Majelis Hakim merasa cukup puas dengan kesimpulan mereka sehingga bisa mengumumkannya sekarang. Walau begitu kami masih butuh waktu untuk bisa secara terperinci menguraikan pelbagai alasan yang merupakan dasar untuk sampai pada kesimpulan ini. Dalam bulan-bulan mendatang, kami akan menyampaikan keputusan akhir yang menguraikan setiap kesimpulan dan pendapat yang ada pada penyataan ini.
 
Majelis Hakim berpendapat bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab bagi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan seperti itu, karena rantai komando diselenggarakan dari atas ke bawah seperti sebuah lembaga institusional.
 
Walaupun pada tahun 1998 di Indonesia sudah terjadi perubahan-perubahan penting dan positif yang lebih menekankan pentingnya hak-hak asasi manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan, tapi itu ternyata belum juga menyebabkan pemerintah menangani pelanggaran berat hak-hak asasi manusia masa lampau yang berlangsung begitu sistematis.
 
Sebagai tambahan kesimpulan di atas, Tribunal yakin bahwa bukti yang diajukan mengenai alat-aat propaganda sebelum 1965 yang mendorong anggapan bukan manusia sehingga terjadi pembunuhan ribuan orang juga menyangkut kebohongan. Secara khusus pengulang-ulangan bahwa para jenderal telah dipotong kemaluan mereka sudah lama dibuktikan tidak benar melalui visum et repertum dan laporan ini sudah juga diketahui oleh pelbagai pemerintahan di Indonesia.
 
Merupakan tugas Presiden dan Pemerintah Indonesia untuk secepat mungkin mengakui kepalsuan ini, meminta maaf sepenuhnya tanpa ragu-ragu atas kebohongan yang telah dilakukan, dan menjalankan penyidikan kemudian juga mengadili pelaku yang masih hidup. Tribunal menduga bahwa Presiden tentu saja akan melakukan semua ini serta memenuhi janji pemilu. Lebih dari itu, pelbagai arsip harus dibuka dan kebenaran bagi kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus ditegakkan.
 
Berkaitan dengan ini, Majelis Hakim mencatat bahwa Komnas HAM sudah melakukan penelitian pada tahun 2008 dan Pemerintah Indonesia sudah menerima laporan serta rekomendasi Komnas HAM. Pemerintah belum melaksanakan rekomendasi itu dan menurut kami harus melaksanakannya sebagai sesuatu yang mendesak. Rekomendasi ini mencakup santunan yang memadai bagi para korban.
 
Kami menghargai Yayasan IPT65 dan banyak orang yang sudah menghabiskan waktu dan energi serta dana atau sumberdaya lain untuk Tribunal ini. Tanpa semua keterlibatan dan tekad ini, Tribunal tidak akan mungkin terlaksana. Kami percaya bahwa jerih payah mereka akan memperoleh justifikasi jika ada respons memadai baik pada tingkat nasional maupun internasional.
 
Mireille Fanon-Mendes France
 
Cees Flinterman
 
John Gittings
 
Helen Jarvis
 
Geoffrey Nice
 
Shadi Sadr
 
Zak Yacoob

http://1965tribunal.org/id/pernyataan-akhir-majelis-hakim-tribunal-rakyat-internasional-tentang-kejahatan-terhadap-kemanusiaan-di-indonesia-pada-1965/

Pernyataan Akhir Para Jaksa Tribunal Rakyat International tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Indonesia pada 1965

November 23, 2015

Silke Studzinsky, The Hague 2015
Yang Terhormat Para Hakim,
Para rekan, kawan dan hadirin yang kami hormati,
Setelah empat hari proses persidangan yang sangat intens, kami ingin mengungkapkan rasa terima kasih, penghargaan serta kekaguman kami yang mendalam untuk para penyintas dan saksi-saksi yang telah memiliki keberanian untuk berbicara secara terbuka mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 1965-1966 dan pada tahun-tahun berikutnya. 

Ini adalah pertama kalinya para penyintas tahun 1965 mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Tribunal Rakyat Internasional ini dibentuk bukan hanya untuk memberikan suatu bentuk keadilan bagi mereka tetapi juga bagi seluruh penyintas dan korban dari kejahatan-kejahatan ini.
Para penyintas dan saksi telah berbicara mengenai penderitaan mereka, tentang kejahatan-kejahatan kejam yang harus mereka alami, serta kerugian, diskriminasi dan stigmatisasi yang mereka hadapi hingga hari ini. Para penyintas berani berbicara mengenai apa yang tak terkatakan. Mereka berani dan kuat. Mereka telah menunjukkan bahwa walaupun sudah lebih dari 50 tahun berlalu, kejahatan-kejahatan tersebut dan dampaknya dirasakan seperti baru terjadi kemarin. Mereka bersaksi untuk diri mereka sendiri dan untuk para keluarganya, tetapi juga untuk seluruh korban dan penyintas yang tidak dapat hadir di tribunal ini. Kesaksian mereka telah disiarkan dan diamankan, dan setiap orang di Indonesia dan seluruh dunia bisa, dan patut, mendengar suara-suara mereka.
Meskipun laman Tribunal sepertinya tidak dapat diakses di Indonesia – mungkin ditutup – cara-cara lain ditemukan untuk menyiasati serangan terhadap Tirbunal Rakyat Internasional ini.
Serangan itu adalah upaya lain untuk membungkam suara korban.
Kesaksian yang disampaikan memberikan pencerahan atas peristiwa 1965 dan, dengan penyampaiannya, mengubah sejarah sebagaimana yang tertulis dan telah diajarkan di Indonesia sampai saat ini. Mereka yang bersaksi pun lega, meskipun luka dan derita tidak serta merta hilang.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih yang mendalam bagi para ahli yang telah memberikan kesaksian dalam persidangan ini, menyampaikan informasi latar yang berharga serta penjelasan mengenai apa yang terjadi di masa lalu. 
Meskipun demikian, lembaran sejarah belum sepenuhnya terbuka dan masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengungkap kejahatan yang terjadi secara keseluruhan.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi dalam berbagai cara sehingga Tribunal Rakyat Internasional ini dapat terlaksana.
Yang terakhir, namun bukan paling akhir, kami ingin menyampaikan penghargaan atas kesaksian komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusi, Komnas HAM, Dr. Dianto Bachriadi. Ia menunjukkan keberanian yang luar biasa lewat kehadirannya, dalam kapasitas pribadi, di persidangan ini. Dr. Bachriadi menyampaikan berbagai kesulitan yang dihadapi dalam upaya membuat rekomendasi-rekomendasi laporan KOMNAS HAM menjadi terlaksana. Komnas menghabiskan waktu empat tahun untuk menginvestigasi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tahun 1965.
Dr Dianto Bachriadi menegaskan bahwa temuan Komnas HAM serupa dengan tuduhan nomor 1-7 dari dakwaan yang disampaikan penuntut dalam persidangan. Bukti yang cukup telah didapatkan untuk membuka sebuah penyelidikan. Ia pun bersikeras bahwa kebenaran harus diungkapkan dan ditegakkan sebagai langkah awal rekonsiliasi. Dengan kata lain, tidak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran.
Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan, Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan, juga hadir dalam persidangan. Ia menghadiri sidang dan menyampaikan kesaksiannya dengan kapasitas resmi. Ibu Mariana Amiruddin dapat menegaskan bahwa laporan Komnas Perempuan, yang berisi dokumentasi kekerasan seksual dan berbasis gender yang terjadi selama peristiwa 1965, menjelaskan kasus-kasus dan pola-pola kekerasan seksual dan berbasis gender yang sama seperti yang telah disampaikan penuntut dalam dakwaannya.
Kami ingin menyampaikan terima kasih kepada kedua komisioner atas kontribusi penting mereka lewat kesaksian dan laporan-laporan yang telah dihasilkan, yang seluruhnya berdasarkan kesaksian para korban.
Sangat disayangkan Pemerintah Indonesia belum melaksanakan rekomendasi-rekomendasi kedua laporan tersebut.
Saya juga ingin menyampaikan situasi sulit yang dihadapi oleh Tribunal Rakyat Internasional. Setelah lebih dari 50 tahun, Pemerintah Indonesia tetap enggan mengakui fakta-fakta dan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi. Sidang tidak mungkin dilakukan di Indonesia dimana Pemerintah terus melakukan tekanan terhadap upaya penguakan kebenaran peristiwa 1965. Ini sangat disesalkan. Meskipun demikian, adalah suatu kesuksesan bahwa sidang telah berlangsung di Den Haag, dan bahwa kekerasan dan kejahatan dapat diungkapkan di hadapan para hakim yang akan menilai bukti.
Sebagai warga negara Jerman, yang hidup setiap harinya dengan pemahaman akan kejahatan yang dilakukan negara saya di masa kini dan di masa lampau, dan sebagai pengacara internasional dan penuntut di hadapan Tribunal Rakyat Internasional, saya ingin mulai dengan mengutip pernyataan akhir dari penuntut utama asal Inggris, Hartley Shawcross, dalam pengadilan Nuremberg:
Hukum menang atas kejahatan. Proses hukum ini dilakukan bukan atas dasar balas dendam namun berdasarkan resolusi yang kuat bahwa kejahatan yang luar biasa ini tidak akan terulang lagi.
Harapan yang bermaksud baik ini, yang disampaikan oleh penuntut utama pada saat dunia masih terguncang akibat Perang Dunia ke II, secara mengecewakan tidak tercapai. Sejarah telah membuktikan bahwa perang dan penyerangan terhadap penduduk sipil terus berlangsung dibanyak wilayah di dunia.
Di Indonesia, di tengah berlangsungnya Perang Dingin dan hanya 20 tahun setelah pengadilan Nuremberg, pemerintah Indonesia, melalui militer dan polisi bersama dengan organisasi masyarakat dan keagamaan lainnya, melakukan kejahatan-kejahatan massal.
Mereka diarahkan untuk melawan orang-orang yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga orang-orang yang diduga simpatisannya. Tujuan khususnya adalah untuk mengeliminasi mereka sebagai suatu kelompok nasional di dalam masyarakat Indonesia.
Selama empat hari sidang, kita telah mendengar tentang pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi dan penghilangan paksa, persekusi yang dilakukan melalui propaganda dan keterlibatan negara-negara asing, khususnya Amerika, Inggris dan Australia. Masyarakat dunia sesungguhnya menyadari bahwa kejahatan-kejahatan massal ini berlangsung. Namun tetap diam.
Para penyintas masih hidup dengan ingatan yang sangat rinci tentang bagaimana keseharian mereka pada tahun-tahun itu. Mereka hidup dengan siksaan yang mengerikan serta perlakuan buruk yang dilakukan terhadap mereka, setiap harinya, siang dan malam. Saya persembahkan bagi mereka, beberapa kalimat berikut ini oleh Jean Améry, seorang penyintas dari kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz. Saya mengutip:
Siapapun yang pernah disiksa akan terus tersiksa. Siapapun yang pernah menderita penyiksaan tidak akan pernah lagi merasa tenang di dunia ini. Kekejian dari pemusnahan tidak akan pernah padam.
Para penyintas harus berurusan setiap harinya dengan ingatan-ingatan mereka. Syumereka ingin memberikan bukti terhadap perlakukan tidak manusiawi dan tidak dapat dipahami yang telah merampas martabat mereka sebagai manusia.
Mereka bertanya, “mengapa saya terpilih untuk dipenjara, disiksa dan diperbudak? Saya tidak bersalah untuk apapun.”
Para keluarga korban ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang mereka cintai. Bagaimana mereka disiksa? Apakah mereka diinterogasi dan oleh siapa? Apakah mereka meninggalkan pesan-pesan tersembunyi untuk kami? Apakah mereka meminta pertolongan? Bagaimana dan dimana mereka dibunuh dan oleh siapa? Apakah mereka diperkosa dan mendapatkan kekerasan seksual? Dimana mereka dihilangkan? Mengapa mereka yang dipilih untuk diperlakukan tidak seperti manusia?
Para penyintas dan keluarga mereka sedang mencari keadilan. Namun apa arti keadilan ini untuk mereka? Bagi mereka keadilan berarti, antara lain, mencari kebenaran dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menyakitkan dan tanpa henti yang selalu menghantui dan menghalangi tidur mereka.
Ketika mereka bisa tidur, seringkali bukan tidur yang cukup. Seperti ada kegelisahan yang permanen dalam jiwa mereka, dimana peristiwa-peristiwa itu terus menggangu pikiran mereka. Untuk selamanya kedamaian telah dirampas dari kehidupan mereka sampai hari ini. Di Indonesia, mereka didiskriminasi, distigmatisasi dan dibungkam sampai hari ini. Mereka ingin mengetahui kebenaran sejarah yang menyeluruh tentang apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai, yang mana hanya terlihat seperti hantu selama tidak ada informasi jelas tentang nasib mereka.
Mengungkap informasi ini adalah satu-satunya cara untuk menegakkan kembali martabat orang-orang yang mereka cintai. Mengungkap informasi ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan yang hidup dari kengerian ini, sehingga mereka pun dapat menjalani hidup dengan terbebas dari pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dan bayangan masa lalu.
Pihak penuntut percaya bahwa kami telah mampu memberikan bukti-bukti yang kuat selama empat hari persidangan ini. Kami percaya bahwa bukti yang ada secara meyakinkan telah membuktikan terjadinya kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang telah kami cantumkan dalam dakwaan, dan menunjukkan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan ini. Bukti-bukti yang telah kami berikan juga menegaskan bahwa pemerintah Amerika, Inggris dan Australia bertanggung jawab atas keterlibatan mereka, dengan menawarkan bantuan yang besar dan yang dilakukan secara sadar kepada pemerintah Indonesia dalam kejahatan-kejahatannya terhadap kemanusiaan.
Namun demikian, masih ada kemungkinan keterlibatan pemerintah-pemerintah asing lainnya. Banyak arsip bersejarah yang masih ditutup. Dengan secara aktif mengungkap bukti-bukti, negara-negara asing dapat turut andil dalam upaya pencarian kebenaran yang sah.
Penuntut merujuk pada berkas penuntutan, yang menguraikan kerangka hukum di bawah hukum internasional sebagaimana pengaturannya terhadap kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang dituduhkan dalam dakwaan.
Dakwaan tidak dan tidak akan mampu mencakup semua kejahatan-kejahatan yang dilakukan. Salah satu bagian dari serangan terhadap penduduk sipil adalah pengusiran orang-orang dari tanah mereka. Desa-desa secara keseluruhan dikosongkan dan penduduknya dipaksa pindah. Harta properti mereka disita dan mereka kehilangan dasar pencarian nafkah mereka. Sampai hari ini, pemerintah tidak mengakui kerugian yang mereka alami dan tidak memberi kompensasi.
Pihak penuntut mengakui terjadinya kejahatan-kejahatan ini. Namun demikian, mereka tidak dapat dimasukkan kedalam dakwaan di hadapan Tribunal Rakyat Internasional. Penyelidikan lebih lanjut terhadap kejahatan-kejahatan ini sangat diperlukan.
Tanggung jawab Negara di bawah Hukum International:
  1. Berdasarkan pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara-Negara atas Tindakan-Tindakan yang Salah Secara Hukum Internasional, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab terhadap tindak kejahatan yang telah dilakukannya. Pasal ini mewakili hukum adat (customary) internasional dan oleh karenanya mengikat semua negara secara hukum.
  1. Sebuah Negara bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan serius, seperti kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, jika Negara memfasilitasi, membantu, bersengkongkol dengan, mendukung dan melakukan kejahatan-kejahatan tersebut di bawah tanggung jawab sendiri dan melalui aparatur negara.
  1. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan di bawah tanggung jawab penuh Negara. Jenderal Suharto segera mengambilalih kendali secara de facto terhadap ibukota dan Angkatan Darat pada tanggal 2 Oktober 1965. Operasi Komando yang baru untuk Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk membubarkan PKI dan yang diduga simpatisannya. Pada tanggal 1 November 1965, Jenderal Suharto diangkat menjadi Kepala Komando Kopkamtib. Maka dari itu, komando ini beroperasi langsung di bawah perintah langsung Jenderal Suharto.
  1. Di bawah komando Angkatan Darat dan pasukan keagamaan konservatif, terjadi demonstrasi mahasiswa secara meluas dan disertai aksi kekerasan yang menuntut Presiden Sukarno turun dari kekuasaannya dan pembasmian terhadap PKI. Pada bulan Maret 1966, Jenderal Suharto merebut kekuasan dari Presiden Sukarno; pada tahun berikutnya ia diangkat menjadi presiden negara Indonesia.
  1. Jenderal Suharto dan sekutunya segera menyalahkan PKI sebagai dalang gerakan 30 September (G30S). Sebuah propaganda militer menyebarkan gambar-gambar jenderal yang mati dengan tuduhan bahwa orang-orang komunis, khususnya perempuan komunis, telah menyiksa dan memutilasi mereka sebelum mati. Akibatnya, aksi kekerasan dan demonstrasi oleh Angkatan Darat dan berbagai kelompok pemuda—yang diperlengkapi dan didukung oleh militer dan pemerintah—mulai mengincar orang-orang komunis di Aceh, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebelum menyebar ke seluruh Indonesia. Penduduk sipil dibunuh, diperkosa, disiksa, diperbudak atau menjadi korban kejahatan kemanusiaan lainnya di rumah-rumah mereka atau di tempat-tempat publik.
  1. Pada tanggal 21 Desember 1965, Jenderal Suharto menerbitkan sebuah perintah (KEPI/KOPKAM/12/1965) kepada pemimpin militer di seluruh Indonesia untuk menyusun daftar anggota PKI dan organisasi yang berkaitan dengan PKI di wilayah masing-masing. Penduduk sipil yang namanya masuk di dalam daftar ini kemudian menjadi sasaran pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan kejahatan lainnya.
Selama proses pengadilan, pihak penuntut menjelaskan secara rinci rantai komando yang menjelaskan bahwa militer dan polisi militer yang telah melakukan kejahatan bertindak berdasarkan perintah negara Indonesia dan bersama-sama dengan kelompok keagamaan dan milisi, yang diperalat dan digunakan dalam melakukan tindak kejahatan.
Kini, saya ingin beralih pada detil masing-masing tuduhan dan menerangkan bukti-bukti yang telah kami tunjukkan selama empat hari—bukti yang kami serahkan kepada Yang Terhormat—laporan para peneliti, kesaksian para saksi dan ahli, dan bahan-bahan bukti lainnya.
Seluruh 9 poin tuduhan dilakukan sebagaimana disebutkan dalam delik kejahatan terhadap kemanusiaan. Segera setelah peristiwa-peristwa pada tanggal 30 September, serangan meluas dan sistematik dilakukan terhadap sejumlah penduduk sipil yang signifikan. Sasarannya adalah anggota PKI, anggota kelompok dan organisasi terkaitnya dan siapapun yang dianggap pendukung atau simpatisan PKI.
Secara khusus pihak berwenang negara melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut sebagai bagian dari penyerangan terhadap warga sipil:
Tuduhan 1 Pembunuhan
Pihak penuntut telah menyerahkan pernyataan Martono, seorang penyintas peristiwa 1965. Selama dua tahun ia ditahan oleh militer. Dalam tahanan ia disiksa dan dipaksa oleh OPSUS (sebuah tim khusus beranggotakan militer, angkatan udara, brimob dan partai politik) untuk membuang mayat-mayat orang yang dibunuh di pusat penahanan Diponegoro di mana para tahanan disiksa dengan cara disetrum listrik. Martono memperkirakan telah membuang dua mayat setiap harinya, dan sampai 20 mayat di akhir pekan.
Kami mendengar para saksi ahli, Ferry Putra, seorang wartawan independen, Misty (nama samaran) dan Leslie Dwyer mampu menjelaskan bahwa pembunuhan massal terjadi segera setelah 1 Oktober 1965 dan berlangsung sampai 1967. Para ahli memberikan tinjauan luas tentang pembunuhan massal yang terjadi di seluruh wilayah di Indonesia dan bersifat meluas dan sistematis.
Pada tahun 1999, Leslie Dwyer mengumpulkan kesaksian dari para saksi yang mengetahui lokasi kuburan massal di Bali. Antara 80,000 sampai 120,000 orang dibunuh di Bali pada periode Desember 1965 sampai Maret 1966. Angka ini berkisar 5,8 persen total penduduk pada saat itu. Beberapa dari kuburan massal ini berisi jenazah 200 orang korban, diantaranya anggota PKI dan afiliasinya, Barisan Tani Indonesia (BTI); tetapi juga orang-orang tanpa keterkaitan politik, seperti anak-anak berusia 11 dan 12 tahun.
Di Bali sendiri terdapat setidaknya 100 kuburan massal yang telah diidentifikasi. Di Bali pembunuhan mulai Desember 1965, setelah kedatangan Angkatan Bersenjata Khusus. Pasukan Khusus ini melakukan pembunuhan bersama dengan pasukan militer lainnya, penduduk lokal, anggota PNI dan milisi terkait, serta milisi ANSOR dari Jawa. Militer dan polisi lokal juga memerintahkan penduduk sipil untuk ikutserta dalam pembunuhan di desa sekitarnya dan mengancam membunuh keluarga mereka jika mereka menolak untuk bekerja sama.
Kita mendengar satu contoh penggalian kuburan massal. Bersadarkan posisi jenazah di dalam kuburan tersebut, ahli forensik menyimpulkan bahwa para korban berdiri dalam satu baris sebelum mereka ditembak mati, dan penembakan tersebut dilakukan dalam waktu singkat.
Berdasarkan keterangan saksi ahli dan dari data yang mereka kumpulkan, satuan-satuan berbeda dalam militer dan polisi militer negara Indonesia adalah pelaku kejahatan pembunuhan, juga bersama dengan warga sipil, yang digunakan dan diperalat oleh tentara.
Penelitian menunjukkkan bahwa para pendeta juga diminta untuk menjadi bagian dari tim eksekusi atau untuk menemani para korban menuju tempat eksekusi.
Komando militer memerintahkan pembunuhan dan mengumpulkan milisi setempat.
Penuntut menyimpulan bahwa bukti yang ada membuktikan bahwa pembunuhan terjadi secara menyebar dan sistematik, seperti yang diuraikan dalam dakwaan di bawah tuduhan atas pembunuhan, dan Negara Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan kejahatan ini.
Tuduhan 2 Perbudakan
Bukti yang disampaikan melalui kesaksian seorang penyintas yang bersaksi di bawah perlindungan, dan saksi ahli, Dr Asvi Warman Adam, menunjukkan bahwa selama peristiwa-peristiwa 1965, terjadi perbudakan yang meluas dan sistematis. Penyintas menggambarkan dengan cukup jelas bahwa penangkapan-penangkapan yang dialami korban dilakukan oleh Komando Distrik Militer, sementara pemindahan para tahanan ke penjara lainnya dilakukan oleh polisi dan militer (unit CPM). Penyintas merupakan anggota organisasi mahasiswa etnis Tionghoa yang tidak terkait dengan PKI.
Ketika ditangkap, ia ditelanjangi. Setelah beberapa kali dipindahkan, ia dibawa ke Pulau Buru dan dijadikan tenaga kerja paksa. Ia ditahan selama total 14 tahun. Militer yang menahannya tidak memberikan alasan penahanan. Tidak ada surat penangkapan yang dikeluarkan. Ia berada dibawah kendali penjaga militer. Selepas dari tahanan, ia diwajibkan untuk melapor sebulan sekali dan setelahnya, di Jakarta ia dikenakan wajib lapor setiap tiga bulan sekali.
Selanjutnya, dia harus mengikuti kelas penataran (indroktinasi) tentang Pancasila—ideologi dasar negara Republik Indonesia. Sebelum para tahanan dilepaskan, mereka diharuskan menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa mereka tidak diperlakukan secara buruk. Mereka juga diwajibkan memilih satu agama.
Para saksi ahli menggambarkan sistem penahanan, dengan fokus khusus pada Pulau Buru.
Dr Asvi Warman Adam menyimpulkan bawah kejahatan-kejahatan yang dialami oleh mereka yang dituduh komunis didasari atas perintah Jendral Suharto. Jendral Suharto memberikan pidato yang menyatakan bahwa Partai Komunis harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Beragam satuan militer menafsirkan perintah ini dengan cara yang berbeda-beda, dengan melakukan penangkapan, menahan dan juga membunuh orang. Di tahun-tahun berikutnya, mereka yang mengritik Pemerintah dicap sebagai komunis, dan bahaya komunisme sengaja dilanggengkan demi mengontrol rakyat.
Kondisi sel penjara sangatlah buruk—para tahanan disiksa, makanan dibatasi dan pelayanan kesehatan tidak tersedia. Awalnya para tahanan tidak memiliki akses ke keluarga, mereka baru bisa dijenguk oleh keluarga menjelang akhir penahanannya.
Tahanan dibagi ke dalam tiga kelompok: Grup A dianggap terlibat dalam proses pembunuhan para jendral dan diadili di pengadilan sipil atau militer; Grup B terdiri dari para anggota PKI yang terlibat namun bukan pejabat teras di Partai; dan Grup C terdiri dari mereka yang dituduh sebagai simpatisan PKI.
Banyak dari mereka yang ditangkap setelah Oktober 1965 dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain, dan sering berakhir di kamp konsentrasi Pulau Buru. Militer dan polisi militer melakukan proses penahanan, di mana perbudakan juga terjadi. Saksi ahli menjelaskan tentang rantai komando dan menunjukkan bahwa komandan dari Kopkamtib lah yang memutuskan segala perkara. Maka pada akhirnya Negara Indonesia lah yang bertanggungjawab atas perbudakan para tahanan
Di Pulau Buru, setidaknya ada 11.000 orang yang diperbudak. Tujuan dari pemindahan ke Pulau Buru adalah untuk memastikan agar orang lain tidak terpengaruh dengan ideologi komunisme, mengisolasi para komunis, dan memastikan agar rakyat tetap menganut Pancasila. Awalnya Pemerintah berdalih bahwa penahanan di Pulau Buru adalah untuk memastikan tidak adanya gangguan keamanan selama pemilihan umum 1971 berlangsung. Namun setelah pemilihan umum berlangsung pun, para tahanan masih belum juga dilepaskan.
Pada 1978 dan 1979, para tahanan akhirnya dilepaskan oleh Pemerintah karena tekanan dari Pemerintah internasional dan organisasi pendonor asing.
Perempuan ditahan di penjara Plantungan. Selain diterpa oleh kondisi yang sama buruknya, tahanan perempuan juga menjadi korban kekerasan seksual. Jika mereka hamil dan melahirkan, anggota keluarga lah yang mengurus anak tersebut karena tidak ada pihak yang bertanggungjawab.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan bahwa perbudakan terjadi secara meluas dan sistematik sebagai bagian dari penindasan pada penduduk sipil, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan di bawah tuduhan perbudakan dan bahwa Negara Indonesia lah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan kejahatan tersebut.
Tuduhan 3 Pemenjaraan
Pihak penuntut mengajukan dua saksi dan penyintas Bejo Untung dan Martono. Selain saksi dan penyintas tersebut, Dr Saskia Wieringa memberikan kesaksiannya sebagai saksi ahli. Bejo Untung ikut sebagai peserta di dalam satu perkumpulan mahasiswa di bidang kebudayaan yang independen. 
Perkumpulan tersebut digolongkan oleh militer sebagai organisasi yang berafiiliasi PKI. Ketika ia ditangkap oleh kesatuan Kodim di Jakarta yang kelima, beliau ditelanjangkan dan disiksa dengan listrik. Teriakan korban-korban yang lain terdengar ketika ternyata mereka juga sedang disiksa. 
Perintah penanahan tidak ada, dan alasan penanahan tidak pernah diberikan. Perampasan kemerdekaan dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa landasan hukum. Bejo Untung tidak pernah dibawa ke depan pengadilan yang independen dan tidak memihak. Ia juga dipenjarakan dalam keadaan yang sangat buruk , tidak diberikan makanan yang cukup dan fasilitas kesehatan. Penjara-penjara terlalu padat. Para tahanan tidak diperbolehkan mengakses pengacara, dan tidak diijinkan menerima kunjungan oleh keluarga-keluarga mereka. 

Kini Bejo Untung adalah ketua organisasi korban dan telah mengumpulkan 200 pernyataan penyintas yang dipenjarakan.
Begitu pula, Martono juga dipenjarakan tanpa landasan hukum dan proses hukum yang adil. Ia juga disiksa dengan listrik dan diinterogasi.
Dr Saskia Wieringa menjelaskan bahwa tes psikologi diterapkan pada tahun 1966 dan pada tahun 1970an dengan tujuan untuk mengidentifikasi para tahanan yang tetap berkomitmen komunis. Pada tahun 1966 setelah pembersihan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI di dalam apparat tentara dan birokasi, semua tahanan yang lain juga dites; pada awal tahun 1970-an tes-tes psikologi yang lebih canggih dikembangkan, dan misalnya dilakukan dengan para tahanan di Pulau Buru; pada akhir tahun 1970-an, tes-tes tersebut dilakukan untuk menentukan tahanan-tahanan yang akan dibebaskan. Para tahanan yang masih dituduh masih berkomitmen terhadap ideologi komunis ditahan jauh lebih lama. Salah satu tujuan utama dari melakukan tes psikologi tersebut adalah mengangkat kredibitilitas pembersihan yang dilakukan oleh KOPKAMTIB supaya pembersihan tersebut tampak seakan-akan normal/hal yang biasa.
Pada tanggal 1 November 1985, Jenderal Nasution memutuskan para tahanan akan digolongkan. Dr Wieringa juga memberikan penjelasan tentang penggolongan tahanan tersebut. Ahli-ahli psikolog, yang bekerja sama erat dengan universitas-universitas di Belanda, mengembangkan tes yang diterapkan untuk mengidentifikasi/menentukan siapa yang mungkin komunis serta derajat komitmennya terhadap komunisme. Para ahli pskilolog menggolongkan para tahanan, setelah melakukan tes; dengan demikian mereka mengambil peran sebagai hakim, tanpa adanya proses hukum yang sah.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya pemenjaraan secara meluas dan sistematik, seperti digambarkan di dalam dakwaan dibawah tuduhan nomor tiga. Pihak penuntut juga menyimpulkan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Tuduhan 4 Penyiksaan
Pihak penuntut mengajukan kesaksian oleh orang penyintas, yaitu Muhammad Yusuf Pakasi dan Martin Aleida.
Pakasi bekerja sebagai pegawai negeri. Beliau ditangkap dan kemudian disiksa sambil diinterogasi. Ditanyakan nama-nama. Dia memberikan nama-nama yang dia ketahui, namun penyiksaan dilanjut. Penyiksaan begitu kejamnya sehingga beliau pingsan.
Martin Aleida adalah seorang wartawan yang telah bekerja di salah satu koran yang berafiliasi dengan PKI. Ia juga ditangkap dan disiksa. Ia menggambarkan tentang berbagai bentuk penyiksaan yang dilakukan sambil beliau diinterogasi. Martin Aleida ditahan selama satu tahun. Beliau juga melaporkan tentang orang lain yang disiksa.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan penyiksaan dilakukan secara luas dan sistematis, seperti diuraikan di dalam dakwaan dibawah tuduhan nomor 4. Pihak penuntut juga menyimpulkan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Tuduhan 5 Kejahatan Seksual
Untuk tuduhan Kejahatan Seksual, persidangan menghadirkan kesaksian dari penyintas/survivor korban kejahatan seksual, yang bersaksi dibawah perlindungan, dan Dr Saskia Wieringga sebagai saksi ahli. Korban menjelaskan bahwa dia ditelanjangi ketika ditangkap dan diinterogasi. Tentara mencari tanda pada tubuhnya untuk menunjukan bahwa dia adalah seorang anggota Gerwani, organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Komunis. Alat kelaminnya dibakar dan dia disiksa dengan parah dan diperkosa selama dalam tahanan. Dia juga dipaksa untuk melakukan seks oral. Pada akhirnya dia mengalami kehancuran secara fisik dan psikologis. Sampai hari ini, dia masih menderita sebagai akibat dari serangan seksual yang dilakukan kepadanya. Dia masih bertanya-tanya mengenai kenapa tuduhan kriminal tersebut ditimpakan kepadanya. Sampai hari ini, dia tidak menemukan jawabannya.
Dr Wieringa memberi penjelasan mengenai pola kekerasan seksual yang dilakukan, terutama kepada perempuan. Wieringa telah melakukan penelitian ekstensif dan mewawancarai para penyintas yang kemudian bertemu dalam sebuah kelompok untuk berdiskusi. Meskipun demikian, hanya setelah 1998 para penyintas tersebut berani berbicara dalam kelompok-kelompok demikian. Dia juga memaparkan temuan-temuan dari para peneliti lain dalam bidang ini.
Menurut saksi ahli, kejahatan seksual dilakukan secara meluas dan sistematis. Segala bentuk kekerasan seksual bisa ditemukan seperti: pemerkosaan vaginal dan oral—sebagian besar terjadi selama masa penahanan dan interogasi, penelanjangan dan serangan seksual, perbudakan secara seksual, pelacuran yang dipaksakan, mutilasi organ seksual, kehamilan yang dipaksakan.
Semua perempuan tersebut menghadapi kekerasan seksual dibawah ancaman.
Para pelaku, tentara dan milisi, seringkali bertindak dalam kelompok. Mereka menikmati impunitas/kekebalan hukum. Para atasan seringkali terlibat dan hadir. Meskipun demikian, kejahatan tersebut tidak dicegah maupun dihukum.
Aib dan stigmatisasi masih berlangsung sampai sekarang.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya kejahatan seksual secara meluas dan sistematik, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan dibawah tuduhan nomor 5 dan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Dakwaan 6. Persekusi
Dibawah tuduhan Persekusi, pihak penuntut menghadirkan pernyataan dari Surono dan Amnah, yang telah dicabut kewarganegaraan Indonesianya. Mereka tengah berada di luar negeri pada tahun 1965 – 1967. Surono di Uni Soviet dan Amnah di Bulgaria. Mereka kehilangan haknya untuk kembali dengan selamat ke tanah air Indonesia.
Sebagaimana dua orang penyintas ini, sebagian besar orang Indonesia yang berada di luar negeri adalah pelajar, pegawai pemerintah, wartawan dan lain-lain yang belajar dan bekerja di luar negeri dengan kapasitas resmi. Kedutaan Indonesia di seluruh dunia secara aktif melakukan pemeriksaan (screening) terhadap warga Negara Indonesia. Kedutaan menyebut kegiatan ini sebagai dialog dengan warganya. Tim pemeriksaan/screening secara sistematis mengundang semua orang Indonesia dan mewawancarai mereka perihal sikap mereka terhadap Sukarno.
Jika mereka tidak menghadiri undangan dan/atau jika mereka diidentifikasi sebagai pendukung Sukarno, atau dianggap sebagai komunis dan tidak loyal kepada Suharto, paspor mereka dicabut dan mereka tidak dapat kembali ke Indonesia. Mereka dianggap berada diluar perlindungan hukum dan akhirnya menjadi tidak memiliki berkewarganegaraan selama berpuluh-puluh tahun. Mereka merasa seperti ‘debu’ dan ‘tidak berarti’. Sampai saat ini mereka masih merasa tidak aman dan tidak berani untuk kembali ke Indonesia.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya persekusi yang meluas dan sistematik yang beralasan politik, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan nomor 6 dan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Tuduhan 7 Penghilangan Paksa
Pihak penuntut mengajukan 2 saksi. Yang pertama adalah Astaman Hasibuan yang telah kehilangan ayahnya. Orang tua Astaman Hasibuan adalah anggota dari organisasi cabang lokal dari PKI. Ayahnya ditahan, namun kemudian Astaman Hasibuan tidak bisa mendapatkan informasi apapun terkait keberadaan ayahnya. Apakah dia sudah meninggal, dan bila betul, di mana dia meninggal dan dikuburkan. Dia telah berupaya mencari saksi, tapi setelah 10 Desember 1965, Astaman Hasibuan kehilangan semua jejak keberadaan ayahnya.
Saksi ini menegaskan bahwa dalam banyak kasus penahanan, tahanan ditransfer ke lokasi yang berbeda dan kemudian menghilang. Seringkali, mereka dijemput dari lokasi penahanan pada saat malam hari dan tidak pernah kembali.
Keluarga mereka tidak pernah menerima informasi tentang keberadaan mereka.
Pihak penuntut dengan demikian menyatakan bahwa dakwaan penghilangan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi.
Saksi kedua, Intan, menyampaikan cerita mengenai saudara lelaki, ayah dan ibunya yang ditahan oleh pihak militer (Indonesia). Mereka dituduh sebagai anggota partai komunis (PKI).
Ayahnya kemudian dihilangkan dari rumah tahanan. Intan telah berupaya mencari keberadaannya, bahkan hingga sekarang, namun tetap tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi pada beliau. Secara keseluruhan, 7 anggota keluarganya telah dihilangkan. Intan masih menderita berat hingga hari ini. Dia merasa tidak berdaya dan dihantui kenangan tentang kehilangannya.
Ketidaktahuan menghantui semua korban yang keluarganya dihilangkan. Mereka terus bertanya-tanya: di mana ayah, ibu, saudara perempuan dan laki-laki kami? Bibi dan paman, serta keponakan kami? Di mana kami bisa secara layak meratapi dan mengubur mereka?
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya penghilangan paksa secara luas dan sistematik, seperti yang diuraikan dalam dakwaan nomor 18 dibawah tuduhan 7, dan bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan ini.

Tuduhan 8 Persekusi melalui propaganda
Pihak penuntut menampilkan kesaksian dari dua saksi ahli, Dr Saskia Wieringa dan Dr Wijaya Herlambang, yang menjelaskan tentang penggunaan dan fungsi propaganda yang telah menimbulkan penghasutan dan akhirnya mengakibatkan terjadinya beberapa kejahatan berat.
Dr Wieringa mengawali penjelasan dengan pemaparan latar belakang sejarah.
Dia menjelaskan bagaimana PKI dicap sebagai ateis, dan dengan demikian anti Pancasila dan bertentangan dengan bangsa. Karena semua orang di Indonesia harus menganut salah satu dari agama yang diakui, dituduh sebagai ateis dan tidak memiliki moralitas seksual merupakan sesuatu yang akan memancing respon keras dari masyarakat Indonesia. 
Stigma ini masih berlanjut sampai hari ini.
Segera setelah kudeta 30 September, pihak militer mengukuhkan narasi tentang PKI melalui sebuah buku yang ditulis oleh seorang sejarawan militer, Nugroho Notosusanto, yang diterbitkan pada Desember 1965. Koran-koran dilarang dan hanya koran milik militer yang diijinkan.
Pihak militer menyebarkan berita palsu bahwa para perempuan dari Gerwani telah menggoda para jenderal dan mengebiri mereka sambil menari telanjang. PKI kemudian dituduh telah melatih para perempuan tersebut. Walaupun hasil otopsi para jenderal menunjukkan bahwa ini tidak benar, cerita ini tetap bertahan dan diterima secara umum di Indonesia, hingga kini.
Kampanye anti-PKI disebarkan melalui berbagai cara dan metode, termasuk film, kurikulum sekolah, buku, upacara dan monumen kenegaraan. Radio juga merupakan salah satu cara yang paling efektif digunakan dalam kampanye ini.
Analisa ahli juga mengkonfirmasi bahwa propaganda kebencian ini telah mengakibatkan berbagai tindakan diskriminasi, peminggiran, penghinaan dan dehumanisasi dari PKI, dan terutama Gerwani serta semua yang terkait dengan mereka.
Propaganda tersebut telah menciptakan budaya ketakutan.
Dr Wieringa menyimpulkan bahwa pihak militer menyadari potensi kedasyatan dampak-dampak dari kampanye propaganda, yang penuh kebohongan.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya persekusi yang meluas dan sistematis melalui propaganda, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan di bawah tuduhan nomor 8, dan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan tersebut.

Tuduhan 9 Keterlibatan Amerika Serikat, Inggris dan Australia
Penuntut menampilkan dua saksi ahli, Bradley Simpson dan Dr Wijaya Herlambang. Mereka menguraikan keterlibatan Amerika Serikat, Inggris dan Australia dan dukungan yang diberikan negara-negara tersebut kepada Negara Indonesia.
Bradley Simpson bisa membuktikan bahwa pemerintah AS melakukan operasi rahasia sebelum pembunuhan jenderal-jenderal pada 30 September dan berusaha mengambil keuntungan dari peristiwa tersebut untuk mendesak Angkatan Darat Indonesia untuk menghancurkan PKI. AS, Inggris dan Australia memberikan peralatan komunikasi radio untuk memudahkan komunikasi antar pasukan-pasukan dan memberikan senjata ringan dan uang. Mereka mendukung Indonesia dalam pelaksanaan kejahatan massal tersebut. Mereka juga memberikan daftar-daftar orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI kepada pihak berwenang Indonesia.
Dr Herlambang menyelidiki satu bidang lain – pengaruh budaya CIA, yang memanipulasi para intelektual Indonesia untuk mendukung opini-opini anti-komunis.
 Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada, membuktikan bahwa AS, Inggris dan Australia terlibat dalam pelaksanaan kejahatan pembunuhan, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi dan penghilangan paksa sebagai kejahatan terhadap umat manusia.
Setelah sidang selama empat hari, saya ingin meninjau kembali pertanyaan rekan saya dan ketua penuntut yang dalam pernyataan pembuka mengajukan pertanyaan:  
Mengapa kita di sini?
Kami menyimpulkan bahwa kami telah melakukan suatu langkah penting dan besar menuju jalan panjang pencarian kebenaran, yang telah dibungkam selama beberapa dasawarsa.
Dan kami melakukan langkah besar selanjutnya yaitu menyerukan kepada Indonesia untuk mengakui dan menerima laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2012, mengikuti rekomendasi-rekomendasinya dan segera memulai penyelidikan yang memadai mengenai kejahatan-kejahatan skala besar yang telah dilakukan.
Kami sungguh percaya bahwa Tribunal Rakyat Internasional ini akan membukakan pintu untuk pengakuan yang sejati terhadap kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan pelaku-pelaku individual;
Kami sungguh percaya bahwa Tribunal ini akan membuka pintu
untuk permintaan maaf yang sungguh-sungguh;
pemulihan dan
rehabilitasi orang-orang yang didiskriminasikan hingga hari ini.
Tribunal ini juga memberi kontribusi penting pada perjuangan panjang dan tanpa henti melawan impunitas.
Para penyintas menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengakui keterlibatan mereka, untuk memecahkan kebungkaman dan meluruskan rekaman sejarah.
Tribunal ini juga sangat diperlukan untuk mengingatkan setiap orang bahwa kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh terulang lagi.
Terimakasih atas perhatian anda.


http://1965tribunal.org/id/pernyataan-akhir-para-jaksa-tribunal-rakyat-international-tentang-kejahatan-terhadap-kemanusiaan-di-indonesia-pada-1965/

Minggu, 22 November 2015

Dakwaan Tribunal Rakyat Internasional Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia

November 22, 2015

Penuntutan oleh Tribunal Ralyat Internasional tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan 1965 mendakwa:
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Dengan pelaksanaan dari Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan-ketentuan Hukum Adat Internasional, sesuai dengan yang telah ditetapkan di bawah:
Yang Didakwa:
  • Negara Republik Indonesia, terutama angkatan-angkatan bersenjata dibawah Jeneral yang nantinya menjadi Presiden Suharto, termasuk pemerintah-pemerintahan selanjutnya dan milisi-milisi di bawah kontrolnya.
  • Setelah pembunuhan dari enam jeneral dan satu letnan pada malam 30 September – 1 Oktober 1965 oleh “Gerakan 30 September” (G3), kampanye pembinasaan dari orang-orang dan organisasi-organisasi yang diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia (“PKI”) telah dikobarkan. Kampanye ini berisi propaganda kebencian yang ditujukan untuk menggambarkan mereka yang diduga bagaian dari PKI sebagai atheis, amoral, anti-Pancasila dan hiper-sexual.
  • Para tentara dan milisi dibawah kontrolnya telah membunuh ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI, menangkap ratusan ribu orang secara ilegal, memberikan mereka siksaan, dan juga kekerasan seksual dan kekerasan yang berhubungan dengan gender. Selain itu, pemburuhan paksa dan deportasi, termasuk pencabutan paspor terjadi dalam skala yang besar. Kampanye propaganda kebencian ini terus berlanjut sampai hari ini.
  • Sebagai hasil dari tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, bagian yang signifikan dari kelompok nasional orang-orang Indonesia, yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI telah dibinasakan dan identitas dan sejarah mereka dihancurkan. Di dalam proses ini, Sejarah Indonesia telah di tulis kembali secara menyeluruh, struktur sosial yang ditemukan di tahun 1965 telah berubah dan konsekuensi aliran sejarah telah dipengaruhi secara mendalam. Sampai hari ini, orang-orang yang selamat dan para korban telah dibebani oleh stigma dan dianggap bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang menentang mereka.
Tanggung Jawab Negara di Bawah Hukum Internasional:
  • Berdasarkan atas Pasal-Pasal dari Tanggung Jawab dari Negara untuk Perbuatan-Perbuatan yang Salah (“Pasal-pasal”) Negara Indonesia adalah yang bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Pasal-Pasal ini mewakili Hukum Adat Internasional sehingga demikian bersifat mengikat secara hukum terhadap semua negara.
  • Asas pertama yang berpokok pada Pasal-Pasal tersebut secara umum adalah bahwa pelanggaran dari hukum internasional oleh sebuah negara mengharuskan tanggung jawabnya secara internasional. Asas hukum yang mendasar ini telah digunakan di berbagai pengadilan dan tribunal di peristiwa-peristiwa yang berbeda sebelum dan sesudah pengangkatan dari Pasal-Pasal oleh Majelis General PBB.
  • Selanjutnya, di bawah hukum dari tanggung jawab negara, memfasilitasi pelaksanaan dari sebuah perbuatan salah internasional oleh negara-negara yang lain, seperti perbuatan jahat terhadap kemanusiaan, atau tindakan pelecehan yang lainya, negara yang memfasilitasi bisa dibuat bertanggung jawab karena telah memungkinkan pelanggaran-pelanggaran seperti itu terjadi. Dengan kata lain, perbuatan terlibat dari negara-negara yang membantu dan mendukung negara-negara lain dalam pelanggaran terhadap hukum internasional adalah merupakan tindakan terlarang, di bawah hukum tanggung jawab negara.
  • Selain melarang bantuan dan dukungan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap hukum internasional apapun, Pasal-Pasal tersebut juga memuat larangan mutlak dalam pemberian bantuan dan persekongkolan dari pelanggaran-pelanggaran dari obligasi Negara, yang timbul di bawah norma-norma hukum internasional yang patut ditaati. Pelanggaran dianggap serius apabila ini melibatkan kesalahan mencolok dan sistematis oleh Negara, untuk memenuhi kewajiban yang dipertanyakan. Hari ini, norma-norma yang diterima sebagai sesuatu yang patut ditaati secara alami termasuk larangan terhadap agresi, genosida, perbudakan, apartheri, kejahatan terhadap kemanusiaan, siksaan dan hak dalam menentukan nasib sendiri.
  • Perbuatan-perbuatan dan/atau kelalaian-kelalaian yang dimaksud di atas telah dilakukan di bawah tanggung jawab penuh Negara. Jeneral Suharto mengambil secara serta merta kontrol dari ibu kota dan pasukan-pasukan bersenjata pada tanggal 2 Oktober 1965 secara de facto. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) telah didirikan pada tanggal 10 Oktober untuk melaksanakan likuidasi terhadap PKI dan orang-orang yang dianggap simpatisan. Pada tanggal 1 November, Jenderal Suharto telah ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib. Maka dari itu, Komando ini dilaksanakan di bawah perintah langsung dari Jenderal Suharto.
  • Dibawah komando dari tentara dan persekutuan dengan pasukan-pasukan konservatif agamais, demonstrasi para pelajar yang tersebar dan ganas mempelopori kampanya untuk menghapuskan Presiden Sukarno dari kekuasaan dan menghapuskan PKI. Pada bulan Maret 1966, Jendral Suharto merebut kontrol dari Presiden Sukarno; di tahun berikutnya Ia telah ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia.
  • Jendral Suharto dan para rekannya serta merta menyalahkan PKI sebagai dalang dari G30S. Kampanye propaganda militer menyebarkan foto-foto dari para jendral yang telah meninggal dengan klaim bahwa para komunis, terutama perempuan komunis, telah menyiksa dan membantai mereka sebelum meninggal. Akibatnya, tak lama kemudian kekerasan dan demonstrasi-demonstrasi dari tentara dan kelompok-kelompok pemuda, dilengkapi dan/atau didukung oleh militer dan pemerintah, menargetkan orang-orang yang disangka komuniste terpecah di Aceh, Jawa Pusat dan Jawa Timur, sebelum tersebar ke seluruh Indonesia. Penduduk sipil dibunuh, diperkosa, disiksa, diperbudak dan ditundukan terhadap tindakan-kejahatan melawan kemanusiaan yang lainya di rumah mereka masing-masing atau di tempat-tempat umum.
  • Pada tanggal 21 Desember 1965, Jendral Suharto mengeluarkan perintah (KEPI/KOPKAM/12/1965) kepada pemimpin-pemimpin militer di Indonesia agar menyusun daftar-daftar para anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI di area mereka masing-masing. Penduduk sipil yang namanya termasuk di daftar-daftar tersebut menjadi target-target dari pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang mencolok, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan tindakan-kejahatan yang lainya, sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).
  • Pada tahun 1998, Presiden Suharto dipaksa untuk turun dari jabatan presiden dan apa yang disebut sebagai Reformasi dimulai. Akan tetapi, struktur kekuatan yang disusun di bawah Pemerintahan Presiden Suharto sebagian besar masih utuh. Sampai hari ini, belum ada permintamaafan resmi yang dikeluarkan dan belum ada satupun pelaku yang dihukum. Impunitas masih berkuasa sampai hari ini.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan:
  • Penuntutan ini menyadari fakta bahwa penuntutan ini bukan badan yudisial dan maka dari itu tidak melakukan pengajuan untuk pertanggungjawaban kriminal secara individu. Akan tetapi, penuntutan ini bisa memberikan bukti untuk menetapkan dasar yang layak bahwa tindakan kejahatan yang melawan kemanusiaan telah dilaksanakan, dan maka dari itu memberikan alasan untuk investigasi kriminal oleh sebuah pengadilan hukum nasional atau internasional yang kompeten.
  • Tindakan kejahatan melawan kemanusiaan telah berkembang secara pokok melalui evolusi dari hukum adat internasional. Tidak seperti tindakan-kejahatan internasional yang lainya, hukum ini belum dikodifikasikan oleh perundingan internasional.
  • Secara fundamental, tindakan-kejahatan melawan kemanusiaan merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan – yang bisa diangkat sebagai kejahatan di sebagian besar sistem hukum kriminal nasional dunia – dilakukan sebagai bagian dari penyebaran atau serangan terhadap penduduk sipil secara sistematis dan tersebar. Yang paling penting, pelarangan dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan normal dari hukum internasional yang “jus cogens”, yang berarti bahwa penghinaan tidak diizinkan dalam situasi apapun.
  • Tuntuan pertama dari tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan sebelum Tribunal Militer Internasional (IMT) di Nuremberg. Pada tahun 1947, topik dari “tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan” telah di tambahkan di agenda dari Komisi Hukum Internasional (ILC), yang diberikan mandat oleh Majelis Jeneral PBB dengan perumusan dan kodifikasi dari asas-asas hukum international yang diakui dan diperkuat di Carter dan Pertimbangan Nuremberg.
  • Yang signifikan adalah Hukum Dewan Kontrol No. 10 (CCL10), tertanggal 20 Desember 1945, yang secara sengaja meninggalkan persyaratan “nexus” dari konflik bersenjata. CCL10 telah diterbitkan oleh sebuah badan internasional, Persekutuan Dewan Kontrol, dan membentuk dasar untuk tuntunan dari tindakan-kejahatan internasional di zona-zona negara Jerman. Selain itu, setelah pertimbangan-pertimbangan selama hampir 50 tahun, definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah diterapkan oleh ILC di Rancangan Kitab Undang-Undang tahun 1996, memiliki perbedaan dari yang digunakan di Nuremberg Tribunal, dengan tidak mengharuskan “nexus” antara tindakan-kejahatan seperti itu dan konflik bersenjata.
  • Pengadilan Kriminal Internasional “ad hoc” yang selanjutnya, dibebankan dengan tuntunan untuk tindakan-kejahatan terhadap kemanusian cenderung menggunakan definisi dari tindakann kriminal yang sedikit berbeda dan di beberapa kasus meninggalkan syarat-syarat “nexus” dari konflik bersenjata secara keseluruhan. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) permanen mendefinisikan tindakan-kejahatan seperti itu didalam persetujuan pembinaannya, Undang-Undang Roma, sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyebaran serangan atau serangan yang sistematis terhadap populasi masyarakat manapun, dengan mengetahui tentang serangan- serangan tersebut. Selanjutnya, definisi menurut Undang-Undang Roma memberikan daftar yang luas tentang kejahatan spesifik yang bisa menjadi bagian dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan sampai saat ini.
  • Definisi yang disediakan oleh Undang-Undang Roma tidak dimaksudkan untuk dianggap sebagai kodifikasi yang definitif. Akan tetapi, ini merupakan pengajuan kami, bahwa ini mencerminkan konsensus terbaru dari masyarakat internasional secara menyeluruh dalam isu ini. Maka dari itu, pada saat ini, ini bisa dianggap sebagai definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling otoriter. Sebagai tambahan, Rancangan Pasal Pasal dari ILC yang terbaru tentang topik ini, yang telah diterapkan pada tahun 2015 juga sejajar dengan itu.
  • Definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan telah berkembang sepanjang waktu dan sampai titik waktu saat ini, dimana tindakan-kejahatan dikatakan bisa dilakukan dalam konflik bersenjata dan waktu yang relatif damai. Akan tetapi, tindakan-kejahatan yang penting untuk Penuntutan ini telah dilakukan pada waktu dimana definisi yang menyebar di bawah hukum adat internasional adalah yang dikandung di Carter Nuremberg dan mengharuskan sebagai “nexus” diantara tindakan-kejahatan yang diduga dan sebuah konflik persenjataan, yang tidak merupakan kasus selama periode yang penting untuk Penuntutan ini. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pada tanggal 20 Desember 1945, Persekutuan Dewan Kontrol mengeluarkan CCL10 dan tidak mengakui persyaratan “nexus” dari konflik bersenjata. Maka dari itu, segera setelah pengangkatan dari Carter Nuremberg, badan intrenasional selanjutnya berkembang dengan definisi kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, berangkat dari syarat bahwa tindakan-kejahatan seperti itu memerlukan sebuah link dengan konflik bersenjata. Pada tahun 2000, Undang-Undang Indonesia nomor 26 yang mengangkat di Pasal nomor 9 definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang tercantum pada Pasal 7 dari Undang-undang Roma, dimana “nexus” tidak diperlukan. Selanjutnya, Undang-Undang nomor 26 memiliki efek yang retroaktif di negara Indonesia, seperti yang dibuktikan oleh Pasal-pasal 43, 44 dan 47, dimana tersedia kemungkinan pembentukan dari pengadilan hak azasi manusia “ad hoc” atau, sebagai alternatif, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagai respon terhadap pelanggaran terhadap hak azasi manusia menyolok yang dilakukan sebelum pemasukan ke dalam kekuatan hukum yang dimaksud dan yang penting berdasarkan Pasal nomor 9. Ini juga merupakan bimbingan bahwa penyelidikan oleh Komisi Hak Azasi Manusia nasional tentang kejadian 1965-1966 telah dilakukan berdasarkan atas hukum nomor 26, sebagai tambahan untuk kualifikasi dari kejadian-kejadian tersebut sebagai bagian dari tindakan-tindakan kriminak terhdapat kemanusiaan, berdasarkan pasal nomor 9 dari undang-undnag yang dimaksud.
  • Tuntunan ini, maka dari itu, menegaskan bahwa pasal nomor 9 dari undang-undang nomor 26 yang berhubungan dengan pasal nomor 7 dari Undang-Undang Roma menyediakan dasar yang kuat untuk menyimpulkan pertanggung jawaban negara Indonesia.
Dugaan-Dugaan Umum:
  • Semua tindakan dan/atau kekeliruan yang dibebani merupakan bagian dari penyebaran serangan dan serangan sistematis yang ditujukan terhadap PKI dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan.
  • Disetiap waktu yang penting untuk Tuntutan ini, Negara Indonesia telah diharuskan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan dari Hukum Publik Internasional.
Tuntutan-tuntutan
TUDUHAN 1: PEMBUNUHAN
  • Negara Indonesia secara indivial atau dengan persetujuan dari peserta-peserta yang lainya telah merencanakan, mendesak, memerintah, melakukan atau secara lain membantu dan bersekongkol untuk pembunuhan dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI, para anggota dari Komunitas Tionghoa di Indonesia, dan para anggota dari penduduk sipil umum dari tanggal 1 Oktober 1965 sampai paling tidak 31 Desember 197. Ini terjadi melalui tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian dari kebijakan dan unit militer yang dikontrol oleh Negara Republik Indonesia.
  • Pembunuhan dilarang di bawah Pasal 9(1) Undang-Undang nomor 26 seperti yang juga tertera di Pasal 7(1) dari Undang-Undang Roma.
  • Pembunuhan-pembunuhan itu merupakan bagain dari penyebaran serangan dan serangan sistemasis terhadap penduudk sipil. Kewenangan untuk melakukan pembunuhan datang dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Negara Indonesia dan pembunuhan-pembunuhan dilakukan oleh badan Negara, begitu juga organisasi-organisasi yang didukung oleh dan/atau berfungsi di bawah intruksi dan bimbingan dari Negara. Kekuasaan negara tertinggi yang bertanggung jawab untuk pembunuhan-pembunuhan ini dan tindakan-tindakan kekejaman yang lain adalah Kopkamtib. Eksekusi dilakukan dengan atau di bawah perintah dari beberapa kesatuan militer, berbeda-beda sesuai dengan propinsi.
  • Segera setelah Suharto mengeluarkan perintah sesuai dengan yang disebutkan di atas, pada tanggal 21 Desember 1965, unit militer dari tingkat daerah dan propinsi memulai penyebaran pembunuhan yang sistematis terhadap para anggota, pengikut dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI.
  • Di beberapa propinsi, seperti di Bali, penyebaran pembunuhan yang sistematis terhadap para anggota, pengikut dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI telah terjadi sebelum perintah Kopkamtib dikeluarkan.
  • Penyebaran pembunuhan terhadap para anggota dari komunitas Tionghoa-Indonesia di Propinsi Aceh:
  • Setelah tanggal 1 Oktober 1965, ada beberapa tindakan kekerasan terhadap komunitas Tionghoa-Indonesia termasuk para anggora dari Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan yang bukan anggota.
  • Walaupun Baperki telah didirikan sebagai organisasi non-politik untuk Keturunan Tionghoa Indonesia, organisasi ini didukung oleh PKI dan mantan Presiden Sukarno. Ini merupakan alasan mengapa para anggotanya ditundukkan dengan pembunuhan dan tindakan- tindakan kekerasan bentuk lain atau perlakukan yang tidak berperikemanusiaan.
    • Menurut para saksi dari kekerasan anti-Keturunan Tionghoa di Aceh diantara Oktober akhir dan November 1965, tiga anggota dari Baperki telah dibunuh selama periode ini. Seorang korban didorong ke laut, yang lainya dibakar dan korban, yang ketiga di tusuk hingga meninggal.
    • Orang manapun yang diidentifikasikan sebagai teman dari Baperki dianggap memiliki hubungan yang cukup dengan organisasi untuk dijadikan target pembunuhan. Pembunuhan dari orang-orang yang diasosiasikan dengan Baperki terjadi di beberapa wilayah di Aceh, termasuk Meulaboh, Tapaktuan, and Blangpidie.
    • Penyebaran pembunuhan sistematis terhadap Komunitas Tinghoa-Indonesia di propinsi Kalimantan Barat:
    • Pada tahun 1967, ribuan orang Indonesia keturunan Tionghoa dibunuh oleh Militer Indonesia di Kalimantan Barat.
    • Selama era konfrontasi dengan Malaysia, Presiden Sukaro membentuk Pasukan Geriliyawan Rakyat Sarawak (PGRS), yang mengikuti ideologi komunis.
    • Banyak anggota dari komunitas Indonesia keturunan Tionghoa yang tinggal di Kalimantan Barat mengikuti PGRS.
    • Konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia berhenti pada tahun 1966 setelah penggantian Sukarno oleh Suharto sebagai Presiden dan negara Indonesia berupaya untuk menekan PGRS.
    • Sebagai cara untuk menekan PGRS dan Komunisme secara lebih luas, Militer indonesia membunuh banyak orang-orang Indoenesia keturunan Tionghoa yang tinggal di Kalimantan barat.
  • Penyebaran pembunuhan sistematis terhadap para anggota, pengikut, simpatisan PKI di Propinsi Nusa tenggara Timur:
  • Menurut laporan dari Komnas HAM, ada tragedi malnutrisi di propinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun 1965 dan 1966.
  • Bantuan telah disediakan untuk orang-orang yang terjangkit oleh PKI dan juga Barisan Tani Indoneisa (BTI), termasuk alokasi tanah untuk orang-orang Nusa Tenggara Timur.
  • Militer Indonesia menganggap bahwa siapapun orang yang telah menerima bantuan dari PKI atau BTI selama waktu ini berasosiasi dengan organisasi-organisasi ini. Dengan alasan ini, banyak penduduk sipi yang ditangkap, dipenjarai dan dibunuh oleh anggota-anggota militer.
    • Pada pertengahan Februari 1966, sebuah pertemuan dilaksanakan di rumah seorang Komandan Militer (Kodim 1607) di Daerah Maumere. Kepala Staff di Komandan Operasi lokal (Kastaf Komop) mengundang para anggota dari partai politik lokal, organisasi-organisasi sosial dan Partai Golkar untuk menghadiri pertemuan itu. Mereka yang hadir telah dipanggil untuk “mengamankan” (contohnya- membunuh) semua ketua, anggota dan simpatisan dari PKI. Mereka diberitahu bahwa ini penting dilakukan untuk menjaga Gereja Katolik di Nusa Tenggara Timur karena asosiasi PKI dengan beberapa organisasi atheis.
    • Pada tanggal 16 February 1966, Komando Operasi okal (Komop) menginformasikan kepada pendeta-pendeta Katolik bahwa telah ada beberapa jumlah kematian sebagai akibat dari operasi yang didiskusikan di pertemuan di Maumere. Jumlah orang yang dibunuh oleh polisi dan anggota militer di wilayan Nusa Tenggara Timur dilaporkan sebagai berikut: i. Wilayan Sabu: 34 orang, ii. Wilayah Sumba: 40 orang, iii. Wilayah Alor: 409 orang, iv. Wilayah Kupang Timur: 58 orang, Wilayah Baun: 34 orang.
    • Di beberapa wilayah, pasukan militer menekan penduduk sipil lokal untuk menghadiri eksekusi masal untuk membuat mereka tidak berani melawan pemerintah, seperti PKI. Di wilayan-wilayah lain, penduduk sipil bisa mendengar regu penembak mengeksekusi para anggota, pengikut dan simpatisan PKI pada malam hari.
    • Penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan eksekusi para anggota, pengikut dan simpatisan PKI dipimpin oleh militer lokal dan dibantu olah pemimpin-pemimpin pemerintah lokal, Gereja Katolik, anggota partai politik dan organisasi-organisasi pemuda.
    • Organisasi-organisasi pemuda telah direkrut dan diberikan senjata oleh anggota militer lokal untuk menangkap, memenjarai, menyiksa dan mengeksekusi para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI.
    • Penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan eksekusi dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI berlangsung sampai tahun 1967, ketika pendeta-pendeta Katolik di Alor memerintahkan para anggota militer untuk menghentikan operasi tersebut.
    • Penyebaran pembunuhan sistematis dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di Propinsi Jawa Tengah:
    • Menurut penelitin yang dilakukan oleh Matthias J. Hammer, antara 100.000 dan 140.000 orang telah dibunuh oleh militer dan kelompok para-militer di Jawa Tengah antara tahun 1965 dan 1966.
    • Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh para anggota IPT 1965, bisa diestimasikan bahwa ada 70.000 orang yang lainya dipenjara di Wilayah Klaten yang dibunuh oleh militer.
    • Penyebaran pembunuhan sistematis para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di Propinsi Bali:
    • Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Ngurah Suryawan, 200-300 anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI telah dibunuh oleh pasukan militer dan para-militer (termasuk RPKAD dan Banser NU) di Tegal Badung di sub-wilayah Baluk, Wilayah Jembrana selama bulan Oktober 1965.
    • Banyak anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI telah dibunuh oleh militer di pantai Candikusuma, yang terletak di sub-wilayah Melaya dari Wilayan Negara.
  • Penyebaran dan pembunuhan sistematis dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di Propinsi Sulawesi Selatan:
    • Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Taufik Ahmad, 300 anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI telah dibunuh oleh militer selama bulan November 1965 di Wilayah Bone.
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian ini, Negara Indonesia secara intrenasional bertanggung jawab terhadap:
TUDUHAN 1: Pembunuhan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
TUDUHAN 2: PERBUDAKAN
  • Negara Indonesia secara indivial atau dengan persetujuan dari peserta-peserta yang lainya telah memenjarakan dan memperbudak para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di kamp-kamp penjara. Penahanan ilegal dan pembudakan telah dilaksanakan oleh polisi dan komandan militer mulai dari tanggal 1 Oktober 1965.
  • Pelarangan terhadap perbudakan merupakan bagian yang tidak ambigu dari hukum adat internasional dan didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dibawah pasal 9(3) dari Undang-undang Nomor 26 seperti yang tertera pada Pasal 7(1) (c) dari Undang-Undang Roma. Pasak 7 (2) (c) dari Undang-Undang Roma selanjutnya mengkarateristikan perbudakan sebagai gerakan dari kekuatan-kekuatan yang berhubungan dengan hak kepemilikan seseorang dan termasuk gerakan dari kekuatan seperti itu di dalam penjual-belian orang-orang, terutama perempuan dan anak. Indikasi dari pembudakan termasuk kontrol dari gerakan seseorang, kontrol dari lingkungan fisik, kontrol psikologis, tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah atau menghalangi penyelamatan diri, tekanan, ancaman dari tekanan atau paksaan, durasi, penegasan ekslusifitas, penundukan terhadap perlakuan yang kejam dan pelecehan, kontrol dari seksualitas dan kerja paksa. Tekanan atau pekerjaan tak suka rela juga bisa menjadi bagain dari perbudakan.
  • Kondisi dari kamp-kamp penjara sangat tidak baik dan para tahanan dipaksa untuk melakukan pekerjaan berat tanpa bayaran dan disediakan makanan yang sangat sedikit.
  • Orang-orang yang telah didata telah ditahan secara ilegal di kamp-kamp penjara ini, banyak yang tanpa surat penangkapan, selama periode sampai 10 tahun dan banyak orang yang telah dipindahkan dari kamp satu ke kamp lainya.
  • Adanya beberapa kamp-kamp penjara di sekitar Indoensia telah didata, termasuk:
    • Monconglowe di Sulawesi Selatan
    • Nanga-Nanga dan Kendari di Sulawesi Tenggara
    • Kamarau Island di Sumatera Selatan
    • Argosari di Kalimantan Timur
    • Wadas, Latitude, Bradford, Nusakambangan dan Plantungan (sebuah kamp penjara perempuan) di Central Java
    • Pulau Buru, Maluku.
  • Perbudakan di Monconglowe, Sukawesi Selatan:
911 orang telah dikirim ke Monconglowe pada tahun 1969
Pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang diperbudak di Monconglowe telah didata, termasuk:
      • Pekerjaan yang termasuk pembukaan lahan, penebangan bebas, pengergajian kayu, pekerjaan penggalian dan pemotongan bambu
Pekerjaan dalam proyek-proyek bangunan, terutama pembangunan dari kantor-kantor dari Komando Operasi dan perumahan militer.
      • Budak buruh pribadi untuk anggota-anggota individu dari Hasanuddin Regional Command Battalion Guard XIV (Kiwal Kodim), termasuk pekerjaan untuk perkebunan yang dimiliki oleh anggota-anggota batalion. Pekerjaan jenis ini digambarkan sebagai “pedoman dan bimbingan” untuk para tahanan.
      • Seorang saksi yang pernah diperbudak di Kamp Monconglowe menjelaskan bahwa orang-orang dipaksa bekerja banyak jam tanpa bayaran dan diberikan hanya setengah liter nasi per-hari. Saksi pernah diharuskan untuk bekerja di konstruksi rumah-rumah, pembukaan lahan dan pembangunan jalan, termasuk jalan sepanjang 23 km dari Monconglowe ke Daya. Saksi telah ditahan selama 10 tahun.
    • Saksi lain yang dari kamp yang sama menggambarkan pengalaman mereka memotong kau dan bambu tanpa bayaran
    • Perbudakan di Pulau Buru, Maluku:
    • Lebih dari 10.000 orang telah didata pernah diperbudak di Pulau Buru dari tahun 1969.
    • Pada tahun 1972, relatif banyak tahanan yang dideportasi ke Pulau Buru.
    • Para tahanan dipaksa untuk bekerja untuk proyek-proyek seperti pembangunan jalan dan kanal irigasi, pembukaan lahan, panen padi, pembangunan dan renovasi dari barak-barak dan rumah-rmah, pemotongan kayu, pembangunan bangunan publik seperti tempat-tempat persembahyangan dan pusat-pusat kesehatan dan produksi garam dan gula.
    • Makanan yang disediakan untuk para tahanan memiliki nilai nutrisi yang sangat sedikit. Para tahanan hanya diberikan izin memakan nasi kadang-kadang (maksimal 250 gram per hari) dan biasanya disediakan ubi, jagung, kentang manis atau sagu. Banyak yang menjadi terbiasa memakan tikut, ular dan daging seperti itu yang lainya.
    • Perbudakan di Balikpapan, Kalimantan Timur:
    • Pada tahun 1972, 800 orang didata pernah diperbudak di Balikpapan dan digunakan tenaga mereka untuk membangun sebuah airtsrip.
    • Seorang saksi yang pernah ditahan di Kalimantan menyatakan: “Kami telah dipaksa untuk bekerja untuk konstruksi bangunan-bangunan Pemerintah dengan bayaran yang sedikit. Sering kamu harus bekerja sebagai “sukarelawan” dan tak mendapatkan apapun sama sekali. Para petugas menggunakan kami sebagai kuli untuk membersihkan piring dan pakaian dan membersihkan WC. Jika ingin mendapatkan Rp. 75 per hari, orang bisa bekerja hari dan malam di kontruksi bangunan Bandar Udara Balikpapan. Ada ratusan pekerjaan ganjil yang harus kami lakukan untuk para petugas, terlalu banyak untuk menyebutkan itu semua”
    • Perbudakan di Jawa Tengah:
    • Di Pulau Nusa Kambangan, 5000 orang didata telah diperbudak di tahun 1970 dan 7000-10000 di tahun 1972.
    • Di penjara perempuan Platungan, 600 orang didata telah diperbudah pada tahun 1972.
    • Perbudakan di Jawa Timur:
    • 3971 orang didata telah diperbudak di beberapa penjara
    • Buruh tahanan digunakan secara internsif untuk membangun jalan dan proyek-proyek lainya yang terdata.
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia bertanggung jawab secara internasional untuk:
TUDUHAN 2: Perbudakan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
TUDUHAN 3: PENAHANAN
  • Negara Indonesia secara indivial atau dengan persetujuan dari peserta-peserta yang lainya telah menangkap secara sewenang-wenang para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI tanpa percobaan.
  • Pemenjaraan memiliki arti perampasan secara sewenang-wenang kebebasan individu tanpa proses hukum. Status larangan penahanan sewenang-wenang di bawah hukum internasional awalnya dikembangkan dari hukum perang. Sejak Carter Nuremberg, penahanan sewenang-wenang adalah kejahatan yang terdaftar di bawah tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan didukung oleh banyak instrumen hak asasi manusia. Penahanan sewenang-wenang tanpa surat perintah atau percobaan adalah antara lain dilarang berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 seperti tertuang dalam Pasal 7 (1) (e) dari Undang-Undang Roma.
  • Hampir tidak ada orang ditahan diberi surat perintah penangkapan mereka dan mereka dipaksa untuk bertahan dalam kondisi mengerikan di kamp-kamp yang penuh sesak atau penjara.
  • Banyak orang yang meninggal selama penahanan mereka.
  • Estimasi jumlah dari orang yang ditahan beraneka ragam. Amnesty Internasional mengungkapkan bahwa pada tahun 1977 jumlah angka diperkirakan sekitar 1 juta.
  • Psikolog membagi tahanan dalam kategori A, B dan C berdasarkan penilaian tingkat jelas loyalitas komunis mereka. Kategorisasi para tahanan biasanya merupakan indikasi apakah mereka akan bertahan dan dengan demikian psikolog pada dasarnya sedang melakukan peran hakim.
    • Tahanan kategori A dianggap sebagai memiliki keikutsertaan secara langsung dengan PKI dan dieksekusi.
    • Tahanan kategori B ditahan selama periode sampai 14 tahun, sering meninggal karena kondisi yang tidak baik. Banyak tahanan dalam kategori B dinaikan ke kapal menuju kamp penjara di Pulau buru. Di Timor, banyak tahanan kategori B dieksekusi dengan tahanan kategori B
    • Tahanan kategori C dilepaskan secara bertahap setelah beberapa tahun. Pelepasan mereka bergantung semata-mata pada instruksi sewenang-wenangd ari Kopkamtib. Pada tahun 1975 Surat Keputusan Presiden dikeluarkan untuk melanjutkan klasifikasi para tahanan menjadi kategori C1, C2, dan C3.
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Pemerintah Indonesia secara internasional bertanggung jawab terhadap:
TUDUHAN 3: Penahanan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
TUDUHAN 4: PENYIKSAAN
  • Negara Indonesia melalui pasukan-pasukan militar telah emlakukan, memfasilitasi dan mendiring dan membiarkan penyikasaan yang tersebar terhadap para anggota, pengikut dan simpatisa dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI pada periode tahun 1965-1979.
  • Penyiksaan terdiri dari pemberian penderitaan, dengan suatu tindakan atau kelalaian, dengan sakit yang parah atau penderitaan, baik fisik maupun mental. Walaupun penyiksaan dilarang berdasarkan Pasal 9 (6) Undang-undang Nomor 26, ini tidak sejauh mendefinisikan apa yang akan merupakan penyiksaan. Dalam hal ini, Pasal 7 (2) (e) dari Undang-Undang Roma menawarkan sarana interpretasi, mendefinisikan penyiksaan sebagai “penderitaan yang disengaja dari sakit yang parah atau penderitaan, baik fisik maupun mental, pada seseorang dalam tahanan atau di bawah kendali terdakwa.”
  • Di dalam banyak kasus, penyiksaan yang dilakukan oleh pasukan militer Indonesia berujung sampai kematian.
  • Kebanyakan dari tindakan penyiksaan dilakukan selama atau setelah pengangkapan korban untuk mendapatkan informasi dari korban atau menghukum, mengancam, mempermalukan atau mengintimidasi korban dan yang lainya. Kadang-kadang penyiksaan dilakukan untuk menekan korban untuk merubah loyalitas politiknya.
  • Para korban disiksa di rumah mereka, di pusat penahanan atau di tempat-tempat umum.
  • Penyiksaan terjadi secara luas dan dengan cara yang sistematis. Dari data yang diambil oleh IPT 1965, para peneliti mendata 235 korban-korban penyiksaan. Ini termasuk 4 kekerasan sexual, 187 pemburuhan paksa dan 8 pemerasan untuk pengamanan perilisan. 173 dari korban penyiksaan dipaksa untuk tetap melapor kepada otiritas secara reguler setelah mereka dilepaskan.
  • Tindakan-tindakan penyiksaan yang terjadi termasuk:
    • Pembakaran bagian-bagian tubuh
    • Memberikan sengatan listrik
    • Berbagai jenis penyiksaan dengan menggunakan air
    • Pelecehan seksual
    • Pelepasan kuku jari
    • Memaksa korban untuk meminum air seni dari tentara
    • Mungurutkan cabe di mata para korban
    • Mengikat korban di dalam karung berisi ular
    • Memotong telinga korban dan memaksanya memakan potongan telinga tersebut
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab terhadap:
TUDUHAN 4: Penyiksaan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
TUDUHAN 5: KEKERASAN SEXUAL
  • Negara Indonesia melalui pasukan keamananya, telah melakukan, memasilitasi, mendorong dan membiarkan kekerasan seksual terhadap para anggota, pengikut, dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI.
  • Seperti yang diemonstraiskan oleh buktu-buktu yang didata oleh Komnas HAM dan tesimoni korban, penyebaran pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual dan aborsi paksa terjadi selama pembunuhan masal dan penahanan politik massal setelah tanggal 1 Oktober 1965.
  • Pasal 9(7) dari Undang-Undang normor 26 seperti yang tertuang di dalam pasal 7 (1) (g) Undang-Undang Roma, mendefinisikan kekerasan sexual sebagai pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan penghamilan, pemaksaan sterilisasi atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki gravitasi yang sebanding.
  • Kekerasan seksual di Indonesia merupakan bagian dari penyebaran penyerangan sistematis terhadap penduduk yang atau yang dianggap sebagai, anggota, pengikut atau simpatisan PKI. Ada bukti bahwa pelaku mengetahui bahwa tindakan itu merupakan bagian atau dimaksud sebagai bagian dari penyebaran penyerangan sistematis terhadap populasi pendududuk.
  • Kekerasan seksual dilakukan di dalam kondisi-kondisi yang penuh dengan paksaan ekstrim, paksaan atau ancaman, dimana para korban dirampas kebebasanya, dan ditahan secara ilegal dan tanpa alasan yang adil ditahan oleh para anggota pelayanan keamanan dan para wakil mereka.
  • Anggota dari pelayanan keamanan dan wakil-wakil mereka mendominasi pelaksanaan kekerasan seksual terhadap tahanan-tahanan perempuan, kapanpun dan dengan siapapun yang mereka inginkan.
  • Kekerasan seksual ini dilakukan di banyak regio di Indonesia terhadap jumlah besar korban, tanpa diketahui angka pastinya.
  • Menurut penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 oleh Komnas Perempuan, pasukan keamanan bisa melakukan kekerasan seksual tanpa pencegahan dari atasan mereka atau hukuman.
  • Komnas HAM menemukan bukti bahwa perempuan diperlakukan seperti barang dan/atau komoditas seksual oleh staff pasukan keamanan, yang termasuk perbudakan seksual. Selanjutnya, banyak perempuan dan laki-laki yang sering dipaksa untuk telanjang ketika mereka diinterogasi atau dipukul
  • Kekerasan seksual terjadi dalam berbagai keadaan atau tempat termasuk rumah-rumah para korban, tempat-tempat umum, tempat-tempat tahanan, barak-barak polisi atau militer dan di banyak fasilitas “ad hoc” yang digunakan untuk menahan orang-orang yang ditahan setelah kudeta 1965.
  • Beberapa dari kekerasan seksual dilakukan sebagai pelecehan tunggal, dimana korban-korban yang lainya mengalami pelecehan-pelecehan yang berulang-ulang atau bahkan dipaksa untuk menjadi prostitusi atau dinikahi, yang bertahan sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
  • Pengalaman dari seorang korban, Nyonya A, yang dicatat oleh laporan tahun 2007 oleh Komnas Perempuan adalah sebagai berikut: “Saya mulai merasa demam karena payudara saya mulai membengkak karena susu ASI. Saya meminta obat pengurang sakit kepada petugas. Saya dikelaurkan dari sel dan disuruh mandi di sumur di dekat sel saya. Setelah mandi saya diberi kain batik dan baju putih dan dibawa ke sebuah kamar dekat rumah petugas. Di dalam kamar itu ada sebuah tempat tidur dan sebuah meja. Saya disuruh duduk dan diberikan obat dan segelas air. Saya sedang terbaring di tempat tidur dan langsung tertidur. Tiba-tiba saya terbangun. Saya tidak menyadari bahwa saya telah ditelanjangi. Seorang laki-laki tinggi memperkosa saya secara bengis. Saya meraskan sakit yang luar biasa. Lalu datang seorang laki-laki yang lain, ia tinggi dan kurus. Dia memperkosa saya secara bengis; dan dia tidak peduli dengan darah yang terus mengalir dari vagina saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi kepada saya setelah laki-laki yang ketiga. Ia pendek dan gemuk. Tubuhnya yang berat menindih saya, dan dia menggigit payudara saya yang membengkak.
Saya jatuh pingsan. Ketika saya terbangun, saya telah kembali di sel saya. Selama satu bulan saya berada di tempat tahanan itu, empat kali saya dibawa pergi di malam hari untuk melayani para tentara. Apa lagi yang mereka inginkan dari sel satu ke sel yang lainya untuk mencari mangsa. Biasanya mereka mencari tahanan yang muda dan cantik. Kami tidak bisa menolak dan juga melarikan dari praktik-praktik ini (halaman 96-97 dari laporan Komnas Perempuan 2007).
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indoensia bertanggung jawab secara internasional terhadap:
TUDUHAN 5: Kejahatan seksual, sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
TUDUHAN 6: PENGANIAYAAN
  • Negara Indonesia melakukan penganiayaan terhadap ratusan ribu warga negara Indonesia yang berada di luar negeri diannatar tahun 1965 -1967 dalam bentuk pencabutan hak mereka untuk kembali dengan selamat ke negara asal mereka. Orang-orang yang dianiya sebagian besar adalah pelajar, pejabat pemerintah, jurnalis atau pejabat-pejabat yang lainya yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintahan Sukarno, dan juga orang-orang Indonesia yang diundang oleh pemerintah-pemerintah asing untuk menghadiri peringatan atau perayaan nasioanl di beberapa belahan dunia.
  • Walaupun pelanggaran dikenakan sebelum Nuremberg dan PengadilanTokyo, unsur-unsur pelanggaran ini menerima elaborasi terbatas sebelum pembentukan Tribunal “ad hoc”. Penganiayaan jelas termasuk tindakan dan /atau kelalaian yang mendiskriminasikan dan yang menyangkal atau melanggar hak dasar yang diatur dalam hukum adat internasional atau hukum perjanjian.
  • Di dalam pasal 9 (9) Undang-Undang nomor 26, seperti yang tertuang pada Pasal 7 (1) (h) dari Undang-Undang Roma, penganiayaan didefinisikan sebagai komisi dari tindakan apapun yang ditujukan kepada Pasal 9 dari Undang-Undang nomor 26 seperti yang tertuang pada Pasal 7 dari Undang-Undnag Roma terhadap kelompok yang diidentifikasikan sebagai kolektifitas berdasarkan politik, ras, nasioanl, etnik, budaya, agama, gender dan dasar-dasar lain yang dikenal secara universal sebagai hal yang tidak diizinkan di bawah hukum internasional. Pasal 7(2) (g) selanjutnya mendefinisikan penganiayaan sebagai pencabutan hak-hak fundamental yang disengaja dan kejam yang tidak sijalan dengan hukum internasional dengan alasan dari identitas kelompok atau kolektifitas.
  • Dalam hal ini, tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional adalah pencabutan kewarganegaraan Indonesia orang-orang ini, karena mereka dianggap sebagai komunis tertuduh oleh pemerintahan Suharto yang baru. Ini berarti bahwa ditundukan kepada pengasingan yang sewenang-wenang, yang bertentangan dengan Pasal 0 dari Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia.
  • Penganiayaan ini tersebar luas karena terjadi di seluruh dunia dan secara sistematis karena dilaksanakan melalui kedutaan Indonesia di luar negeri.
  • Kedutaan besar Indonesia di luar negeri menggunakan beberapa instrumen untuk menentukan apakah warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri “pro” atau “anti rezim Suharto”, dan maka dari itu ditetapkan apakah mereka diperbolehkan mendapatkan kembali kewarga negaraan mereka. Salah Satu instrumen terdiri dari formulir-formulir yang diisi oleh para pelajar dan warga negara Indonesia yang lainya tentang apakah mereka masih loyal dengan Pemerintahan Sukarno.
  • Walaupun kontrol dan pengawasan dari warga negara Indoensia terjadi melalui kedutaan besar, orang-orang yang tinggal di negara-negara yang cenderung komunis adalah yang paling sering di dipanggil untuk di-screening.
  • Warga-warga negara Indonesia yang di-screening oleh kedutaaan besar diminta untuk menyediakan:
    • Daerah asal di Indonesia
    • Nama dari orang tua dan anggota keluarga yang lainya
    • Dimana mereka tinggal
    • Dimana mereka bekerja
    • Apa nama partai politik yang mereka anggotai
  • Banyak warga negara Indoensia yang tinggal di luar negeri menyadari kekerasan dan penghilangan-penghilangan yang terjadi di Indonesia, dan mereka yang loyal terhadap Sukarno takut dan tidak bersedia untuk melapor ke kedutaan demi keamanan mereka dan keamanan keluarga mereka. Paspor mereka yang tidak bersedia melapor untuk di-screening segera dicabut.
  • Pengumuman yang ditandatangani pada tanggal 1 April 1966 menyebutkan nama-nama dari 25 warga negara Indonesia yang tinggal di Uni Sovyet, yang paspornya telah dicabut. Pengumuman itu juga mengusahakan agar “komunitas Indonesia di Uni Sovyet tidak memberikan bantuan apapun ke orang-orang tersebut, secara material dan moral”.
  • Di Albania, seorang warga negara Indoneisa yang bernama Chalik Hamid (lahir pada tahun 1938) melaporkan bahwa paspornya telah dicabut setelah penggulingan Pemerintah Sukarno, dan istrinya yang ia tinggalkaan di Indonesia telah ditangkap. Sejak saat itu ia berpindah ke Belanda dan sekarang merupakan Editor dari Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia.
  • Di Rumania, sebuah surat resmi untuk pencabutan paspor-paspor warga negara Indonesia yang dianggap “berbahaya bagi negara Indonesia”, tertanggal 24 Maret 1967 dan ditandatangani oleh Duta Besar Indonesia untuk Rumania, Mayor Jeneral Sambas Atmadinata. Paspor dari 13 pelajar dicabut melalui surat ini.
  • Di Bulgaria, seorang saksi bernama Aminah bersaksi bahwa proses screening dan pencabutan paspor terjadi secara berbeda dari yang di Rumania. Pada tahun 1966 para pelajar mendapatkan surat undangan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di Kedutaan Besar di Sofia, yang berjumlah banyak dan panjang. Kedutaan meminta paspor para pelajar dengan dalih bahwa mereka akan segera menerima paspor baru, akan tetapi hanya mereka yang menyerahkan pernyataan dukungan mereka terhadap Pemerintahan Suharto yang mendapatkan paspor mereka kembali.
  • Di Republik Ceko, paspor dari 15 orang telah dicabut. 12 dari orang-orang ini merupakan staff dari Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan tiga merupakan penyelenggara dari dari PPI Eropa yang telah membuat pernyataan menentang pengambil alihan oleh Suharto. Banyak anggota PPI yang bukan merupakan anggota staff juga tidak bisa kembali ke Indonesia karena mereka tidak merasa nyaman untuk mendatangi Kedutaan untuk memperpanjang paspor mereka, yang habis masa berlakunya setelah beberapa tahun.
  • Di Kuba, paspor para pelajar dicabut begitu juga perwakilan-perwakilan yang telah datang ke Kuba untuk menghadiri Konferensi Tiga Benua pada Januari 1966. Ibrahim Isa, yang saat itu merupakan perwakilan dari Afro-Asian Peoples Solidarity Organization, menghadiri konferensi dengan sembilan pelajar Indonesia. Tidak lama setelah ia menghadiri konferensi ia dinyatakan agen Gestapu dan paspornya dengan segera dicabut. Ia menetap di Kuba untuk beberapa waktu sebelum berpindah ke Cina demi keamanan dirinya. Ia menerima menerima kabar bahwa istri dan tiga anaknya yang tinggal di Jakarta akan ditangkap untuk memaksanya kembali ke Indonesia, akan tetapi dengan bantuan dari teman-temannya, ia bisa betemu lagi dengan keluarganya di Kairo.
  • Sejak saat itu ada beberapa cobaan yang dilakukan oleh kedutaan besar di luar negeri untuk menemukan jejak dimana paspor-paspor yang telah dicabut berakhir, akan tetapi ini bukan merupakan hal yang mudah karena banyak dari mereka sudah meninggal dan yang lainya telah berpindah-pindah ke berbagai tempat, sehingga tempat mereka bermukim tidak bisa dideteksi,
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab terdahap:
TUDUHAN 6: PENGANIAYAAN, sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
TUDUHAN: PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA
  • Negara Indonesia melaksanakan penghilangan secara paksa orang-orang yang dianggap sebagai para anggota, pengikut atau simpatisan dari PKI atau organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI.
  • Pelaksanaan penghilangan dari orang-orang terdaftar sebagai pelanggaran yang mendasar di bawah tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah pasal 9(10) dari Undang-undang Nomor 25 seperti yang tertuang pada Pasal 7(1)(i) dari Undang-Undang roma, yang sedasar dengan Pasal 7(2(i), mendefinisikannya sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan dari orang-orang oleh, atau dengan otorisasi, dukungan atau persetujuan tanpa protes dari Negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui bahwa pencabutan kebebasan atau memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan dari orang-orang tersebut, dengan maksud menghilangkan mereka dari proteksi hukum selama waktu yang berkepanjangan.
  • Ketentuan-ketentuan di atas mendefinisikan penghilangan paksa dari orang-orang seperti yang didefinisikan sebagai “”penangkapan, penahanan atau penculikan orang oleh, atau dengan otorisasi, dukungan atau persetujuan dari, suatu negara atau organisasi politik, diikuti oleh penolakan untuk mengakui bahwa perampasan kemerdekaan atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang-orang itu, dengan maksud menghilangkan mereka dari perlindungan hukum untuk jangka waktu lama”.
  • Penghilangan di Indonesia dilakukan oleh Buterpra dan Komando Aksi dan korban dibawa ke kantor militer Buterpra, kantor Komando Operasi lokal atau tempat penampungan sementara lainnya.
  • Penghilangan di tingkat perkebunan terutama terjadi antara Oktober dan Desember 1965, tetapi beberapa berlanjut sampai Maret 1966.
  • Salah satu korban penghilangan paksa adalah Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, yang menghilang pada 29 Juli 1966. Ia dijemput oleh seorang perwira militer yang memberitahunya bahwa ia telah diundang untuk bertemu dengan Kapten Teddy di Kantor Garnizun, Medan Merdeka, di Jakarta. Namun, ia tidak pernah terdengar lagi dan keberadaannya tidak diketahui sampai hari ini. Sebelum menghilang, ia telah diduga anggota PKI, meskipun ia sebelumnya telah memberitahu Sukarno bahwa ia bukan anggota PKI.
  • Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab atas:
TUDUHAN 7: PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA
TUDUHAN 8 : PENYIKSAAN MELALUI PROPAGANDA
1OO. Republik Indonesia bertanggungjawab karena telah menggunakan propaganda dan pidato kebencian sebagai bagian dari penyebaran dan/atau perlawanan sistematik melawan anggota dan simpatisan PKI dan afiliasi organisasi PKI, dan /atau masyarakat sipil di Indonesia dari tahun 1965 dan seterusnya dengan menyebarkan propaganda kebencian melalui berbagai cara.
101. Pada 1 Oktober 1965, Republik Indonesia dengan segera memulai kampanye diskriminasi melawan anggota PKI dan simpatisan mereka melalui kebijakan dan kekuatan militarnya, yang membentuk dan mendukung adanya perencanaan dan persiapan pembunuhan anggota PKI dan/atau pengikutnya, anggota/pengikut non-PKI, penduduk Indonesia – Cina, dan/atau masyarakat sipil lainnya di Indonesia.
102. Propaganda melawan kelompok yang menjadi target adalah bagian dari penyebaran meluas dan penyerangan sistematik melawan bagian signifikan dari masyarakat sipil yang dianiaya karena mereka diduga berafiliasi dengan PKI dan dengan demikian mereka dianiaya dan didiskriminasi atas dasar politik. Propaganda kebencian itu sengaja mendiskriminasi, dan memperlakukan secara tidak manusiawi kelompok target dan membentuk basis kekejaman massal itu untuk melawan mereka.
103. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 9 (9), Bab No. 26, saat dibacakan dengan Pasal 7 (1) (h) dari Rome Statue, disebutkan penyiksaan yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk tindakan yang mengacu pada Pasal 9 (9), Bab No. 26, saat dibacakan dengan Pasal 7 (1) (h) dari Rome Statue, melawan kelompok yang teridentifikasi secara kolektif secara politis, rasial, national, etnik, budaya, religius, gender, atau lainnya yang secara universal melanggar hukum Internasional.
104. Pagi hari pada 1 Oktober 1965, Jenderal Suharto menuduh PKI adalah dalang dari semua tragedi yang terjadi. Jendral Umar Wirahadikusumah mengumumkan tidak boleh ada media cetak yang terbit kecuali milik militer, di antaranya Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata terhitung sejak 1 Oktober 1965. Radio nasional yang berada di bawah kendali militer adalah satu-satunya sumber informasi resmi peristiwa G30S. Selanjutnya, pada 1 Oktober 1965, instruksi lisan disampaikan Presiden Sukarno yang menunjuk Jenderal Suharto sebagai Komandan yang bertugas memastikan keamanan dan komando.
105. Pada 2 Oktober 1965, koran milik PKI Harian Rakyat dan koran afiliasi PNI terbit dan mengabaikan pengumuman tentara militer dan justru menunjukkan dukungan mereka terhadap G30S. Pada 10 Oktober 1965, dibentuk Kopkamtib.
106. Pada Oktober 1965 dan seterusnya, kampanye anti-komunis terus dilakukan koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, termasuk koran independen Api Pancasila dan yang lainnya, menuduh PKI dan organisasi afiliasinya sebagai dalang tragedi G30S, termasuk fitnahan sebagai : penghianat bangsa; ateis; hiper-seksual; dan kelainan seksual; tidak bermoral; sadis; penjahat.
107. Melalui kampanye radio, Republik Indonesia terlibat dalam menghasut masyarakat untuk ikut dalam demostrasi kekerasan anti-komunis melalui radio nasional (RRI) dan sejumlah radio amatir.
108. Selanjutnya, kampanye tentang fitnah kelainan seksual terus dilakukan, menggambarkan PKI tidak bermoral, dengan cara kampanye hitam yang menargetkan para perempuan yang dibawa ke Lubang Buaya, tempat dimana terjadinya pembunuhan para jenderal. Perempuan itu dituduh merayu para jenderal dengan tarian telanjang dan kotor, tarian ‘Dance of the Fragrant Flowers’, saat mereka menyanyikan lagu ‘Genjer-genjer’, dan mengebiri para jenderal, lalu membunuh mereka setelah mencongkel matanya. Belakangan, PKI dituduh melatih para perempuan melakukan tindakan itu dalam sebuah pesta pora.
109. Setelah terlibat dalam propaganda kebencian itu selama beberapa waktu melalui berbagai media cetak, militer mulai menerbitkan versi resmi akan tragedi itu. Di bawah komando Komandan Militer Jenderal Nasution, sejarawan militer, Nugroho Notosusanto, membuat laporan pertama secara menyeluruh akan apa yang terjadi pada malam 30 September 1965, yang diterbitkan pada Desember 1965. Berdasarkan laporan itu, yang belakangan direvisi dalam korporasi RAND di bawah supervisi agen CIA Guy Pauker, pembunuhan awal akan para jenderal adalah rencana PKI yang dimana komunis akan mendapatkan kekuatan dari pemerintah dengan membunuh anggota tentara senior. Nugroho memulai laporannya dengan mengulangi tuduhan Jenderal Suharto pada PKI sebagai dalang tragedi itu, diikuti dengan adanya konstruksi motif di balik aksi PKI melakukan G30S. Laporan itu juga menyajikan detil akan rencana PKI yang membawa pasukan untuk melawan pemerintah, digambarkan dengan pimpinan PKI sebagai sekumpulan politikus ambisius yang ingin memperoleh kekuatan dari Presiden. Manuskrip itu menjadi sumber utama narasi bersejarah Orde Baru dan digunakan sebagai satu-satunya pegangan dalam mengembangkan negara. Kemudian dielaborasi ke dalam domain kebudayaan lainnya.
110. Di antara semua itu, PKI juga dituduh sebagai partai yang selalu berhianat pada negara dengan cara menekankan ‘ Peristiwa Madiun’, saat pemberontakan pasukan komunis. Peristiwa sejarah relevan lainnya, semisal pemberontakan garis depan Muslim, yang sepenuhnya diabaikan.
111. Selain itu, tahun berikutnya setelah peristiwa G30S, pemerintah baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto, mulai menggelar berbagai projek kebudayaan yang mengacu pada laporan Nugroho di antaranya :
– Membangun monumen dan museum Pancasila Sakti.
– Membuat diorama dan relif yang menggambarkan kekejian PKI.
– Membuat Hari Peringatan dan Upacara sebagai ritual memperingati peristiwa keji PKI dan di samping itu, untuk mendoakan para pasukan sebagai penekanan atas tragedi yang juga dirasakan para militer yang menjadi korban.
– Material untuk sekolah menengah.
– Buku pelajaran di sekolah.
112. Kampanye propaganda melawan PKI terus berlanjut dengan menggunakan berbagai cara kultural seperti seni termasuk film dan literatur :
  • Film : Pengkhinatan G30S/PKI (pada tahun 1984 ditayangkan setiap tahun dan wajib ditonton oleh setiap orang) dan film propaganda lainnya semisal Janur Kuning, Serangan Fajar, Enam Jam di Jogja dan Jakarta 1966: Sejarah Perintah 11 Maret.
  • Sastra : Majalah sastra Horison dan Sastra menerbitkan setidaknya 10 cerita terkait 1965 yang melukiskan PKI sebagai iblis, penghianat bangsa, sehingga patut dimusnahkan. Pada saat itu, sejumlah esai budaya juga diterbitkan dalam upaya menstigma PKI sebagai musuh abadi bangsa. Berikutnya, sebuah novel juga dibuat dalam rangka memperluas propaganda kebencian yang menargetkan PKI, khususnya karya Arswendo Atmowiloto, hasil adaptasi film Pengkhianatan G30S/PKI.
  • Cerita rakyat : beraneka foklor terkait tragedi 1965 juga diproduksi dan disebarkan di kalangan masyarakat untuk menciptakan kebencian melawan PKI dan komunis secara umum.
113. Kampanye propaganda kebencian melawan PKI dan organisasi asosiasinya kemudian berikutnya terinstitusional dalam program edukasi. Kebohongan itu menjadi materi edukasi, setiap tahun para pelajar didorong untuk menonton film penghianatan PKI.
114. Atas tindakan dan/atau kelalaian ini, Republik Indonesia secara internasional bertanggung jawab atas :
TUDUHAN 8: PENGANIAYAAN melalui propaganda, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebagai tambahan, Tuntutan dari International People’s Tribunal tentang Tindakan-Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia pada tahun 1965 menuntut:
Amerika Serikat, Inggris dan Australia
Dengan pelaksanaan tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Adat Internasional dengan secara sadar membantu dan mendukung negara Indonesia dalam pelanggaran serius hukum internasional, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
TUDUHAN 9: KETERLIBATAN NEGARA-NEGARA LAIN DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN-KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
115.Mengetahui tentang pembantaian yang dilakukan oleh tentara dan milisi di bawah komando langsung dari Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto tersebar luas. Berbagai kedutaan melaporkan secara teratur ke negara mereka masing-masing, wartawan meliputi berbagai pembantaian. Akan tetapi, beberapa negara Barat, terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia menyediakan senjata-senjata kecil, radio komunikasi, uang dan bahkan daftar dari orang –orang yang mereka ingin hilangkan. Dengan demikian, mereka membantu dan mendukung secara sadar Negara Indonesia dalam pelaksanan dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang ditentukan di atas.
116. Negara-negara yang disebutkan di atas menyediakan Negara Indonesia dengan bantuan langsung dalam pembantaian, serta sarana penting dalam mefasilitasi komunikasi dengan pasukan di daerah-daerah terpencil. Hal ini juga membantu kampanye propaganda kebencian dari Pemerintah. Akibatnya, negara-negara yang disebutkan di atas ikut serta dalam keterlibatan langsung, dengan menyediakan peralatan dan layanan yang diperlukan.
117. Sebagai tambahan, negara-negara yang disebut di atas terlibat dalam keterlibatan yang menguntungkan, sebagai pihak-pihak perusahaan asing, yang di bawah pemerintahan sebelumnya menghadapi beberapa keterbatasan dalam operasi, kini disambut lagi di Indonesia. Selanjutnya, serikat pekerja yang sebelumnya berjuang mendapatkan keuntungan pekerja dihancurkan.
118. Dengan tindakan-tindakan dan / atau kelalaian-kelalaian ini , Amerika Serikat, Inggris dan Australia secara internasional bertanggung jawab untuk:
TUDUHAN 9: Keterlibatan dalam pelaksanaan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan dan penghilangan paksa dari orang-orang, sebagai tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan
___

http://1965tribunal.org/id/dakwaan-tribunal-rakyat-internasional-tentang-kejahatan-terhadap-kemanusiaan-di-indonesia/