Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 30 September 2015

Dunia dalam Peristiwa 1965

Oleh: Aryono


Negara-negara asing bukanlah pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965



Diskusi buku "1965-Indonesia dan Dunia" di Goethe Haus, Jakarta, 30 September 2013. 
Foto: Agus Kurniawan.


KETIKA Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang. Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan.

“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “Saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Haus tahun 2011.
Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya. Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.

“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia.
“Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris. Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok. Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.

“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.
Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad. Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi. Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto. Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.
Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia.
“Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.
Sumber: Historia

Rabu 30 September 2015 18:01 WIB 

Agama itu candu rakyat, kata Karl Marx. Menurut Marx, harapan terhadap kehidupan di surga yang dijanjikan agama itu membuat penganutnya terlena dalam doa, padahal itu harapan palsu. Akibatnya pecandu agama, istilah Marx, tidak tertarik pada kehidupan duniawi sehingga tidak produktif, malas bekerja. Marx memandang agama sebagai bentuk protes "alam bawah sadar" terhadap kemiskinan dan berbagai kesulitan hidup, protes yang dimanifestasikan dalam bentuk pelarian ke arah terbentuknya kepercayaan supranaturalistik. 

Pertanyaannya, apakah itu berarti orang komunis atheis?
Vladimir Lenin menginterpretasi sedikit beda, menurutnya agama merupakan bentuk kemunduran mental. Pandangan itulah yang kemudian mendorongnya untuk menerapkan state atheism, yaitu bukan melarang orang beragama tetapi penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan. State atheism ini juga diberlakukan di Tiongkok. Karena tidak dilarang beragama maka lantas terbentuk berbagai kelompok komunis beragama (religious communist) yang kemudian justru berperan besar terhadap perkembangan komunisme itu sendiri secara global dalam konteks melawan kapitalisme.

Setiap religious communism menjalankan prinsip komunisme yaitu melepas hak milik pribadi atas harta benda secara sukarela sesuai kemampuan, dalam porsi minimal tertentu yang ditentukan oleh ajaran agama yang menjadi basisnya untuk kemudian didistribusikan sesuai kebutuhan; dalam Islam ini tidak lain adalah zakat. Ya, dengan demikian sesungguhnya pelaksanaan zakat dalam Islam itu juga melaksanakan prinsip komunisme .

Pandangan anda bahwa komunis itu tak berTuhan adalah keliru. Tidak semua komunis atheis, komunis tidak sama dengan tak berTuhan. Meskipun di masa lalunya sangat ditekan oleh state atheism, Gereja Ortodoks kini masih berdiri dan malah berfungsi politis lebih besar di Rusia ketimbang era Soviet. 
Kegiatan homoseksual kini dilarang di Rusia, ini bisa terjadi karena besarnya peran politik Gereja Ortodoks dan kuatnya masyarakat Rusia memegang nilai anti gay atas perintah agamanya. Sejak beberapa hari lalu hingga saya menulis ini kantor Apple di Rusia sedang diobok habis oleh kepolisian Rusia atas tuduhan mempropagandakan gay melalui gambar emoji yang melekat pada luncuran terbaru iOS 8.3. Demikian pula Tiongkok. Meskipun state atheism di sana secara politik menekan keras kehidupan beragama, Tiongkok masih dikenal sebagai pusat agama Budha, lebih ketimbang India tanah kelahirannya atau Thailand. Selain itu para Biksu di Tiongkok juga banyak menerapkan prinsip religious communism sebagaimana agama lain semisal Kristen, Hindu, dan Islam melalui sistem zakatnya.

Memang, bukan di Indonesia saja kata "komunis" berkonotasi "tak berTuhan", atau bahkan kadang "anti Tuhan", ini karena Karl Marx memang seorang atheis tulen, dan atheismenya itu dia gunakan sebagai salah satu dasar, selain anti kapitalisme, untuk menyusun ideologi yang disebut  Marxism itu. Memang betul komunisme merupakan tatanan politik, sosial, ekonomi yang berbasis Marxism, tapi bukan komunisme saja yang berbasis Marxism, sosialisme juga. Bedanya secara prinsip adalah komunisme diterapkan dalam penyelenggaraan negara melalui state atheism, sedangkan sebaliknya sosialisme tidak "membuang" Tuhan. Dengan demikian sosialisme tidak lain adalah religious communism yang diterapkan pada tingkat penyelenggaraan negara, bukan kelompok atau komunitas keagaaman seperti  yang ada di Rusia dan Tiongkok tersebut di atas yang bergerak di bawah tekanan state atheism.

Polemik G 30S PKI selalu bergulir dalam nuansa propaganda "komunis tak berTuhan, maka pastilah biadab", itu keliru. Perbuatan amoral, tercela, biadab, bisa dilakukan siapa saja, tak terkecuali orang beragama. Mari kita luruskan dengan bersama-sama melapangkan dada dan membuka pikiran. Menolak state atheism jangan atas pijakan pemahaman yang keliru terhadap komunisme.

*) Gambar oleh businessinsider.com
 
http://indonesiana.tempo.co/read/50022/2015/09/30/sinergiandroid/komunis-tidak-identik-dengan-atheis

50 Tahun Studi G30S 1965

Rabu, 30 September 2015 | 15:00 WIB | Oleh: Asvi Warman Adam

Suasana pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 1989. Monumen Pancasila Sakti dibangun di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, di dekat sumur maut yang dijadikan tempat pembuangan mayat para perwira tinggi TNI AD korban pembunuhan pada awal Oktober 1965. Pelaku pembunuhan adalah prajurit-prajurit TNI AD menyusul peristiwa G30S yang terus menjadi kontroversi hingga sekarang. Setiap tahun di depan monumen tersebut dilaksanakan upacara bendera Hari Kesaktian Pancasila.
JAKARTA, KOMPAS - Setelah meletus Gerakan 30 September 1965, sampai sekarang telah diterbitkan ribuan tulisan serta banyak film dan program televisi.

Dari perspektif historiografi yang menonjolkan HAM, gelombang pengkajian itu dapat dibagi atas lima episode. Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan.

Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode kelima ditandai dengan pemutaran film Jagal (2012) dan Senyap (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang.

Lima narasi, lima aspek

Pada episode pertama, yang diperdebatkan siapa dalang G30S 1965? Buku pertama mengenai peristiwa ini 40 Hari Kegagalan "G30S", 1 Oktober-10 November 1965. Buku ini terbit 27 Desember 1965 atas prakarsa Jenderal Nasution, yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia (UI).

Walaupun belum menggunakan label "G30S/PKI", buku ini sudah menyinggung keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam percobaan kudeta tersebut. Akan tetapi, pandangan yang berbeda diajukan ilmuwan AS, Ben Anderson dan Ruth McVey, yang melihat keterlibatan AD. Laporan itu, yang kemudian dikenal sebagai "Cornell Paper", terungkap keberadaannya lewat Washington Postedisi 5 Maret 1966.

Tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA memberi tahu Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, tentang keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan. Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), untuk melakukan penulisan di AS.

Dengan bantuan Guy Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh berhasil membuat buku The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Buku ini dibagikan kepada peserta Kongres Sejarawan Asia (IAHA) di Kuala Lumpur tahun 1968. Prestasi besar ini menyebabkan Pusat Sejarah ABRI mendapat tempat yang luas di bekas kediaman Dewi Soekarno di Wisma Yaso, yang kemudian menjadi Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan, kelak, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menjadi menteri.

Dalam kunjungan ke AS, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa berbagai dokumen, termasuk berkas perkara Mahmilub terhadap Heru Atmojo yang melampirkan visum et repertumjenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal. Episode kedua narasi G30S adalah sosialisasi versi tunggal penguasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia tahun 1975, terutama jilid 6 yang melegitimasi rezim Orde Baru. Nugroho juga memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C Noer, 1984. Film itu wajib tayang di layar televisi setiap malam tanggal 30 September.
Sejak 1967 dilakukan desukarnoisasi dalam sejarah Indonesia. Berhentinya Soeharto sebagai presiden Mei 1998 menandai episode ketiga narasi G30S. Korban mulai bersuara. Sejarah lisan pun dikerjakan, yang menonjol di antaranya 1965: Tahun yang Tidak Pernah Berakhir. Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.

Episode keempat narasi G30S ditandai penerbitan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, tahun 2008. Bila semula yang diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, kini fokusnya beralih: siapa dalang pembantaian 1965. Roosa dalam bukunya yang kini bisa diunduh di internet menganggap aksi G30S itu dijadikan dalih melakukan pembunuhan massal. Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai episode kelima narasi G30S. Bila sebelumnya para korban berbicara, kini pelaku bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar 2014.

Gambaran secara hidup pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S itu mendekonstruksi narasi yang disosialisasikan Orde Baru. Pada 10 Desember 2014, film Senyap (The Look of Silence) melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bila diperhatikan, karya yang beredar pada episode ketiga, yakni sejak Era Reformasi, terlihat bahwa G30S itu mencakup lima aspek.

Pertama, peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua, pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga, pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru, 1969-1979.

Bila ketiga hal itu lebih bersifat kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bersifat kekerasan mental, yakni, keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima, stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan anggota ABRI.

Rekonsiliasi nasional

Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Areal kajian tak saja mencakup Jawa dan Sumatera, tetapi sudah meluas sampai Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Kemajuan kajian mengenai G30S 1965 semoga membantu terciptanya rekonsiliasi nasional seperti diamanatkan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan, Agustus 2015. Sebelum tercapai rekonsiliasi, tentu perlu pengungkapan kebenaran yang akan terbantu oleh berbagai kajian selama 50 tahun ini.

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 7 dengan judul "50 Tahun Studi G30S 1965".
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/30/15000011/50.Tahun.Studi.G30S.1965?page=all

Mengungkap kebenaran, menggelar rekonsiliasi