Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 30 Agustus 2017

Fatamorgana Divestasi 51% Saham Freeport



Jakarta, Akuratnews.com – Entah harus harus bersyukur atau sedih, Saya pun bingung untuk merespon keberhasilan Pemerintah dalam negosiasi dengan PT Freeport Indonesia terhadap kelangsungan kontrak operasional PT Freeport Indonesia di Papua.
Bersyukur karena setidaknya ada kata keberhasilan dalam negosiasi itu. Namun sekaligus sedih karena keberhasilan itu entah untuk siapa dan apakah sesungguhnya negosiasi itu layak disebut keberhasilan atau cuma akal-akalan masih butuh pembuktian lebih jauh kedepan.
Marilah kita mengurai realitas dari apa yang disebut pemerintah sebagai keberhasilan itu dan bahkan sudah diberitakan luar biasa seolah-olah pemerintah inilah pemerintah super yang mampu mengalahkan Amerika, meskipun Freeport itu bukanlah mewakili Amerika.
Tapi sudahlah, memang saat ini pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi butuh banyak berita positif untuk menutupi sebegitu banyak kerja negatif dan menutupi kegagalan dibanyak sektor.
Pertanyaan yang harus dijawab jujur adalah apakah benar divestasi saham 51% itu akan membawa pemerintah dan negara berdaulat di Freeport? Jawabannya tentu benar. Kita akan punya pengaruh kuat dan akan mengendalikan operasional Freeport sebagai pemegang saham mayoritas.
Akan tetapi, jangan lupa, tetapinya ini yang bikin tidak enak situasi. Itu hanya akan terjadi jika yang membeli divestasi saham itu adalah Pemerintah dengan menggunakan dana APBN.
Mungkinkah pemerintah akan mampu membeli divestasi saham tersebut? Mari kita ulas perlahan supaya Fatamorgana ini tidak membuat kita mati kehausan.
Bila mengikuti keadaan Pemerintah saat ini, dan dari beberapa pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, jelas APBN kita tidak akan mampu membeli divestasi 51% saham itu yang diperkirakan nilai harga pasarnya dikisaran 8 Milyar Dolar Amerika atau sekitar 100 Trilliun Rupiah.
Darimana pemerintah akan mencari dana sebesar itu? Mendanai Proyek LRT saja yang masih butuh dana sekitar 5 Trilliun Rupiah harus terseok-seok bahkan dengan menutup telinga dari protes publik, pemerintah nekad menyenggol-nyenggol dana Haji.
Lantas siapa yang akan membeli divestasi saham tersebut? Inipun menjadi misteri yang penuh selubung kepentingan mengingat Pilpres 2019 sudah di depan mata.
Akankah ada permainan pat-gulipat seperti divestasi saham pertama Freeport sebesar 10% di era Orde Baru terulang? Ataukah mungkin terjadi hal yang sama terhadap Newmont Nusa Tenggara yang kini dimiliki oleh swasta dan bukan negara? Bahkan saham pemerintah yang 7% di NNT itupun entah dimana kini.
Inilah Fatamorgana Divestasi saham itu. Sarat dengan kepentingan tapi entah kepentingan siapa. Maru jujur dan terbuka, jangan berikan publik harapan semu dengan kalimat dan bahasa-bahasa hiperbolik.
Bisa jadi nanti divestai itu akan diambil oleh swasta dengan mengandalkan pinjaman dari luar seperti Cina. Itu sama saja Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Atau bisa saja nanti terjadi insider trading, pura-pura diambil swasta tapi dibaliknya adalah tetap Freeport. Jika ini terjadi maka hanya makelar yang dapat untung. Siapa makelar sesungguhnya yang paling depan? Tentu yang sedang berkuasa.
Belum lagi kalau harus bertanya mekanisme dan jangka waktu pelaksanaan Divestasi itu, maka akan makin ruwet urusannya. Divestasi saham tahap kedua sebesar 10% tahun lalu saja hingga kini tidak jelas rimbanya siapa yang mau beli dan apakah akan dibeli. Bayangkan jika hal yang sama terjadi terhadap divestasi 51% saham itu, tidak ketemu titik negosiasinya, maka niscaya divestasi itu cuma mimpi belaka.
Hayalan para pemimpi yang bisa dijadikan bergaining sokongan dana politik 2019. Disitulah Saya jadi bingung, karena sesungguhnya divestasi ini ibarat kita membeli milik kita sendiri.
Lantas bagaimana seharusnya supaya kita tidak menikmati tipuan fatamorgana? Ini pertanyaan menarik supaya para penikmat Fatamorgana itu tidak menuduh Saya hanya nyinyir saja.
Sebetulnya cara ini sudah pernah saya sampaikan didepan publik, tapi mungkin tidak menarik bagi Penguasa karena akan kecil celah bermain mendapatkan hasil untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Saham 51% itu sesungguhnya bisa kita dapat atau miliki secara gratis. Tapi kita butu pemimpin atau presiden yang benar-benar tegas dan benar-benar berani, bukan yang pura-pura tegas atau pura-pura berani.
Caranya bagaimana? Pertama, Nyatakan dari sekarang kontrak Freeport Indonesia berakhir atau diakhiri serta tidak diperpanjang setelah berakhir pada tahun 2021. Dengan demikian, seluruh aset dan cadangan tambang Freeport kembali 100% ke Indonesia.
Catat 100% nya bukan cuma 51%, gratis dan tidak perlu bayar. Kedua, umumkan terbuka tender internasional untuk pengelolaan tambang Freeport dengan syarat membentuk perusahasn baru antara pemerintah Republik Indonesia dengan operator dalam bentuk Joint Venture dimana saham Indonesia 51% dan operator 41%.
Artinya, Indonesia  dapat saham gratis 51%.* Tender ini kemudian mengikuti syarat-syarat pajak dan bagi hasil. Mudah bukan? Tidak perlu ruwet dan memunculkan fatamorgana yang akan membuat kita mati kehausan.
Itulah yang membuat Saya sedih dengan cerita dan berita klaim kesuksesan Pemerintah dalam negosiasi ini.
Belum lagi persoalan Smelter yang tidak kunjung sepakat dimana lokasinya, apakah di Papua atau di Jawa (Gresik). Semua fatamorgana, seolah-olah mata air ternyata hanya fatamorgana, akhirnya kita mati kehausan.
Terakhir sebagai penutup, jika kita harus membayar 100 Trilliun untuk divestasi yang hanya menghasilkan deviden tidak lebih dari 1 Trilliun pertahun, lebih baik dana sebesar itu ditempatkan dipasar uang dengan bunga 2% pertahun, kita sudah dapat 2 Trilliun setiap tahun.
Mengerti kan mengapa berita heboh divestasi itu saya sebut Fatamorgana? Mari bijak bernegara, jangan bekerja untuk pencitraan.
Penulis Oleh : Ferdinand Hutahaean
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia

Selasa, 15 Agustus 2017

Ambisi Amerika di Balik "Pembebasan" Irian Barat

Reporter: Iswara N Raditya | 15 Agustus, 2017

Penandatanganan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962. FOTO/Istimewa

Amerika Serikat memainkan peranan besar dalam misi “pengembalian” Papua dari Belanda ke Indonesia melalui Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962.

tirto.id - Perundingan yang dilakukan di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat, sejak 23 Maret 1962 itu berlangsung alot dan memakan waktu. Bahasan utamanya adalah soal Papua bagian barat (Irian Barat) yang hingga saat itu masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Dalam perundingan tersebut, Amerika Serikat (AS) menempatkan diri sebagai mediator meski sebenarnya Paman Sam juga punya agendanya sendiri yang tidak kalah besar. Akhirnya, pada 15 Agustus 1962, Perjanjian New York resmi ditandatangani. Inilah pintu masuk AS ke tanah Papua yang dari sanalah (modal) Paman Sam akan bertahan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Mempersoalkan Irian Barat

Pengakuan kedaulatan Indonesia merupakan tindak-lanjut Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Den Haag pada 2 November 1949. Ada satu persoalan penting yang belum disepakati dalam forum itu yakni mengenai status Papua bagian barat. Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak.

Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut dengan nama Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia. Salah satu argumentasi yang dipakai adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda.

Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan (Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi, 2012:139).

Namun hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi. Sampai akhirnya, Amerika Serikat yang justru terkesan paling bernafsu membicarakan status kepemilikan Papua bagian barat mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan. Amerika bahkan menawarkan diri sebagai penengah dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut.

Indonesia dan Belanda, atas desakan Amerika, akhirnya bertemu kembali di satu meja. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.

Inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 (Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:30).

Selama proses pengalihan, wilayah tersebut akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.

Amerika Mengincar Papua

Amerika punya alasan kuat untuk mencampuri status Irian Barat. Konteks Perang Dingin, misalnya, menjadi salah satu pertimbangan Amerika. Terlebih lagi, Soviet telah bermanuver untuk mendekatkan diri kepada Indonesia demi memperkuat hegemoninya.

Awal Januari 1960, misalnya, Presiden Nikita Khrushchev berkunjung ke Jakarta untuk memberikan kredit sebesar 250 juta dolar AS kepada Indonesia. Setahun berselang, giliran utusan Indonesia yang berkunjung ke Moskow dan mendapatkan pinjaman sebesar 450 juta dolar AS untuk membeli persenjataan dari Soviet (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:558).

Naiknya John F. Kennedy sebagai Presiden AS pada 1961 membuat persaingan dengan Soviet, khususnya untuk kawasan timur jauh, semakin memanas. Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada Presiden Sukarno (R. Z. Leirissa, Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya, 1992:30). Kennedy menegaskan, AS bersedia membantu Indonesia untuk mengatasi masalah Irian Barat.

Kennedy bahkan sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dolar AS untuk mengalihkan kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet (Mochtar Lubis, Catatan Subversif, 1980: 239). Di sisi lain, AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah Papua bagian barat. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan AS kepada Belanda.

Selain kepentingan politik yang diusung Kennedy, Amerika ternyata juga punya ambisi yang lebih menggiurkan dalam urusan ini, yakni terkait dugaan kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua.

Antara Papua dan NKRI

Setelah Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963, kebijakan pemerintah AS di bawah pimpinan Lyndon B. Johnson berubah, termasuk mengurangi bantuan kepada Indonesia yang disetujui Kennedy. Dari pergantian rezim inilah, nantinya, Freeport perlahan-lahan masuk untuk menggerus kekayaan Papua seiring tumbangnya Sukarno yang kemudian digantikan Soeharto.
Dengan demikian, Amerika punya dua agenda besar untuk memuluskan kepentingannya di Irian Barat meskipun dari dua presiden yang berbeda, seperti yang ditulis Beni Pakage dalam artikelnya “Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York” di Suara Papua, 14 Agustus 2016:

“Amerika telah turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk kepentingannya. Baik demi kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia.”

Tanggal 1 Mei 1963, wilayah Papua bagian barat akhirnya resmi diserahkan kepada Indonesia dari Belanda melalui mediasi UNTEA, meskipun terdengar suara-suara yang mengecam lantaran tidak dilibatkannya orang-orang Papua dalam Perjanjian New York tersebut.

Tindak-lanjut penyerahan itu adalah dilaksanakannya Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua selama 6 pekan dari Juli hingga Agustus 1969 yang menghasilkan integrasi wilayah Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Proses dan hasil PEPERA 1969 memang tidak sepenuhnya disepakati oleh seluruh pihak yang merasa berkepentingan karena ditengarai telah terjadi kecurangan (Human Rights Watch, Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua, 2007:11). Namun, inilah tahap awal peresmian Irian Barat menjadi bagian dari wilayah NKRI dengan nama Provinsi Irian Jaya saat itu.

Dan Amerika? Sampai detik ini, jejaring kapital dari negeri Paman Sam masih bercokol di bumi Papua yang memang kaya-raya. 
(tirto.id - isw/zen)
https://tirto.id/ambisi-amerika-di-balik-pembebasan-irian-barat-cuAa