Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 23 April 2013

Bung Karno: Pancasila Adalah Kiri!

Selasa, 23 April 2013 | 18:11 WIB

  
Setelah peristiwa G.30/S, orang-orang kiri mulai dikejar-kejar. Banyak yang ditangkap, dipenjara tanpa pengadilan, dan dibunuh. Segala yang berbau kiri mulai dilarang.

Saat itu, November 1965, pamor kekuasaan Bung Karno sudah menurun. Beberapa kali himbauannya, agar semua kelompok menahan diri dan tidak terprovokasi, tidak dihiraukan. “Ucapan di mulut katanya taat, tetapi di dalam perbuatannya saya merasa oleh mereka itu dikentukin sama sekali,” keluhnya.

Ironisnya, mereka yang anti-kiri ini mengklaim diri sebagai “penyelamat Pancasila”. Revolusi Indonesia, yang susah payah diperjuangkan sejak Agustus 1945, makin bergeser ke kanan. Pancasila pun hendak diselewengkan menjadi kanan.

Tanggal 6 November 1965, saat sidang paripurna Kabinet Dwikora, di Istana Bogor, Bung Karno marah besar atas upaya menyelewengkan Pancasila menjadi kanan itu. Dengan tegas Bung Karno menyatakan, “Pancasila adalah Kiri.”

Tentu ada alasannya Bung Karno menyebut Pancasila itu kiri. Namun, sebelum kita membahas hal itu, kita periksa dulu defenisi kiri menurut Bung Karno.

Bagi Bung Karno, kiri tidak hanya anti-imperialisme. Tapi, katanya, kiri itu adalah anti segala bentuk eksploitasi (uit-buiting). Menurutnya, kiri adalah menghendaki suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada lagi exploitation de I’homme par I’homme—penghisapan manusia atas manusia.

Pendek kata, Bung Karno mendefenisikan kiri sebagai sikap politik yang menentang segala bentuk penghisapan dan penindasan. Politik kiri menentang penghisapan manusia atas manusia dan penghisapan bangsa atas bangsa. Dengan demikian, politik kiri mestilah anti-kapitalisme, anti-otoritarianisme, dan anti-imperialisme.

Lantas, apa alasannya bung Karno menyebut Pancasila itu kiri?
Bung Karno mengatakan, unsur utama Pancasila adalah keadilan sosial. Selain itu, Pancasila juga anti-kapitalisme. Pancasila juga menentang exploitation de nation par nation

“Karena itulah Pancasila kiri,” tegas Bung Karno.

Sekarang, kita mengarah ke pertanyaan lebih lanjut: benarkan Pancasila menentang kapitalisme?

Mari kita periksa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila.

Dalam pidato 1 Juni 1945 itu, Bung Karno mengajukan 5 prinsip, yakni (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial; dan (5) Ketuhanan yang Maha Esa.

Menurut Bung Karno, lima prinsip itu—yang kemudian dinamainya Panca Sila—bisa diperas menjadi tiga prinsip atau tiga sila, yaitu sosio-nasionalisme (penggabungan dari kebangsaan dan internasionalisme), sosio-demokrasi (penggabungan dari demokrasi dengan kesejahteraan sosial), dan Ketuhanan.

Inilah yang patut diulas. Dalam artikelnya berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi,” yang dimuat di Fikiran Ra’jat tahun 1932, Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.

Sosio-nasionalisme, menurut Bung Karno, akan menjadi menghilangkan kepincangan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara. Karena itu, Bung Karno menegaskan, sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) yang menjadi penyebab kepincangan di dalam masyarakat itu.

Bung Karno sadar, Indonesia merdeka bukanlah jaminan rakyat Indonesia akan terbebas dari eksploitasi. Terlebih, jika Indonesia sudah merdeka, masih ada kelompok “kapitalis bangsa sendiri” dan kaum ningrat yang berkeinginan menjadi “penindas baru”.

Makanya, ia selalu berpesan, “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”

Karena itu, Bung Karno selalu mengingatkan bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Frase “jembatan emas” ini menyiratkan kemerdekaan hanyalah “fase prasyarat” atau “tahapan” menuju tujuan yang lebih tinggi.

Proses pemerdekaan hanyalah upaya penciptaan gedung bernama “Indonesia Merdeka”, yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan dari eksternal, yakni kolonialisme, tetapi di dalamnya ada perjuangan menghapuskan imperialisme dan kapitalisme. Sebab, syarat memujudkan masyarakat adil dan makmur adalah penghapusan imperialisme dan kapitalisme.

Supaya perjuangan menghapus kapitalisme dan imperialisme di dalam Indonesia merdeka itu bisa berjalan sukses, Bung Karno mengharuskan agar kekuasaan politik (politieke macht) ada di tangan kaum tertindas, yakni kaum buruh dan marhaen.

Nah, inilah esensi sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi secara harfiah berarti demokrasi massa-rakyat. Esensi lain dari sosio-demokrasi adalah pengawinan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Atau, sederhananya, sosio-demokrasi berbicara soal kekuasaan ekonomi-politik di tangan rakyat.

Sosio-demokrasi ini adalah antitesa dari demokrasi borjuis di barat, yang hanya memberikan kesetaraan di bidang politik tetapi memelihara ketidaksetaraan di bidang ekonomi. Akibatnya, kendati secara politik orang diakui sama, tetapi secara ekonomi mereka terbelah antara pemilik alat produksi dan klas pekerja. Pada prakteknya, menurut Soekarno, karena alat produksi di kuasai oleh kaum borjus, maka kekuasaan politik atau parlemen pun dikuasai oleh kaum borjuis.

Konsep sosio-demokrasi mengisyaratkan dua hal pokok: pertama, kekuasaan politik di tangan rakyat. Kedua, demokrasi ekonomi atau pemilikan alat produksi di tangan rakyat. Dengan demikian, sosio-demokrasi sangat anti-kapitalisme.

Dengan demikian, Pancasila—yang didalamnya tertancap kuat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi—memang sangat anti-kapitalisme dan segala bentuk ekspolitasi lainnya yang merendahkan nilai-nilai perikemanusiaan.

Selain itu, dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “jika yang lima saya peras menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong-Royong.”

Menurutnya, negara Indonesia yang didirikan haruslah negara yang gotong-royong, yaitu pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua, keringat semua buat semua.

Artinya jelas: semua bekerja bersama-sama, membanting tulang bersama-sama, dan hasilnya untuk bersama-sama. Itu kan hampir sama dengan prinsip sosialisme Indonesia: sama rasa, sama rata. Artinya jelas: Pancasila itu anti segala bentuk penghisapan dan penindasan. Ya, Pancasila memang kiri!

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara atau “Weltanschauung” (pandangan hidup) bermakna memastikan perjalanan bangsa Indonesia tetap di jalur kiri, yakni anti-penghisapan dan penindasan. Proses penyelenggaraan negara harus berdasarkan Pancasila. Artinya, semua produk kebijakan negara harus bersifat anti-eksploitasi dan penghisapan.

Artinya, kalau ada organisasi atau lembaga negara yang melarang pemikiran atau organisasi kiri menggunakan Pancasila, berarti mereka telah menyelewengkan Pancasila yang dipidatokan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

http://www.berdikarionline.com/bung-karno-pancasila-adalah-kiri/

Sabtu, 06 April 2013

Kisah ‘Haji Merah’ Dari Sumatera Barat

oleh: Rudi Hartono
Pada tahun 1920-an, ketika benih marxisme mulai masuk ke Indonesia, yang menyebarkannya ke bumi—rakyat—adalah para Haji. Mereka mengibarkan panji-panji “Islam Komunis”.
Di Jawa, penggerak utamanya bernama Haji Misbach. Ia adalah seorang mubaligh didikan pesantren. Selain itu, Misbach sudah menunaikan ibadah Haji di Tanah Mekah. Dan, jangan salah, dia bisa berbahasa Arab.
Di Sumatera Barat, orang seperti Haji Misbach juga ada. Namanya: Haji Ahmad Khatib alias Haji Datuk Batuah. Ia lahir tahun 1895, di Koto Laweh, Padang Panjang. Ayahnya, Syekh Gunung Rajo, adalah seorang pemimpin Tarekat Syattariyah.
Datuk Batuah sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda. Setelah tamat, ia menuntut ilmu di Tanah Mekah selama 6 tahun, yakni dari tahun 1909 hingga 1915. Di sana ia berguru pada Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Saat itu, di Sumatera Barat, sudah berdiri perguruan Islam bernama “Sumatra Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh kaum modernis Islam, yang berusaha melakukan pembaruan Islam melalui pendidikan. Salah satu gurunya bernama Haji Rasul—ayah dari Buya Hamka.
Audrey Kahin, dalam bukunya “Dari Pemberontakan ke Integrasi”, mencatat bahwa beberapa guru di Sumatera Thawalib tidak melarang murid-muridnya mempelajari teori-teori radikal, termasuk marxisme.
Begitu pulang dari Mekah, Datuk Batuah langsung bergabung dengan Sumatera Thawalib. Awalnya, ia menjadi murid Haji Rasul. Dia dianggap murid paling cerdas dan dinamis. Karena itu, ia pun diangkat menjadi Asisten pengajar oleh Haji Rasul.
Namun, karena pengaruh teori-teori radikal, Datuk Batuah sering berseberangan pendapat dengan Haji Rasul. Haji Rasul sendiri sangat otokratis dan konservatif. Ia menentang ide-ide radikal yang digandrungi oleh muridnya.
Pada tahun 1920-an, Haji Datuk Batuah ditugasi oleh Haji Rasul untuk meninjau keadaan sekolah Thawalib di Aceh. Namun, siapa sangka, di perjalanan inilah Ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis serikat buruh kereta api (VSTP).
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin langsung berkawan akrab. Pada tahun 1923, keduanya berangkat ke Jawa. Entah sengaja atau tidak, keberangkatan mereka bertepatan dengan Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI)/Sarekat Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat.
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin jadi peserta di kongres itu. Saat itu, seorang Haji dari Surakarta, yaitu Haji Misbach, tampil berpidato di Kongres. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Medinah,” begitulah Misbach memperkenalkan dirinya.
Namun, begitu Misbach masuk ke inti pidatonya, Datuk Batuah langsung terperangah. Menurut Misbach, ada kesesuaian antara ajaran Al-Quran dan Komunisme. Antara lain, Al-Quran mengajarkan bahwa setiap muslim harus mengakui hak azasi manusia. Tetapi hal itu juga menjadi prinsip dalam program komunis.
Selain itu, kata Misbach, Tuhan memerintahkan untuk melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan. Hal itu juga menjadi jiwanya kaum komunis. Lebih penting lagi, komunisme tidak mentolerir diskriminasi pangkat dan ras. Ajaran Karl Marx ini juga mengutuk klas-klas di dalam masyarakat. Slogannya: Sama rasa, Sama rata!
“Siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme berarti dia belum benar-benar muslim,” kata Misbach di akhir pidatonya.
Pidato Misbach sangat membekas dalam pikiran Datuk Batuah. Begitu pulang ke Sumatera Barat, ia segera menyebarkan pandangan “Islam Komunis” ala Misbach itu kepada murid-muridnya di Perguruan Thawalib dan melalui koran “Pemandangan Islam”.
Sementara Natar Zainuddin, yang kembali ke Sumatera Barat pada Mei 1923, segera menyebarkan gagasannya melalui koran “Djago-Djago”. Dua koran ini pula yang menjadi terompet perjuangan menentang kolonialisme di Sumatera Barat.
Pada tanggal 20 November 1923, berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota).
Sejak itu, Datuk Batuah menjelma menjadi “propagandis komunis”. Rakyat banyak menyebutnya “ilmu kuminih”. Banyak pedagang terseret dalam propaganda “Islam Komunis”. Maklum, Islam mengharamkan praktek “Riba” dan melarang umatnya menumpuk harta. Ini selaras dengan propaganda Marxisme menentang kapitalisme.
Haji Datuk Batuah menikah dengan Saadiah. Hasil perkawinannya dikaruniahi tiga anak. Salah seorang anaknya diberinama: LENIN. Lalu, Datuk Batuah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Zainab. Ia dikaruniai seorang putri bernama KARTINI.
Sebagai seorang komunis, Haji Datuk Batuah tetap taat pada agamanya. Audrey Kahim mengutip pernyataan Buya Hamka tentang Haji Datuk Batuah: “Rupanya dia menjadi pengikut setia komunisme hanya untuk hal-hal yang menyangkut (ajaran) ekonomi, tidak dalam hal-hal materialisme historisnya. Jadi, dia komunis tulen yang masih memeluk agama Islam. Konon kabarnya, orang-orang komunis yang anti-agama harus hormat kepadanya. Sebab dia tidak keberatan bersikap keras terhadap orang-orang yang mencela agamanya.”
Propaganda “Islam Komunis” sangat membumi. Rakyat pun berbondong-bondong menjadi anggoat PKI. PKI Padang Panjang punya pusat propaganda bernama: International Debating Club (IDC). Namun, rupanya, Belanda sangat khawatir dengan hal itu. Maklum, PKI adalah organisasi paling radikal dan paling keras menentang kolonialisme Belanda.
Akhirnya, baru 2 bulan beraktivitas di Padang Panjang, Belanda menggeledah IDC. Itu terjadi tanggal  11 November 1923. Saat itu, aktivis IDC sedang melipat-lipat koran Djago-Djago! Tiba-tiba datang Polisi bersenjata lengkap menggeledah tempat itu.
Natar Zainuddin dan Datuk Batuah ditangkap. Sehari kemudian, para aktivis PKI Padang Panjang dan anggota Redaksi Djago-Djago juga mulai ditangkapi oleh Belanda. Sebulan kemudian, Djamaluddin Tamin juga ditangkap.
Datuk Batuah dan Natar Zaimuddin dibuang ke Timor (NTT). Natar Zainuddin dibuang ke Kafannanoe (Kefamenanu), sedangkan Datuk Batuah dibuang ke Kalabai (Kalabahi, Alor). Namun, meski di pembuangan, Datuk Batuah tetap aktif berjuang.
Bersama dengan  Christian Pandie, aktivis Timor, mendirikan organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat. Azasnya tetap: Komunisme! Sayang, ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1926, aktivis Partai Sarekat Rakyat turut ditumpas Belanda.
Pada tahun 1927, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke Boven Digul, Papua. Tidak banyak dokumentasi terkait kehidupan Datuk Batuah dan Natar selama di Digul. Begitu Jepang merengsek masuk Indonesia, Datuk Batuah dipindahkan New South Wales, Australia.
Konon kabarnya, Datuk Batuah dan istrinya, Saadiah, sempat kembali ke Indonesia dan tinggal di Solo, Jawa Tengah. Dalam buku Soe Hok Gie, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, disebutkan bahwa Datuk Batuah masuk daftar anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia mewakili Solo bersama DN Aidit dan Alimin.
Tahun 1948, Ia kembali ke kampung halamannya: Koto Laweh, Padang Panjang. Di sana ia tetap berpropaganda komunisme. Datuk Batuah meninggal dunia tahun 1949.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kisah-haji-merah-dari-sumatera-barat/