Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 April 2016

Maaf dan Kesahajaan Pikir Goenawan Mohamad tentang Negara

|

Ilustrasi Arut S Batan

Mari, untuk kali ini saja, kita mengambil gelagat naif. Dan dengan perangai lugu ini, kita anggap pertanyaan berikut bukanlah pertanyaan retoris:

Benarkah “Negara” yang sekarang identik dengan “Negara” yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama? Bisakah pendekatan legal semata-mata berlaku, yang melihat subyek, dalam hal ini “Negara”, sebagai identitas yang tak berubah?

Pertanyaan tersebut, tentu saja kita tahu, adalah pertanyaan retoris. Ia dicuatkan oleh Goenawan Mohamad yang secara sinis dan, sayangnya pula, wagu, mempertanyakan pentingnya wacana permintaan maaf terhadap korban kekerasan 1965 hari-hari ini. Untuk apa menghambur-hamburkan energi mendramatisasi penderitaan korban agar bisa mendapatkan perlakuan istimewa sekaligus menistakan pemerintahan yang sudah sama sekali berbeda? Bukankah kepala pemerintahan sekarang pada saat kejadian tragis tersebut berlangsung baru berusia lima tahun?

Tentu saja, GM, penulis yang santun dan subtil, tak mengartikulasikan pertanyaannya serupa parafrase blak-blakan barusan. Tetapi, saya cukup yakin, parafrase saya tak terlalu meleset dari apa yang dimaksudkannya melalui penyampaiannya yang samar. Dan karena GM nampaknya belum terlalu insaf dengan watak institusi bernama negara, perkenankan saya menjawab retorikanya yang seharusnya tidak meminta jawaban.

Perkenankan saya menjadi naif—menanggapi pertanyaan tak seriusnya dengan serius.

Dari mana kita mulai menanggapinya?

Pertama, dari celah pada pernyataan GM bahwa negara hari ini tak bisa disamakan dengan negara di masa silam yang, kendati kontroversial, disampaikannya tanpa argumentasi, dan hanyamenyebut-nyebut Marx tanpa berhasil meyakinkan saya apakah gagasan yang disampaikan GM yang memang dimaksud Marx.

Mari kita sambangi satu fakta. Faktanya, sejak waktu yang sudah sangat lama sejarah mengenal apa yang disebut dengan insan khayali. Perusahaan adalah insan khayali. Asosiasi adalah insan khayali. Serikat adalah insan khayali. Dan, tentu saja, negara adalah insan khayali. Rujukan saya mengatakan ini bukanlah diskursus-diskursus yang biasa ditepis enteng para penyalahpaham sebagai spekulasi tanpa dasar empiris. Rujukan saya adalah diskursus hukum—diskursus yang, mungkin perlu saya singgung sedikit, diterima sebagai penentu bagaimana setiap lelaku dalam kehidupan modern kita diatur.

Hukum lumrah membedakan dua subjek yang berbeda—insan alamiah dan insan yuridis. Insan alamiah adalah saya, Anda, serta setiap individu yang lahir, hidup, bernapas, makan, dan akan wafat sewajarnya manusia. Insan yuridis, sementara itu,mencakup wadah yang menaungi sekelompok orang—entah kita menyebutnya lembaga, institusi, organisasi. Entitas ini disebut insan bukannya tanpa alasan. Di mata hukum, pasalnya,memang, ia ditempatkanseakan-akan satu individu yang nyata. Ia dapat dituntut, dikenai sanksi, diadili, dan memang sejauh ini hanya dengan memperlakukannya demikian ia dapat menjadi subjek hukum—dapat diatur.

Karenanya, ia lazim juga menyandang sebutan persona ficta.  Artinya, sebagaimana yang sudah saya sebutkan, insan khayali.

Kendati semua yang mempunyai nalar sehat bisa dipastikan sadar entitas ini diimajinasikan, tak ada yang mengatakan hukum positif cuma mengatur imajinasi kita manakala ia mengatur lembaga-lembaga. Kita, memang, tak akan bisa menemukan insan khayali secara harfiah berdenyut dan menapakkan kaki di atas wilayah hukum Indonesia. Paling nyata, apabila kita berpikir nyata berarti mempunyai jasad yang bisa disentuh, ia adalah bayangan yang diproyeksikan oleh jejaring yang mengonstitusi otak kita—sebuah delusi massal. Namun, tak ada yang pernah menyebutnya sebagai produk delusi massal.

Hukum tak pernah menganggap kristalisasi imajinasi kolektif ini sebagai sesuatu yang tak serius, bukan? Pemerintah kolonial tak pernah bermain-main pada saat berurusan dengan perhimpunan-perhimpunan yang menuntut kemerdekaan. Kita tak pernah membayangkan negara sebagai sekadar sekumpulan juru cap dokumen berkantor—kendati demikianlah realitas jasmaniah yang kita cerap sewaktu-waktu kita dijengkelkan dengan keruwetan-keruwetan tanpa juntrungan birokrasi.

Atau, mari kita sambangi pemikiran almarhum Benedict Anderson sejenak. Anggota satu bangsa paling kecil sekalipun, ia sempat menyampaikan, tak akan pernah menjumpai langsung satu persatu anggotanya. Bangsa ada, artinya, semata karena dibayangkan; semata karena saya membayangkan orang lain yang seharusnya asing dan sekadar kebetulan tinggal di gugus kepulauan yang sama dengan citra kemanusiaan yang sama dengan saya dan, sebaliknya, insan bersangkutan juga membayangkan hal yang sama.

Tetapi, anasir yang dibayangkan belaka ini membuktikan dirinya lebih berbahaya dari apa pun yang diciptakan manusia selepas revolusi industri. Insan khayali ini mungkin untuk mempunyai sentimen, pendirian, emosi—dan tentu saja kebencian. Satu bangsa dapat dikatakan membenci bangsa lain dan, persoalannya, betapapun sentimen ini sekadar diimajinasikan, ia tetap saja menggugah atau memaksa para anggotanya untuk secara nyata membenci anggota bangsa lain. Ketika jutaan insan tergugah atau setidaknya dituntut taat dengan sentimen kebencian sang insan khayali, tragedi paling mengerikan dapat menggedor pintu.

Tragedi 1965 adalah salah satunya.

Satu insan, pada saat itu, dapat membantai saudaranya sendiri dengan enteng. Satu keluarga harus merelakan sang ayah dibunuh di depan mereka agar mereka selamat. Warga desa yang memendam kebencian terhadap tetangganya bisa menghabisi tetangganya tanpa dihukum—cukup tunjuk sang tetangga komunis. Profesional yang tugasnya menemukan cara membunuh sebanyak sekaligus seefisien mungkin, seperti Anwar Kongo, bermunculan.
Tragedi merogohkan tangannya menggapai ceruk-ceruk terkecil kehidupan di Indonesia dan, pertanyaannya, karena apa? Banyak variabel ambil andil, memang. Tetapi, ia dipastikan tak akan pernah terjadi apabila negara tak pernah berhasil dikonstruksi sebagai insan khayali yang secara buta membenci kelompok komunis lantaran pengkhianatannya. Dan pada saat itu, kita tahu, semua harus mengindahkan amarah insan khayali ini, tak ada pilihan lain. Pilihan lainnya, kalau ia masih bisa disebut pilihan, adalah turut menjadi objek amarah negara—dianggap sebagai simpatisan komunis.

Saya, seperti GM, bisa mengatakan negara tidak stabil. Dan, bukankah saya sendiri terus-menerus mengatakan ia adalah sesuatu yang khayali—dikhayalkan? Tetapi, dari apa yang sudah kita lihat, saya jelas tak bisa sembarangan mengatakan yang khayali tersebut tidak berdampak nyata. Dan karena GM menggemari nukilan-nukilan cerdas, saya bisa menukil pernyataan Emile Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of Religious Life untuk membantu meyakinkannya. “Terdapat satu ranah di mana rumus dari idealisme nyaris berlaku secara harfiah; ia adalah ranah yang sosial. Di sana, lebih dari di mana pun, gagasan menciptakan realitas.”

Namun, lebih jauh, insan khayali ini tak hanya melebur kesadaran sekerumun orang dan menjadikannya satu-kesatuan yang absurd sekaligus menakutkan. Ia merupakan jembatan penyambung sejarah dan mungkin merupakan teknologi yang paling efektif agar waktu tak tercerai berai menjadi repihanmomen yang berdiri sendiri-sendiri. Ambil ilustrasi yang diajukan David Graeber dalam bukunya Debt. Jikalau pada sebuah masyarakat suku seseorang wajarnya lunas utangnya saat insan yang memiutanginya meninggal, keberadaan insan khayali seperti negara menjadikan seorang pengutang apa pun yang terjadi terus tercatat hutangnya.

Seorang budak, setelah majikannya meninggal sekalipun, akan tetap menjadi budak di masyarakat. Anaknya, yang bahkan tak pernah mengetahui mengapa orang tuanya menjadi budak, akan menjadi budak. Warga satu negara, bahkan pada saat ia baru lahir, akan menanggung utang yang diambil negaranya pada periode kepemimpinan pejabat tertentu. Satu peristiwa di masa silam yang jauh sekalipun, artinya, akan terbawa dampaknya melintasi beberapa generasi. Semua bermula dari lembaga yang notabene tak stabil dan sekadar dibayangkan: negara.

Dan, bukankah demikian pula yang terjadi dengan kekerasan terhadap siapa-siapa yang didapuk bertautan dengan komunisme? Pejabat boleh berganti. Konstelasi politik lokal maupun global boleh mengalami perombakan. Akan tetapi, tak terlalu sulit untuk melihat bahwa sentimen ini masih terus direproduksi, dan pelbagai pihak bahkan menikmati pelanggengannya. Insan khayali negara Indonesia yang menguasai imajinasi kita, pasalnya, masihsama. Ia masihlah seseorang yang secara konyol membenci apa-apa yang berkenaan dengan komunisme—bahkan mereka yang kehidupan normalnya berakhir tanpa pernah tahu-menahu drama politik yang mendahului peristiwa 1965.

Kalaupun GM tak menyaksikan perlakuan yang diterima para penyintas tragedi 1965 untuk tahu imajinasi negara dapat menggugah kekerasan tak peduli siapa pejabatnya, ia seharusnya mendengar pernyataan-pernyataan Luhut belakangan—catatan pinggirnya sendiri toh merupakan tanggapan terhadap simposium yang menyediakan sesi untuk Bapak Kemenkopolhukam. Berita utama dari simposium tempo hari adalah Luhut menolak meminta maaf terhadap para korban 1965. Dan, yang paling menyakitkan, ia tak yakin bahwa benar-benar terjadi pembantaian massal di masa silam sebagaimana yang selama ini banyak diangkat.

Untuk apa di panggung simposium itu Luhutmembela mati-matian negara dari dusta yang dituduhkan kepadanya dengan argumen kopong? Untuk apa ia mempertaruhkan harga dirinya apabila negara memang sesuatu yang berubah sesegera pejabatnya berganti? Luhut, pasalnya, insaf. Negaranya adalah negara yang tak simpatik terhadap komunisme dan ia adalah pejabatnya, koordinator bidang politik hukum dan keamanannya, serta mantan petinggi militernya. Dalam konteks komunitas fiktifnya tersebut, Luhut tak sedang menjadi seseorang yang tak berperasaan dengan pernyataan-pernyataannya. Ia tengah menunaikan tugasnya dan, bukan tidak mungkin, berusaha menampilkan diri sebagai pahlawan untuk mereka.

Tetapi, GM tidak insaf.

Atau, kalau mau gunakan logika GM sendiri, mengapa presiden yang baru berusia lima tahun pada saat tragedi bergulir dan jelas tak terlibat apa pun, masih ragu meminta maaf kepada para korban? Kalau permintaan maaf adalah tindakan yang benar dan Joko Widodo tak mempunyai beban apa pun untuk melakukannya, mengapa ia tidak melakoninya sesegera mungkin?

Saya kira, mengatakan negara sudah berubah tidaklah semudah itu. Insan khayali negara Indonesia saat ini masihlah insan yang sama pembencinya dengan dirinya lima puluh tahun silam. Dan kepentingan para pejabat, agar dianggap pejabat yang sahih, serta pusparagam pihak yang membutuhkan musuh-musuh imajiner untuk membumbui kehidupan mereka dengan drama adalah berlakon tetap sesuai naskahagar citra insan khayali ini terus lestari—tak peduli ia mengorbankan rasa keadilan, empati terhadap penderitaan, atau bahkan sekadar akal sehat. Tak peduli ia mengekalkan kekerasan-kekerasan yang kini sudah tak beralasan dan hanya dapat dikatakan keji.

Dan inilah mengapa permintaan maaf menjadi sesuatu yang berarti sekaligus mungkin menjadi tindakan yang radikal. Dengan permintaan maaf, sosok yang ditabalkan selaku pemimpin negara ini mempunyai peluang menggeser citra insan khayali Indonesia yang pembenci ini menjadi seseorang yang lebih masuk akal. Dan, bersamanya, mematahkan norma kekerasan yang menjadi habitus pada saat bertatapan dengan mereka yang didefinisikan sebagai liyan sepanjang sejarah Indonesia yang kita ketahui.

Saya tak tahu apa arti permintaan maaf bagi GM sampai-sampai ia diartikan sesuatu yang merendahkan derajat kepala negara. Tetapi, kalaupun ia harus merendahkan simbol negara, penistaan diri simbolis inilah yang diperlukan untuk mengirimkan pesan kekerasan bukanlah sesuatu yang mempunyai tempat di tanah air ini. Kekerasan bukanlah cara untuk menjadi Indonesia.
Ia belum tentu berhasil memang. Kemungkinannya tidak berhasil dan mencederai kepopuleran kepala negara malah lebih besar. Namun, ia adalah hal paling berperasaan yang mungkin diambil di antara pilihan-pilihan lainnya.
 

Jumat, 29 April 2016

Dari Kisah “The Berkeley Mafia”

Posted: 18/12/2013 in Esei

 Kiri ke kanan: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Subroto, Emil Salim. Photo credit: http://www.indonesia-digest.net/3302suharto.htm

Catatan boemipoetra:

Di bawah ini adalah sebuah esei lama Goenawan Mohamad yang sudah bertahun-tahun lamanya dicari oleh Saut Situmorang, salah seorang anggota redaksi boemipoetra, tapi yang baru-baru ini saja berhasil didapatkannya via status Facebook seorang kawan bernama Tarli Nugroho. boemipoetra berterimakasih kepada bung Tarli atas pemuatan esei Goenawan Mohamad ini di status Facebooknya dan mengizinkannya untuk dibagikan ke publik.

Esei di bawah ini penting kerna isinya dengan gamblang dan jelas menunjukkan betapa bahkan sejak tahun 1971 pun, yaitu tahun penerbitan esei di majalah TEMPO, Goenawan Mohamad adalah pendukung serius dari Mafia Berkeley dan kebijakan ekonomi Neoliberal mereka! Begitu seriusnya Goenawan Mohamad membela Mafia Berkeley, kebijakan ekonomi Neoliberalnya dan pihak asing di belakang keduanya (yang sekarang kita tahu adalah Amerika Serikat) hingga eseinya di bawah terkesan begitu propagandistik dan jadi pamflet murahan!

Dengan “berisik”nya saat ini penghujatan atas Goenawan Mohamad sebagai tokoh Manifes Kebudayaan yang sangat terlibat atas kekerasan budaya di Indonesia pasca-1965 (dan pembelaan dirinya yang sok ngonteks-sejarah tapi sangat anti-historis itu), maka eseinya di bawah ini adalah sampah sejarah yang akan terus mengotori wajah “budayawan”nya yang pretensius itu!
=========

oleh  Goenawan Mohamad

Seorang anakmuda Amerika jang pintar menulis sebuah artikel – dan mendjadi dikenal disini. Dialah David Ransom, pengarang The Mafia Berkeley and the Indonesian Massacre. Jang dimuat dimadjalah Rampart bulan Oktober 1970. Dengan semangat “Kiri Baru” jang menjala-njala, tulisan itu mentjoba “membongkar” besarnja tjampur-tangan kaum imperialis Amerika (dan sudah tentu CIA) dalam perkembangan Indonesia dibawah Presiden Soeharto – chususnya jang menjangkut hubungan kaum teknokrat dengan penguasa militer sekarang.

Dinegeri ini sudah tentu tulisan itu menimbulkan rasa marah. Tapi ada djuga jang menganggapnja sebagai sesuatu jang tidak serius: gedjala penjakit kekiri-kirian, mode dikalangan intelektuil Barat kini. Meskipun demikian dilain pihak Ransom ternjata djuga dapat sambutan. Koran mingguan Srikandi djauh sebelum dijabut izin terbitnja pernah menterdjemahkan tulisan itu. Beberapa hari jang lalu harian Merdeka djuga kembali menjebut-njebutnya – ketika tadjukrentjana B.M. Diah melanjarkan serangan frontal kepada kaum teknokrat Pemerintah sehabis pengangkatan Menteri-menteri baru, chususnya kepada Widjojo Nitisastra.

***

Harus diakui, bahwa tulisan Ransom tjukup persuasif. Dipersiapkan selama hampir setahun, kisah “The Berkeley Mafia” merupakan kumpulan sedjumlah data dan hasil wawantjara – meskipun tidak 100% akurat. Namun banjaknja data tidak dengan sendirinja mendjamin sebuah artikel jang setia kepada kebenaran. Staf redaksi Rampart dan djuga Ransom sendiri sebenarnja telah mengambil sikap – dan sikap itu adalah sikap mengganjang – djauh sebelum wawantjara dilakukan dan data dihimpun. Hasil interview dan bahan-bahan lainnja dengan djelas sengadja diatur kearah penelandjangan jang sudah direntjanakan. Musuhnja sudah tentu lembaga-lembaga Establishment di Amerika: Ford Foundation, Pentagon, CIA, kaum “reaksioner” dikalangan akademi dan bulan-bulanan lain jang digemari kaum Kiri Baru. Dan Indonesia sudah tentu masuk kedalam garis musuh itu: negeri ini menerima bantuan dari Rockefeller dan Ford Foundation untuk mendidik sardjana-sardjananja lewat universitas Berkeley, Cornell, Harvard, Kentucky dan MIT. Bagi Ransom, dari situlah mulainja rentjana besar imperialisme Amerika, jang djuga mengadakan kontak-kontak dengan kaum militer Indonesia – chususnya melalui marhum Djend. Suwarto dan SESKOAD, dimana para ahli ekonomi “made in USA” itu mengadjar. Kata Ransom: “Para ahli ekonomi itu dengan segera terlibat kedalam komplotan djendral-djendral anti komunis”.
Apakah “komplotan” itu? Djend. Yani almarhum bersama perwira-perwira tinggi lainnja menjiapkan sebuah renjana kalau Presiden Sukarno meninggal mendadak. Djend. Suwarto, bersama SESKOAD dan para teknokrat, ikut menjiapkan rentjana itu. Jang ditjemaskan para djendral adalah PKI. Dan mengingat besarnja dukungan kepada Sukarno & PKI, orang militer dan penasihatnja tahu bahwa “banjak darah akan mengalir bila saat bentrokan tiba”.
Saat bentrokan memang tiba: 30 September 1965, ketika Let. Kol. Untung mengadakan kup, jang menurut Ransom merupakan “peristiwa intern Angkatan Darat” dimana PKI tidak terlibat. Untung kalah. Maka rentjana militer bersama para sardjana jang disebut sebagai “the Berkeley Mafia” itupun bisa berdjalan, terutama setelah djatuhnja Sukarno dan naiknja Soeharto. Kabinet Pembangunan dibentuk, dan Sumitro, Widjojo, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Sadli, Barli Halim serta Soedjatmoko memegang djabatan-djabatan tinggi.
Serentak dengan itu, sedjumlah ahli ekonomi Amerika melalui Development Advisory Service (DAS) dari Universitas Harvard diperbantukan kedalam perentjanaan ekonomi Indonesia. Maka lengkaplah pintu terbuka: Indonesia, kata Ransom kembali “kedalam pelukan imperialis”. Modal asing masuk, sesuai dengan strategi 20 tahun Ford Foundation. Sementara itu petani dan rakjat didesa terus ditindas oleh kaum militer.
“Tidak ada lagi pembitjaraan tentang landreorm dan tentang mempersendjatai rakjat”, tulis Ransom, jang entah dari mana sumbernja kemudian bertjerita: “Tapi sikap diam itu tjukup berbitjara. Kini didesa-desa Djawa dimana PKI pernah kuat sebelum pembasmian besar-besaran terdjadi, tuantanah dan para perwira takut keluar malam. Mereka jang mentjoba, kadang-kadang dipagi hari kedapatan sudah terpotong lehernja. Dan para djendralpun berbisik tentang PKI malam”.

***

FITNAHKAH tjerita tentang Mafia Berkeley itu? Orang bisa lebih tjotjok mengatakannja sebagai sematjam hasil tachajul. Berdasarkan tachajul tentang hebatnja strategi dan djaring-djaring imperialisme Amerika “a sophisticated imperial design beyond Cecil Rhode’s wildest dream”, Ransom telah menafsirkan perkembangan sedjarah Indonesia mutachir dengan semena-mena. Berdasarkan kemarahan Kiri Baru jang berlebih-lebihan Ransom praktis telah mendakwa para teknokrat dan seluruh golongan jang melahirkan keadaan sekarang sebagai sematjam pengchianat rayat, pion-pion murah CIA dan sedjenisnja. Dari sikap Ransom nampak bahwa mereka jang terlibat dalam proses sedjarah Indonesia dewasa ini jang setjara sloganistis disebut “para pendorong lahirnja Orde Baru”, seakan-akan tidak mempunjai dinamika sendiri.
Malang sekali, anak muda jang berpretensi revolusioner ini ternjata masih mengidap dibawah sadarnja sikap kaum reaksioner jang paling reaksioner di Barat: memandang orang-orang Indonesia, negeri kulit berwarna dan terkebelakang ini, begitu matjam kerbau-kerbau jang mudah ditjotjok hidungnja oleh tuan-tuan pintar di Amerika.
Demikianlah Ransom misalnja bertjerita bagaimana pimpinan KAMI menerima buku petundjuk organisasi mahasiswa dari kedutaan Amerika dibawah Marshall Green jang konon “punja reputasi sebagai dalang penggulingan Syngman Rhee oleh mahasiswa-mahasiswa Korea”. Ransom djuga mengutip utjapan seseorang jang tak disebut namanja tentang bagaimana Prof. Sadli “betul-betul tidak tahu menjusun undang-undang penanaman modal”. Iapun menjatakan bahwa keputusan Soeharto untuk mengangkat Team Ahli Ekonominja konon merupakan hasil gagasan seorang pedjabat Ford Foundation. Seolah-olah belum tjukup, setjara samar Ransom djuga mengungkapkan bahwa Repelita lahir berkat otak-ahli-ahli ekonomi Amerika. Dan kembali kemasa sebelum 1965, Ransom malah menjebut bagaimana Atase Militer Amerika waktu itu memperkenalkan permainan golf kepada djendral-djendral Indonesia.

Sebagai seorang jang berlagak revolusioner Ransom memang tidak menjukai politik perekonomian Indonesia sekarang – sebagaimana djuga para pengagumnja disini. Tentu sadja itu bukan sesuatu jang tidak patut. Malah lebih menarik dan lebih bermanfaat kiranja apabila perdebatan dilakukan tentang politik perekonomian itu, setjara terbuka, taruhlah misalnja mengenai persoalan modal asing. Hanja ada satu hal jang perlu ditambahkan: dalam perdebatan sematjam itu wadjar djika orang mengharapkan sesuatu jang mungkin bisa disebut sebagai tanggungdjawab moral. Sebab jang mendjadi taruhan bukanlah kesimpulan-kesimpulan akademis dan kemenangan suatu faham. Jang mendjadi taruhan ialah nasib dan masadepan berpuluh-puluh rakjat Indonesia jang miskin.

Sangat mudah bagi seseorang buat berlagak revolusioner dengan model rambut gondrong dan teriakan amarah, sementara dengan amannja ia tak terganggu oleh masa depan jang belum pasti dan masa kini jang serba kekurangan. Kaum Kiri Baru di Barat banjak jang berhati mulia, berperikemanusiaan jang luhur hanja mereka tak punja risiko jang menghantui sebagian besar rakjat Indonesia kini. Seperti Wertheim mereka bisa menjatakan tjinta pada Indonesia, rakjatnja dan kebudajaannja. Tapi djika seperti Wertheim mereka lebih menjukai Indonesia untuk memilih djalan dan faham mereka, adakah mereka djuga akan menanggung beban seperti jang ditanggung rakjat Indonesia? Saja kira disitulah masalah tanggungdjawab moral muntjul: sesuatu jang lajak ditanjakan djuga kepada orang jang menjatakan diri tjemas pada modal-asing, tapi sementara itu djuga hidup dari modal-asing, seorang jang menjatakan bentji kapitalisme tapi sementara itu hidup sebagai seorang kapitalis.

***

Sumber: Majalah TEMPO No. 30/Th. I, 25 September 1971
tulisan GM tentang Mafia Berkeley


https://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/18/dari-kisah-the-berkeley-mafia/

Rabu, 27 April 2016

[ ralat "maaf" tanpa syarat ]

Oleh: Har Wib

Permintaan maaf tanpa syarat sudah diralat. Tapi tetap saja basis argumennya bermasalah.

1. Dia mengacu pada “negara yang konkrit”, yakni aparatus negara: kepolisian, hukum dan peraturan-perundang-undangan, peradilan, dsb, Tapi terus menerus mengistilahkannya sebagai “representasi negara”. Tak harus membaca katam Althusser untuk tahu beda antara konsep aparatus negara (“ideological state aparatus”, “repressive state apparatus”, dsb.) dengan soal “representasi negara”. Soal problem "representasi dan presentasi" kelas dan negara, bacalah buku Martin Suryajaya: Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme.

2. Dia terus menerus mempertanyakan “bagaimana dasar ethis negara [?]”, tapi dia abai bahwa dasar etika negara itu sudah menyejarah diakui dunia, bahkan dikodifikasi dalam hukum internasional oleh negara-negara (c.q. PBB) dalam bentuk konkrit prinsip-prinsip dan standar/ instrumen hak asasi manusia. Dasar etis bagi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk bertindak, beraksi, berbuat terhadap warga negaranya bahkan umat manusia sudah ditentukan dalam standar HaM dan konstitusi suatu negara; termasuk dasar etis negara bagaimana hak-hak korban/ penyintas (hak untuk tahu, hak atas keadilan, hak atas remedi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya kejahatan di masa lalu) wajib ditunaikan oleh negara. Belajarlah ketatanegaraan.

3. Dia mengkritik Hegel: “negara sebagai subyek historis yang abstrak”, sambil seolah menyetujui konsep Marx tentang negara yang konkrit, yakni negara yang menyejarah dalam ruang dan waktu. Tapi mengebiri teori Marx tersebut dengan mengabaikan basis material keberadaan negara. Bagi Marx negara selalu berarti "negara kelas", entah sebagai "instrumen (faksi-faksi) kelas borjuasi" (Miliband) ataupun "ditentukan oleh struktur kelas dan konjungtur kapiitalisme" (Paulantzas), maupun sebagai "arena perjuangan kelas-kelas" (mis. Alavi, Jessop). Lagi-lagi memperkosa teori Marx (juga para marxist) sebagai melulu rasionalitas pikiran. Bacalah The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (Marx, 1852).

4. Dia mengritik permintaan maaf yang disertai sikap "take-and-give” dan menyatakannya bahwa permaafan yang terwujud dalam bentuk pertukaran tersebut bukanlah yang ideal. Namun, bukankah permaafan selalu mengandaikan hubungan relasional, antara pihak pemberi dan penerima maaf, antara yang memafkan dan dimaafkan? "Permaafan" oleh negara, tentu saja berwatak politik, bahkan memiliki basis ekonomi-politiknya (lihat misal tulisan Coen: http://indoprogress.com/2016/04/mengapa-sulit-minta-maaf/).

Alih-alih memeriksa bagaimana relasi kuasa bekerja dalam suatu “proses permaafan”, dia malah mengingkari "relasi permaafan" dan mengaburkannya kembali ke dalam kategori idealisme meta-fisis.

Silat kata bisa memukau banyak orang, tapi argumen selalu punya dasar logis dan konseptualnya. Logika dan konsep-konsep tersebut ditekuk-tekuk olehnya. Sorry man!

https://www.facebook.com/HarWib

NEGARA DAN MAAF

Oleh: Goenawan Muhamad



Negara, dalam pengertian saya, tak pernah merupakan sebuah abstraksi. Ia kita alami, dan kita hadapi, sebagai sesuatu yang kongkrit: ketika ditangkap atau ditolong polisi, ketika kita mengurus KTP dan surat kawin, ketika kita berhadapan dengan menteri atau dirjen atau petugas pajak. Atau ketika kita dibawa ke depan hakim.

Sebagai sesuatu yang kongkrit, Negara tak pernah seluruhnya utuh, ajeg, koheren, dan permanen. Undang-undang bisa berubah, aturan bisa dibengkokkan. "Representasi" Negara, yakni para petugas atau pejabat, bisa berganti-ganti. Kadang-kadang bisa berubah haluan -- atau berubah kebijakan karena disogok.

Negara yang kongkrit inilah yang umumnya tak dilihat ketika orang meletakkannya sebagai Subyek -- seraya melupakan bahwa subyek ini sebenarnya subyek yang terbelah dan dalam ketidak-stabilan..

Pandangan ini tentu berbeda dari Hegel, misalnya. Bagi Hegel, Negara bekerja menyalurkan proses di mana manusia bersikap atau bertindak melampaui kepentingan masing-masing. Proses itu menyatukan kepentingan-kepentingan partikular ke dalam sesuatu yang universal, sesuatu yang berlaku dan diterima siapa saja, kapan saja. Negara, menurut Hegel, mengutamakan rasionalitas.

Saya berpendapat, pandangan Marx tentang Negara lebih sesuai dengan pengalaman. Negara tidak selamanya, atau bahkan tak mungkin, mengikuti Roh Mutlak ("absoluter Geist") -- sebab bagaimana kita bisa yakin Roh itu punya desain? Bagi pandangan Marxis, watak Negara ditentukan oleh gerak dan sikap masyarakat, yang hubungan-hubungannya tak serta merta mengikuti rasionalitas.

Sementara itu, dalam Negara yang kongkrit, selamanya ada konflik dalam bangunannya. Ada kepentingan-kepentingan yang bertarung. Dalam prosesnya, selalu ada bagian dari masyarakat yang oleh tata tertentu tidak diperhitungkan, bahkan disisihkan.

Maka ketika kita berbicara tentang "Negara minta maaf", atau "Negara menolak minta maaf", atau "Negara memberi ampun", kita perlu bertanya lebih jauh: apa arti maaf? Bagaimana dasar ethisnya, sebab ini adalah masalah ethis, selain politis? Bagian mana dari Negara yang harus melakukan itu? Kepada siapa?

Negara, dengan kata lain, tak bisa diIihat sebagai makhluk serba tahu yang hidup di luar sejarah.

Maka kejahatan Negara di pertengahan 1960-an, di bawah rezim Soeharto, tak bisa diteruskan jadi dosa Negara Indonesia di awal abad ke-21 yang justru dilahirkan kembali dengan menampik "Orde Baru". Ketika Negara yang sekarang minta maaf untuk dosa itu, ia mau tak mau hanya jadi "proxy" -- dan permintaan maaf dari si "pengganti" tak akan bisa setara nilainya, baik dalam ketulusan maupun efek psikologisnya, dengan permintaan maaf yang diungkapkan mereka yang berbuat kejahatan.

Lagi pula, permintaan maaf dari Negara yang sekarang secara tak langsung melepaskan kaitan Rezim Soeharto dengan kekejaman di tahun 1960-an yang lalu.

Itu sebabnya pemerintah Jerman Timur tidak mengikuti pemerintah Jerman Barat dalam bersikap meminta maaf atas kejahatan Nazi.

Hans Kundnani, pengarang "Utopia atau Auschwitz", (sebuah buku tentang generasi 1968 dan Holocaust), mengatakan kepada harian The Telegraph 4 September 2013, bahwa di Jerman Timur hubungan dengan masa Nazi diputus sama sekali. Pemerintah Republik Demokrasi Jerman menegaskan diri sebagai anti-Naziizme. Seorang penduduk Jerman Timur menceritakan kepada The Guardian (29 Maret 2007) betapa salahnya media Barat yang menganggap di negeri komunis itu hanya sedikit kejahatan Nazi diungkap. Lihat, anak-anak sekolah Jerman Timur selalu dibawa untuk melihat sisa kekejaman Nazi di kamp konsentrasi. Semua tempat kekejian di sana dirawat sebagai peringatan agar "tak seorang pun lupa". Semua pejabat Nazi yang penting dipenjarakan -- atau lari ke Barat. Pemerintah DDR menerbitkan sebuah buku dengan daftar tokoh-tokoh Nazi yang belum tertangkap, sementara di Jerman Barat, Hans Globke, pengacara Nazi terkemuka, diangkat jadi menteri dalam pemerintahan Adenauer di Jerman Barat pasca-perang.

Pemerintah DDR tidak perlu meminta maaf atas kejahatan Nazi. Ia bukan bagian dari masa lalu itu.

Tentu, tak ada salahnya Negara meminta maaf, jika itu untuk mendapatkan kerukunan baru. Tapi permintaan maaf yang disertai sikap "take-and-give" bukanlah permintaan maaf yang ideal -- dan sama sekali tidak cukup. Maka bagi saya, tepat sekali ketika Pemerintah Jokowi -- meskipun tanpa meminta maaf -- memerintahkan agar kuburan massal korban yang dibunuh karena afiliasi mereka dengan PKI dicari dan ditemukan.

Akan lebih baik lagi jika dinyatakan, dan disosialisasikan sampai ke pelosok-pelosok, bahwa sebuah kekejian besar telah dilakukan sebagian bangsa kita waktu itu. Kalau masih hidup, para pelaku kebuasan yang dipotret Joshua Oppenheimer dalam film "The Act of Killing" dan "The Look of Silence" ditangkap dan dihukum. Tak kurang penting: perlu sekali dikumandangkan bahwa keluarga mereka yang disingkirkan karena label "PKI" adalah bagian sah bangsa kita.

Saya termasuk orang yang menggagas perlu didirikannya sebuah monumen untuk korban di Pulau Buru. Saya juga berharap agar dibuat satu peta se-Indonesia yang menunjukkan lokasi tempat penahanan dan penyiksaan masa itu. Buku pelajaran dengan sejarah yang tak menyebut masa yang menakutkan itu harus diganti. Semoga juga ada penghormatan khusus kepada Sri Ambar, yang kisah penyiksaan dan keteguhan hatinya saya ceritakan dalam Catatan Pinggir saya, "Maaf", di Majalah Tempo pekan ini.

Kemudian kita semua perlu mengakui, banyak tokoh dan kelompok sosial-polltik -- baik Kiri maupun Kanan , sipil maupun militer -- yang pernah menganjurkan atau bahkan ikut melakukan kekerasan dalam sejarah Republik ini. Pergulatan politik yang ingin berkuasa mutlak akan berkahir dengan kekejaman. Kita harus bertekad, semua itu tak boleh terulang lagi.
***
Jakarta, 27 April 2016

https://www.facebook.com/goenawan.mohamad/posts/10153554664387286?fref=nf

Selasa, 26 April 2016

Siapa yang Sah Mewakili Teknokrat? [Catatan untuk Goenawan Mohamad]

Selasa, 12 April 2016

Buya Hamka & Anjing Yang Masuk Surga

12/4/2016


Usamah adalah seorang keturunan Arab Pekalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon, daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke Jakarta.

Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi, tapi tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya sukses, seorang di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank, Bank Jerman, dan seorang lagi menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga. Usamah sendiri memilih jadi wartawan sebuah majalah berita terkemuka.


Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa. Tapi suatu ketika mereka sepakat untuk membeli tanah di sepanjang jalan kecil di bilangan Ciputat. Mereka mendirikan rumah berderetan. Usamah juga ikut membeli tanah, tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah yang lebih murah di bagian yang agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh sebuah kali kecil.

Di situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian pekarangannya dipakai untuk memelihara ayam. Peternakan ayam yang hanya 100 ekor itu memang cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor dicuri orang. Karena itu seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara seekor anjing.

.
Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang sangat riskan, yang memelihara bisa tidak disukai orang sekampung. Teman-temannya dari Solo pun ikut menyarankan agar Usamah tidak memelihara Anjing. Tapi sahabatnya yang mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara anjing itu diperbolehkan agama. Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad.
.
Tapi sebelum memutuskan memelihara anjing itu Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru, dekat Masjid al Azhar.
.
“Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara anjing?” tanyanya, memberanikan diri, maklum bertanya kepada ulama besar.
.
“Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,” jawab Buya.

“Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan ulama-ulama juga memelihara anjing. Sebagian orang kampung memelihara anjing untuk berburu di hutan. Bahkan Pesantren Putri Pandang Panjang, Rahmah el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing,” jelas ulama asal Minang itu. 

.
“Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya lagi.
.
“Orang Muslim dianjurkan untuk menyayangi binatang, termasuk anjing. Nabi sendiri suka dengan kucing. Nabi Daud suka burung dan Nabi Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada hadist yang menceritakan adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga, hanya karena ia memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada pula anjing yang masuk surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul Kahfi yang melarikan diri dari tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas izin Allah, tertidur selama 300 tahun itu,” jelas ulama pengarang Tafsir al Azhar itu, yang menceriterakan kisah para pemuda beriman dan seekor anjingnya dalam Al Quran.
.
Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan persetujuan seluruh keluarga, memutuskan untuk memelihara seokor anjing. Tak tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang disebut German Shepherd yang diberinya nama Nero.Tapi baru berjalan satu setengah tahun, anjing itu pun mati. Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang kampung, anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak suka. 
.
Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih kehilangan Nero. Tapi kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara jenis Doberman yang diberinya nama Hector. Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil, Faris, bersama pengasuhnya, Minah, bermain-main di rerumputan pinggir kali, dekat sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika Faris ingin bermain-main di kali. Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya, tapi ia selalu disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan mengganggu orang yang takut atau jijik pada anjing.
.
Pada suatu hari, setelah selesai belanja, barang-barang belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan ia kembali ke pasar membeli barang yang kelupaan dibeli. Hector disuruh menunggu. Namun ternyata ada juga orang yang berusaha mengambil barang belanjaan itu. Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri itu tidak sadar bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam pencuri itu sambil menggonggong keras-keras.
.
Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah kembali ke mobilnya. Pencuri itu tidak mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah kepada Hector dan istri Usamah.
.
“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.
.
“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri.
.
“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau mengambil barang saya.”
.
“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?”
.
Ibu Usamah merasa gelagapan mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami pertanyaan si pencuri.
.
“Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong. Anjing juga tidak pernah mencuri. Hanya manusia yang suka berbohong dan mencuri,” jawab Bu Usamah. 
.
Tapi karena tak ada bukti bahwa barangnya telah dicuri, maka pencuri itu pun bebas.
.
Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya pemuda sekampung sendiri, berusaha mencuri ayam. Ia sempat membawa lari seekor ayam, tapi orang itu keburu lari melompat pagar tanaman, karena mendapat gonggongan Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya sampai tertangkap. Pencuri itu pun, setelah melepas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong. 
.
Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan melepaskan gigitan anjing di bajunya, dan seorang di antaranya mengambil sepotong kayu untuk memukul Hector. Untung Usamah sempat datang mencegah pemukulan. Tapi penduduk malah memarahi Usamah.
.
“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti mati kami hajar.”
.
“Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar orang ini tanpa alasan sepagi hari ini? Ayam saya di kandang ramai berkotek, tanda ada yang mengganggu. Dulu saya pernah kecurian ayam, sebelum punya anjing.”
.
“Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu najis hukumnya? Apalagi memelihara. Haram.”
.
“Tidak ada di Quran maupun Hadits yg menyatakan anjing itu haram. Di Hadits dinyatakan liurnya yg najis (najis bukan haram) jika mengenai Walago (bejana/mangkuk makan). Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini sehat dan bersih, setia menjaga rumah dan majikannya. Tak pernah mencuri dan berbohong, karena tidak bisa."
.
"Anjing itu seperti malaikat. Hanya bisa menjalankan tugas menurut kodratnya,” jawab Usamah.
.
“Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang sesat. Minta ampun pada Tuhan dong karena melanggar ketentuan agama. Benar tidak pak haji?” tanya orang kampung itu kepada seorang yang pakai kopiah putih di sampingnya.
.
Orang yang ditanya itu tidak berkata apa-apa, cuma mengangguk. 
.
Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang kampung yang menurutnya tidak ada gunanya sama sekali.
.
Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung itu, tidak ada lagi orang yang mencoba mencuri ayam. Cuma, ada yang takut bertamu ke rumah Pak Usamah. Padahal Hector tidak menggonggong jika ada tamu.
.
Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah bahwa rumah yang ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya dari Solo pun menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector itu sendiri adalah malaikat yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat untuk berkhianat atau bersikap munafik.
.
Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah dan keluarganya dan bahkan merupakan teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-sama anggota keluarga yang nonton TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang terkecil. Dan Faris sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara.
.
Tapi kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah, maksudnya mungkin mau menjaga rumah itu dari pencuri yang suka datang malam-malam. Kalau ada yang dicurigainya, baru Hector menggonggong. Karena itu orang yang berniat jahat, mengurungkan niatnya.
.
Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV. Faris sudah berangkat besar, sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai nonton TV, tiba-tiba Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian seolah-olah tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah. 
.
Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga. Rupanya, Hector sudah berhenti bernapas.
.
Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan suara tersendat-sendat berkata: 
.
“Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang yang umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun, padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Inna lillahi wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak kita semua juga akan kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk surga, seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.”
.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih, seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air matanya. Ia kehilangan malaikat penjaga keluarganya.Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.
.
"Ber-agama yang hanya menjalankan Syariat namun tanpa memahami Hakikat, hanya menghasilkan banyak Mudharat & sedikit manfaat."
________________________________________
Oleh: Prof. M. Dawam Rahardjo
(Cendekiawan muslim dan tokoh Muhammadiyah)

*Cerpen yg terinspirasi dari kisah nyata ini pernah dimuat di KOMPAS, 19/6/2005, dan diterbitkan kembali dlm buku kumpulan tulisan M. Dawam Rahardjo, "Anjing yang Masuk Surga" (Penerbit Jalasutra, 2007).

http://www.meongers.com/cerita/buya-hamka-anjing-yang-masuk-surga

Senin, 11 April 2016

Sistem Pangan: Mau Makan Apa dan Makan Siapa?


PERNAH dengar sistem pangan (Food System)? Ini bukanlah nama generik untuk seluruh pangan yang kita makan. Ini adalah istilah khusus untuk sistem kapitalisme pangan, yang sekarang sudah bermetamorfose dari sejak hulu hingga hilir untuk menguasai apa yang kita makan.

Nama lainnya adalah Rantai Pasokan Pangan (Food Supply Chain), dimana korporasi-korporasi membangun sistem rantai pasokannya masing-masing sejak dari hulu (downstream) hingga hilir (upstream), terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, serta saling bekerjasama dan saling menunjang untuk meminimalkan biaya dalam sebuah rantai panjang industri barang dan jasa. Ini dapat dilihat dari gambaran berikut: masifnya unit-unit produksi ternak, ambruknya warung-warung kecil keluarga, dominasi ritel oleh rantai supermarket secara nasional dan internasional, pra-kemasan, resto fast-food, meningkatnya acara makan di luar rumah, camilan-camilan, produk-produk yang tidak musiman, kontrak lahan pertanian untuk produk-produk tertentu, pangan rekayasa genetik, bahan-bahan tambahan, bahan-bahan pengawet, makanan yang dibekukan, merk-merk, iklan-iklan dan diatas semuanya adalah persaingan yang terus menerus dalam menurunkan harga. Dengan metamorfose ini semua, rantai pangan telah beralih-rupa menjadi segmen raksasa dari ekonomi pasar kapitalis. Pangan hanyalah produk yang dikejar untuk bisa dipotong biaya per-unitnya guna menghasilkan keuntungan, didorong oleh persaingan yang kejam dari berbagai supermarket untuk mendapatkan pasar yang lebih besar untuk kemanfaatan para pemilik saham.

Rantai Pasokan Pangan (RPP) atau dikenal juga sebagai sistem pangan (food system) mengacu pada sebuah proses yang menjelaskan bagaimana pangan bermula sejak dari usaha pertanian hingga berakhir di meja makan kita. Proses tersebut meliputi produksi, pemrosesan, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan. RPP terdiri dari berbagai ragam produk dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di pasar yang berbeda-beda serta menjual berbagai variasi produk pangan.

RPP menghubungkan tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, industri pemrosesan makanan dan sektor distribusi (baik grosir maupun ritel). Sektor pertanian terdiri dari produksi tanaman dan peternakan. Perusahaan-perusahaan di sektor pertanian menjual outputnya kepada industri pemrosesan makanan maupun kepada dirinya sendiri (pakan ternak). Juga seringkali menjual langsung kepada sektor ritel, konsumen akhir ataupun pasar alternatif (seperti biofuel).

Sementara industri pemrosesan makanan ada bermacam-ragam dan terdiri dari berbagai macam kegiatan yang bervariasi, seperti pengilangan (gula), penggilingan (sereal), pembersihan, pemotongan atau pengeringan (buah-buahan dan sayur-sayuran), serta penyembelihan dan pembongkaran (peternakan). Masing-masingnya melewati berbagai tahapan yang berbeda-beda, dikemas dan lalu dikirimkan kepada pelanggan (seperti distributor dan layanan makanan). Kegiatan penting lain dari manufaktur pangan ini adalah melakukan riset pasar dan produk guna pengembangan produk-produk baru, serta dalam menjalankan pemasaran.

Sektor distribusi (dan ritel khususnya) merupakan saluran utama bagi produk-produk pangan, dan menjadi mata rantai terakhir dari rantai pasokan, karena langsung berhubungan dengan konsumen akhir. Ini adalah minimarket-minimarket yang tersebar di seluruh pelosok negeri, mal-mal besar dan resto-resto segala rupa. Riteler biasanya juga menjalankan layanan kepada manufaktur pangan, seperti melakukan kegiatan promosi.
Dengan gambaran ini maka jelas Rantai Pasokan Pangan merupakan bentuk mutakhir dari pengintegrasian seluruh kegiatan sektor pertanian dalam lingkup sektor industri dan perdagangan modern.

Dengan demikian RPP kontras dengan gambaran sektor pertanian di Indonesia, dimana mayoritas petaninya masihlah petani kecil/subsistens, yang masih mengerjakan usaha pertaniannya secara manual dan tradisional. Sektor pertanian masih sepenuhnya tergantung pada bagian terbesar dari petani kecil subsistens, dimana 60 persen tenaga kerja masih berada di sektor pertanian. Sebagiannya sudah tidak bertanah dan sebagiannya bekerja sebagai buruh tani. Karenanya sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil subsistens yang miskin.

Kini kaum tani harus menghadapi pengusaha/korporasi pertanian agribisnis dengan modal besar dan teknologi pertanian modern. Seperti kita ketahui bersama, sektor pertanian yang modern dan terindustrialisasi, sektor agribisnis, sudah mulai berkembang terutama semenjak revolusi hijau di tahun 1970an.

Revolusi hijau telah memacu pertumbuhan pertanian lewat input modal secara besar-besaran yang ditunjang oleh import barang-barang teknologi pertanian dan berbagai input modern lainnya (bibit, pupuk, pestisida dan obat-obatan kimia). Model modernisasi pertanian lewat input modal besar-besaran ini dalam kenyataannya tidaklah membawa keuntungan bagi kaum petani. Yang diuntungkan pertama-tama adalah para pengusaha, korporasi-korporasi multinasional dan para importir yang mendapat keuntungan dari impor bibit, obat-obatan, traktor, pembangunan irigasi, pompa air, pestisida dan lain-lain.

Model pertanian seperti ini kini semakin diperparah dengan kemunculan revolusi hijau kedua yang dicirikan pangan dan pertanian bioteknologi disertai menguatnya sistem agribisnis korporat, yang paralel dengan naiknya paham ekonomi neoliberal yang mengutamakan ekspansi modal besar dan peran korporasi transnasional (TNCs) yang bersesuaian dengan ekonomi pasar bebas.

Korporasi-korporasi agribisnis, baik dari luar maupun dalam negeri, menjalankan perkebunan monokultur besar-besaran, dengan input kimia yang intensif. Ekspansi agribisnis juga disertai ekspansi korporasi supermarket dan toserba yang menjual berbagai produk pangan dan pertanian dari luar. Juga buah-buahan dan sayur-sayuran dari luar. Ekspansi buah-buahan impor juga semakin dominan menjalar ke sektor pedagang kecil (informal dan kaki-lima) yang kini justru lebih banyak menjual buah-buahan impor ketimbang menjual buah-buahan asli lokal yang lebih bervariasi dan murah.

Saat ini korporasi transnasional pangan semakin menguasai pasar komoditas pangan global. Mereka bekerjasama dengan para pemain domestik di beberapa negara untuk ikut serta menjadi pemasok utama bahan-bahan makanan.

Demikian pula dalam sektor ritel, korporasi transnasional di Negara-negara maju seperti Carrefour, Walmart, dan lain-lainnya telah mengambil-alih sistem pangan domestik di Negara-negara berkembang secara keseseluruhan.

Undang-undang yang kemudian menyongsong sistem pangan global dan era perdagangan bebas MEA adalah UU Pangan no. 18 tahun 2012, yang menggantikan UU Pangan No. 7 Tahun 1996 yang meskipun sudah liberal, tetapi kurang sesuai dengan perkembangan terbaru dari sistem pangan global. Isi dari Undang-Undang tersebut memperlihatkan kebijakan yang liberal dan pro-pemodal besar yang telah dianut pemerintah selama ini lewat konsep ketahanan pangan. Bahkan, nampaknya UU Pangan ini memang dipersiapkan untuk menyambut datangnya era liberalisasi pangan dan pertanian di dalam MEA.

Keberpihakan pemerintah kepada pihak korporasi sudah semakin jelas. Pada pertemuan World Economic Forum di bulan Juni 2011, Wakil Menteri Pertanian saat itu, Bayu Krishnamurti menyampaikan bahwa dalam upaya untuk peningkatan produksi pangan dan menjamin ketahanan pangan nasional, pemerintah akan bekerja sama dengan 14 TNC pangan dan pertanian seperti Indofood, Astra Internasional, Dupont, Cargill, Kraft, Unilever, Swiss RA, Sygenta, ADM, Bunge, Mckenzie, Monsanto, Sinar Mas, dan Nestle. Sebagian besar perusahaan yg terlibat dalam inisiatif ini adalah perusahaan multinasional yg mengalami peningkatan keuntungan berkali lipat dalam krisis pangan global sejak 2008.

Keberpihakan tersebut juga nampak jelas dalam Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 yang mengatur tentang Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate), serta diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 18 tahun 2010 tentang food estate yang kemudian disusul dengan Permentan yang menindaklanjuti PP tersebut. Poin penting dari pelaksanaan program perkebunan skala luas ini ialah kepastian dan perlindungan ijin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mengembangkan industri pertanian pangan.

Dengan dalih slogan kedaulatan pangan untuk menuju swasembada pangan, maka anggaran pertanian di RAPBNP 2015 ditambah sebesar Rp 15,8 trilyun, sehingga kementerian Pertanian mendapat porsi anggaran sebesar Rp 32,7 trilyun. Akan tetapi dana publik tersebut justru dipakai untuk bekerjasama dengan korporasi transnasional (TNCs). Pengadaan benih untuk areal lahan 1 juta hektar dengan nilai Rp. 750 Milyar, misalnya, ternyata melibatkan PT Monsanto Indonesia sebagai penyedia benih dan PT Cargill Indonesia sebagai penyerap hasil produksi.

Pesan dari cerita singkat ini adalah: kenalilah sistem (kapitalisme) pangan baru ini. Karena kini segala apa yang kita makan sudah diatur oleh mereka. Mau makan apa, tuan dan nyonya?
***

Pernyataan Sikap Panitia Konferensi Rakyat Lawan Kriminalisasi, Rebut Demokrasi


Kriminalisasi sebagaimana kita pahami adalah penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya tidak. Ada motif lain dibaliknya, atau ada udang di balik batu, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan. Motif “Kriminalisasi” pada dasarnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum. Berbagai kriminalisasi terjadi menimpa masyarakat dimana pelakunya beraneka ragam, institusi kepolisian, Kementerian, Pengusaha, tokoh masyarakat, institusi agama, lembaga politik dan sebagainya. Korban kriminalisasi dan payung hukum yang digunakan juga beragam. Namun, grafik kriminalisasi ini meningkat, dan menjadi pola yang digunakan guna membungkam kebebasan berpendapat, ekspresi, kebebasan beragama-berkeyakinan, dan perjuangan untuk pemenuhan hak atas kesejahteraan sosial.
Sebagai contoh, kriminalisasi terhadap masyarakat adat dalam sengketa tanah adat dengan perusahaan tambang terjadi di Sinjai, Sulawesi Selatan terhadap Pak Bachtiar bin Sabang. Bachtiar Sabang di pidanakan dengan menggunakan pasal 78 UU Hutan dan kemudian UU Pencegahan dan Pemberantasan Hutan.
Sastrawan Saut Situmorang yang menginisiasi Aliansi Anti Pembodohan guna mengkritik dan melawan penerbitan 33 penyair dimana Denny JA termasuk di dalammnya, di kriminalisasikan karena komentar facebooknya oleh Fatin Hamama. Saut Situmorang dikriminalisasi dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE.
23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta, dan 1 Mahasiswa dikriminalisasi paska pembubaran aksi buruh di depan Istana pada 30 Oktober 2015 saat menyuarakan penolakan terhadap Peratuan Pemerintah No. 78/2015 tentang Pengupahan. Meski ke 27 orang tersebut disiksa saat penangkapan, tapi pihak kepolisian tetap mengkriminalisasi mereka dengan menggunakan Kepolisian menerapkan pasal karet melawan penguasa yang tertera pada Pasal 216 juncto Pasal 218 KUHP.
Lagi soal buruh, Saiful Anam dan Eko, di laporkan ke polisi oleh Direktur perusahaan tempat mereka bekerja, PT. Nanbu Bekasi, setelah membuat status facebook yang mengungkapkan praktek buruh kontrak yang terjadi di perusahaan tersebut. Sebelum pemolisian tersebut, Serikat Bumi Manusia yang merupakan serikat dimana Saiful dan Eko menjadi pengurusnya memang tengah mengadvokasi diskriminasi terhadap buruh kontrak.
 Lain halnya petani di Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Para petani yang tergabung dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) ini di kriminalisasi karena melaporkan ancaman, intimidasi dan represifitas yang dilakukan oleh TNI AL dan Preman PT. Wongsorejo yang menuduh para petani tersebut merusak Gardu yang baru saja dibangun. Meski mendapatkan represifitas, polisi sebaliknya, mengkriminalisasi mereka dengan mengunakan pasal 170 ayat (1) KUHP dimana dinyatakan bahwa telah terjadi pengeroyokan terhadap orang/pekerja PT. Wongsorejo.
 Di Ternate, Adlun fiqri, di kriminalisasi dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan tuduhan mencemarkan nama baik salah satu oknum Polantas dan Institusi kepolisian. Hal tersebut terjadi setelah Adlun yang ditilang oleh Polantas dari Polres Ternate. Ketika Adlun menanyakan pelanggarannya ke salah satu oknum Polantas, yang bersangkutan menjawab, berdasarkan UU (tidak dijelaskan UU Nomor berapa) denda yang harus dibayar sebesar Rp 250.000. Beberapa pengendara motor yang ditilang juga diminta untuk membayar pelanggaran yang dilakukan mereka. Oknum Polantas tersebut mengatakan jika mereka (pengendara) mengikuti sidang maka mereka harus bayar sebesar Rp 1.000.000, sementara kalau bayar disini (di tempat tilang) jumlahnya hanya Rp 150.000. Praktek yang ganjil yang melanggar UU Lalulintas tersebut kemudian direkam oleh Adlun dalam bentuk video lalu disebarluaskan ke YouTube dan Facebook.
Pelaku kriminalisasi yang baru-baru ini hangat terjadi adalah Menteri Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi. Menteri Yuddy melaporkan seorang Guru Honorer, Mashudi, 38 tahun, asal Brebes, Jawa Tengah. Mashudi yang mengirimkan sms kritik dan protes karena status guru honorer yang tak kunjung diangkat menjadi guru tetap. Mashudi dianggap memberikan ancaman kepada Yuddy Chrisnandi. Ia dijerat Pasal 29 dan atau Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 335 dan atau Pasal 336 dan atau Pasal 310/311 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun.
 Seorang penterjemah di Medan, Sumatera Utara, di laporkan ke Polresta Medan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia setelah ia menterjemahkan Kitab agama Hindu dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penterjemah ini dikenakan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Beruntung hakim Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa terdakwa tidak melanggar pasal 156a KUHP karena hanya menjalankan profesinya sebagai penerjemah.
 Namun lain halnya dengan ustad Tajul Muluk, pemimpin komunitas syiah Sampang, Madura. Tajul Muluk dikenai pasal 156a KUHP. Ia dianggap membuat aliran tersendiri, aliran Tajul Muluk, sesuatu yang dipaksakan, meskipun telah dibantah bahwa tidak ada ustad Tajul muluk adalah bagian dari Syiah.
Berbagai kriminalisasi ini terjadi berulang kali dan diadopsi oleh berbagai pihak guna meredam protes, menjatuhkan lawan, menghambat ruang demokrasi karena masih adanya berbagai macam regulasi yang memberikan ruang bagi kriminalisasi.
Oleh karena itu perjuangan melawan kriminalisasi adalah bagian dari upaya merebut kembali ruang demokrasi yang di renggut penguasa secara kesewenang-wenangan.
Maka kami mengundang rekan-rekan sebagai pembicara dalam acara konferensi tersebut dan Kami juga meminta organisasi anda untuk menyediakan bood,bood ini berisi gambar atau berupa data-data tentang kasus kriminalisasi.

Kami panitia Konferensi Rakyat Lawan Kriminalisasi Rebut Demokrasi dengan ini menyatakan  untuk:

  1. Bebaskan kawan-kawan kami yang menjadi korban kriminalisasi.
  2. Hapuskan seluruh regulasi beserta pasal-pasal karet yang sering digunakan aparat untuk membungkam gerakan perlawanan rakyat.
  3. Kembalikan hak demokrasi yang seutuhnya kepada seluruh rakyat.
  4. Hapuskan regulasi hukum yang membatasi hak berdemokrasi
  5. Menyerukan kepada semua rakyat untuk bersatu dalam  melawan segala bentuk kriminalisasi.
  6. Membuat wadah untuk menyatukan kekuatan bersama demi mempertahankan demokrasi.
  7. Penegakan hukum yang berkeadilan bukan tumpul keatas tajam kebawah.  
  8. Berikan kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan
  9. Menolak segala Rancangan Undang-Undang yang tidak berpihak pada rakyat..


                                                                             Jakarta, 9 April 2016



Mujiyo
Ketua Panitia


Organisasi Pendukung Kepanitiaan:
LBH Jakarta, Safenet. ICTWatch, Papua Itu Kita, LBH Pers,  TII, Kontras, ELSAM, SBMI, FSedar, PPR, PPRI, Sebumi, Pembebasan, dan Geram Kriminalisasi.
http://blog.solidaritas.net/2016/04/pernyataan-sikap-panitia-konferensi_10.html?spref=fb

Minggu, 10 April 2016

Manifesto Rakyat Indonesia Lawan Kriminalisasi, Rebut Demokrasi!




Tahun-tahun panjang tanpa Demokrasi di bawah Orde Baru telah kita lalui bersama. Hidup pada zaman tanpa kebebasan politik, berkeyakinan, berpendapat, beragama, berkreasi dan menyatakan perbedaan bukan lah hidup yang manusiawi. Barisan panjang korban tahanan politik, kriminalisasi, hingga persekusi akibat kediktaktoran Orde Baru, akan selalu kami ingat, tidak akan kami lupakan, karena kenyataan tersebut telah menghancurkan aspek kemanusiaan kita yang paling penting sebagai manusia dan bangsa yang (seharusnya) beradab.

Kami sadar, upaya untuk membalikkan keadaan kembali seperti zaman Orde Baru, baik oleh kekuatan sisa-sisa lama maupun penguasa baru diperlihatkan dengan cara mengkriminalisasi, mengintimidasi hingga mempersekusi suara-suara yang kritis. Karena itu, kami harus mempertahankan hasil perjuangan penuh darah, air mata, dan keringat para pejuang demokrasi dan reformasi tersebut. Kami tak ingin lagi hidup dalam masa Tanpa Demokrasi.

Kami tak mau rakyat menjadi korban dari kepentingan penguasa, korporasi, tentara/polisi yang menghambat kebebasan politik dalam memperjuangkan kesejahteraan, baik melalui pembubaran aksi langsung (demonstrasi) dan kampanye secara sewenang-wenang dan brutal, pengadilan sesat maupun intimidasi serta persekusi.

Dengan demikian, kami, Rakyat Indonesia yang berjuang untuk Demokrasi, menyatakan:

1. Lawan Kriminalisasi dan segala macam regulasi serta produk hukum yang berpotensi secara langsung dan tidak langsung mengkriminalkan rakyat;
2. Bebaskan seluruh korban Kriminalisasi dan tahanan politik;
3. Cabut segala macam produk hukum yang menghambat dan mengancam kebebasan politik, berpendapat, berkeyakinan, beragama, serta kesempatan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya bagi Rakyat;
4. Penegakan hukum yang berkeadilan, bukan tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

Karena, tanpa demokrasi, kami tidak bisa berharap, kami bisa berjuang bagi kebahagian rakyat sebagai manusia modern yang beradab, berbudaya, dan sejahtera. Hidup Rakyat!
_____
 

KONFERENSI RAKYAT LAWAN KRIMINALISASI DAN REBUT DEMOKRASI

Kriminalisasi sebagaimana kita pahami adalah penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya tidak. Ada motif lain dibaliknya, atau ada udang di balik batu, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan. Motif “Kriminalisasi” pada dasarnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. 
Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum. 
Berbagai kriminalisasi terjadi menimpa masyarakat dimana pelakunya beraneka ragam, institusi kepolisian, Kementerian, Pengusaha, tokoh masyarakat, institusi agama, lembaga politik dan sebagainya. 
Korban kriminalisasi dan payung hukum yang digunakan juga beragam. Namun, grafik kriminalisasi ini meningkat, dan menjadi pola yang digunakan guna membungkam kebebasan berpendapat, ekspresi, kebebasan beragama-berkeyakinan, dan perjuangan untuk pemenuhan hak atas kesejahteraan sosial.

Sebagai contoh, kriminalisasi terhadap masyarakat adat dalam sengketa tanah adat dengan perusahaan tambang terjadi di Sinjai, Sulawesi Selatan terhadap Pak Bachtiar bin Sabang. Bachtiar Sabang di pidanakan dengan menggunakan pasal 78 UU Hutan dan kemudian UU Pencegahan dan Pemberantasan Hutan.

Sastrawan Saut Situmorang yang menginisiasi Aliansi Anti Pembodohan guna mengkritik dan melawan penerbitan 33 penyair dimana Denny JA termasuk di dalammnya, di kriminalisasikan karena komentar facebooknya oleh Fatin Hamami. Saut Situmorang dikriminalisasi dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE.

23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta, dan 1 Mahasiswa dikriminalisasi paska pembubaran aksi buruh di depan Istana pada 30 Oktober 2015 saat menyuarakan penolakan terhadap Peratuan Pemerintah No. 78/2015 tentang Pengupahan. Meski ke 27 orang tersebut disiksa saat penangkapan, tapi pihak kepolisian tetap mengkriminalisasi mereka dengan menggunakan Kepolisian menerapkan pasal karet melawan penguasa yang tertera pada Pasal 216 juncto Pasal 218 KUHP.

Lagi soal buruh, Saiful Anam dan Eko, di laporkan ke polisi oleh Direktur perusahaan tempat mereka bekerja, PT. Nambu Bekasi, setelah membuat status facebook yang mengungkapkan praktek buruh kontrak yang terjadi di perusahaan tersebut. Sebelum pemolisian tersebut, Serikat Bumi Manusia yang merupakan serikat dimana Saiful dan Eko menjadi pengurusnya memang tengah mengadvokasi diskriminasi terhadap buruh kontrak.

Lain halnya petani di Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Para petani yang tergabung dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) ini di kriminalisasi karena melaporkan ancaman, intimidasi dan represifitas yang dilakukan oleh TNI AL dan Preman PT. Wongsorejo yang menuduh para petani tersebut merusak Gardu yang baru saja dibangun. Meski mendapatkan represifitas, polisi sebaliknya, mengkriminalisasi mereka dengan mengunakan pasal 170 ayat (1) KUHP dimana dinyatakan bahwa telah terjadi pengeroyokan terhadap orang/pekerja PT. Wongsorejo.

Di Ternate, Adlun fiqri, di kriminalisasi dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan tuduhan mencemarkan nama baik salah satu oknum Polantas dan Institusi kepolisian. Hal tersebut terjadi setelah Adlun yang ditilang oleh Polantas dari Polres Ternate. Ketika Adlun menanyakan pelanggarannya ke salah satu oknum Polantas, yang bersangkutan menjawab, berdasarkan UU (tidak dijelaskan UU Nomor berapa) denda yang harus dibayar sebesar Rp 250.000.

Beberapa pengendara motor yang ditilang juga diminta untuk membayar pelanggaran yang dilakukan mereka. Oknum Polantas tersebut mengatakan jika mereka (pengendara) mengikuti sidang maka mereka harus bayar sebesar Rp 1.000.000, sementara kalau bayar disini (di tempat tilang) jumlahnya hanya Rp 150.000. Praktek yang ganjil yang melanggar UU Lalulintas tersebut kemudian direkam oleh Adlun dalam bentuk video lalu disebarluaskan ke YouTube dan Facebook.

Pelaku kriminalisasi yang baru-baru ini hangat terjadi adalah Menteri Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi. Menteri Yuddy melaporkan seorang Guru Honorer, Mashudi, 38 tahun, asal Brebes, Jawa Tengah. Mashudi yang mengirimkan sms kritik dan protes karena status guru honorer yang tak kunjung diangkat menjadi guru tetap. Mashudi dianggap memberikan ancaman kepada Yuddy Chrisnandi. Ia dijerat Pasal 29 dan atau Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 335 dan atau Pasal 336 dan atau Pasal 310/311 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun.

Seorang penterjemah di Medan, Sumatera Utara, di laporkan ke Polresta Medan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia setelah ia menterjemahkan Kitab agama Hindu dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penterjemah ini dikenakan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Beruntung hakim Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa terdakwa tidak melanggar pasal 156a KUHP karena hanya menjalankan profesinya sebagai penerjemah.

Namun lain halnya dengan ustad Tajul Muluk, pemimpin komunitas syiah Sampang, Madura. Tajul Muluk dikenai pasal 156a KUHP. Ia dianggap membuat aliran tersendiri, aliran Tajul Muluk, sesuatu yang dipaksakan, meskipun telah dibantah bahwa tidak ada ustad Tajul muluk adalah bagian dari Syiah.

Berbagai kriminalisai ini terjadi berulang kali dan diadopsi oleh berbagai pihak guna meredam protes, menjatuhkan lawan, menghambat ruang demokrasi karena masih adanya berbagai macam regulasi yang memberikan ruang bagi kriminalisasi.

Oleh karena itu perjuangan melawan kriminalisasi adalah bagian dari upaya merebut kembali ruang demokrasi yang di renggut penguasa secara kesewenang-wenangan.

Adapun pelaksaan agenda tersebut pada :

Hari/Tanggal             : Sabtu 9 April 2016
Waktu                        : Pukul 13.00 – 19.00 Wib
Tempat                      : LBH Jakarta

Demikian undangan Konferensi Gerakan Rakyat Lawan Kriminalisasi rebut Demokrasi  ini kami buat atas kehadiran dan partisipasinya kami ucapkan terimaksih.

Panitia Penyelengara
Mujiyo 
Koordinator