Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 14 Mei 2019

KPA Nilai Kebijakan Agraria Era Jokowi Tak Selesaikan Konflik Tanah

Oleh: Fadiyah Alaidrus - 14 Mei 2019 

Presiden Joko Widodo (kiri) berdiskusi dengan masyarakat saat penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/9/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww/18. 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai kebijakan pertanahan di era pemerintahan Jokowi belum menyelesaikan masalah konflik tanah. 

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai kebijakan agraria di era pemerintahan Joko Widodo belum mengarah pada penyelesaian konflik pertanahan. 

Menurut dia, ada kontradiksi dalam kebijakan terkait reforma agraria di pemerintahan Jokowi. Hal ini karena kebijakan yang sebenarnya tepat secara konsep tidak diimplementasikan dengan baik. Dewi mencontohkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria sebenarnya memuat ketentuan yang mendukung perbaikan masalah agraria. 

Namun, ia menilai perpres tersebut tidak diterapkan secara utuh. 
 "Reforma agraria akhirnya hanya diterjemahkan sebagai pembagian sertifikat ke masyarakat secara umum, yang padahal memang menjadi kewajiban Kementerian ATR. Ia tidak ke arah untuk menyelesaikan konflik agraria yang ada," kata Dewi dalam diskusi di Komnas HAM, Jakarta Pusat, pada Selasa (14/5/2019). 
"Redistribusi tanah yang dijanjikan pada rakyat berjalan sangat lambat," dia menambahkan. 
Dia juga menkritik sikap Menko Perekonomian Darmin Nasution yang menutup akses publik terhadap informasi dan data kepemilikan lahan perkebunan sawit.
 Dewi berpendapat hal itu menambah bukti bahwa pemerintahan Jokowi tak serius menyelesaikan konflik agraria. 

Sebab, kata dia, industri perkebunan sawit selama ini kerap memicu konflik tanah di banyak wilayah. Berdasarkan data KPA, terdapat 410 kasus konflik agraria selama 2018. 

Ratusan konflik tersebut berdampak pada 87 ribu kepala keluarga di Indonesia. Sementara 73 persen dari konflik tersebut terkait dengan sektor perkebunan.
 "Itu paradoks yang membuat kami melihat bahwa [pemerintah] belum serius nih," ujar Dewi. 
Reporter: Fadiyah Alaidrus 
Penulis: Fadiyah Alaidrus 
Editor: Addi M Idhom


"Redistribusi tanah yang dijanjikan pada rakyat berjalan sangat lambat," 
kata Dewi Kartika.


Tirto.Id


KPA Pertanyakan Keseriusan Jokowi Selesaikan Masalah Agraria
Oleh: Fadiyah Alaidrus - 14 Mei 2019 

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika bersama Sekertaris Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Apik Karyana dan Staf Khusus Bidang Perhutanan Sosial Perum Perhutani Amas Wijaya memberikan pemaparan dalam diskusi Upaya Percepatan Program Perhutanan Sosial dan Peluncuran Buku Lima Tahun Satu Cerita oleh Tosca Santoso di Jakarta, Selasa (15/1/2019). 
ANTARA FOTO/Putra Haryo Kurniawan 

Konsorsium Pembaruan Agraria mempertanyakan keseriusan Jokowi dan bawahannya dalam menyelesaikan masalah pertanahan. tirto.id - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mempertanyakan keseriusan pemerintahan Joko Widodo dalam membereskan masalah pertanahan. Dia mencatat rapat terbatas (ratas) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2019 lalu memang membahas masalah pertanahan. 

Namun, kata Dewi, hal itu bukan yang pertama kalinya pada tahun ini.

"Presiden sudah tiga kali dalam tahun 2019 meminta kabinetnya agar mempercepat penyelesaian konflik agraria," kata Dewi dalam diskusi di Komnas HAM, Jakarta Pusat, pada Selasa (14/5/2019)
Namun, Dewi menilai belum ada langkah konkret dan penindaklanjutan dari instansi-instansi terkait untuk mempercepat penyelesaian masalah agraria pada masa pemerintahan Jokowi. 

Bahkan, Dewi menilai langkah yang diambil Pemerintah justru semacam paradoks. Sebab, meski kebijakan sudah baik secara konsep, dalam praktiknya banyak izin yang memicu konflik justru lebih cepat keluar.
 "Itu paradoks yang membuat kami melihat bahwa [pemerintahan Jokowi] belum serius nih, ratas berkali-kali tapi tidak dijalankan," ujar Dewi.
Dewi menambahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria merupakan kebijakan yang baik. 

Aturan tersebut, kata dia, menetapkan tanah-tanah untuk program reforma agraria berasal dari HGU bermasalah, lahan terlantar, dan kawasan hutan yang memicu konflik. Meskipun demikian, menurut Dewi, ketentuan dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 justru tidak diterapkan secara utuh. 
"Reforma agraria akhirnya hanya diterjemahkan sebagai pembagian sertifikat ke masyarakat secara umum yang memang menjadi kewajiban Kementerian ATR. Ia tidak ke arah untuk menyelesaikan konflik agraria yang ada," jelas Dewi. "Redistribusi tanah yang dijanjikan pada rakyat berjalan sangat lambat," tambahnya.
Reporter: Fadiyah Alaidrus 
Penulis: Fadiyah Alaidrus 
Editor: Addi M Idhom


"[....] Ratas berkali-kali tapi tidak dijalankan," 
ujar Dewi soal penyelesaian masalah pertanahan.

Tirto.Id 

Ketimpangan Kepemilikan Lahan Jadi Penyebab Hilangnya Generasi Petani


Gatra.com | 14 May 2019 21:13

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika dalam diskusi Penyelesaian Konflik Pertanahan Dalam Perspektif HAM di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (14/5). (GATRA/Mahmuda Attar/far)

Jakarta, Gatra.com - Ketimpangan kepemilikan lahan antara rakyat dan pemerintah dianggap menjadi pemicu konflik agraria di Tanah Air.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan, ketimpangan struktur agraria menjadi penyebab timbulnya konflik ekologis. Sehingga, permasalahan ini menyebabkan konversi dari pertanian menjadi non-pertanian.

"Hilangnya kepemilikan lahan milik rakyat menimbulkan masalah hilangnya generasi petani dari tahun ke tahun. Ketiadaan akses ini, otomatis menimbulkan kemiskinan di pedesaan sehingga mendorong rakyat desa melakukan urbanisasi besar-besaran ke kota, yang  juga tidak menjamin kehidupan mereka di kota," ujarnya dalam diskusi Penyelesaian Konflik Pertanahan Dalam Perspektif HAM di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (14/5).

Menurutnya, dari 68% aset kekayaan nasional, penduduk hanya menguasai 1%-nya saja, utamanya di Indonesia. Sehingga menyebabkan ketimpangan dan menunjukkan ketidakadilan negara.

"Berdasarkan data KPA, ada 410 konflik agraria dalam 1 tahun, yang tertinggi adalah dari sektor perkebunan. Pada 2018 ada sekitar 73% kasus yang 60%-nya terjadi di komoditas kelapa sawit. Jika diakumulasi maka selama 4 tahun dari 2015-2018 ada 1.769 letusan konflik agraria," jelasnya.

Menurut Dewi, dari sisi luasan pada 2018 ada sekitar 807.177.613 hektar dalam status konflik agraria. Konflik terbesar pertama dari sektor perkebunan 591.640.32 hektare dan kehutanan 65.669.52 hektare.

"Meningkatnya konflik ini tidak diimbangi dengan penyelesaian konflik. Kekerasan juga masih dilakukan oleh aparat yang dibayar oleh perusahaan untuk mengatasi konflik ini," terangnya.

Menanggapi hal ini, pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan sekitar 461 konflik agar segera diselesaikan dengan HGU BUMN & Swasta.

Reporter: Mahmuda Attar Hussein
Editor: Arif Prasetyo