Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 22 Februari 2017

Kronik Nasionalisasi Perusahaan Asing Tahun 1957

22 FEBRUARI 2017 | 14:08




Seharusnya, bagi bangsa Indonesia, nasionalisasi bukanlah hal yang tabu. Negara ini punya pengalaman menasionalisasi perusahaan milik asing, khususnya Belanda. Berikut ini kronik singkat gelombang nasionalisasi di akhir 1957.
Pada bulan November 1957, upaya pemerintah Indonesia menyelesaikan persoalan Irian Barat di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemui jalan buntu. Sidang Umum PBB ke-XII gagal menyelesaikan persoalan Irian Barat.
Pemerintah Indonesia sangat kecewa dengan gagalnya upaya penyelesaian damai tersebut. Dalam Sidang Kabinet diputuskan rencana pemulangan orang-orang Belanda.
Sementara itu, di dalam negeri, pada 30 November 1957, terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Ia digranat oleh gerombolan DI/TII sangat menghadiri perayaan HUT Perguruan Cikini. Bung Karno berhasil selamat. Namun, ledakan granat itu menewaskan 10 orang, termasuk sejumlah anak sekolah dan pengawal Bung Karno.
Tak lama setelah itu, Dubes keliling AS, Gordon Main, mengunjungi Indonesia. Ia meminta persetujuan pemerintah Indonesia terkait rencana pendirian pangkalan SEATO di Irian Barat. Namun, pemerintah dan rakyat Indonesia menafsirkan rencana itu sebagai upaya campur tangan imperialisme di wilayah NKRI.
Sementara itu, Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia menyebarluaskan telegram berisi seruan solidaritas kepada kaum komunis dan kaum buruh seluruh dunia untuk bersolidaritas dan mendukung perjuangan Rakyat Indonesia dalam membebaskan Irian Barat dari cengkeraman imperialisme Belanda.
Pada bulan Desember 1957, majalah New York Times melaporkan kerasahan orang-orang Belanda di Indonesia. Dilaporkan bahwa mayoritas orang Belanda yang bermukim di Indonesia tidak setuju dengan politik pemerintah Belanda mempertahankan cengkeramannya di Irian Barat. Dilaporkan pula, salah seorang pengusaha Belanda menganggap “tidak masuk akal” sikap nekat pemerintah Belanda mempertahankan ‘hutan rimba Irian Barat’, namun justru mempertaruhkan resiko semua modal Belanda di wilayah Indonesia lainnya.
Pada tanggal 1 Desember 1957, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya aksi mogok selama dua puluh empat jam terhadap semua perusahaan Belanda (Bartlett, 1986:100).
Tanggal 2 Desember 1957, sebagai respon atas seruan pemerintah, kaum buruh mulai menggelar pemogokan umum di pabrik-pabrik milik Belanda maupun pabrik campuran milik Belanda-Indonesia. Akibatnya, pengusaha Belanda menderita kerugian lebih dari Rp 100 juta.
Tiga hari kemudian, pemerintah Indonesia mulai menutup konsulat Belanda di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga membekukan semua transfer keuntungan perusahaan Belanda ke luar negeri.
Tanggal 6 Desember 1957, kantor KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran Belanda, yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur Jakarta, diambil-alih oleh kaum buruh. Pada hari yang sama, kaum buruh juga mengambilalih Hotel Des Indes. Motor utama aksi-aksi nasionalisasi ini adalah SOBSI (Sentral Serikat Buruh Seluruh Indonesia) dan KBKI (Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia).
Pada hari yang sama, Kementeria Luar Negeri Indonesia menginstruksikan semua perusahaan Belanda di Indonesia untuk menghentikan aktivitasnya. Tiga kapal KPM, yang rencananya berlayar ke Indonesia, terpaksa berhenti di Singapura.
Sehari kemudian, Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI) di Jakarta berupaya untuk menduduki dan menguasai bank-bank Belanda di Jakarta.
Aksi-aksi perebutan perusahaan Belanda berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu, Kementerian Kehakiman RI telah memerintahkan 5000 warga Belanda di negerinya untuk segera kembali ke negerinya. Namun, Menteri Kehakiman juga memerintahkan agar kaum buruh tidak menguasai pabrik yang sudah diambilalih dari tangan Belanda. Sebaliknya, Menteri Kehakiman menuntut agar perusahaan tersebut diserahkan ke militer (TNI).
Pada tanggal 7 Desember 1957, seiring dengan menghebatnya aksi-aksi nasionalisasi di Indonesa, Panglima Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, Felix Sump, menerima radiogram dari Kepala Operasi AL Laksamana Arleigh Burke tentang perintah pengerahan pasukan AL Amerika Serikat ke perairan Indonesia karena “situasi kritis di Indonesia”. Sejurus dengan itu, atas permintaan Belanda, NATO (Fakta Pertahanan Atlantik Utara) menggelar Sidang Darurat untuk mendengar dan membahas laporan dari Indonesia.
9 Desember 1957, pers-pers di Indonesia memuat keputusan Perdana Menteri Juanda, bahwa semua perusahaan pertanian Belanda, juga campuran Belanda-Indonesia, termasuk harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan, sejak itu berada di bawah pengawasan pemerintah RI. Pemerintah juga mengambilalih pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk KPM dan KLM, Bank-Bank Belanda, Perusahaan Niaga, kantor-kantor, perusahaan gula, stasiun listrik, perusahaan gas, dan lain-lain.
Pada tanggal 10 Desember 1957, Menteri Pertahanan secara resmi menginstruksikan menguasai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Padahal, perusahaan-perusahaan ini diambilalih dan dikuasai oleh kaum buruh Indonesia. Inilah titik balik dari aksi nasionalisasi tahun 1957.
Pertengahan Desember 1957, Serikat Buruh Belanda menyatakan mendukung perjuangan rakyat Indonesia dan menuntut agar penjajah meninggalkan Irian Barat.
Kemudian, 15 Desember 1957, UU Keadaan Bahaya ditandatangani. UU ini merupakan upaya militer untuk menghentikan aksi-aksi kaum buruh dan sekaligus merebut kendali atas perusahan asing yang direbut dengan darah dan keringat oleh kaum buruh.
Puncaknya adalah berlakunya Keadaan Bahaya (SOB) pada tahun 1958. Namun, aksi-aksi nasionalisasi oleh kaum buruh masih terus berlanjut hingga tahun 1958. Tahun 1958, Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda.
Januari 1958, kubu negara-negara sosialis dan negara-negara Asia-Afrika menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia terkait pengembalian Irian Barat.
Pada Februari 1958, pihak imperialis berhasil menyulut pemberontakan separatis PRRI. Imperialisme AS menyuplai dana, senjata, dan amunisi kepada para pemberontak. Selain itu, AS juga mengirimkan barisan kapal perang dari Armada ke-7 untuk daerah pemberontakan. Alasannya: untuk membantu pengungsian pegawai perusahaan minyak AS, Caltex.
Tanggal 3 Desember 1958, Parlemen Indonesia menyetujui Undang-Undang Nasionalisasi terhadap semua perusahaan Belanda di wilayah Indonesia. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan  Pemerintah (PP)  No.23/1958  yang menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi menjadi milik pemerintah RI.
Tercatat, dari sejak 1957 hingga 1960, sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah itu mencakup 70% perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia jaman itu.
Sementara itu Prof Dr R.Z Leirissa dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia mencatat: sejak terjadinya gelombang nasionalisasi, kepemilikan dari 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa (Robison, 1986:72).
______
Timur Subangundisarikan dari berbagai sumber: Kronik Irian Barat (Koesalah Subagyo Toer), Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (Frof Leirissa), dll).

Selasa, 21 Februari 2017

Freeport di Papua ialah Warisan Daripada Soeharto

Reporter: Agung DH & Petrik Matanasi | 21 Februari, 2017

Petugas dari satuan brimobda diy satgas amole iii 2015 bko pt freeport indonesia berjaga di area tambang terbuka pt freeport indonesia di timika, papua, sabtu (19/9). satgas amole iii bertugas guna menjaga wiayah pertambangan freeport dari berbagai gangguan. antara foto/muhammad adimaja/nz/15
Tanpa Soeharto, Freeport akan sulit beroperasi di Papua.

tirto.id - “Jauh sebelum kedatangan para penjelajah dari Eropa, penduduk asli Papua hanya mengambil serba sedikit dari alam,” tulis buku Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik Kompas (2008). 

Bahkan ketika Kapten Johan Carstensz berlayar ke Papua pada 1623, orang Papua masih sedikit sekali mengambil dari alam Papua. Hanya babi, sagu dan umbi yang paling banyak diambil. Carstensz adalah orang Eropa pertama yang melihat salju di tengah daratan Papua. Apa yang dilihatnya itu dilaporkan dan jadi bahan tertawaan koleganya. 

Pikir mereka, bagaimana mungkin ada salju di dekat Katulistiwa? 

Ratusan tahun setelah Carstensz dianggap hanya mengigau, sebuah tim yang dipimpin orang Belanda bernama Hendrikus Albertus Lorentz pun mencoba mendaki pegunungan bersalju di tengan Papua itu. 

Tim yang dipimpin Lorentz itu mengerahkan orang-orang Dayak Kenyah yang dijadikan juru angkut barang dalam ekspedisi tahun 1909. Orang-orang Dayak yang dari Kalimantan ini direkrut di Apo Kayan. Tak hanya dalam ekspedisi 1909, dalam ekspedisi orang-orang Belanda setelahnya, ekspedisi yang dipimpin Kapten Franssen Herderschee dari KNIL, orang-orang Dayak dikerahkan lagi. Tak hanya Dayak Kenyah, tapi juga Kayan. Orang-orang ini sangat kegirangan saat mereka melihat salju. Bahkan mereka kepingin membawanya pulang.

Namun bukan Carstensz atau Lorentz yang akan mengubah lanskap di Papua, melainkan Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel yang melakukan perjalanan pada 1936. Ekspedisi itu tak hanya mendaki puncak tertinggi di pegunungan tengah Papua yang dinamai Carstenz Pyramid. Yang paling penting adalah penemuan gunungan tembaga oleh Dozy, seorang ahli geologi. Penemuannya itu ditulisnya dalam sebuah laporan.

Temuan Forbes Wilson dan Jalan Buntu Sukarno

Apa yang ditemukan Dozy itu tak langsung dilirik banyak pihak. Apalagi tiga tahun setelah ekspedisi ini terjadi Perang Dunia II. Fokus banyak negara hanya tertuju pada perang. Barulah setelah Perang Dunia II selesai, apa yang ditemukan Dozy menarik minat sebuah perusahaan tambang dari Amerika bernama Freeport. 

Pada 1959, laporan Dozy itu sampai ke telinga Forbes Wilson, geolog Freeport. Wilson lantas menindaklanjutinya dengan berangkat ke Papua. Ia tiba pada 1960 dan terpukau oleh “gundukan harta karun” pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu. Dia begitu terpesona oleh hamparan bijih tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah. Dalam laporan perjalanannya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain (1989), Wilson menyebut terdapat bijuh besi, tembaga, perak serta emas. 

Ia membawa sejumlah batu dari Ertsberg pulang ke Amerika Serikat. Dari contoh-contoh yang dibawa Wilson, para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung itu bakal amat menguntungkan. Modal awal akan kembali hanya dalam tiga tahun, kata mereka.

Namun, Freeport menghadapi jalan buntu: Presiden Republik Indonesia, Sukarno, sedang pasang sikap keras terhadap kaum kapitalis Barat—menurutnya, merekalah agen-agen “penjajahan gaya baru.” Belum lagi soal perebutan wilayah di kepulauan Nusantara antara Indonesia dan Belanda. Saat itu, Sukarno getol menyerukan Trikora alias Tiga Komando Rakyat: 1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, 2) Kibarkan Sang Merah-Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, dan 3) Bersiaplah dimobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Sampai akhirnya kekuatan politik Sukarno digembosi tentara nasional lewat peristiwa berdarah 1 Oktober 1965. Kekuasaan, secara berangsur tetapi seksama, pindah ke tangan Jenderal Soeharto, jenderal Angkatan Darat yang menorehkan tinta emas bagi sejarah Freeport di Papua. Freeport bersukacita dengan penguasa baru Indonesia yang pro modal asing ini. 

Karpet Merah dari Soeharto

Soeharto mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman Modal. UU itu asing rupanya telah disahkan sejak 10 Januari 1967. Awal tahun 1967 tersebut Sukarno sebenarnya masih menjadi Presiden, namun kekuasaannya sudah tergerogoti sejak awal 1966. Sejak 25 Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967, Soeharto adalah Ketua Presidium Kabinet yang menguasai pemerintahan menyusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. 

Soeharto baru ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS. Langkah apa saja yang diambil Soeharto di awal statusnya sebagai pejabat presiden? 

Salah satu yang berdampak panjang secara ekonomi adalah: memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun. Kontrak karya itu ditandatangani pada 7 April 1967, hanya sekitar tiga pekan setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden. 

"Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim baru di Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia," tulis Denise Leith dalam Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia (2003).

Setelah Freeport, menurut Simon Felix Sembiring dalam Jalan Baru Untuk Tambang (2009), penikmat dari UU PMA tahun 1967 itu adalah Inco yang menambang nikel di Saroako, Sulawesi Selatan sejak 1968. Menurut Leith, pada 1970an, saat Freeport membangun infrastruktur pertambangannya, rezim Soeharto mengemis pembagian saham. Pejabat-pejabat Indonesia dikabarkan bolak-balik Jakarta-New York demi urusan itu.

Koran Indonesia Raya yang dipimpin sastrawan Mochtar Lubis merekam kejadian itu. “Beritanya kecil saja, tentang Menteri Pertambangan Prof. Soemantri Brodjonegoro yang berkunjung ke Amerika Serikat atas udangan maskapai Freeport Sulphur,” tulis Mochtar dalam Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya (1997). Ia mengatakan bahwa tindakan Soemantri itu (seorang pejabat negara, atas nama negara, memenuhi undangan perusahaan swasta asing) tidak patut.

Tetapi begitulah Orde Baru. Upaya untuk mendapatkan saham itu terus berlanjut. Pada 1973, Menteri Pertambangan pengganti Prof. Soemantri, Mohamad Sadli, diberi tugas “meninjau ulang” kontrak-kontrak antara pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk Freeport. 

Dalam Pelaku Berkisah (peny. Thee Kian Wie, 2005), Sadli menyatakan bahwa pemerintah kadung terikat kontrak “generasi pertama” dengan Freeport. Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak (sebesar 35 persen untuk tujuh tahun berikutnya, dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan.

“Segera sesudah kontrak ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi, agar memberikan hasil lebih banyak keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” tulis Sadli.

Menurut Denise Leith, rezim Soeharto menginginkan saham sebesar 8,9 persen. Namun, Freeport tak langsung memenuhi permintaan Soeharto. Alasannya, perusahaan itu belum untung dan para pembeli mereka di Jepang meminta potongan harga bijih tembaga.

Tanggapan Soeharto bukan main: Ia ikut melindungi Freeport dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan minyak ke Jepang. Karena itulah, kata Leith, tercipta simbiosis mutualisme antara Freeport dan Indonesia. Dua tahun kemudian, Freeport memberikan jatah saham sebesar 8,5 persen dan royalti sebesar 1 persen kepada pemerintah Indonesia.

Merasa perlu menaruh wakilnya di Jakarta, kantor pusat Freeport di Amerika Serikat menunjuk Ali Budiardjo sebagai Kepala Perwakilan Freeport Indonesia. Ali adalah pemilik firma hukum Ali Budiardjo & Associates sekaligus kawan lama mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sebelumnya, sewaktu Forbes Wilson melobi Soeharto untuk menambang Ertsberg, Ali jadi penyambung lidahnya. Pada 1974, ia menggantikan Wilson sebagai Presiden Direktur Freeport.

Freeport di Papua ialah Warisan Daripada Soeharto

Warisan Soeharto untuk Amerika

Hingga 1989, bijih-bijih tambang dari Ertsberg mengalir melalui pipa sepanjang 115 km ke Amamapare Freeport, tempat kapal-kapal pengakut menunggu. Menurut catatan International Bussines Promotion, gunung itu menghasilkan 32 juta ton bijih sebelum rata dengan tanah.

Pada mulanya, Freeport hanya memiliki konsesi buat menambang wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, rezim Soeharto memberi izin perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989, lewat kontrak anyar. Belakangan diketahui bahwa Freeport menemukan cadangan emas tak jauh dari Ertsberg. Tetapi kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang bakal jalan terus sampai 2021.

Kontrak karya inilah yang coba diubah oleh Jokowi tahun ini. Pemerintahan Jokowi ingin mengubah status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tentu saja Freeport tidak tinggal diam. Mereka mengancam akan membawa Indonesia ke Arbitrase Internasional. 

Itulah, Saudara, polemik warisan daripada Soeharto yang tak kunjung habis.

Namun, apakah ada soal yang lebih gawat ketimbang pemerintah yang kecele berkali-kali dalam kerja samanya dengan perusahaan asing? Tentu. Yang kerap hilang dalam pembicaraan tentang kontrak karya Freeport tidak lain dan tidak bukan ialah pemangku kepentingan terbesar di Papua: rakyat Papua itu sendiri.

Penyair Y. Thendra BP menuliskan situasi itu dalam sajaknya yang berjudul “Manusia Utama” (Manusia Utama, 2011):

nagawan into, kenapa kita orang terusir dari kita punya gunung salju abadi,
kita orang sebut itu nemangkawi (anak panah putih). kita orang amung mee,
manusia utama! kita punya emas dalam nemangkawi, tapi tidak disimpan
dalam honai. ke mana kita punya emas pergi?

sejak magaboarat negel jombei-peibei jadi ertsberg jadi grasberg,
suara kasuari hilang dari kita punya telinga. sejak kulit bia diganti rupiah,
kita orang terusir dari lembah tsinga, lembah Hoeya, dan lembah noema.
kenapa kita orang terusir dari nemangkawi?


nagawan into, bila masa pembebasan itu tiba:
sehelai daun lebar turun di sebelah barat
terbang kembali Laksana kuncup bunga ubi
tumbuh dan besar di tanah
muncul di kaki gunung... 


https://tirto.id/freeport-di-papua-ialah-warisan-daripada-soeharto-cjrC

Rabu, 08 Februari 2017

Andreas Harsono: "Jangan Ada Perbedaan Kualitas Jurnalisme, Apapun Mediumnya"

Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra | 08 Februari, 2017


Bila kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme runtuh maka demokrasi juga runtuh. Sebaliknya, makin bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut.
tirto.id - Era digital adalah tantangan besar bagi media cetak. Di Jakarta, beberapa suratkabar bukan hanya cetaknya yang berhenti tapi institusinya ikut mati. Semua media besar—termasuk KompasTempoJawa Pos, dan Bisnis Indonesia—membuat portal berita daring (online). Namun ada perbedaan standar jurnalisme antara versi cetak dan versi daring. Apa yang seharusnya dilakukan media yang bermula dari cetak di era serba digital? Apakah media cetak akan mati? 

Wan Ulfa Nur Zuhra dari Tirto menemui Andreas Harsono di kediamannya akhir pekan lalu. Andreas belajar jurnalisme di Universitas Harvard bersama guru Bill Kovach. Pada 2001, pulang ke Jakarta, ia mengelola Majalah Pantau, khusus media dan jurnalisme. Namun majalah ini tutup pada 2003 karena kesulitan keuangan. Ia ikut mengubah majalah jadi Yayasan Pantau buat riset media dan pelatihan jurnalisme. Pada 2008, ia pindah bekerja untuk Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia, risetnya terutama soal kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Ia masih rutin menulis dan mengajar jurnalisme di kelas Yayasan Pantau.


Ketika radio muncul dan TV muncul, cetak pernah diramal mati, tetapi tidak. Ketika kelak penetrasi internet semakin besar, apakah cetak akan mati?

Itu istilahnya doomsday scenario bahwa kalau yang baru muncul, yang lama mati. Orang yang masih percaya gituan, menurut saya ekstrem. Sebaliknya, mereka yang mengatakan keadaan cetak akan sama seperti sebelumnya, juga tak realistis. Dalam buku Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, koran berubah ketika ada radio, radio berubah ketika ada TV. “We have been here before,” kata Kovach dan Rosenstiel. 

Suratkabar pertama terbit pada 1604 di Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia menciptakan opini publik sehingga orang-orang punya pendapat dan tak ingin masyarakat mereka diatur oleh para bangsawan dan agamawan. Ia melahirkan demokrasi. Ada pemilihan umum secara rutin guna pergantian pemimpin. 

Ketika radio hadir pada 1840-an, teknologi audio membuat orang bisa mendengarkan berita langsung, termasuk saat Perang Dunia II. Koran menyesuaikan diri. Ketika TV hadir pada 1950-an, juga ada penyesuaian dari koran dan radio. Siaran langsung televisi berlangsung saat CNN meliput Perang Teluk secara live pada 1991. Pemirsa bisa langsung lihat roket diluncurkan dan meledak di Baghdad. 

Internet juga begitu. Barack Obama adalah presiden Amerika Serikat pertama dalam era internet. Dia punya account Facebook, YouTube, Twitter. Media cetak menyesuaikan. Di Amerika Serikat, laporan-laporan di koran tak sekadar breaking news

Secara bisnis dan kue iklan pun terjadi perubahan. Google dan Facebook mengambil banyak porsi iklan. Namun, media cetak bertahan. Industri buku, misalnya, tergerus banyak oleh e-book dengan perangkat macam Kindle dan iPad. Namun, kenikmatan membaca buku, membolak-balik halaman, sambil tiduran, dan memahami naskah panjang, belum bisa diubah penuh. Jadi kita masih mengalami pergeseran tersebut. 

Itu kan buku, bagaimana dengan koran?

Saya tak mau gegabah mengatakan media cetak akan seratus persen mati. Saya sadar ada perubahan besar pada bisnis cetak tapi kelak jadinya seperti apa dan bagaimana, saya belum tahu. Kita masih menyaksikan revolusi komunikasi ini berjalan. Kita tak tahu apa yang terjadi besok.

Menghadapi gempuran internet, apakah media cetak harus mempertimbangkan untuk menghentikan cetaknya?

Tidak akan drastis, harus pelan-pelan.

Kenapa?

Karena pemasang iklan cetak masih ada sementara untuk online belum jelas pendapatan dari mana. Ini belum lagi penetrasi internet. Kalau Anda pergi ke Manokwari, Anda masih setengah mati sambungan internet. Artinya, iklan cetak juga masih ada. 

Kalau kita lihat di Amerika, pembaca sekarang mulai bayar. Berita mereka baru bisa dibaca kalau berlangganan. Ini dilakukan oleh media seperti New York TimesWall Street JournalWashington Post, banyak sekali. Saya langganan The EconomistNew York TimesWashington PostThe New Yorker, satu bulan sekitar Rp1,2 juta. Lumayan mahal. 

Di Indonesia, kita perlu keteguhan, waktu dan dana untuk mendidik pembaca agar mau dukung berita online. Sekarang mereka belum mau, kita tak bisa memaksa, tapi dengan begitu banyak hoax dan berita palsu, seharusnya ia jadi kesempatan bagi media untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa kalian perlu jurnalisme yang bermutu. Kalian perlu mendukung jurnalisme bermutu dengan memberikan sumbangan uang. Dewan Pers seharusnya mendorong media buat mendapat dukungan dana dari masyarakat. 

Di Amerika itu medianya bermigrasi dari cetak ke online, sementara di Indonesia, media yang awalnya berbasis cetak kemudian membuat produk online dan ditujukan untuk liputan yang cepat.

Ini mengganggu saya sejak saya selesai belajar di Universitas Harvard lantas diminta jadi redaktur Majalah Pantau pada 2001. Ini keputusan yang aneh. Di Amerika, banyak sekali media online dengan naskah panjang dan dibuat dalam waktu lama. Di Indonesia, praktik ini membuat brand media digerogoti karena toleransi buat eror lebih tinggi dalam media online mereka sendiri. 

Bagaimana caranya agar media yang basisnya cetak bisa mentransfer kualitas jurnalisme yang baik ke mediumnya yang digital?

Ada dua pendekatan. Pertama, wartawan harus dididik buat berpikir media digital. Dalam buku Blur disebutkan 16 pendekatan digital. Misalnya, wartawan perlu sediakan link pada kata-kata kunci, perlu link organisasi atau orang yang ditulis dalam laporan mereka, sediakan transkrip wawancara, ada rekaman video atau audio, ada biografi si wartawan, sediakan Frequently Asked Questions, pendekatan “crowd source” –minta informasi tambahan dari publik. Jangan lupa perlu ada koreksi dan update. Ini banyak beda dengan pendekatan cetak di mana pendekatan wartawan lebih soal side bar, tanya-jawab, pull quotes dan sebagainya. 

Perubahan kedua pada policy maker. Mereka perlu memahami ada revolusi besar komunikasi. Peranan media sebagai penjaga pagar masyarakat sudah runtuh. Kasarnya, sekarang setiap orang bisa jadi produsen informasi lewat Twitter, Facebook, WhatsApp, blog, video dan sebagainya. Pemerintah Indonesia –maupun pemerintah lain di seluruh dunia—pusing lihat hoax dan berita palsu. 

Policy maker harus mengerti perubahan tersebut dan melakukan investasi pada jurnalisme. Bukan sebaliknya. Mengapa? Karena jurnalisme diperlukan dalam demokrasi. Bila kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme runtuh maka demokrasi juga runtuh. Sebaliknya, makin bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut. 

Policy maker perlu tahu bahwa pada era internet ada delapan peran wartawan. Kovach dan Rosenstiel meyebutnya sebagai authenticatorsense maker; investigator; saksi mata; empowerersmart aggregator; forum organizer dan menjadi role model

Authenticator misalnya memerlukan peranan media buat meneliti apakah suatu dokumen memang autentik. Misalnya, rekaman Rizieq Shihab dan Firza Husein, media perlu lakukan proses verifikasi untuk menerangkan kepada warga apakah autentik atau bukan. 

Sense maker misalnya mensyaratkan wartawan menerangkan sesuatu masuk akal atau tidak. Misalnya, soal tuduhan Gubernur Basuki Purnama lakukan penodaan agama Islam. Masuk akal atau tidak ucapan tersebut? Mengapa lebih 60 persen negara-negara di muka bumi tak memakai lagi hukum penodaan agama? Atau mengingatkan pembaca pada gugatan 2009-2010 dari Abdurrahman Wahid di Mahkamah Konstitusi bahwa pasal penodaan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ia harus dicabut. 

Sayangnya, saya justru melihat para pemimpin media berpikiran cadok. Pandangannya sempit. Mereka banyak tak melihat perubahan peran media dalam era internet. Mereka masih pakai jurnalisme cetak dalam medium internet. 

Misalnya?

Pada 2003, saya ke Surabaya menemani Bill Kovach dan bertemu dengan Dahlan Iskan dari Jawa Pos. Dahlan Iskan memperlihatkan gedung Graha Pena dan ruang redaksi mereka yang luas. Kami terkesan sekali. Semua disebutnya konvergensi. Berbagai suratkabar maupun televisi dicampur jadi satu ruang redaksi. Lalu dibikin Jawa Pos News Network. Tak perlu lagi wartawan dari Surabaya pergi ke Papua karena sudah ada Cenderawasih Pos di Jayapura. Kelihatannya masuk akal, hemat biaya, tapi Dahlan Iskan tak sadar bahwa dua kepala wartawan lebih bagus daripada satu kepala.

Audiens Cenderawasih Pos, anak Jawa Pos di Jayapura, dikhayalkan secara berbeda dari audiens mereka di Surabaya. Setiap orang yang menulis punya khayalan terhadap warga yang mereka layani. Ini dua khayalan berbeda. Ketiga, tentu kedekatan wartawan di Jayapura terhadap sumber-sumber mereka atau isu-isu yang mereka liput, berbeda dengan wartawan di Surabaya. Ini belum lagi praktik suap dan mata-mata di kalangan wartawan Jayapura. Itu semua tak diperhatikan dalam konvergensi. Saya kritik praktik tersebut tapi tak didengar Dahlan Iskan. Ia malah dilakukan Tempo, induk perusahaan Jawa Pos di Jakarta. 

Saya kritik Kompas Gramedia ketika bikin Kompas.com yang berbeda dengan Harian Kompas. Belakangan juga dibikin Kompasiana buat blogger—siapa pun bisa menulis tanpa proses penyuntingan oleh dan tanpa Kompas Gramedia mau bertanggung jawab. Mereka merusak brand Kompas. Ini adalah pemikiran yang cadok. Mereka menekankan proses pengambilan keputusan mereka semata pada sisi ekonomi tanpa berhitung, secara serius, sisi jurnalisme dan demokrasi. Tapi sebagian dari mereka mulai kritis. Mereka mulai sadar perlu perubahan mindset di tingkat wartawan dan policy maker

Sebaiknya media yang punya lebih dari satu medium ini menata cara kerja wartawannya dengan cara bagaimana?

Satu newsroom saja dengan satu standar liputan dan penulisan. Kode etika harus satu, berlaku buat semua wartawan penuh waktu, paruh waktu maupun penulis opini. Menurut Bill Kovach, ruang redaksi tetap satu tapi divisinya beda-beda termasuk divisi digital. 

Minggu lalu, Michael Luo diangkat sebagai redaktur digital dari majalah The New YorkerNewYorker.com. Luo mantan redaktur metropolitan harian New York Times—ini salah satu desk yang paling cepat pergantian beritanya di website NYTimes.com. Luo bertanggungjawab kepada David Remnick, redaktur The New Yorker. Standar sama, kode etik sama, sistem penggajian sama, tapi divisi beda. Tetap satu badan hukum, satu perusahaan. 

Singkatnya, Kompas Gramedia memakai sistem penggajian beda serta proses penyuntingan beda antara Harian Kompas dan Kompas.com. Perusahaan beda, badan hukum beda. Konvergensi pertimbangannya terutama uang. Sementara jurnalisme itu pertimbangannya melayani masyarakat. Tentu lebih mahal jika dibandingkan dengan tidak konvergensi. Tapi, jangka panjang terbukti berhasil, New York Times membuktikannya.

New York Times menolak mengurangi jumlah wartawan. Ketika internet menyerbu, mereka kesulitan keuangan, tapi mereka tak percaya dengan menurunkan mutu jurnalisme mereka. Lainnya, menutup biro luar negeri, memotong gaji, pengurangan wartawan bahkan menutup sebagian perusahaan mereka. 

Hasilnya apa? Sepuluh tahun kemudian, NYTimes berjaya. Sekarang pelanggan NYTImes.com 3,3 juta. Tak ada media lain di dunia yang pelanggan digitalnya sebesar itu.

Tempo pernah melakukan itu, satu newsroom, tapi tetap ada divisinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah tumpang-tindih. Bagaimana menurut Anda?

Itu hanya persoalan koordinasi saja. Kalau struktur organisasi baik dan prioritas jernih, saya kira, bisa diatasi. Persoalannya, pada 2001 Tempo go public dan menerbitkan Koran Tempo. Saya ikut dengar perdebatan internal mereka. Saya heran ketika penetrasi internet sudah mulai masuk, mereka bikin harian. Kalau Tempo memakai dana tersebut buat memperkuat Tempo Interaktif, saya kira, hari ini mereka tak perlu memotong gaji redaktur mereka. 

Sekarang yang terjadi adalah konvergensi setengah jadi. Harian Kompas berbeda dengan Kompas.comTempo.co berbeda dengan Majalah Tempo. Beberapa wartawan Harian Kompas, termasuk Maria Hartiningsih, sering bilang, “Ah itu Kompas.com bukan kami.” Seharusnya Kompas membuat pembicaraan besar di semua ruang redaksi mereka, termasuk Kompas TV, agar standar mereka sama. 

Untuk media-media yang awalnya berbasis cetak, lalu ingin bermigrasi ke digital, bagaimana mereka bisa bertahan secara bisnis?

Media yang tak punya subsidi dari kelompok non-media, misalnya Tempo dan Jawa Pos, akan lebih sulit. Mereka beda dengan Kompas Gramedia yang punya bisnis non-media. Kelompok lain seperti MNC dengan berbagai bisnis Hary Tanoesoedibjo; TVOne dengan Bakrie; Berita Satu dengan Lippo; Trans TV, Detik, dan CNN Indonesia dengan Chairul Tanjung; lebih punya ruang dan uang buat menghadapi perubahan masyarakat sampai mau bayar. Tempo tak punya ruang dan uang, mungkin sepuluh tahun lagi, sampai orang mau bayar.

Bagaimana model bisnis media dengan mengandalkan iklan ini sebaiknya diatasi?

Mau tidak mau, harus pasang pagar agar orang membayar buat baca. Model bisnis ini sudah berjalan selama 200 tahun tapi model ini digerus oleh internet. Kalau media tak sekuat dan sekokoh NYTimes atau Washington Post, saya khawatir, bakal takkan sabar mendidik pembaca buat bayar. 

Namun, ada dua model lain buat menjaga jurnalisme. Charles Lewis bikin riset buat Reuters Institute for the Study of Journalism. Dia mengatakan model bisnis yang harus dikembangkan adalah jurnalisme nirlaba. Mereka tak mengandalkan iklan tapi sumbangan. Dia memberi contoh ProPublica maupun International Consortium of Investigative Journalists yang bikin geger dengan investigasi Panama Papers

Lewis juga mengingatkan bahwa banyak lembaga swadaya masyarakat, termasuk Human Rights Watch tempat saya bekerja, juga menyediakan jurnalisme. Di Indonesia, salah satu media nirlaba yang menonjol adalah IndoProgress dan Mongabay. Saya berharap organisasi macam KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan lainnya juga perlahan mengubah website mereka jadi media jurnalisme. 

Banyak media Indonesia membuat platform online yang beritanya mengandalkan kecepatan?

Saya ingat pernah bicara dengan Toriq Hadad, salah satu direktur PT. Tempo Inti Media Tbk. pada tahun 2000. Saya bilang, “Jangan Mas Toriq. Jangan dibikin beda.”

Mengapa Anda bilang begitu?

Karena sebaiknya tak ada perbedaan dalam standar jurnalisme, apapun mediumnya. Kecepatan tak boleh mengorbankan verifikasi. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Kalau demi kecepatan ada gap kualitas, yang kena brand Tempo. Warga tak bisa membeda-bedakan. Ini majalah, ini internet. Saya khawatir sekarang kekhawatiran saya terjadi. Banyak orang bilang mutu Tempo tak sekuat Tempo sebelum pembredelan. Bukan mutu wartawan berbeda tapi metode kerja berbeda. Saya tentu harus mengatakan pembredelan antara 1994 sampai 1998 ikut memengaruhi kekuatan sumber daya mereka. 

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Harus kembali pada jurnalisme. Jangan terlalu memikirkan sudah terlanjur ada gedung, ada karyawan, ada income. Tentu dari segi manajemen, takkan semudah saya mengatakannya. Saya tahu ini tidak gampang, tetapi tetap cara pandangnya mesti cara pandang jurnalisme, bukan semata-mata laba. Orang yang pertama kali bilang kematian cetak adalah Rupert Murdoch, tapi kalau kita baca, dia juga tidak mengatakan akan langsung mati. Murdoch memutuskan semua isi dari New Corps harus dibayar. 

Bagaimana jika kelak generasi baby boomers sudah tiada, generasi milenial sudah menua, dan generasi Z yang sejak lahir sudah akrab dengan layar mendewasa. Apakah koran masih akan dibaca?

Anak saya, Norman, sekarang umur 20 tahun, sudah tak membaca koran. Dia sejak bisa membaca sudah mengenal Google. Pola konsumsi informasinya adalah lean forward—bukan lean back, duduk dan membaca apa yang disajikan koran atau televisi. Generasi lean forward ini mencari informasi, mencari hiburan, semuanya dengan search engine. Mereka tak terikat pada satu media. Mereka bahkan tak terikat satu bahasa. Norman membaca berita dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Perancis. Dia mencari lawakan entah dari negara mana saja. Apakah dia tak suka baca koran? Terkadang kalau dia lihat New York Times di pesawat, dia juga ambil dan baca. Tapi dia lebih rutin baca NYTimes.com. Revolusi sedang terjadi, kita tak tahu kita akan ke mana. 

(tirto.id - wan/fhr)

https://tirto.id/jangan-ada-perbedaan-kualitas-jurnalisme-apapun-mediumnya-ciy9

'Kalau Koran Enggak Ada, Apanya yang Dijual?'

Seri tulisan Media [3]
Reporter: Chusnul Chotimah | 08 Februari, 2017


Reporter Tirto mendatangi sejumlah agen dan penjual koran eceran di Jakarta dan mereka membagi kisah bagaimana bertahan di tengah bisnis jualan media cetak yang makin seret omzet.

tirto.id - Kios koran “Lily” milik Helmi paling mencolok di antara jejeren kios lain di satu trotoar Jalan Kramat Lontar, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ukuran kiosnya sekira 2 x 1 meter. Di depannya ada rak tingkat tiga. Paling bawah tempat tabloid seperti HomeNovaOtomotif, dan Wanita Indonesia

Di rak tengah ada puluhan koran dipajang, di antaranya Harian TerbitThe Jakarta PostJawa PosKompasMedia IndonesiaPos KotaRakyat MerdekaRepublikaSuara PembaruanSuper BallTempoTop SkorWarta Kota, dan Top Skor. Rak paling atas terisi majalah. Beberapa yang terkenal seperti BoboTempoGadisGatraIntisariMisteriSedapTrubusUmmi, dan majalah laki-laki Men’s Health. Di antara tumpukan itu ada beberapa teka-teki silang yang kovernya sudah pudar.

Pria berumur 29 tahun itu menjalankan usaha kios koran dari orangtuanya. Seingatnya, sejak sekolah dasar Helmi sudah membantu orangtuanya menjaga kios.

Tidak ada perubahan dari kios ini, kata Helmi, sejak dipegang orangtuanya hingga dikelola dirinya. Meski internet telah mengubah cara penyampaian dan format pemberitaan, plus cara khalayak mendapatkan informasi, Helmi berkata usahanya masih menguntungkan dan bisa diandalkan.

Dalam sehari ia bisa melepas 1.700 eksemplar koran ke pengecer. Paling-paling hanya 100 eksemplar yang kembali dan itu pun tak bikin Helmi merugi. Tiap eksemplar itu ia mengambil untung Rp200, tapi khusus koran yang dijualnya sendiri ia mengambil margin Rp1.500. 

Jumlah penjualan itu cukup bagus mengingat hanya ada sekitar 15 pengecer yang mengambil koran ke kiosnya. 

“Kalau dulu 20 orang, bisa lebih banyak,” kata Helmi kepada saya, Jumat awal pekan Februari. 

Keuntungan itu belum termasuk tabloid dan majalah yang mencapai 20 persen dari harga. Jika ditotal, dalam sehari, ia bisa membawa uang hingga Rp350 ribu di luar majalah dan tabloid.

Dari keseluruhan koran yang ia jual, Pos Kota dan Kompas yang paling laku. Untuk tabloid, Nova, dan majalah adalah TempoBobo, dan Misteri.

Tempo ambil 25 eksemplar per minggu, paling retur 4, Bobo 20 per minggu selalu habis, dan Misteri—dua minggu sekali ambil 35, retur paling 7. Untuk Intisari, sebulan sekali ambil 10 dan retur 4, sedangkan TTS tiap bulan 450 sekaligus,” jelasnya.

Helmi, dalam bisnis distribusi media cetak, tergolong semi-agen. Agen selalu mendapatkan pasokan langsung dari penerbit. Sementara ia masih mengambil koran dari agen yang lebih besar di Kramat. Tetapi khusus Harian Terbit, ia mendapat pasokan langsung dari penerbit hingga 700 eksemplar per hari.

“Saya langsung hubungi distributornya dan bertanya berapa jatah untuk daerah Kramat. Dia bilang 700, saya tawari, 'Boleh enggak saya bayar di muka tetapi jatah Terbit hanya untuk saya?' Katanya boleh, jadi Terbit enggak bisa ditemukan di agen lain selain di sini,” katanya.

Masih lancar bisnis yang digeluti Helmi sebenarnya bukan lantaran makin banyak pembaca koran. Keuntungan itu bisa tetap stabil lebih karena mulai berkurang pengecer koran. Kiosnya mendapat lebih banyak jatah pasokan. Karena itu pendapatannya pun bisa lebih banyak karena margin yang lebih besar tanpa digerus pengecer.

Fakta itu tidak dipungkiri oleh Helmi. Pembaca koran juga, selama ia berjualan, rata-rata berumur tua. “Kalau majalah Bobo yang beli anak sekolah, kalau Top Skor yang beli anak-anak muda.” 

Ia juga punya solusi yang selama ini masih ampuh diterapkan: takkan ambil banyak eksemplar media cetak yang tidak bisa diretur. “Ambil cukup saja,” katanya. “Asal manejemennya saja diatur.” 

Helmi tetap optimistis bisnisnya akan baik-baik saja kendati isu senjakala media cetak telah beredar lama. Alasannya, koran dan majalah memiliki pelanggan setia. Bahkan, ada beberapa pelanggan yang menanyakan majalah Forum Keadilan yang sudah sulit didapatkan. Kendati, ia bilang, koran baru bakal sulit bertahan lama. 

“Ini mah koran lama semua,” ujarnya, di sela melayani pembeli. Selama kami mengobrol, ada lima orang yang membeli koran di tempatnya. 

Helmi meyakinkan dirinya: “Saya percaya hari kiamat, tapi saya enggak percaya koran bakal gulung tikar.”

Jika Helmi masih ketiban pulung di tengah bisnis media cetak yang makin seret, hal sebaliknya dialami oleh Yadi Suryadi, 45 tahun, agen dan pemilik kios di dekat stasiun Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Dibanding beberapa tahun lalu, yang biasanya bisa membawa untung Rp500 ribu hingga Rp1 juta, kini ia hanya membawa Rp200 ribu per hari. 

Yadi sudah menjadi agen koran sejak 1990-an, saat itu harga Pos Kota masih Rp150. Saat saya mendatanginya, ia sedang tiduran, dan sebuah televisi menyiarkan berita kriminal. Tampilannya rapi. Selama berbincang, kendati hujan, beberapa orang datang untuk membeli koran. Lokasinya yang strategis bagi banyak orang bikin dagangan korannya laku. 

Setiap hari, antara pukul 3 hingga 6 pagi, para pengecer datang ke kiosnya. Ia akan menutup lapak sekira jam 8 malam. Media-media cetak yang ia jual didatangkan langsung dari penerbit. Per hari ia bisa jual sekira 1.000 eksemplar.

Jawa Pos beli Rp1.100, jual Rp3000. Kompas, beli Rp2.400, jual Rp4.500,” katanya.

Kondisi yang paling berubah dari bisnis ini menurutnya kehilangan para pengecer koran. Sebagian besar dari mereka sudah beralih profesi menjadi sopir ojek aplikasi.

“Koran usianya paling dua tahun lagi, banyak yang lebih milih buka internet. Kalau dibanding dulu sama sekarang omset turun 50%,” ujar Yadi.

Warga asal Sukabumi ini pesimis bahwa bisnis yang telah puluhan tahun ia jalani akan bertahan lebih lama lagi. Namun ia berkata akan terus menjalankan profesi sebagai agen koran hingga koran benar-benar tak mampu bertahan digempur zaman. 

“Sampai penerbit bangkrut,” katanya kepada saya.

Senada dengan Yadi, kelesuan bisnis sebagai agen media cetak juga dirasakan oleh Andy Aril Kaban, 35 tahun. Dagangannya tergelar di satu ruko di pertigaan Srengseng Sawah, Jagakarsa. Rukonya cukup luas, sekitar 6 x 4 meter. Tak hanya menjual majalah, buletin dan koran, ada juga TTS, komik dan buku-buku lain yang sudah pudar warna, plus minuman dan lain-lain. Setidaknya, itu cara ia bertahan menghadapi pendapatan jualan koran yang makin minim.

Sejak usia 10 tahun ia jadi loper koran dan sering bolos sekolah. Saat memiliki modal, ia lantas menaikkan bisnisnya sebagai sub-agen. Kini, di tengah tren keuntungan yang makin loyo, ia berniat untuk beralih profesi menjadi penarik ojek aplikasi. Alasannya bisa mengatur waktu. Menjadi agen koran itu terikat, ia bilang, tidak bisa libur. 

Andy meyakini media cetak tak akan bertahan lebih lama. 

“Cetak tutup sekarang sih enggak, tapi ke depan, berguguran. Berat. Ini bukannya pesimistis, ini realistis,” ungkapnya.

Pada tahun 2000-an, Andy memiliki 30 pengecer yang rutin mengambil koran. Sekarang ia memiliki sekitar 5 pengecer. Pendapatannya: dulu bisa Rp300 ribu per hari untuk koran saja, kini sekitar Rp150 ribu. 

Dari keseluruhan dagangannya, Yadi berkata, Pos Kota dan Kompas yang paling laku. Alasan pembeli, Pos Kota menampung banyak iklan lowongan kerja, begitu pula Kompas edisi Sabtu. Karena itu ia selalu memasok Kompas lebih banyak di hari itu. 

“Kalau khusus hari Jumat baru Republika, kan ada tausiahnya, jadi laku banyak,” kata lelaki asal Medan ini. 
'Kalau Koran Enggak Ada, Apanya yang Dijual?'


Nasib Para Pengecer

Di tempat lain, seorang pengecer koran bernama Herman, 62 tahun, memilih menjajakan koran di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ia mengambil koran di sebuah agen di Pasar Minggu setiap jam 6 pagi dan berkeliling hingga jam 8 malam. Dalam sehari ia mendapatkan untung sekitar Rp25 ribu – Rp30 ribu. Ini berbeda lima tahun lalu saat awal jadi pengecer koran: Rp50 ribu per hari.

Pendapatan yang diperoleh pengecer seperti Herman berbeda dengan loper koran. Meski sama-sama mendistribusikan koran tapi sumber pendapatan mereka berbeda. Loper koran mendapatkan gaji langsung dari pihak media, sementara pengecer membawa pulang uang dari seberapa banyak ia mampu menjual dagangannya.

“Per eksemplar untung gopek, kalau Kompas untung seribu,” ungkapnya di pertigaan Pasar Minggu.

Sehari-hari ia hanya mengambil sekitar 50 eksemplar, terdiri The Jakarta PostKompasLampu HijauPos KotaSuper BallTop Skor, dan Warta Kota. Dari sekian koran itu, Herman berkata Pos Kota yang paling laku.

Nasib yang sama dialami Eko, 42 tahun, pengecer koran di Stasiun Pasar Senen. Ia mengeluh omzet yang makin menurun, bahkan ia terpaksa jualan nasi di pagi hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pria asal Malang, Jawa Timur, ini menjadi pengecer koran sejak 1993. Berbeda dengan pengecer lain, ia justru baru berkeliling pukul 3 sore hingga 10 malam, meski tetap pergi ke agen pagi-pagi sekali. 

Beberapa nama koran seperti Harian TerbitJawa PosKompasPos Kota, dan Top Skor memenuhi lapak milik Eko. Namun, katanya, Jawa Pos yang paling banyak dibeli, selain memberi margin paling tinggi, yakni Rp1.500 per eksemplar. Kompas memberi untung Rp1.000, dan koran lain rata-rata Rp500. 

Eko mendapatkan untung dari jualan koran sekitar Rp70 ribu per hari. “Kalau dulu, awal waktu koran dijual Rp300, untung Rp20 ribu sudah gede banget,” katanya. 

Saat ditanya rencananya bila jualan koran semakin seret, ia berkata singkat: “Pengin pulang kampung.”

Di sebuah perempatan Pasar Minggu, samping stasiun, saya mendatangi Siti Nur Sehah, 53 tahun, juga penjual koran eceran. Ia membuka lapak tiap pukul 5 pagi hingga siang. Seandainya belum habis, ia memberikan sisanya kepada suami yang juga pengecer koran.

Dalam sehari, ia bersama suami bisa membawa untung hingga Rp75 ribu – Rp100 ribu. Ibu asli Betawi ini mengaku, selama beberapa tahun belakangan, jualan korannya tidak mengalami penurunan juga kenaikan. Ia sadar bahwa kemajuan teknologi membuat dagangan koran semakin sepi, meski ia meyakini kebanyakan orang masih suka membacanya.

“Baca internet mata sakit, jadi tetep saja baca Kompas,” tuturnya menirukan salah satu pembeli, yang usianya sekitar 50-an tahun.

Saya menjumpai Hadi, 45 tahun, pengecer koran yang sudah menjalani usahanya selama 10 tahun, berkeliling di kawasan Cimanggis, Depok. Ia menuturkan, sehari bisa ambil koran antara 75 sampai 170 eksemplar. Di masa musim koran masih banyak pembeli, ia bisa menjual 70-an eksemplar harian Kompas

“Sekarang,” katanya, “bawa 45 eksemplar (Kompas) saja enggak habis. Kalau dulu, Pos Kota 40 eksemplar. Sekarang 20 eksemplar saja enggak habis.”

Selama 10 tahun itu ia sudah punya banyak pembeli, tetapi makin ke sini angkanya makin berkurang. Dulu ia bisa bawa 300 eksemplar, sekarang 120 eksemplar. Dalam sehari ia bisa bawa pulang uang antara Rp15 ribu – Rp30 ribu.

Keseharian kerjanya, Hadi menjajakan koran sejak jam 6 pagi hingga 12 siang, lalu setor ke agen. Meski terlihat bawa banyak koran, setorannya juga banyak. Misalnya, ia mendapatkan Rp70 ribu - Rp80 ribu, tetapi buat setor bisa sampai Rp70 ribu. 

Sesudahnya, antara pukul 1 siang hingga 8 malam, Hadi berjualan es, dengan upah Rp500 ribu per bulan.

Pendapatan totalnya, dari 12 pelanggan tetap dalam sebulan, sekitar Rp1,8 juta. “Kalau tahun 2014, dari langganan, sekitar Rp2,3 juta, plus yang mingguan seratus ribu per bulan, jadi total Rp2,7 juta. Sekarang turunnya drastis, ngumpulin Rp2 juta saja susah,” ujar Hadi.

Berkurangnya omzet juga terlihat dari pengalaman ia berinteraksi dengan agen. “Dulu sih ada tiga agen, sekarang tinggal satu. Banyak yang gulung tikar. Di terminal Depok, enggak tahu deh masih ada agen atau enggak,” ujarnya.

Bagaimana jika banyak koran berhenti terbit? 

“Ya nganggur. Cari kesibukan lainlah,” kata dia. “Penginnya sih buka agen, tetapi kalau koran enggak ada, apanya yang mau dijual?” 
(tirto.id - chs/fhr)
https://tirto.id/039kalau-koran-enggak-ada-apanya-yang-dijual039-ciy8