JUM'AT, 06 NOVEMBER 2015 | 17:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Panitia penyelenggara pengadilan rakyat telah menunjuk tim hakim yang akan menguji dakwaan terkait tragedi 1965. Para hakim yang ditunjuk panitia penyelenggara umumnya berlatar praktisi hukum, kalangan akademisi dan pegiat hak asasi manusia. “Ada tujuh hakim,” ujar Ketua Penyelenggara Pengadilan Rakyat, Nursyahbani Katjasungkana, Jumat, 6 November 2015.
Nursjahbani menjelaskan, para hakim disaring berdasarkan rekam jejak mereka dalam isu penegakan hak asasi manusia. Pengalaman itu diperlukan agar putusan mereka mencerminkan prinsip imparsialitas dan independensi. Panitia penyelenggara juga mempercayakan sebagian kursi hakim kepada kalangan akademisi yang kerap mengangkat kajian tentang Indonesia dalam penelitian mereka.
Peradilan rakyat tentang tragedi 1965 bakal digelar di Kota Den Haag, Belanda. Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut. Beberapa di antaranya terkait pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, dan keterlibatan negara lain dalam kasus pembantaian massal pasca meletusnya tragedi 30 September 1965.
Baca: Tragedi 1965 Bakal Disidangkan Lewat Pengadilan Rakyat
Menurut rencana, kata Nursyahbani, pengadilan rakyat akan digelar di gedung Niuewe Kerk. Bangunan berarsitektur Gothic yang dulunya berfungsi sebagai gereja itu kini dijadikan kantor dosen salah satu universitas. Di tempat itu, seluruh hakim diminta menguji seluruh alat bukti yang diajukan jaksa penuntut secara maraton sejak 10-13 November 2015.
Baca: Mekanisme Peradilan Rakyat Tragedi 1965
Nursyahbani mengatakan, materi dakwaan akan disampaikan tim penuntut yang diketuai Silke Studzinsky, pengacara korban kasus genosida di Kamboja. Tugasnya akan dilapis tim pengacara dari Indonesia seperti Todung Mulya Lubis, Antarini Arna, Uli Parulian Sihombing, dan Bahrain Ma’mun.
Nursjahbani menjelaskan, para hakim disaring berdasarkan rekam jejak mereka dalam isu penegakan hak asasi manusia. Pengalaman itu diperlukan agar putusan mereka mencerminkan prinsip imparsialitas dan independensi. Panitia penyelenggara juga mempercayakan sebagian kursi hakim kepada kalangan akademisi yang kerap mengangkat kajian tentang Indonesia dalam penelitian mereka.
Peradilan rakyat tentang tragedi 1965 bakal digelar di Kota Den Haag, Belanda. Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut. Beberapa di antaranya terkait pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, dan keterlibatan negara lain dalam kasus pembantaian massal pasca meletusnya tragedi 30 September 1965.
Baca: Tragedi 1965 Bakal Disidangkan Lewat Pengadilan Rakyat
Menurut rencana, kata Nursyahbani, pengadilan rakyat akan digelar di gedung Niuewe Kerk. Bangunan berarsitektur Gothic yang dulunya berfungsi sebagai gereja itu kini dijadikan kantor dosen salah satu universitas. Di tempat itu, seluruh hakim diminta menguji seluruh alat bukti yang diajukan jaksa penuntut secara maraton sejak 10-13 November 2015.
Baca: Mekanisme Peradilan Rakyat Tragedi 1965
Nursyahbani mengatakan, materi dakwaan akan disampaikan tim penuntut yang diketuai Silke Studzinsky, pengacara korban kasus genosida di Kamboja. Tugasnya akan dilapis tim pengacara dari Indonesia seperti Todung Mulya Lubis, Antarini Arna, Uli Parulian Sihombing, dan Bahrain Ma’mun.
Berikut daftar nama para hakim tersebut:
1. Sir Geoffrey NiceGuru Besar Ilmu hukum di Kampus Gresham ini merintis karirnya sebagai pengacara sejak tahun 1971. Ia pernah didaulat sebagai anggota panel hakim dalam kasus International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang menyeret mantan Presiden Serbia, Slobodan Milosevic, ke meja hijau.
2. John Gittings
Jurnalis harian progresif The Guardian ini dikenal juga sebagai peneliti yang berfokus pada kajian perdamaian di era Cina modern dan sejarah Asia. Ia juga pernah meneliti tragedi 1965, konflik Timor-Timor pada 1999. Beberapa buku pernah ia terbitkan. Di antaranya terkait “Politik Perang Dingin” yang ia garap bersama ilmuwan Noam Chomsky.
3. Shadi SadrAktivis perempuan asal Iran ini merupakan pengacara publik yang kerap mendampingi kasus-kasus hak asasi manusia. Kerja-kerja advokasinya pernah membuat otoritas pemerintah Iran meradang yang memaksanya menjalani hukuman bui pada tahun 2009. Sadr kini bermukin di London, Inggris.
4. Cees FlintermanGuru besar bidang Hak Asasi Manusia di Utrech University dan Maastricht University ini pernah didaulat sebagai anggota komisi tinggi Hak Asasi Manusia di Jenewa. Salah satu andilnya adalah menggawangi sub komisi bidang perlindungan kaum minoritas dan anti diskriminasi (1986-1991).
5. Helen JarvisWakil Presiden Peradilan Rakyat ini pernah memiliki pengalaman sebagai anggota dewan penasehat UNESCO untuk pusat kajian genosida yang terjadi di Bangladesh. Jebolan Australia National University ini merupakan penterjemah buku Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara ke Penjara.
6. Mireille Fanon Mendes FranceIa pernah bekerja sebagai penasehat hukum bagi Majelis Nasional Perancis dan saat ini kerap dilibatkan sebagai hakim dalam sejumlah kasus peradilan HAM. Fanon merupakan anggota tetap Peradilan Rakyat yang bermarkas di Roma, Italia. Anak kandung filsuf Frantz Fanon ini merupakan Presiden Yayasan Frantz Fanon.
1. Sir Geoffrey NiceGuru Besar Ilmu hukum di Kampus Gresham ini merintis karirnya sebagai pengacara sejak tahun 1971. Ia pernah didaulat sebagai anggota panel hakim dalam kasus International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang menyeret mantan Presiden Serbia, Slobodan Milosevic, ke meja hijau.
2. John Gittings
Jurnalis harian progresif The Guardian ini dikenal juga sebagai peneliti yang berfokus pada kajian perdamaian di era Cina modern dan sejarah Asia. Ia juga pernah meneliti tragedi 1965, konflik Timor-Timor pada 1999. Beberapa buku pernah ia terbitkan. Di antaranya terkait “Politik Perang Dingin” yang ia garap bersama ilmuwan Noam Chomsky.
3. Shadi SadrAktivis perempuan asal Iran ini merupakan pengacara publik yang kerap mendampingi kasus-kasus hak asasi manusia. Kerja-kerja advokasinya pernah membuat otoritas pemerintah Iran meradang yang memaksanya menjalani hukuman bui pada tahun 2009. Sadr kini bermukin di London, Inggris.
4. Cees FlintermanGuru besar bidang Hak Asasi Manusia di Utrech University dan Maastricht University ini pernah didaulat sebagai anggota komisi tinggi Hak Asasi Manusia di Jenewa. Salah satu andilnya adalah menggawangi sub komisi bidang perlindungan kaum minoritas dan anti diskriminasi (1986-1991).
5. Helen JarvisWakil Presiden Peradilan Rakyat ini pernah memiliki pengalaman sebagai anggota dewan penasehat UNESCO untuk pusat kajian genosida yang terjadi di Bangladesh. Jebolan Australia National University ini merupakan penterjemah buku Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara ke Penjara.
6. Mireille Fanon Mendes FranceIa pernah bekerja sebagai penasehat hukum bagi Majelis Nasional Perancis dan saat ini kerap dilibatkan sebagai hakim dalam sejumlah kasus peradilan HAM. Fanon merupakan anggota tetap Peradilan Rakyat yang bermarkas di Roma, Italia. Anak kandung filsuf Frantz Fanon ini merupakan Presiden Yayasan Frantz Fanon.
7. Zak YacoobPengalaman bidang hukum ia rintis lewat profesi pengacara sejak 1991-1998. Selama periode itu, ia juga aktif memberikan dukungan bagi gerakan anti-apartheid, meski itu harus ia jalani secara diam-diam. Jabatan sebagai hakim konstitusi Afrika Selatan pernah ia sandang sejak 1998-2013.
RIKY FERDIANTO
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/06/078716542/pengadilan-rakyat-kasus-1965-ini-hakim-yang-adili-indonesia
0 komentar:
Posting Komentar