Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 14 September 2014

Senyap yang Gaduh



September 12, 2014 | http://linimasa.com/2014/09/12/senyap-yang-gaduh-a-homage-for-joshua-oppenheimer/
 
Malam itu di Toronto. Ruangan terisi penuh. Film sudah diputar separuh jalan. Ada mereka yang berdecak geram kemudian mengumpat, ada pula mereka yang menyembunyikan wajah di balik jari-jari karena ngeri, juga mereka yang diam-diam mengusap airmata. Lelaki itu duduk di baris paling tengah, menyaksikan dengan saksama adegan demi adegan yang ditayangkan. Ia menyilangkan kedua lengannya. Badannya sedikit maju, hampir menyentuh barisan kursi di hadapan. Sesekali ia terlihat menutup mata agak lama dan menarik napas panjang. Terdengar berat.

Namanya Adi. Adi Rukun, katanya. Empat puluh enam umurnya. Sudah lebih dari delapan kali ia menyaksikan film ini, tapi setiap kali rasanya selalu sama. Selalu ada luapan emosi yang sulit terbendung. Bagaimana tidak, ialah sang tokoh utama. Film ini berporos padanya, pada keluarganya, juga pada jutaan orang lain yang kehilangan anggota keluarga karena pembantaian 1965.

Di saat-saat awal proses shooting film Jagal (The Act of Killing), Joshua Oppenheimer tahu kalau dia akan membuat satu film lain yang tak kalah penting. Dan, di tahun 2012, setelah Jagal selesai disunting namun belum dirilis, mulailah Senyap (The Look of Silence) difilmkan. Keputusan ini diambil Joshua karena ia merasa keselamatannya di Indonesia tidak lagi terjamin setelah rilisnya Jagal.

Senyap (The Look of Silence)

Senyap membawa kita kembali ke tahun 1965 di Pelintahan, Sumatera Utara. Mengisahkan tentang nasib nahas Ramli. Ketua Buruh Tani Indonesia (BTI), yang tewas dibantai oleh Komando Aksi. Berbeda dengan pembantaian-pembantaian lain di era itu, cerita getir tentang Ramli, yang kala itu berusia 23 tahun, memiliki saksi-saksi dan bukti. Ada saksi yang melihat bagaimana sadisnya ia disiksa, ada pelaku yang sukarela membukukan bagaimana ia membunuh Ramli dan orang-orang lain di desa itu.

Sepeninggalnya, keluarga Ramli dipaksa hidup di bawah ketakutan dan trauma. Mereka harus terus menanggung cap buruk sebagai ‘keluarga PKI’. Bahkan anak perempuannya dijadikan bahan olok-olok di sekolah, yang ironisnya, oleh guru-gurunya sendiri. Sementara itu para pelaku bebas berkeliaran dan justru dielu-elukan sebagai pahlawan. Pelaku-pelaku ini dengan begitu bangga menceritakan dengan detil bagaimana sadisnya mereka membunuh Ramli.

Adi adalah sang adik. Lahir tiga tahun setelah meninggalnya Ramli. Menurut Rohani, ibunya, Adi jawaban Tuhan atas doa-doanya yang meminta mendiang Ramli bisa kembali. Ada keingin tahuan untuk mencari sumber rasa takut. Juga ada keberanian yang begitu besar di dalam diri Adi untuk membantu keluarganya pulih dari trauma. Meretas senyap. Maka dimulailah perjalanan Adi, yang memiliki usaha optik keliling, mewawancarai mereka yang terlibat dalam pembantaian Ramli.

Ada metafora yang begitu cantik di sini. Pekerjaan Adi sebagai optician dan pelaku yang ingin dibuatkan kacamata. Seolah menunjukkan bagaimana rasanya melihat kehidupan dari sisi korban dan mencari jawaban langsung dari mata sang pembunuh. Senyap tak ubahnya sebuah sajak, begitu getir tapi juga mengalir dengan indah. Berbeda dengan Jagal, yang ketika selesai ditonton membuat marah dan geram, Senyap dengan ending yang sengaja dibiarkan terbuka justru mengajak kita untuk merenung. Tentang merelakan, tentang memaafkan, tentang melawan rasa takut.

Senyap juga mengajak kita melihat bagaimana sedihnya mereka yang kehilangan. Ibu Rohani yang menyumpahi anak-cucu para pelaku, agar mereka hidup menderita, menyadarkan kita kalau beliau juga manusia. Beliau hanya seorang ibu yang terus berduka karena sang anak dibantai dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya. Mengharapkan agar keluarga korban bisa memaafkan pelaku lalu mereka hidup berdampingan rasanya hanya ada di cerita dongeng. Dan sejujurnya, suatu hal yang sangat egois. Semena-mena.

Film telah usai dan lampu pun pelan-pelan dinyalakan. Satu-persatu penonton berdiri sambil menyeka air di sudut mata mereka. Riuh tepuk tangan mengiringi Adi yang berjalan ke atas panggung. Tiga kali standing ovation diberikan penonton sebagai penghormatan untuk Adi dan Joshua. Saya pun bisa merasakan ikatan emosional yang begitu kuat ketika Joshua mendekap erat Adi. Mata mereka berembun. Bagaimana tidak, selama proses pembuatan film ini, Adi selalu dilibatkan. Dan baginya juga keluarga, kedatangan Joshua bagai hujan panjang yang menghapus kemarau, orang yang telah lama ditunggu-tunggu. Membantu menyuarakan isi hati mereka ketika mereka sama sekali tidak bisa bersuara dihimpit rasa takut.

Mereka yang menonton Senyap malam itu mengantri untuk bisa menyalami Adi. Menyampaikan satu-dua kata bagaimana beraninya ia, juga turut mendoakan keselamatan keluarganya. Adi haru. Ia merasa keluarganya begitu dihargai sebagai manusia, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ironis memang, di Indonesia sendiri rasanya masih banyak yang tidak peduli akan nasib para korban pembantaian ini. Seolah semua sepakat bilang “Masa lalu, ya, masalah lo!” PKI masih jadi topik yang enggan untuk dibicarakan. Bahkan, kita masih terus saja memusingkan apakah Jagal dan Senyap ini “Film Indonesia” atau “Film tentang Indonesia”. Sepertinya kebutaan dan kebodohan massal yang sukarela.

Saya harus mengutip William Faulkner, “The past is never dead, it’s not even past.” Kenyataan bahwa Adi dan keluarganya harus pindah ribuan kilometer, bahwa seluruh kru Indonesia yang terlibat proses produksi harus berlindung di balik anonimitas, bahwa Joshua merasa ia tidak lagi aman kalau kembali ke Indonesia, merupakan bukti kalau pembantaian 1965 belumlah bisa dibilang “masa lalu”. Kita masih di masa lalu. Mereka yang tersakiti harus bungkam karena tak bisa bersuara. Dan mereka yang bisa bersuara lebih memilih untuk jadi bisu. Maka senyaplah semua.

 Mas Adi, Josh, Signe.




Saya, Mas Adi, dan Josh.
:: A Homage for Joshua Oppenheimer ::
Ditulis untuk Josh, Signe, Anonymous, & Mas Adi. Terima kasih. Terima kasih. Segala doa-doa baik untuk kalian. Parting is such a sweet sorrow, kata Shakespeare. Semoga nanti saya punya kesempatan untuk bertemu dengan kalian lagi.
Love, F.

Jumat, 05 September 2014

Pesan Munir di Proposal Disertasi Sebelum Tewas Dibunuh

Jumat, 05/09/2014 17:00 WIB


KBR, Jakarta – Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti masih ingat betul pemintaan bantuan dari mendiang Munir Said Thalib saat ingin berangkat sekolah ke Belanda 2004 lalu. Munir minta bantuan untuk menterjemahkan disertasinya ke dalam bahasa Inggris.
Disertasi itu disiapkan Munir untuk mengambil S2 bidang Hukum Humaniter di Universitas Utrecht. Disertasinya itu berjudul ‘Pelanggaran HAM Sebagai Pilihan Politik Rezim Militer dan Tantangan Perubahan Politik Serta Implikasinya’.

“Cak Munir itu kan bahasa Inggrisnya kurang bagus. Jadi saat mau berangkat itu dia sempat bilang ingin mengirimkan teks disertasinya tiap minggu ke saya. Nanti saya terjemahkan ke bahasa Inggris,” kenang Poengky akhir Agustus lalu.

Namun permintaan Munir itu urung dilakukan Poengky. Munir tewas terbunuh 7 September 2004. Aktivis HAM itu tewas diracun saat terbang ke Belanda menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA 974 tujuan Amsterdam.

Sebagai aktivis HAM yang mendirikan LSM HAM KontraS, Munir begitu konsen untuk mengambil permasalahan HAM dan orang hilang dalam disertasinya. Dia begitu bersemangat, cerita Poengky. Bahkan Munir sampai belajar bahasa Inggris sebelum berangkat ke Belanda.

Febuari 2004, Munir sudah mulai membuat proposal disertasinya untuk diajukan sebagai beasiswa di Belanda. Proposal itu juga diterjemahkan oleh Poengky, begitu juga balasan-balasan email dari Denhaag.

Berikut penggalan latar belakang disertasi yang ditulis Munir sendiri: PELANGARAN HAM SEBAGAI  PILIHAN POLITIK REZIM MILITER DAN TANTANGAN PERUBAHAN POLITIK SERTA IMPLIKASINYA

(STUDI ATAS PRAKTEK PENGHILANGAN ORANG DAN PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA)

Latar belakang
Kasus penghilangan orang adalah bagian dari  realitas politik  Indonesia. Pertarungan antar berbagai  kekuatan politik dan methode kerja negara banyak  memunculkan peristiwa  penghilangan orang. Aktor utama yg muncul dipermukaan  adalah Militer.

Peran militer yang menonjol dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya penghilangan orang, tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana militer mengambil peran politik sejak tahun 50 an. Pertaruangan politik tahun 50 an, dimana militer secara terbuka berupaya memperoleh peran politik menjadi pembukan awal praktik penghilangan orang. Hal itu berlanjut ketika peran militer semakin menguat untuk menumbangkan kekuasaan  Soekarno yang dianggap cenderung pro Komunis. Dibawah bayang-bayang perang dingin, tahun 1965 sampai 1969 penghilangan orang menjadi parktik utama rezim militer Soeharto. Banyak spekulasi tentang angka korban penghilang orang pada masa itu mencapai jutaan Orang.

Praktek itu berlanjut ketika rezim Soeharto mengkonsolidasi sistem politik melalui upaya membentuk negara korporasi. Penyatuan partai-partai politik, pembentukan wadah tunggal serikat Buruh, organisasi masa dst, dengan terbuka juga dilakukan dengan praktik penghilangan orang. Pada awal tahun 1980 an secara terbuka militer menggelar operasi pembunuhan misterius, yang sebenarnya adalah tindakan penghilangan orang dan eksekusi cepat (summary killings) terhadap para pelaku kriminal. Pada masa yang sama Soeharto dengan didukung penuh militer juga mengumumkan akan menculik (menghilangkan) politisi yang menolak pemberlakukan azas tunggal Pancasila. Praktek itu berlanjut sampai jatuhnya rezim Soeharto pada mei 1998.

Jatuhnya rezim Soeharto, dan muncul agenda demokratisasi memang melahirkan koreksi atas praktek pelanggaran HAM. Hal ini juga berhubungan dengan agenda  menarik mundur militer dari peran politiknya. Akan tetapi realitas politik menunjukkan hal yang berbeda.  Proses transisi politik itu tidak segera diikuti kemampuan kalangan politik sipil merubah sistem poltik dan cara kerja kekuasaan. Penghilangan orang sebagai model tindakan represi ternyata tetaplah berlangsung, meskipun tidak dinyatakan terbuka sebagaimana masa sebelumnya.

Transisi politik merupakan harapan utama untuk merubah keadaan, mulai menarik militer dari kancah politik, perubahan hukum yang menghapus impunity, pertanggungjawaban kejahatan masa lalu, tuntutan mengungkap kebenaran sejarah dst.  Akan tetapi realitas politik memberikan gambaran yang berbeda. Bagaimana aktor-aktor politik mempersepsikan kebutuhan politik kekinian dan permasalahan masa lalu sebagai suatu yang musti koreksi atau justru semata media pertarungan politik baru?.

Kenyataan koreksi atas berbagai kejahatan masa lalu, serta pentingnya menarik militer dari kancah politik juga berbahadapan dengan persepsi baru tentang kebutuhan-kebutuhan nasional lainnya, seperti konsolidasi demokrasi, stabilitas politik dan keamanan, integrasi bangsa dst.  Hal ini juga diwarnai dominasi pandangan militer dalam kehidupan politik dimasa transisi yang demikian kuat. Konsep keamanan, kebangsaan, penegakan hukum jelas masih tergantung pada persepsepsi masa lalu yang didominasi kalangan militer. Sementara para pelaku politik baru relatif gagal mengembangkan konsepsi baru, yang dapat menuntut perubahan.
 
Banyak tawaran model yang kemudian ditawarkan mulai dari model pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsilisasi, sampai pada pembentukan peradilan untuk mengungkap kejahatan masa lalu. Atau justru sebaliknya, menawarkan impunitas permanen kepada para pelaku kejahatan sebagai kompromi politik seperti yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin.  Kesemua model ini diyakini bukanlah suatu yang bekerja secara normatif, tetapi suatu pertarungan politik yang amat beresiko bagai para aktor demoktrasi di banyak negara. Sehingga penting untuk dilihat hubungan antara model penyelesaian yang ditawarkan dengan watak dan kekuatan-kekuatan politik yang bertarung.  


Berbagai permasalahan yang perlu diungkap adalah :
a. bagaimana praktek politik militer menginteprestasi kebutuhan dan peran mereka, melalui tindakan politik, doktrin, persepsi diri, serta penyusunan kerja organisasi?

b. Mengapa penghilangan orang merupakan pilihan tindakan yang penting?


c. Bagaimana methode kerja praktek penghilangan orang itu berlangsung?. Termasuk bagaimana methode penyiksaan yang dilakukan?, bagaimana komunikasi publik yg untuk menjelaskan praktek penghilangan orang yang dilakukan?.

d.  Bagaimana tantangan upaya penghapusan praktek penghilangan orang dan impunitas yang dinikmati militer di Indonesia? Dalam hal ini juga menyelidikan mengapa  upaya perlindungan HAM cenderung gagal di negara-negara pasca rezim militer.


Methode penelitian:

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan methode kualitatif.

Penelitian akan mengumpulkan data melalui studi kepustakaan, penelusuran dokumen-dokumen politik dan pelanggaran HAM, serta wawancara dengan para aktor yang berada dalam tiap-tiap peristiwa. 

Studi kepustakaan juga akan dilakukan suatu upaya komparasi dengan latar belakang dan  kasus penghilangan orang di negara-negara yang memiliki problem yang sama, seperti Chilie, Argentina, Brazil, Philipina.

Munir
Denhaag  11 February 2004
 
http://m.kbr.id/09-2014/pesan_munir_di_proposal_disertasi_sebelum_tewas_terbunuh/29167.html