Sebaliknya, sebagian dari masyarakat tidak menyadari bahwa peristiwa yang menyusul setelahnya, jauh lebih mengerikan. Jutaan orang yang dituduh komunis tewas dibantai, disiksa, diperkosa, di penjara, menjalani kerja paksa dan dicap sebagai kaum sesat dan pengkhianat. Ingatan kolektif itu hanya terfokus pada simpati atas korban dari pihak militer dan kebencian terhadap PKI. Perbedaan perspektif diametrikal ini tidak tercipta dengan sendirinya namun merupakan hasil dari sebuah proses propaganda yang panjang. Saya mencoba menunjukkan kembali bagaimana proses propaganda itu dilakukan.
Kurang dari 2 bulan setelah pembunuhan terhadap para jenderal pada malam 30 September 1965, sebuah manuskrip berjudul "40 Hari Kegagalan G30S" [kemudian direvisi pada 1967 di RAND Corporation AS dengan judul The Coup Attempt of the September 30 Movement] dikeluarkan oleh Pusat Sejarah ABRI. Manuskrip itu ditulis oleh sejarawan militer anti-komunis Nugroho Notosusanto – orang yang paling bertanggung jawab dalam menyebarkan gagasan: PKI dalang peristiwa G30S. Namun demikian, tuduhan itu kali pertama dilontarkan oleh Jenderal Suharto, pada pagi 1 Oktober 1965, ketika dia memberi pengarahan kepada koleganya di Markas Kostrad. Selain informasi dari asistennya, Kolonel Yoga Sugama, tuduhan Suharto itu juga berdasarkan argumennya sendiri tentang kedekatan Untung dengan tokoh senior PKI, Alimin.
Tuduhan yang belum teruji inilah yang kemudian diadopsi mentah-mentah Nugroho. Di dalam karyanya, Nugroho mengulangi tuduhan Suharto dan berkisah tentang bagaimana PKI merancang kudeta terhadap pemerintahan Indonesia yang sah dan berakhir dengan kegagalan. Karya inilah yang kelak menjadi fondasi dari konstruksi anti- komununisme di Indonesia dan menjadi dasar dari buku putih Orde Baru [1994]. Indoktrinasi Kebudayaan Kenyataan bahwa terdapat berbagai versi tentang misteri di balik peristiwa G30S tidak membuat wacana ideologi anti-komunisme terkaji ulang dengan sendirinya.
Sebaliknya, berbagai versi itu justru membuat pemerintah Orde Baru semakin gencar mengkampanyekan anti-komunisme serta menutup rapat akses terhadap informasi dan sumber-sumber alternatif mengenai peristiwa tersebut. Sebut saja hasil-hasi penelitian yang dilakukan oleh para sarjana asing seperti Ben Anderson, Ruth McVey, Frederick Bunnell, WF. Wertheim, Peter Dale Scott, Julie Southwood, Patrick Flanagan dan lain sebagainya. Karya-karya ini sepanjang pemerintahan Orde Baru sangat sulit untuk diakses. Bahkan karya John Roosa yang terbit tahun 2006 pun sempat dilarang oleh Kejaksaan Agung.
Maka, tidak heran bahwa versi Nugroho tentang peristiwa 1965 itu hampir menjadi satu-satunya versi yang dipakai oleh pemerintah Orde Baru dan sesudahnya untuk ditanamkan di dalam benak masyarakat Indonesia. Proses indoktrinasi ideologis ini tidak saja dilakukan selama puluhan tahun sejak naiknya Jenderal Suharto ke tampuk kekuasaan di Indonesia namun juga dilakukan secara sistematis dan menyeluruh dengan memanfaatkan berbagai produk dan produksi kebudayaan yang diturunkan, utamanya dari karya Nugroho tersebut. Karya Nugroho itu dielaborasi dan ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk instrumen, tidak saja yang bersifat politis seperti institusi-institusi kenegaraan, namun yang lebih penting adalah institusi-institusi kebudayaan. Kita dapat melihat bagaimana narasi Nugroho ditransformasikan menjadi kisah-kisah kekejaman PKI yang dapat ditemui di dalam museum, monumen, relief, diorama, folklore, buku-buku pegangan siswa, materi penataran bagi pegawai pemerintah, film dan karya sastra. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa propaganda yang dilakukan secara sistematis, luas dan memakan waktu puluhan tahun itu telah berpengaruh sangat nyata terhadap pembentukan cara pandang masyarakat atas peristiwa G30S. Inilah yang menyebabkan ingatan kolektif masyarakat terbentuk hanya menjadi satu dimensi: paranoia Orde Baru terhadap hantu komunis. Ketakutan yang dibentuk secara sadar oleh pemerintah Orde Baru dan agen-agen mereka melalui jalur politik kebudayaan untuk menenggelamkan benak masyarakat ke dalam dunia mitologis telah menyebabkan masyarakat menjadi ketakutan, benci dan jijik pada kaum yang dituduh komunis. Kebencian terhadap PKI dan komunisme telah menjadi wacana dominan di Indonesia sehingga berbagai upaya baik yang dilakukan para peneliti, aktivis HAM, praktisi hukum, seniman maupun sebagian politisi tidak atau belum membuahkan hasil yang maksimal terhadap perubahan wacana dominan itu. Berbagai kegiatan yang mengangkat isu 1965 hampir selalu mengalami intimidasi seperti yang terjadi di berbagai daerah seperti di Solo, Padang, Yogya, Surabaya, Semarang dan yang terakhir di Salatiga.
Arogansi ormas-ormas yang mendapat dukungan dari aparatus negara juga menjadi persoalan yang menambah beban bagi penyelesaian kasus 1965 karena menghambat terbukanya diskusi-diskusi di ruang publik. Proses transformasi paradigma dominan itu tidak cukup hanya mengandalkan perangkat-perangkat pendidikan, hukum dan kebudayaan saja, namun juga membutuhkan perangkat dan kemauan politis di tingkat elite dan militer. Sebab, penghalang utama dari proses transformasi itu terdapat di wilayah politik. Inilah sebabnya, jika memang wacana rekonsiliasi yang akhir-akhir ini berdengung keras hendak terwujud, langkah-langkah politik juga harus dilakukan. Dengan demikian, intervensi dari aparatus pemerintah terhadap upaya, baik yang bersifat politis maupun non-politis, untuk membuka fakta dan kebenaran tentang peristiwa 1965 dapat dihindari dan tidak lagi menjadi penghalang di tingkat praktis. Wijaya Herlambang, Ph.D Penulis Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965
http://m.monitorday.com/detail/15522/peristiwa-september-antara-fakta-dan-propaganda-kebudayaan
0 komentar:
Posting Komentar