Minggu, 25 Oktober 2015 15:33 WIB
Oleh: Wahyudi Djafar | Peneliti ELSAM
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi menerima kunjungan kenegaraan Sri Baginda Ratu Margrethe II Denmark beserta Yang Mulia Pangeran Consort, yang disambut dengan upacara kenegaraan, Kamis (22/10/2015) di Istana Merdeka, Jakarta. Selanjutnya melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Denmark. TRIBUNNEWS/SETPRES
TRIBUNNEWS.COM - Dalam beberapa hari ke depan Presiden Joko Widodo akan melangsungkan lawatan kenegaraan ke Amerika Serikat untuk yang pertama kalinya. Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang paling berpengaruh dalam politik Indonesia. Tidak hanya saat ini, tetapi dari semenjak awal berdirinya negara Indonesia.
Amerika Serikat memiliki keterkaitan erat dengan hampir seluruh peristiwa politik kontroversial yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Termasuk Peristiwa berdarah 1965, yang berdampak pada terjadinya pembantaian massal, dengan korban jiwa mencapai jutaan orang. Hal ini seperti diakui oleh beberapa dokumen intelijen Amerika Serikat, yang telah mulai dideklasifikasi semenjak tahun 2001. Dokumen-dokumen tersebut memperlihatkan komunikasi intensif antara badan intelijen maupun Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, dengan militer Indonesia.
Menyikapi hal itu, Senator Amerika Serikat dari negara bagian New Mexico, Mr. Tom Udall, pada 10 Desember 2014 telah mendorong lahirnya Resolusi Senat No. 596, yang pada intinya memberikan pengakuan atas persitiwa yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1965-66, mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk membuka arsip rahasia negara terkait peristiwa 1965-66, serta meminta pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi atas peristiwa yang tejadi.
Tahun ini, tepat lima puluh tahun terjadinya peristiwa berdarah 1965-66, banyak pihak yang memperingati peristiwa traumatik ini, baik oleh komunitas korban, pegiat HAM dan warga yang peduli, termasuk generasi muda. Dengan semangat memahami apa yang terjadi 50 tahun yang lalu, berbagai inisiatif telah diambil melalui karya-karya tulis dan film, diskusi-diskusi antar intelektual dan akademisi, serta lagu dan ilustrasi kreatif. Semua ini menunjukkan niat publik yang peduli pada kebenaran tentang masa lalu untuk menghadapi dan menyikapi sejarah kelam bangsa Indonesia melalui berbagai upaya memorialisasi.
Sayangnya, setelah 17 tahun reformasi, masih belum ada inisiatif resmi dari negara untuk menuntaskan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi dalam persitiwa tersebut. Para korban tetap mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, sehingga mereka tidak mendapatkan kebebasan seperti halnya warga negara pada umumnya. Negara tidak kunjung memberikan hak atas keadilan dan pemulihan. Fragmentasi sosial di masyarakat tetap mencolok, dan cenderung memanas tiap kali muncul inisiatif untuk penyelesaian, maupun setiap mendekati waktu terjadinya peristiwa. Belum adanya penyelesaian menyeluruh atas kasus tersebut, dengan menempatkan negara sebagai penanggungjawab utama, menyulitkan adanya re-integrasi sosial di masyarakat, termasuk untuk tidak lagi meneruskan rantai kekerasan di masa lalu.
Situasi ini setidaknya tergambar dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK, yang dengan lantang menjanjikan penuntasan berbagai kasus masa lalu dalam janji politiknya. Dalam pantuan yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) misalnya, sepanjang periode Oktober 2014 sampai dengan Oktober 2015, sedikitnya terjadi 27 peristiwa pengekangan kebebasan yang mengusik rasa aman, dengan latar belakang peristiwa 1965. Peristwa pengekangan ini beragam bentuknya, mulai berupa tindakan: (i) Pelarangan, baik film, diskusi, pertemuan, maupun pemutaran film sebanyak 17 kasus; (ii) Pembubaran paksa, khususnya pertemuan para korban, sebanyak 4 kasus; (iii) Intimidasi 3 kasus, termasuk menggunakan slogan-slogan kekerasan masa lalu; (iv) Deportasi 1 kasus; (v) Penangkapan sewenang-wenang 1 kasus; dan (vi) Pembredelan 1 kasus, yang dialami oleh Majalah Mahasiswa FIKOM UKSW Salatiga “LENTERA”.
Berbagai macam bentuk pengekangan kebebasan yang mengusik jaminan rasa aman di atas, mayoritas pelakunya adalah aktor negara, khususnya aparat keamanan dan militer (25 kasus), ada juga yang melibatkan organisasi kemasyarakatan (11 kasus). Bahkan institusi akademik, yang semestinya menjunjung tinggi mimbar kebasan akademik, turut serta sebagai pelaku pelarangan (5 kasus). Persebaran wilayah terjadinya peristiwa paling banyak terjadi di Jawa Timur (9 kasus), DI Yogyakarta (6 kasus), Jawa Tengah (4 kasus), dan Sumatera Barat (3 kasus).
Gambaran wilayah terjadinya peristiwa pengekangan ini juga sekaligus memperlihatkan kembali titik-titik panas terjadinya kekerasan sepanjang tahun 1965-66. Memerhatikan peristiwa yang terjadi, wilayah yang tersebar di berbagai daerah, serta aktor-aktor yang terlibat sebagai pelaku, memunculkan dugaan bahwa seluruh rangkain peristiwa yang terjadi merupakan implementasi dari suatu perintah yang sistematis dari institusi tertentu. Beragam peristiwa pengekangan ini juga menunjukan adanya keengganan dari kelompok tertentu untuk memulai kerja-kerja pengungkapan kebenaran, dengan melihat sejarah yang sesungguhnya dalam peristiwa 1965-66. Sebagai contoh, pelarangan sistemtasi terhadap pemutaran film Senyap ‘The Look of Silence’ karya sutradara Joshua Oppenheimer, serta baru-baru ini pelarangan untuk mendiskusikan tema 1965 dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 di Bali.
Menyikapi hal tersebut, sekitar 50 organisasi masyarakat sipil dan organisasi korban yang tergabung dalam Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), mengingatkan kembali pentingnya penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Peristiwa 1965-66. Lebih khusus lagi, koalisi nasional yang dipimpin secara kolektif oleh 7 organisasi (KontraS, ELSAM, IKOHI, AJAR, Yayasan Pulih, Lembaga Kreatif Kemanusiaan, dan Pamflet) meminta kepada pemerintah, terutama Presiden, untuk menggunakan seluruh instrumen kenegaraan yang dimilikinya, guna memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga negara, yang memiliki inisiatif untuk memulai langkah-langkah penyelesaian peristiwa 1965-66, dengan berbagai caranya masing-masing. Beragam inisiatif mandiri melalui pemutaran film, diskusi sejarah peristiwa, pertemuan korban dengan generasi muda, rekonsiliasi di akar rumput, akan menjadi modal sosial yang kuat bagi upaya-upaya yang semestinya secara resmi ditempuh negara untuk menyelesaikan peristiwa kelam di masa lalu.
Terkait dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat, Presiden perlu memberi jawaban atas permintaan Senat AS dengan memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga negara yang melakukan langkah memorialisasi terhadap peristiwa 1965-66. Presiden juga semestinya menegaskan kembali komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965-66, secara adil dan bermartabat, sebagaimana ditegaskan di dalam Nawacita visi misi pemerintahan Jokowi-JK.
Jakarta, 25 Oktober 2015
http://www.tribunnews.com/tribunners/2015/10/25/menunggu-jawaban-jokowi-atas-pertanyaan-senat-as-soal-peristiwa-1965-66
0 komentar:
Posting Komentar