Kamis, 8 Oktober 2015 | 9:55 WIB
Ketika Profesor Widjojo yang dikenal sebagai arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru ditanya Jakob Oetama “…kenapa ia tidak mencoba menjelaskan dalam konteks pemikiran yang lebih komprehensif tentang jalan ekonomi pasar dalam tali-temali kaitan dan semangatnya dengan pemikiran besar Indonesia seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Ia menjawab, bahwa untuk membahas dan menulis tema besar itu diperlukan pemikir ulung sekaliber ~ yang waktu itu ia sebut ~ Karl Marx. (Jakob Oetama, Padanya Berlaku Sepenuhnya Ungkapan: Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe dalam Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro, Penerbit Buku Kompas, Penyunting Moh. Arsjad Anwar dkk, Jakarta, 2007;45).
Penyebutan nama Karl Marx sebagai indikator pemikir ulung oleh Prof Widjojo menunjukkan bahwa Prof Widjojo mempelajari dan memahami Marxisme juga. Sebagai orang yang masuk generasi tua Republik, tidak aneh memang bila Widjojo mengenal Marxisme. Hampir semua perintis dan pendiri Republik Indonesia memang tidak alergi dengan pemikiran Karl Marx. Pikiran-pikiran Marx dipakai untuk membedah soal-soal kebangsaan, kemasyarakatan dan juga dipakai sebagai senjata ilmiah melawan imperialisme-kolonialisme. Haji Oemar Sahid Tjokroaminoto, Kartosuwiryo, Semaun, Musso, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Syahrir, SK Trimurti dan masih banyak lagi bisa disebutkan adalah para pemikir dam pejuang yang bisa dipastikan membolak-balik halaman Marxisme.
Mengenai literatur Marxisme ini, Hadji Roeslan Abdulgani menyatakan bahwa pidato Pembelaan Sneevliet, pada bulan November 1917 yang dibukukan dengan tebal 366 halaman merupakan sumber dari mana banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita mulai minum ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah bahkan susunan dan bentuk pidato pembelaan Bung Karno di Landraad Bandung tahun 1930 yang kemudian terkenal dengan Indonesia Menggugat menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet… Bung Karno sendiri pun menulis dari tempat pembuangan di Bengkulu pada tahun 1941 dalam s.k. Pemandangan bahwa “Sedjak saja sebagai anak-pelontjo buat pertama kali beladjar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnja seorang guru HBS jang berhaluan Sosial-demokrat (C. Hartogh namanja) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membatja banjak-banjak buku Marxisme dari semua tjorak, sampai bekerdja didalam active politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunja teori jang saja anggap kompetent buat memetjahkan soal-soal sedjarah, soal-soal politik, soal-soal kemasjarakatan”.(Hadji Roeslan Abdulgani, Perkembangan Tjita-Tjita Sosialisme di Indonesia dalam Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat Djilid I, penyusun Maj. Moch. Said, Permata, Surabaja,1961; 920-923).
Bila dihitung dari sejak diperkenalkannya literatur Marxisme oleh Sneevliet melalui Indische Sosial Democratische Vereeniging, ISDV, 1914, di Semarang, Marxisme telah menjadi kawan perjuangan nasional hingga sampailah di pintu gerbang kemerdekaan selama 31 tahun; dalam 31 tahun itu, kurang lebih selama 16 tahun menjadi bacaan terlarang di bawah kuasa kolonial Belanda dan 3,5 tahun di bawah kuasa fascisme Jepang.
Prof. Dr Widjojo Nitisastro lahir pada tahun 1927, tahun ketika para komunis Indonesia kalah dalam upaya memimpin rakyat Indonesia menjatuhkan kekuasaan kolonial Belanda. Akibat dari pemberontakan yang gagal itu menurut Bung Karno,”Lebih dari dua ribu dibuang di Tanah Merah, di tengah tengah hutan Boven Digul di Nieuw Guinea yang keadaannya masih seperti Jaman Batu. Dan pada waktu pembawa-pembawa obor kemerdekaan ini diusir masuk ke dalam hutan lebat, mereka pergi dengan tersenyum. Ketika mereka tidak mau mundur setapak pun dari keyakinannya, maka 300 orang di antaranya dibawa ke tempat yang lebih menyedihkan, yaitu kamp konsentrasi di Tanah Tinggi. Di situ bertaburanlah kuburan mereka. Dari yang 300 orang itu hanya 64 orang yang masih hidup.” (Cindy Adams, Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Gunung Agung, Djakarta, 1966;122-123). Jadi Widjojo tidak menikmati masa bersemangatnya para pejuang kemerdekaan melengkapi dirinya dengan literatur Marxisme (-Leninisme). Tahun-tahun pertumbuhan bacaan Widjojo adalah tahun-tahun pelarangan dan pembakaran buku-buku yang bisa dikaitkan dengan komunisme.
Roeslan Abdulgani menjelaskan: “Berbitjara tentang buku-buku…sedjak tahun 1926/1927 semua lectuur Marxis dari Sneevliet dan lain-lain dilarang di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Apa jang antara tahun 1927-1934 mulai masuk ke Indonesia adalah buku-bukunja penerbitan SDAP dan dimana gerakan sosio-nasionalisme kiri dipukul terus, ..sedjak 1935 – 1942 lectuur sosialis jang dapat masuk Indonesia adalah melalui perpustakaan-perpustakaan illegaal seperti “Boekhandel Karni” di Gang Keputran Surabaja dan penerbitan-penerbitan samaran Uiver, nama kapal terbang Belanda jang djatuh dalam tahun 1935. Semasa djaman Djepang tahun 1942 -1945, maka sisa-sisa buku sosialisme jang ada di Indonesia dibakar sama sekali. (Hadji Roeslan Abdulgani, Perkembangan Tjita-Tjita Sosialisme di Indonesia dalam Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat Djilid I, penyusun Maj. Moch. Said, Permata, Surabaja,1961; 940-941).
Di masa kemerdekaan, literatur Marxisme (-Leninisme) pun ikut merayakan kemerdekaan selama 20 tahun. Pasca peristiwa G 30 S 1965, bersamaan dengan pengejaran, pembunuhan, pemenjaraan dan pembuangan orang-orang komunis dan pelarangan PKI oleh kuasa Orde Baru, literatur Marxis(-Leninisme) pun kembali dibakar dan menjadi bacaan terlarang kurang lebih 33 tahun. Pelarangan bacaan Marxis di bawah Orde Baru yang berslogankan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen telah membuat kebingungan teoritik bagi Prof. Mubyarto ketika hendak mengembangkan Sistem Ekonomi Pancasila. Menurut Mubyarto, “Buku Das Kapital karangan Karl Marx (1867) yang mungkin merupakan buku yang harus dipelajari oleh semua mahasiswa ekonomi dalam sistem ekonomi apapun (karena buku ini sebenarnya menganalisa “teori ekonomi kapitalis”) tidak pernah menjadi jelas bagaimana kita memandangnya. Ada yang berpendapat bahwa buku inilah pegangan utama kita kalau akan menggali sistem ekonomi sosialis yang akan diterapkan di negara kita. Tetapi di pihak lain ada pula pendapat bahwa karena komunisme merupakan paham terlarang di Indonesia, maka buku-buku Karl Marx (Marxisme, termasuk Das Kapital) harus pula merupakan buku terlarang yang tidak boleh dipakai sebagai bahan pelajaran. Masalah ini walaupun dari segi perkembangan ilmu ekonomi di Indonesia sungguh sangat crucial, namun sayangnya belum pernah dibahas secara sungguh-sungguh oleh para ahli ekonomi kita. Untuk menggali sistem ekonomi Pancasila diperlukan rangsangan yang luar biasa bagi tokoh-tokoh pemikir ekonomi agar mereka mampu berpikir bebas dan mampu menghasilkan gagasan-gagasan deduktif-teoritis yang dapat dipertanggungjawabkan tetapi sekaligus dapat menjadi pisau analisa untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang kita hadapi baik di masa kini maupun di masa datang. (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, Jakarta, 1990;28).
Secara resmi pelarangan Marxisme(-Leninisme) masih berlanjut di bawah pemerintahan masa Reformasi hingga Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla kini yang secara total di bawah kuasa Reformasi sudah berlangsung selama 17 tahun. Total keseluruhan di bawah kuasa Orde Baru dan Reformasi adalah 50 tahun dan tampaknya masih terus dipertahankan pelarangan terhadap Marxisme(-Leninisme). Ini merupakan waktu pelarangan yang lebih lama dari pelarangan di bawah kuasa kolonial Belanda ditambah dengan fascisme Jepang. Hiruk pikuk tentang perlunya rekonsiliasi dengan demikian tampak tidak menyertakan kembalinya pemikiran Marxisme(-Leninisme) sebagai perangkat pemikiran ilmiah untuk mengatasi permasalahan bangsa.
Kembali pada Jawaban Prof Widjojo kepada pertanyaan Jakob Oetama di awal tulisan ini bahwa diperlukan pemikir ulung sekaliber Karl Marx, bisa jadi bukan Karl Marx juga yang dimaksud Prof. Widjojo tetapi justru Lenin sang pahlawan dalam Revolusi 1917 di Rusia yang telah menggerakkan tangan Sneevliet menulis artikel berjudul “Zegepraal” berarti Kemenangan: “Telah berabad-abad di sini hidup bedjuta-djuta rakjat jang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Dipo Negoro tiada seorang pemuka jang mengerahkan masa ini untuk menguasai nasibnja sendiri. Wahai rakjat di Djawa, revolusi Rusia djuga merupakan peladjaran bagimu. Djuga rakjat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan butahuruf seperti kau…”.
Tulisan itu menyebabkan Sneevliet menghadapi pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda. Lenin juga yang dikenal sebagai gembongnya komunis ini pernah menjalankan ekonomi pasar demi kelanjutan sosialisme di awal pembangunan Soviet dengan meluncurkan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) tetapi lantas dihapuskan Stalin begitu Lenin meninggal di tahun 1924. Membangun Sosialisme melalui Ekonomi Pasar belum terbayangkan dalam pemikiran Karl Marx.
Bisa jadi pemikir ulung sekaliber Karl Marx yang dimaksud Prof Widjojo adalah dirinya sendiri yang bagi Jakob Oetama hanyalah soal ketiadaan waktu untuk menjawabnya. Atau pemikir ulung sekaliber Karl Marx itu akan muncul nanti di Indonesia, tetapi mungkinkah dengan menempatkan pemikiran Marxisme-Leninisme di tempat yang gelap tak terbaca?
AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/rekonsiliasi-tanpa-marxisme-leninisme/#ixzz3qFoNzwFf http://www.berdikarionline.com/rekonsiliasi-tanpa-marxisme-leninisme/
0 komentar:
Posting Komentar