By Jeff Sondakh
GARUDA, Yogyakarta - Diskusi buku karya profesor Saskia Eleonora Wieringa di University of Amsterdam menuai simpati dari banyak kalangan di gedung Student Center Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis malam, 9 Oktober 2015. Setidaknya 80 orang dari mahasiswa, aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia, aktivis organisasi non-pemerintah, dan jurnalis datang dalam diskusi itu.
Acara ini diselenggarakan oleh Divisi Gender Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Yayasan Satunama, dan Lembaga Pers Mahasiswa Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diskusi digelar seiring dengan peringatan 50 tahun Genosida. Pada 30 September 2015 ini, tepat 50 tahun setelah kejahatan kemanusiaan sejak peristiwa 1965 meletus di Indonesia. Negara hingga saat ini belum juga mengakui kejahatan kemanusiaan ini.
Pembicara diskusi dari bidang perempuan dan politik Yayasan Satunama, Nunung Qomariah, mengatakan diskusi penting untuk membuka kebenaran sejarah yang disembunyikan oleh Orde Baru. Gerwani masih dianggap sebagai gerakan perempuan yang tidak bermoral.
“Generasi muda perlu tahu sejarah di luar versi Orde Baru agar tidak hitam putih melihatnya. Tidak mudah menyalahkan dan tidak mudah terprovokasi,” kata Nunung.Buku karya Saskia berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan Politik Seksual di Indonesia Pasca-Kejatuhan PKI itu bicara tentang militer yang menghancurkan seluruh gerakan wanita, memfitnah Gerakan Wanita Indonesia mengenai apa yang terjadi di Lubang Buaya pada 30 September 1965. Buku ini adalah disertasi Saskia, yang pada era Orde Baru disensor ketat untuk melindungi perempuan yang diwawancarai Saskia.
Buku setebal 542 halaman itu menggambarkan Gerwani yang dilarang serta puluhan ribu anggotanya dibunuh dan disiksa di penjara. Presiden era Orde Baru, Soeharto, melakukan fitnah seksual terhadap Gerwani sebagai dalih untuk membunuh. Anggota Gerwani dituduh mengkhianati negara dan berperilaku seksual tak bermoral.
Peneliti kasus 1965 selama 30 tahun itu mengungkapkan koran-koran terbitan Dinas Penerangan Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata memfitnah keterlibatan anggota Gerwani di Lubang Buaya. Fitnah ini terbukti dari hasil penuturan banyak korban. Mereka dipaksa telanjang bulat dan menari-nari di depan tentara. Lalu para tentara itu mengambil gambar mereka.
Beberapa narasumber Saskia juga memberikan kesaksian tentang gadis tahanan yang ditelanjangi. Kemudian tentara memotret dan menyiarkan seakan-akan mereka berada di Lubang Buaya. Militer menggunakan segala cara untuk menyiksa secara seksual terhadap tahanan politik.
Saskia punya pengalaman panjang sebagai aktivis gerakan perempuan dan solidaritas negara ketiga. Pada pertengahan 1970-an, ia mendirikan sejumlah kelompok studi perempuan dan menerbitkan jurnal. Ia mengajar isu perempuan, gender, dan kajian seksual. Lebih dari 20 judul buku dan 100 artikel karya Saskia yang sudah diterbitkan.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berhimpun di Lembaga Pers Mahasiswa Arena Jamaludin Ahmad mengatakan diskusi buku ini penting untuk membuka kebenaran sejarah yang dibelokkan oleh rezim Orde Baru.
"Mahasiswa dan kalangan muda harus berpikir kritis terhadap sejarah versi penguasa," kata Jamaludin.
SIAPA LETKOL. UNTUNG?
Untung Sjamsuri, salah satu tokoh penting dalam Gerakan 30 September 1965. Orang biasa mengenalnya sebagai Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang bertugas sebagai Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa. Peran Letkol kelahiran Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 adalah sebagai pemimpin penculikan yang ditengarai orang dekat Soeharto.
Dari penelusuran Tempo, sejak umur 18 tahun, Untung diketahui sudah masuk ke dalam dinas kemiliteran di Heiho, kesatuan militer bentukan tentara pendudukan Jepang. Setelah Jepang kalah, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. Batalion inilah yang disebut-sebut terlibat dalam aksi pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1948, yang dimpimpin oleh Musso.
Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi, kawan dekat Untung yang ditemui Tempo pada 2009 menuturkan setelah 1948, Untung bertugas di Solo, Jawa Tengah. Kebetulan kota Solo saat itu Komandan Komando Resor Militer-nya adalah Soeharto. Selesai menjabat komandan Korem, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung pun ikut pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad yang mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Karir Untung semakin dekat pusaran politik nasional setelah masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Tidak tanggung-tanggung dua kompi Banteng Raiders saat itu pun dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jejak Soeharto terlihat dengan penempatan Untung dan Banteng Raiders sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan Presiden di Istana. Sebabnya, Soeharto yang memimpin Kostrad yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Selain sering bertugas bersama, kedekatan Soeharto dengan Untung lainya ketika menghadiri pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. Kunjungan pada Februari 1965 itu dilakukan Soeharto yang sudah menjabat Panglima Kostrad bersama istrinya, Tien, untuk menghadiri pesta pernikahan mantan anak buahnya.
Untung juga pernah menyebut keterlibatan Soeharto pada peristiwa G30S 1965. Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Jawaban Soeharto tidak seperti memerintah Untung.
"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.Kemudian menurut eks menteri Luar Negeri Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Kesatuan itu diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Anehnya pasukan tersebut membawa peralatan siap tempur dengan peluru tajam.
"Aneh, masak untuk defile prajurit mesti membawa peluru tajam. Semestinya tidak begitu, ada mekanismenya kalau di militer," kata Laksamana Punawirawan Omar Dhani, bekas Kepala Staf Angkatan Udara di era Presiden Sukarno. (REPRO TEMPO)
JEES
0 komentar:
Posting Komentar