5:23 PM, October 17, 2015 | Febriana Firdaus
Tom Iljas dan rombongannya dituduh membuat film dokumenter tentang tragedi 1965 oleh polisi
JAKARTA, Indonesia— Tom Iljas, 77 tahun, orang Indonesia di tinggal Swedia, berniat untuk berdoa di makam ayahnya yang merupakan korban pembunuhan massal saat tragedi 1965 di Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Dia malah diamankan oleh polisi dan imigrasi dengan tudingan membuat dokumentasi yang dianggap membahayakan keamanan negara.
Tom adalah salah satu mahasiswa tehnik mekanisasi pertanian tahun 1960-an yang dikirim oleh Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Barat ke Swedia. Niat awal hanya untuk melanjutkan sekolah berlanjut menjadi pembuangan bertahun-tahun karena dia kemudian terhalang pulang dan menjadi eksil di Swedia.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Padang Wendra Rona Putra menuturkan, Tom yang sudah bertahun-tahun tak pulang kampung, akhirnya mendapat kesempatan langka itu. Dia akhirnya bisa pulang ke Indonesia. Pada 11 Oktober, dengan membawa kamera foto, Tom pergi ke makan ibunya, almarhum Siti Mawar di pemakaman Kampung Salido, Sumatera Barat.
Tom kemudian meneruskan perjalanan menuju sebuah lokasi yang diyakini oleh penduduk desa sebagai pemakaman massal tempat di mana ayahnya, almarhum Ilyas Raja Bungsu dikebumikan.
Lokasi pemakaman massal tersebut tidak asing lagi bagi warga sekitar, karena pernah disebut oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
“Sampai di lokasi yang diduga tempat Ayah Tom Ilyas dikuburkan massal bersama korban lainnya, penduduk yang menemani Tom meminta ijin kepada pemilik tanah yang baru untuk berdoa. Kepala Kampong tidak mengijinkan,” kata Rendra.
Menurut kesaksian, ada sekitar 20 orang yang diduga intel mengawasi dan memotret kegiatan Tom saat itu. “Tom segera memutuskan pulang dan membatalkan ziarah ke makam ayahnya,” katanya.
Saat perjalanan pulang, Tom dan rombongannya dicegat oleh mobil polisi dengan personel tidak berseragam. Personel polisi tersebut kemudian mengambil alih setir mobil Tom dan rombongannya, mereka dibawa ke Kepolisian Resor Pesisir selatan untuk diinterogasi.
Dituduh membahayakan keamanan nasional
Pemeriksaan selama hampir seharian itu membuat Tom lelah. “Tom dan rombongan bahkan tidak sempat makan dan minum. Mereka baru makan setelah saya datang,” ujarnya. Ruang Kanit intel berubah menjadi ‘penjara’ sementara untuk Tom.
Saat interogasi, Tom dan rombongan diminta untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tapi tidak ada satupun yang bersedia. Polisi mengatakan tidak akan melepaskan rombongan jika tidak menandatangani BAP, akhirnya mereka setuju.
Setelah itu, mereka digeledah. Tas, laptop, dan mobil Tom diperiksa. “Ada dua memory card yang diambil. Kartu Tanda Penduduk dan paspor ditahan,” katanya.
Sementara itu, saat Tom diinterogasi dan penggeledahan, polisi gelar perkara bersama komandan militer Pesisir Selatan.
Dari gelar perkara, polisi tak menemukan delik yang tepat untuk Tom setelah melakukan penggeledahan. Maka atas nama hukum, Tom dilepaskan.
Tapi Tom tak serta-merta dilepas, kasusnya langsung dilimpahkan ke imigrasi dengan dalih membahayakan keamanan nasional dengan mendokumentasikan aktivitas di lahan kuburan massal.
LBH mengaku heran, tudingan tersebut dinilai tidak berdasar. “Dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2015 tentang imigrasi, kalau seandainya dia menggunakan visa kunjungan, maka seharusnya tidak masalah,” katanya.
Pihak imigrasi ngotot, menurut mereka aktivitas Tom sebagai warga negara asing dapat dikategorikan menyerang keamanan nasional jika nanti dokumentasi tersebut dipakai untuk menyerang pemerintah Indonesia.
“Mereka kemudian mengancam, kalau seandainya film ini beredar, mereka akan memasukkan Bung Tom ke daftar cekal,” katanya.
Setelah empat hari yang melelahkan, akhirnya Tom berhasil lolos dari polis dan imigrasi. Ia kemudian bertolak ke Belanda lewat Singapura.
Tom meninggalkan kota Padang dengan dikawal oleh dua petugas imigrasi yang juga ikut ke Jakarta. Wakil Duta Besar Swedia sempat menemui tom dan rombongannya di Bandara Soekarno Hatta. Ia memberikan dukungan penuh kepada Tom Iljas.
LBH kemudian memberi catatan pada pemerintah terkait kejadian tersebut. “Menurut kecurigaan kami, ini ada kaitannya dengan film dokumenter Joshua Oppenheimer, jadi TNI atau Intel kepolisian sepertinya tidak mau kecolongan dua kali,” kata Rendra.
Joshua adalah sutradara asal Amerika Serikat yang membuat film tentang korban tragedi 1965 berjudul Jagaldan Senyap.
Tapi ia mengingatkan pemerintah bahwa keluarga korban tragedi 1965 dilindungi konvensi hak asasi manusia. Keluarga korban berhak untuk mencari informasi tanpa sekat warga negara dan wilayah. —Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar