Penulis: Saleh Abdullah | 29 Februari 2016
“Mustahil menghilangkan ketidakadilan di dunia, tapi kita bisa menguranginya.”
4 JANUARI 1947, hujan turun lebat di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Kapal M.S. Sloterdijk dari Belanda merapat di dermaga pelabuhan. Seorang
pemuda 21 tahun menuruni tangga kapal dengan menyandang ransel dan senjata. Di
pos wajib lapor, saat ditanya surat pengantar yang seharusnya dia bawa, sambil
mengusap air hujan di mukanya, dia menjawab surat itu mestinya jadi tanggung
jawab perwira administrasi dalam rombongan prajurit.
Sebenarnya serdadu muda itu tahu persis
bahwa si perwira telah membuang surat itu ke laut, sebagai ungkapan protes
terhadap pengiriman kembali tentara Belanda untuk merebut kembali Indonesia.
H.J.C. “Poncke” Princen, serdadu muda
itu, sudah tahu dan mengikuti pro-kontra pengiriman kembali tentara Belanda ke
Indonesia, lewat koran dan radio. Menurut undang-undang Belanda, tentara
Belanda tidak diperbolehkan dikirim berperang ke luar negeri. Jika terpaksa,
harus minta izin parlemen dulu. Saat itu persetujuan parlemen belum diperoleh,
tapi tentara sudah dikirim. Publik Belanda gempar.
Sejak sebelum dikirim ke Indonesia, pada
dasarnya Poncke sudah mempunyai sikap untuk melawan penjajahan atas kehendak
manusia merdeka. Secara militer, Poncke Princen memang desertir. Tapi,
pembelotan itu tidak semata karena kepentingan pribadi yang sempit. Ketika dia
ditugaskan dalam barisan kesehatan garnisun Ede di Belanda, dia mendapatkan
informasi dari atasannya bahwa dia akan dikirim ke Indonesia.
Hati nuraninya tidak bisa membenarkan
tindakan memerangi bangsa yang sudah merdeka. Dia memutuskan lari ke Prancis.
Di sana dia bekerja sebagai buruh pemetik anggur, sambil sesekali menjadi
pengamen di sebuah restoran kecil di Nice. Ia kemudian bertemu dengan seorang
fotografer Yahudi eks-buronan Nazi. Bisa jadi, pertanyaan-pertanyaan dari si
fotograferlah yang membuat Poncke membalikkan biduk kehidupannya.
“Mengapa engkau lari? Apa yang kau peroleh dari melarikan diri? Jika kau tidak setuju terhadap sesuatu, katakanlah! Misalnya, ihwal pengiriman kembali tentara Belanda ke Indonesia, kau harus melakukan sesuatu. Mengapa kau tidak melakukan sesuatu dan malah lari-lari?”
Ketika perwira administrasi membuang
surat pengantar ke laut dalam perjalanan M.S. Sloterdijk ke Tanjung Priok,
takdir mungkin sedang mengarahkan Poncke untuk membelot dan melawan balik
negara asalnya.
Setelah mendapat hukuman dari para
petinggi KNIL (tentara Kerajaan Hindia Belanda) di beberapa penjara di Jawa
Barat, rute hidup Poncke kemudian membawanya ke Demak, Kudus, dan Pati, wilayah
utara pantai Jawa. Tujuannya satu: membelot dan bergabung dengan tentara
Indonesia. Berbekal uang 25 gulden dari Sri Murtosiah Tasan, seorang mantan
sekretaris Perdana Menteri Sjahrir, Poncke berangkat ke Semarang.
Turun dari pantai utara Jawa Tengah,
ketika kemudian Poncke berada di Yogyakarta, Mayor Kemal Idris, komandan
Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi, memberi pilihan kepada Poncke:
“Tentaramu sudah sampai di Malioboro. Kalau kau mau kembali, silakan.”
Poncke menjawab, “Saya sudah berkata A.
Apa saya mesti sebut juga B atau sekalian semua aksara?”
Pasukan Kemal saat itu tiba ke Yogya
setelah membebaskan Pati. Poncke tanpa berpikir panjang bergabung dengan
Batalyon Kala Hitam. Pasukan ini dikenal melakukan pawai legendaris dengan
berjalan kaki 900 kilometer dari wilayah selatan Candi Borobudur menuju Jawa
Barat. (Kemal Idris kelak menjadi Panglima Kostrad pada 1967 dan pensiun
sebagai letnan jenderal. Dia dikucilkan Soeharto karena aktif di kelompok
Petisi 50 dan dijuluki sebagai “jenderal sampah”).
Batalyon Kala Hitam diminta kembali ke
Jawa Barat untuk bertugas sepanjang Cianjur–Sukabumi. Di wilayah inilah Poncke
menggoreskan reputasi tempurnya. Dia dipercaya untuk memimpin sebuah pasukan
khusus Siliwangi, dengan tugas khusus merampok senjata pasukan Belanda.
Menurut catatan Y.B. Mangunwijaya,
sejumlah aksi penyerbuan dan perampokan senjata yang dipimpin Poncke: serangan
pada 28 Maret 1948 di Pada Asih tempat Poncke dan pasukannya berhasil merebut
17 senapan Mauser super baru; lalu menyusul serangan dan perampokan senjata
lainnya di Baros, Harjasari, stasiun kereta api Gandasoli, dan di Takokak.
Biasanya, untuk penyerbuan-penyerbuan itu, Poncke hanya membawa sekitar 7
sampai 10 gerilyawan pilihan. Karena prestasi mengagumkan itu, Poncke menjadi
buah bibir masyarakat kawasan Sukabumi dan Cianjur dan mendapat julukan “Pak
Persen, maung (harimau) Sukabumi”.
Atas jasa-jasanya itu, menurut catatan
Kemal Idris, Poncke yang mempunyai nomor pokok keanggotaan sebagai prajurit TNI
251121085 merupakan satu dari tujuh prajurit pertama Siliwangi yang memperoleh
Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno tahun 1949.
Bintang Gerilya itulah yang kemudian,
pada era Orde Baru, selalu dia pajang di tembok ruang kantor Lembaga Pembela
Hak Asasi Manusia.
“Karena saya aktif membela aktivis-aktivis dan memprotes pelanggaran HAM, kantor ini selalu didatangi intel tentara. Mereka selalu tanya macam-macam. Saya pikir mereka bisa melihat Bintang Gerilya yang saya pajang itu, dan saya harap mereka bisa berpikir,” ujarnya satu kali.
Menurut Mangunwijaya, “perang gerilya
adalah perang gerilya”, yang tidak melulu berkisah penyerangan dan pembunuhan.
Ia juga memuat kisah penculikan dan pengkhianatan.
Belanda yang geram dan dendam atas
pengkhianatan Poncke, berdasarkan informasi yang diperoleh dari asisten wedana
(orang Indonesia), memerintahkan kepada Mayor Jenderal E. Engles, komandan KNIL
Teritorium Jawa Barat, untuk membentuk sebuah kompi pembunuh yang dikomandani
Letnan Henk Ulrici (Eric). Tugas khususnya adalah menangkap Poncke, hidup atau
mati.
Eric dan pasukan hanya punya waktu empat
hari sebelum gencatan senjata, 10 Agustus 1949, yang akan berujung pada
Konferensi Meja Bundar. Eric dan kompi pembunuhnya bergerak cepat, dibimbing
kicauan sang asisten wedana, menuju hutan rimba Clutung Gerang di daerah
Sukabumi. Di tempat itulah Poncke, istrinya Odah yang sedang mengandung anak,
dan pasukannya bersembunyi.
Pagi dini hari, 9 Agustus 1949, dari
jarak hanya 40 meter, pasukan pembunuh Eric melempar granat dan memberondong
gubuk peristirahatan Poncke dan pasukannya. Poncke berhasil selamat. Tapi, Odah
dan anak dalam kandungan serta beberapa anak buah terbaiknya, tewas
mengenaskan.
“Tiga hari aku menangis. Bintang gerilya dari Presiden Sukarno tidak dapat mengobati luka-lukaku kehilangan Odah,” cerita Poncke.
SEJARAH resmi, bila pun ada, hanya
mencatat samar-samar semua pengorbanan dan bintang jasa yang diperoleh Poncke.
Panggung sejarah selalu ditentukan dan diurus oleh mereka yang berkuasa.
Poncke pernah mewakili Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia di mana dia duduk sebagai anggota Konstituante tahun
1956. Penghargaan kedua dia peroleh pada 1992 lewat Yap Thiam Hien Award
sebagai pembela hak asasi manusia.
Poncke mungkin pemula, atau setidaknya
generasi awal, yang bersama Yap Thiam Hien, Aisyah Amini, Dr. Halim, Wiratmo
Sukito, dan Dr. Tambunan, membentuk lembaga pembela hak asasi manusia di
Indonesia tahun 1966 bernama Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia. Bersama
mendiang Yap Thiam Hien pula, di samping para pendiri lain, Poncke membidani
lahirnya Lembaga Bantuan Hukum tahun 1970, yang nantinya menjadi Yayasan LBH
Indonesia.
Poncke pernah menggegerkan Indonesia dan
dunia internasional ketika Orde Baru masih balita. Tahun 1969 dia membongkar
kasus pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Jawa Tengah.
Rezim militer Soeharto yang mendapat dukungan blok Barat setelah menjatuhkan
Sukarno, betul-betul ditempeleng oleh laporan Poncke. Laporan itu kemudian
ramai lewat pemberitaan sejumlah media nasional seperti, di antaranya, Harian Kami dan Sinar Harapan. Media-media luar terutama di
Belanda getol menyuarakan laporan Poncke. Mereka menjadi ganjalan Orde Baru
dalam upaya diplomasi internasional untuk memperoleh dukungan lewat kerja sama
pembangunan.
Sepak terjang Poncke sebagai aktivis HAM
terus berlanjut dalam pembelaan dingin dan konsistennya pada kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk pembantaian 1965-1966 dan
dampak lanjutannya, serta pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor
Timur.
Sungguh menarik melihat transformasi
eksistensial Poncke: dari tentara prajurit tempur menjadi aktivis HAM. Satu
pilihan yang pernah dia tulis ke papa dan mamanya di Belanda sebagai het
moeten kiezen (keharusan memilih): “Jan Poncke harus memilih, antara
suatu hidup yang pada dasarnya tidak mungkin menjadi hidup karena tidak
memiliki suatu dasar apa pun, dan suatu perburuan terus-menerus ke arah jauh
yang belum kukenal….”
Pembelotan Poncke dari tentara KNIL
menjadi gerilyawan yang menyerang balik tentara-tentara asalnya, didasari oleh
alasan kemanusiaan yang sulit disanggah: menolak penjajahan, penistaan manusia
atas manusia merdeka. Diperlukan hati nurani yang luar biasa jernih dan kuat
serta keberanian luar biasa bagi seorang prajurit untuk melakukan pembelotan
dengan membela negara jajahan melawan negaranya sendiri yang menjadi penjajah.
Itulah yang dilakukan Poncke menurut sahabatnya, mendiang Y.B. Mangunwijaya.
Lahir di atas toko cerutu di sudut Jalan
Van Dijk dan Jalan Hobbema, Den Haag, pada 21 November 1925, Poncke yang
awalnya berwarga negara Belanda pindah warga negara Indonesia karena aksi
pembelotannya. Para penguasa tiga negara—Jerman (saat pendudukan Nazi),
Belanda, dan Indonesia—pernah menjebloskannya dari penjara ke penjara, yang
bila ditotal sudah belasan kali. Dua penguasa awal Indonesia, Sukarno dan
Soeharto, sudah pernah memenjarakan Poncke karena sikap kritis dan pembelaannya
terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. Terakhir dipenjara pada masa Orde
Baru karena dianggap terlibat dalam gerakan Malari 1974. Di negara asalnya
sendiri, Poncke mendapat ancaman pembunuhan dari beberapa mantan serdadu KNIL.
Karena suara-suara kritisnya dalam
penegakan demokrasi dan HAM, baik di dalam maupun di luar negeri, oleh beberapa
penguasa Orde Baru, Poncke dianggap pengkhianat. Seorang bekas Ketua Komnas HAM
pada masa Orde Baru malah berkata: “Sekali pengkhianat tetap pengkhianat.”
Pejabat dari sebuah negara, yang oleh “pengkhianatan” Poncke, dia bela dengan
segala pengorbanan, meminjam wacana penjajah Belanda dan menuding Poncke
sebagai pengkhianat.
Dalam tulisan kado ulang tahun Poncke
ke-70 tahun 1995 silam, mendiang Mangunwijaya menulis: “Oleh kalangan-kalangan
mantan militer tentara kolonial Belanda, ia dimaki-maki sebagai desertir yang
harus ditembak mati. Oleh kalangan-kalangan tertentu di Indonesia sekarang pun,
ia dimaki-maki sebagai desertir yang sekali berkhianat tetap berkhianat. Sangat
menarik sebenarnya sikap pararel ini.”
Poncke Princen yang eks-pelajar seminari
di Weet, Belanda, adalah penyuka filsafat dan puisi. Dia bergaul akrab dan
banyak berdiskusi dengan seniman-seniman Senen dan sastrawan lain, seperti Aoh
Kartahadimadja, Mohammad Balfas, Chairil Anwar, Slauerhof, Du Perron dan
lain-lain. Dia adalah seorang yang perasa dan mudah jatuh cinta.
Setelah diserang stroke 7 kali, akhirnya
pada 22 Februari 2002, 14 tahun lalu, Haji Johannes Cornelis Princen wafat. Dia
meninggal di Jakarta dalam kesederhanaan: meninggalkan sebuah rumah kontrakan,
sebuah mobil Suzuki Cary, seorang istri, dan seorang anak.
Dalam satu perjalanan, Poncke pernah
berkata, “Jongen (anak muda), akan sangat sulit, bahkan mungkin
mustahil, kita bisa menghilangkan ketidakadilan di dunia ini. Yang bisa kita
lakukan hanya menguranginya.”
***
___
Catatan:
Sebagian bahan untuk tulisan ini
berdasarkan catatan diskusi dan obrolan serta pergaulan dengan Almarhum.
Kutipan diambil dari buku kecil H.J.C. Princen 70 Tahun: Gerilya yang
Tak Pernah Selesai (1995), kumpulan tulisan dari para sahabat Poncke,
yang disunting oleh Saleh Abdullah.
0 komentar:
Posting Komentar