Sabtu, 31/10/2015 06:47 WIB
Diorama prajurit Tjakrabirawa di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Ubud, CNN Indonesia -- Ketua Panitia Penyelenggara Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana, menyatakan timnya telah menemui Dewan Pertimbangan Presiden untuk memberitahukan bahwa IPT 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda, 10-13 November.
“Kami juga minta waktu untuk bertemu (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) Pak Luhut, tapi belum diatur,” kata Nursyahbani kepada CNN Indonesia di sela Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) di Bali, Jumat (30/10).
Meski demikian, Ketua Tim Jaksa dan Todung Mulya Lubis selaku pengacara IPT 1965 telah menginformasikan langsung soal sidang rakyat itu kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut pun disebut telah memberikan respons.
“Pak Luhut berkata, ‘Sejauh tidak melebih-lebihkan (keburukan) negara, silakan,’” ujar Nursyahbani.
Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 digelar untuk menyikapi dugaan pembunuhan massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terhadap orang-orang yang dituding sebagai sayap kiri pada periode 1965-1966.
“Pembantaian” itu dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
Selain ratusan hingga ribuan orang diduga dibunuh, banyak pula warga yang ditahan dan disiksa. Kebenaran soal itu belum terungkap hingga kini.
Peran Joshua Oppenheimer
Nursyahbani bercerita, ide menggelar Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 muncul saat para aktivis hak asasi manusia Indonesia bertemu dan berdiskusi dengan Joshua Oppenheimer, sutradara film The Act of Killing dan The Look of Silence yang berkisah seputar peristiwa 1965.
Pada pertemuan di Den Haag bulan Maret itu, aktivis HAM Indonesia bertanya kepada Oppenheimer kenapa dia bisa sampai membuat film-film berlatar peristiwa 1965. Kedua film itu dianggap membuat mata dunia terbuka soal masa lalu kelam Indonesia yang telah dibiarkan tak terungkap selama hampir 50 tahun.
“Itu kejahatan luar biasa, bahkan bisa disebut salah satu Holocaust terburuk pada abad 20,” kata Nursyahbani.
Holocaust merupakan istilah untuk genosida –pembunuhan besar-besaran secara sistematis terhadap satu bangsa– yang menimpa kaum Yahudi di masa rezim Nazi pimpinan Adolf Hitler. Saat itu diduga enam juta orang Yahudi dibunuh.
Oppenheimer, menjawab pertanyaan para aktivis HAM asal Indonesia, mengatakan semula tak berencana membuat film tentang 1965. Pria kelahiran Amerika Serikat itu awalnya berniat meneliti tentang buruh perkebunan di Indonesia, namun mendapati fakta buruh-buruh itu tidak mau menjawab pertanyaan yang ia lontarkan karena takut.
“Salah satu buruh berkata, ‘Bagaimana tidak takut jika dulu aktivis-aktivis buruh dibunuhi dan pembunuhnya masih hidup bersama kami sebagai saudara atau tetangga,’” ujar Nursyahbani mengisahkan kembali ucapan Oppenheimer.
Oppenheimer, kata Nursyahbani, saat itu betul-betul tidak tahu soal peristiwa 1965 di Indonesia. Itu pula yang membuatnya tak memberikan konteks politik kuat pada film-filmnya yang berkisah soal itu.
Pada satu titik dalam diskusi antara aktivis HAM Indonesia dan Oppenheimer, ujar Nursyahbani, Oppenheimer berkata, “Saya sudah melakukan yang saya bisa sebagai peneliti dan pembuat film, sekarang tergantung pada kalian apakah ada yang mau membela derajat dan kehormatan bangsa kalian sendiri.”
Diskusi di Den Haag saat itu, kata Nursyahbani, juga dihadiri oleh orang-orang buangan atau exile, yakni warga Indonesia yang tinggal di luar negeri dan tak bisa kembali ke Tanah Air karena tak lagi diakui pemerintah Republik Indonesia sebagai warga negara akibat dampak dari peristiwa 1965.
Para exile itu turut mendukung gagasan digelarnya Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965. Nursyahbani kemudian ditunjuk menjadi Koordinator 1965. Ia menganggapnya sebagai kehormatan, dan bersama-sama dengan para aktivis HAM membentuk kepanitiaan.
Nursyahbani tak lupa mengingatkan para korban yang bakal bersaksi di IPT 1965 tentang risiko yang mungkin dihadapi. “Sekarang saja semua diskusi soal 1965 di sini (UWRF) terpaksa dibatalkan. Selalu ada risiko jika hendak berbicara tentang itu,” ujar pengacara Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto itu.
Menanggapi peringatan Nursyahbani, para saksi yang sudah lanjut usia itu menjawab tegas, “Kami sudah menjadi korban lebih dari 50 tahun. Nothing to lose.”
Ada 10 orang korban yang akan menjadi saksi fakta di IPT 1965, baik para exile dan korban yang tinggal di Indonesia. Mereka telah ditempatkan di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
IPT 1965, kata Nursyahbani, didukung penuh oleh LPSK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagian saksi dipilih karena nama mereka telah tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Komnas HAM yang menginvestigasi kasus-kasus 1965.
Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang bakal berlangsung di Den Haag itu juga mengundang pemerintah RI, dan direncanakan disiarkan live streaming di tujuh kota di Indonesia, antara lain Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya.
“Kami juga minta waktu untuk bertemu (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) Pak Luhut, tapi belum diatur,” kata Nursyahbani kepada CNN Indonesia di sela Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) di Bali, Jumat (30/10).
Meski demikian, Ketua Tim Jaksa dan Todung Mulya Lubis selaku pengacara IPT 1965 telah menginformasikan langsung soal sidang rakyat itu kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut pun disebut telah memberikan respons.
“Pak Luhut berkata, ‘Sejauh tidak melebih-lebihkan (keburukan) negara, silakan,’” ujar Nursyahbani.
Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 digelar untuk menyikapi dugaan pembunuhan massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terhadap orang-orang yang dituding sebagai sayap kiri pada periode 1965-1966.
“Pembantaian” itu dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
Selain ratusan hingga ribuan orang diduga dibunuh, banyak pula warga yang ditahan dan disiksa. Kebenaran soal itu belum terungkap hingga kini.
Peran Joshua Oppenheimer
Nursyahbani bercerita, ide menggelar Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 muncul saat para aktivis hak asasi manusia Indonesia bertemu dan berdiskusi dengan Joshua Oppenheimer, sutradara film The Act of Killing dan The Look of Silence yang berkisah seputar peristiwa 1965.
Pada pertemuan di Den Haag bulan Maret itu, aktivis HAM Indonesia bertanya kepada Oppenheimer kenapa dia bisa sampai membuat film-film berlatar peristiwa 1965. Kedua film itu dianggap membuat mata dunia terbuka soal masa lalu kelam Indonesia yang telah dibiarkan tak terungkap selama hampir 50 tahun.
“Itu kejahatan luar biasa, bahkan bisa disebut salah satu Holocaust terburuk pada abad 20,” kata Nursyahbani.
Holocaust merupakan istilah untuk genosida –pembunuhan besar-besaran secara sistematis terhadap satu bangsa– yang menimpa kaum Yahudi di masa rezim Nazi pimpinan Adolf Hitler. Saat itu diduga enam juta orang Yahudi dibunuh.
Oppenheimer, menjawab pertanyaan para aktivis HAM asal Indonesia, mengatakan semula tak berencana membuat film tentang 1965. Pria kelahiran Amerika Serikat itu awalnya berniat meneliti tentang buruh perkebunan di Indonesia, namun mendapati fakta buruh-buruh itu tidak mau menjawab pertanyaan yang ia lontarkan karena takut.
“Salah satu buruh berkata, ‘Bagaimana tidak takut jika dulu aktivis-aktivis buruh dibunuhi dan pembunuhnya masih hidup bersama kami sebagai saudara atau tetangga,’” ujar Nursyahbani mengisahkan kembali ucapan Oppenheimer.
Oppenheimer, kata Nursyahbani, saat itu betul-betul tidak tahu soal peristiwa 1965 di Indonesia. Itu pula yang membuatnya tak memberikan konteks politik kuat pada film-filmnya yang berkisah soal itu.
Pada satu titik dalam diskusi antara aktivis HAM Indonesia dan Oppenheimer, ujar Nursyahbani, Oppenheimer berkata, “Saya sudah melakukan yang saya bisa sebagai peneliti dan pembuat film, sekarang tergantung pada kalian apakah ada yang mau membela derajat dan kehormatan bangsa kalian sendiri.”
Diskusi di Den Haag saat itu, kata Nursyahbani, juga dihadiri oleh orang-orang buangan atau exile, yakni warga Indonesia yang tinggal di luar negeri dan tak bisa kembali ke Tanah Air karena tak lagi diakui pemerintah Republik Indonesia sebagai warga negara akibat dampak dari peristiwa 1965.
Para exile itu turut mendukung gagasan digelarnya Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965. Nursyahbani kemudian ditunjuk menjadi Koordinator 1965. Ia menganggapnya sebagai kehormatan, dan bersama-sama dengan para aktivis HAM membentuk kepanitiaan.
Nursyahbani tak lupa mengingatkan para korban yang bakal bersaksi di IPT 1965 tentang risiko yang mungkin dihadapi. “Sekarang saja semua diskusi soal 1965 di sini (UWRF) terpaksa dibatalkan. Selalu ada risiko jika hendak berbicara tentang itu,” ujar pengacara Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto itu.
Menanggapi peringatan Nursyahbani, para saksi yang sudah lanjut usia itu menjawab tegas, “Kami sudah menjadi korban lebih dari 50 tahun. Nothing to lose.”
Ada 10 orang korban yang akan menjadi saksi fakta di IPT 1965, baik para exile dan korban yang tinggal di Indonesia. Mereka telah ditempatkan di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
IPT 1965, kata Nursyahbani, didukung penuh oleh LPSK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagian saksi dipilih karena nama mereka telah tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Komnas HAM yang menginvestigasi kasus-kasus 1965.
Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang bakal berlangsung di Den Haag itu juga mengundang pemerintah RI, dan direncanakan disiarkan live streaming di tujuh kota di Indonesia, antara lain Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar