Test Footer 2

Minggu, 03 Mei 2015

Pendidikan, Pengangguran dan ‘Sekolah Kuno’


 [ Barra ]

"Sekolah jangan dijadikan sebagai institusi pemeringkat tinggi-rendahnya kapasitas pengetahuan. Sistem seleksi dalam dunia pendidikan adalah keliru, bagaimana mungkin berkeinginan semua rakyat berpengetahuan tapi mempraktikkan proses seleksi yang, sekali lagi, semangatnya adalah persaingan ala kapitalistik, bukan semangat kerjasama."

Praktik kapitalisme dalam dunia pendidikan terus menggerus daya beli masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi negeri. Secara fakta, kampus negeri kini menjadi swasta. Korban terbaru dari Kapitalisme pendidikan adalah UNPAD (Bandung), UNDIP (Semarang), UNHAS (Makassar), ITS (Surabaya). Kampus negeri yang dikenal ‘murah’ menjadi mahal sejak ditetapkan statusnya menjadi PTN BH dimana pembiayaan dibebankan pada masyarakat alias peserta didik juga orang tua mahasiswa. Termasuk membolehkan adanya investasi swasta (asing maupun lokal), dengan payung hukum UU PT dan UU Sisdiknas. Praktiknya, diatur dalam PP.

Pasukan Pengangguran Indonesia

Secara rata-rata, ada 7,24 juta pengangguran di Indonesia. Mayoritas didominasi oleh penduduk usia produktif. Dan sangat mengherankan, usia produktif di Indonesia adalah 18-64 tahun. Hingga tua renta masih belum terbebas dari beban pekerjaan yang harusnya bisa menikmati hari tua.

Mengenai klasifikasi pengangguran juga ada masalah. Biasanya, pemerintah (melalui BPS) dalam menentukan klasifikasi mengambil kriteria yang paling minimum. Misal, bagi penduduk yang bekerja musiman, ketika tidak mendapat pekerjaan dalam beberapa kurun waktu dianggap sebagai bukan pengangguran. Itu yang jadi persoalan, belum lagi mengenai berapa pendapatan penduduk? Karena jika hanya bekerja, sales juga bekerja meski tak tentu pendapatan, atau coba kita tanya berapa upah kuli bangunan per hari?
Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang.
Ada dua dasar utama dalam mendefisinikankan pengangguran, yaitu pendekatan angkatan kerja dan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja. Pertama: pendekatan Angkatan Kerja (Labour Force Approach), yaitu penganggur adalah angkatan kerja yang tidak bekerja. Kedua: pendekatan Pemanfaatan Tenaga Kerja (Labour Utilization Approach), yaitu Angkatan kerja dibedakan menjadi tiga kelompok: 1. Menganggur, yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. 2. Setengah Menganggur, yaitu mereka yang bekerja, tetapi belum dimanfaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam. 3. Bekerja Penuh, yaitu mereka yang bekerja penuh atau jam kerjanya dalam seminggu mencapai 35 jam (wikipedia).

Nah, dari definisi di atas itulah, seringkali pemerintah, melalui BPS, memasukkan juga poin 2 dalam kriteria bukan pengangguran. Ataupun, kejanggalan lain dalam pendataan bisa diamati secara logis semisal pada akhir 2014 perekonomian Indonesia menurun, namun angka pengangguran justru menurun, padahal penyediaan lapangan kerja sedang stagnan.
Sistem Yang Mengikuti Kebutuhan Investasi
…minat siswa lulusan SMA atau sederajat secara logis ditentukan oleh prospek program studi (prodi). Prospek prodi ditentukan oleh serapan industri. Industri ditentukan oleh investasi-modal.
Senada dengan Freire yang berpendapat bahwa pendidikan makin jauh dari realita, Ivan Illich berbicara dalam wilayah praktikal dimana sekolah telah memonopoli ketrampilan/peran sosial yang seharusnya tidak dilakukannya. Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang. Fenomena inilah yang kemudian menjadi dasar pijakan bagi Illich untuk menyatakan bahwa sekolah telah melakukan praktek-prektek pendidikan yang diskriminatif, lepas dari kepentingan sosial.

Di kampus-kampus Indonesia, secara umum, prodi dan jurusan yang paling laku ada 3 macam yaitu: manajemen, akuntansi dan teknik informatika. Data tersebut diambil secara jeneral artinya, bagi beberapa kampus yang memiliki spesifikasi.
"…memaksa murid-muridnya untuk mengasimilasi sejumlah besar pengetahuan yang tidak berguna, usang dan tidak bisa dikembangkan…"
Toh, di IPB yang paling laku salah satunya adalah teknik industri pertanian. Tentu, perkembangan minat siswa lulusan SMA atau sederajat secara logis ditentukan oleh prospek program studi (sejauh mana prodi memberi keuntungan bagi pekerjaan). Prospek ditentukan oleh serapan industri. Di situlah (dalam industri) investasi modal yang menentukan. Penjelasannya sederhana, jika tidak ada investasi besar di sektor tertentu maka di situ tak akan ada aktifitas produksi barang untuk keuntungan yang membutuhkan tenaga kerja.

Benar, kebutuhan tenaga kerja dan pekerjaannya selalu didasari pada keadaan dimanakah investasi dioperasikan. Lenin menyebutnya ‘sekolah-sekolah kuno’. Sebagai identifikasi bagi sistem pembelajaran yang lepas dari kebutuhan keadilan sosial; sebagai identifikasi bagi mereka yang ‘… memaksa murid-muridnya untuk mengasimilasi sejumlah besar pengetahuan yang tidak berguna, usang dan tidak bisa dikembangkan…

Dalam Kapitalisme, Pendidikan Yang Membebaskan Adalah Mitos

Pendidikan semacam itu (pendidikan membebaskan) tidak akan pernah didapatkan dalam dunia pendidikan formal sekarang ini. Seperti yang diungkapkan Freire bahwa, tidak ada dialektika antara pengajar, peserta didik dan realitas dunia.

Lalu, dimanakah mahasiswa bisa menyentuh realitas dunia? Nah, di sinilah realitas dunia seharusnya dapat dipelajari, dalam organisasi kerakyatan. Pelajaran yang tidak akan pernah didapatkan dalam pendidikan formal (borjuis) harus bisa didapatkan dari organisasi mahasiswa yang memiliki komitmen kerakyatan, termasuk PEMBEBASAN.

Itupun menyisakan pekerjaan rumah yang menumpuk terkait fakta tingkat kesuksesan organisasi melibatkan mahasiswa dalam perjuangan kelas. Bayangkan, jika saja tiap tahun, satu universitas me-wisuda 1000 peserta didiknya, dari 1000 peserta didik tersebut, ada berapa orang yang masuk dalam organisasi revolusioner (aktif mengorganisir revolusi)? Sangat sedikit. 

Artinya, borjuasi telah sukses meloloskan cikal-bakal borjuisnya, sedangkan, sudah berapa gelintir mahasiswa revolusioner yang sukses kita jaring dari 1000 lulusan borjuasi tersebut? Suatu saat, perhitungan statistika tersebut menarik untuk dibuat oleh kita. Makna dari perbandingan statistika tersebut berarti bahwa, masih sangat sedikit mahasiswa yang belajar di organisasi (revolusioner), yang mengenal realitas dunia, yang mampu keluar dari hegemoni (dominasi ide) kapitalisme.***

http://pembebasan.org/936.html

0 komentar:

Posting Komentar