Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 18 Desember 2014

Pengadilan Internasional Peristiwa 1965

Historia – Kam, 18 Des 2014

HISTORIA.CO.ID - Sekelompok aktivis, peneliti dan pegiat HAM berikhtiar menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Dua hakim internasional siap mengadili.
BUKTI-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah banyak terungkap. Komisi Nasional HAM pada 2012 yang lalu juga telah menyerahkan hasil penyelidikan pro justisia pelanggaran berat HAM peristiwa 1965 ke Kejaksaan Agung. Namun sampai hari ini belum ada kejelasan sikap pemerintah atas tragedi kemanusiaan itu.
Presiden Joko Widodo dalam kampanye pemilihan presiden berjanji akan “menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu termasuk 1965.” Tapi harapan menipis saat Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada peringatan Hari HAM sedunia 10 Desember lalu, menyatakan pemerintah tak akan meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu.
“Dari pertimbangan tersebut, saat diskusi film Jagal bersama Joshua Oppenheimer di Den Haag pada 22 Maret 2013, kami bersepakat akan memberikan tekanan internasional kepada pemerintah Indonesia,” ujar Nursyahbani Katjasungkana, koordinator sekretariat International People’s Tribunal 1965 (IPT 65), pada peluncuran situs www.1965tribunal.org, di gedung Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta (17/12).
Tekanan internasional itu berupa Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), yang akan dilaksanakan pada Oktober 2015 di Den Haag, Belanda, bertepatan dengan setengah abad peristiwa 1965. Untuk sampai ke sana, sekretariat IPT 65 bekerjasama dengan organisasi-organisasi penyintas, pegiat HAM, akademisi, peneliti, seniman, jurnalis, mahasiswa, dan berbagai tokoh masyarakat serta aktivis prodemokrasi nasional dan internasional.
Sekretariat IPT 65 di Indonesia dan Belanda akan mengumpulkan bukti-bukti berupa dokumen masa lalu, materi audiovisual, pernyataan para saksi atau testimoni dan alat bukti lain yang akan dipresentasikan dalam sidang.
“Segala macam testimoni terkait masalah 65 dapat dikirim pada situs IPT, dan nanti akan ada tim yang mengolah,” ujar Saskia Eleonora Wierenga, koordinator peneliti IPT 65,  yang juga penulis bukuPenghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI.
Prosedur IPT 1965 berupa sidang HAM formal, bukan sidang kriminal yang menuntut seseorang atas dakwaan melakukan perbuatan pidana. Melainkan penuntut akan mendakwa negara Indonesia agar bertanggungjawab secara moral dan hukum berdasarkan bukti-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang tersebar luas dan sistematis pasca 1965-1966. Majelis hakim akan melakukan penghakiman dengan menguji bukti-bukti dan membangun rekam sejarah yang akurat dan sahih sebagai dasar untuk memberikan putusannya. Pembacaan putusannya akan dilaksanakan pada 2016 di Jenewa, Swiss.
Menurut Nursyahbani, yang telah bersedia menjadi hakim adalah Elizabeth Odio Bonito, mantan ketua majelis hakim pengadilan internasional Yugoslavia, dan Helen Jarvis, mantan hakim pengadilan internasional Kamboja.
IPT 65 akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan sepanjang 2015 yang diharapkan dapat membantu proses pemulihan para penyintas serta keluarganya. Pengadilan Rakyat Internasional 1965 pada akhirnya akan menciptakan iklim politik di Indonesia, dimana HAM diakui dan dihormati.
(Historia - Aryono)
https://id.berita.yahoo.com/pengadilan-internasional-peristiwa-1965-184422220.html

Minggu, 14 Desember 2014

Senator AS Berharap Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM 1965





“Indonesia memiliki peran besar untuk bermain sebagai pemimpin regional dan global tetapi dalam peran tersebut harus ada demokrasi inklusif, kunci untuk ini adalah mengatasi pelanggaran HAM masa lalu. Khususnya pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1965 dan 1966,” kata Tom Udall.

Kemitraan erat antara Amerika dan Indonesia menggugah Senator Tom Udall menganjurkan cara penyelesaian peristiwa pembunuhan masal yang terjadi hampir 50 tahun lalu.

“Saya mengusulkan dua hal; Pertama saya mendesak pemerintah Indonesia yang baru untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi guna menyelesaikan masalah kejahatan ini. Kedua saya mendesak pemerintah Amerika untuk membentuk kerjasama antar lembaga dan merilis dokumen rahasia terkait peristiwa tersebut. Amerika harus menjelaskan apa yang diketahuinya dan mengungkap informasi yang ada,” kata Udall.

Senator Tom Udall mengakui peristiwa 1965-1966 di Indonesia adalah sejarah yang menyakitkan.

“Ini adalah sejarah menyakitkan mengingat pada tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal Indonesia tewas, yang menurut pakar dibunuh oleh personel militer tetapi Partai Komunis Indonesia yang dituduh menyebabkan kematian tersebut untuk membenarkan pembunuhan massal. Beberapa bulan kemudian menjadi periode mengerikan bagi masyarakat Indonesia dimana CIA telah menyebutnya periode terburuk pembunuhan massal terhadap ratusan ribu orang pada abad ke-20. Ribuan lainnya banyak yang mati di penjara, kelaparan, disiksa, diperkosa dan dihilangkan secara paksa di seluruh Indonesia,” papar Udall.

Tom Udall mengatakan orang-orang yang menjadi sasaran kekejaman itu adalah yang diduga terkait dengan PKI dari berbagai kalangan termasuk, perempuan, guru, intelektual, dan yang lainnya yang tidak bersenjata. Mereka dibunuh tanpa proses hukum. Senator Udall juga menjelaskan mengapa penyelesaian peristiwa masa lalu ini penting.

“Mereka yang selamat dan dari keturunan korban terus terpinggirkan, banyak diantara pelaku pembunuhan masih hidup bebas tanpa hukuman dan sangat sedikit warga Amerika yang menyadari sejarah ini, atau tindakan pemerintahnya selama ini. Peristiwa ini menuntut perhatian dan keteguhan kita karena Amerika dan Indonesia bekerja sama untuk membangun kemitraan yang kuat di Asia Pasifik,” lanjut Udall.

Tom Udall mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Indonesia pada era 1965-1966 penting demi demokrasi dan perdamaian yang stabil. Penyelesaian yang dianjurkannya adalah dukungan bagi kemajuan demokrasi Indonesia dan kemitraan Amerika-Indonesia.

Kamis, 11 Desember 2014

Larangan Pemutaran Film Senyap

KAMIS, 11 DESEMBER 2014 | 23:36 WIB
Sikap naif bisa muncul di mana saja, bahkan di kampus seperti Universitas Brawijaya Malang, yang baru-baru ini melarang pemutaran film Senyap-atau The Look of Silence. Hal ini amat disesalkan. Tak selayaknya perguruan tinggi menjadi tertutup terhadap karya sinematografi yang bermutu hanya karena ada yang memprotesnya.
Pemimpin Universitas Brawijaya tak mengizinkan pemutaran film Senyap di fakultas ilmu budaya dengan alasan klise: menjaga ketenangan kampus demi kegiatan belajar-mengajar. Tapi kampus ini sebenarnya sedang mematikan daya nalar mahasiswanya sembari melestarikan mitos "bahaya laten komunisme". Sebab, Senyap sebenarnya jauh dari upaya "penyebaran ajaran komunisme".
Film itu mengisahkan keluarga korban pembantaian massal, yang terjadi pada era seputar peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada 1965. Bagi sebagian kalangan, angle yang diambil Senyap mungkin dianggap sensitif. Selalu muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama, termasuk ketika Oppenheimer membuat film sebelumnya, Jagal: mengapa "pembantaian" terhadap para ulama oleh Partai Komunis Indonesia tidak pernah dipersoalkan? Padahal film garapan Joshua Oppenheimer ini hanya satu dari sekian banyak sudut pandang tentang Peristiwa 1965.
Sudut pandang dan materi dalam film Senyap, tentu saja, belum tentu seluruhnya benar. Kampus sebenarnya merupakan tempat yang paling tepat untuk mendiskusikan tragedi kemanusiaan itu dari berbagai perspektif. Mahasiswa berkesempatan saling menguji pikiran dan pendapat. Keterbukaan warga akademis akan menghidupkan toleransi di kalangan mahasiswa, sekaligus menghargai perbedaan.
Larangan pemutaran film Senyap di Universitas Brawijaya menunjukkan semakin sempitnya pemikiran di kalangan terdidik. Sebab, pada saat yang sama, kita menyaksikan tumbuhnya intoleransi di kampus lain. Aneka seminar menentang pluralisme, misalnya, digelar di sejumlah kampus-yang anehnya justru tidak pernah mendapatkan masalah dalam hal perizinan. Kecenderungan ini sangat memprihatinkan, terutama karena muncul dari perguruan tinggi.
Petinggi Universitas Brawijaya semestinya tidak perlu terlalu khawatir akan pemutaran film yang dianggap kontroversial seperti Senyap. Film ini justru bisa memantik pemikiran mahasiswa, sehingga terbuka kemungkinan kelak mereka membuat film dokumenter lain yang bisa saja senada atau, sebaliknya, bertentangan sama sekali. Pemimpin kampus juga tak seharusnya mengikuti paranoia militer tentang "ajaran terlarang komunisme".
Pemerintah sepatutnya menegaskan kembali kebebasan akademis di kampus itu. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi perlu memberikan jaminan kepada mahasiswa untuk bisa mendiskusikan apa pun yang berguna bagi kepentingan pendidikan mereka. Larangan memutar film di kampus tidak boleh terjadi lagi di masa mendatang. Tanpa sikap terbuka, kampus hanya akan menghasilkan alumnus yang naif dan alergi terhadap perbedaan. *
http://www.tempo.co/read/opiniKT/2014/12/12/8842/Larangan-Pemutaran-Film-Senyap

Rabu, 10 Desember 2014

Transkrip pidato pengantar Senator Tom Udall untuk Usulan Resolusi Mengenai Indonesia

SIARAN PERS:

Usulan Resolusi Senat Amerika Serikat Mengutuk Pembunuhan Massal 1965-1966 di Indonesia dan Mendesak Pemerintah Amerika Serikat Untuk Membuka Dokumen Rahasia Tentang Peran Amerika Serikat Dalam Pembunuhan Massal 1965-1966.

Pada 10 Desember 2014 dalam Kongres Amerika Serikat Senator Tom Udall mengajukan usulan Resolusi Mengenai Indonesia. Usulan tersebut secara khusus membahas mengenai pembunuhan massal 1965-1966 terhadap orang-orang yang dituduh sebagai komunis atau pendukungnya.

Dalam pertimbangannya resolusi ini menyebutkan pengakuan bahwa pemerintah Amerika Serikat menyediakan bantuan keuangan, militer, dan intelijen kepada Angkatan Darat Indonesia selama masa pembunuhan massal tersebut dan melakukannya dengan kesadaran bahwa pembunuhan tersebut sedang berlangsung dan tercatat dalam dokumen rahasia Departemen Luar Negeri AS.

Pertimbangan dalam resolusi ini juga menyebutkan bahwa bantuan AS kepada pemerintahan Suharto berlangsung selama lebih dari 3 dasawarsa sekalipun kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintahan Soeharto terus berlangsung.

Resolusi Mengenai Indonesia yang diajukan tersebut berisi empat butir yang berinti pada dua hal. Pertama, mendesak pemerintahan baru Indonesia untuk membentuk komisi rekonsiliasi dan kebenaran untuk menangani kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.

Kedua, resolusi ini menyerukan kepada pemerintah Amerika Serikat sendiri untuk membuka dokumen rahasia yang relevan dengan pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia. Usulan resolusi ini pada butir pertamanya mengutuk pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia.

Senator Tom Udall dalam pidato pengantarnya menyampaikan bahwa resolusi ini bukanlah sebuah penentangan terhadap pemerintahan baru di Indonesia melainkan sebuah kesempatan untuk penegakan keadilan dan rekonsiliasi.

“Sebab-sebab terjadinya pembunuhan massal tersebut memang rumit, namun demikian kerumitan membolehkan kita mengabaikan atau melupakan mereka yang menderita karenanya. Dan kita juga tidak boleh berpura-pura tidak tahu adanya peran pemerintah AS sendiri dalam masa tersebut.”

Gagasan tentang resolusi ini tercetus setelah Senator Tom Udall mengadakan pemutaran dan diskusi film Jagal/The Act of Killing di depan senator dan staf di Washington, DC pada bulan Februari 2014.

Pada kesempatan tersebut sutradara film Jagal—yang juga menyutradarai film Senyap/The Look of Silence—Joshua Oppenheimer menyampaikan, “ “Amerika Serikat dan Indonesia tidak akan memiliki hubungan yang etis selama pemerintah Amerika Serikat belum menjelaskan secara terbuka dan meminta maaf atas partisipasinya dalam pembantaian massal 1965 di Indonesia serta dalam mendukung rezim otoriter yang dibangun sesudahnya.”

Jika film Jagal bercerita tentang pembunuhan massal 1965-1966 di Sumatera Utara dari perspektif korban, film Senyap bertema sama namun cerita berangkat dari perspektif korban. Film Senyap diluncurkan pada 10 November 2014 oleh Komnas HAM RI dan Dewan Kesenian Jakarta. Dalam rangka memperingati hari HAM sedunia, film Senyap diputar luas lewat 450-an pemutaran komunitas di 56 kota di seluruh Indonesia pada 10 Desember 2014, bersamaan dengan diajukannya resolusi ini oleh Senator Tom Udall di Washington, DC, Amerika Serikat.

“Resolusi Senat ini adalah bentuk solidaritas antar manusia terlepas dari masalah ras, etnis, agama, dan kebangsaan. Persoalan yang dihadapi korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia, bukan cuma masalah korbannya, bukan cuma masalah Indonesia, tapi masalah semua manusia di dunia” demikian Adi Rukun, tokoh utama dalam film Senyap, menanggapi resolusi ini.

Teks lengkap Usulan Resolusi Mengenai Indonesia:
http://www.scribd.com/…/Sense-of-the-Senate-Resolution-Rega…
 
Video Pidato Pengantar Senator Tom Udall untuk Usulan Resolusi Mengenai Indonesia
https://www.youtube.com/watch?v=fpUOvJKSzR0
___

Transkrip pidato pengantar Senator Tom Udall untuk Usulan Resolusi Mengenai Indonesia
Indonesia Floor Statement
Senator Tom Udall
December 10, 2014

Madame President, our nation and Indonesia enjoy a strong relationship, reflected in the U.S.-Indonesia Comprehensive Partnership of 2010. This partnership is robust and growing. It serves both our countries, for bilateral, regional and global cooperation. The election of President Widodo in July is a step forward, part of a great democratic transition over the past two decades in Indonesia. We are working together—for economic growth, for the environment, and for our security.

This is progress, and to be encouraged. Indonesia has a major role to play, as a regional and global leader. But, in that role, it must be an inclusive democracy. Key to this is to address past human rights abuses, specifically the mass murders committed in 1965 to 1966.

Next year is the 50th anniversary of these killings. I rise today—International Human Rights Day—to introduce a resolution concerning these events, which Indonesia’s own Human Rights Commission has labeled a crime against humanity. But, let me be clear. This is not a censure of the people of Indonesia or Indonesia’s new government. It is an opportunity for justice and for reconciliation. The events took place decades ago. The reasons behind them are complex. But, that cannot justify ignoring the past or forgetting those who suffered under it. Nor can we ignore our own government’s role during that time.

My resolution proposes two things. First, I urge Indonesia’s new government to create a truth and reconciliation commission to address these crimes. Second, I urge our own government to establish an interagency working group and to release relevant classified documents. We should make clear what was known to us, and we should make this information available.

It is a painful history to recall. On October 1, 1965, six Indonesian Army generals were killed. According to scholars, these generals were killed by military personnel. But their deaths were blamed on Indonesia’s Communist Party, which was used to justify mass murders.

The next few months were horrific for the Indonesian people. The C.I.A. has called it one of the worst periods of mass murders in the twentieth century. Hundreds of thousands were killed. Many others were imprisoned, tortured, raped, starved, and disappeared across the country. These individuals were targeted for their alleged association with Communism, but they came from all walks of life, including women’s groups, teachers, intellectuals, and others. Most were unarmed, and none had due process of law.

The U.S. provided financial and military assistance during this time and later, according to documents released by the State Department, and General Suharto consolidated his power, ruling from 1967 until 1998.

Some may ask. Why is this resolution needed? Why now? Here’s why. The survivors, and descendants of victims, continue to be marginalized. Many of the killers continue to live with impunity. Very few Americans are aware of these historical events, or our own government’s actions during this time. These events demand our attention and resolution, as we work together to build a strong Asia Pacific region.

I am proud to serve on the Senate Foreign Relations Committee. An important goal is the development of peaceful, stable democracies—democracies that provide security and hope to their own people, and economic opportunity with businesses in my state and across the U.S.

Indonesia is the world’s third largest democracy. Its population is diverse. It has the largest Muslim majority population in the world. It has faced many challenges, and continues to move forward.

A strong U.S.-Indonesia relationship benefits both our countries. I offer this resolution in support of that relationship, and Indonesia’s continued progress as a growing democracy and a vital U.S. ally.

Berita mengenai pemutaran film Jagal/The Act of Killing untuk Senator Amerika Serikat pada bulan Februari 2014:
http://www.usnews.com/…/between-indonesia-and-the-oscars-th…

Keterangan mengenai film Senyap dapat dibaca pada www.filmsenyap.com

https://www.facebook.com/filmjagal/posts/616246641831831#

Menyuarakan Yang Bisu di Garis Massa [1]

Pada tahun 2010 aku berkesempatan mengikuti salah satu sessi workshop film dokumenter bersama Tomy W Taslim di sebuah rumah belajar tepi jalan Merden Purwanegara. Pada saat itu aku mengajukan pendapat bahwa sebuah film dokumenter sejatinya memiliki tugas kewajiban untuk dapat dan berani membunyikan yang dibungkam dan menyuarakan yang dibisukan... Beberapa tahun kemudian, saat mengetahui kabar kelahiran sebuah film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang dibuat bersama sutradara anonimus Indonesia; hati ini terperanjat. 


Hari ini aku menonton sekaligus 2 sekuel film dokumenter Joshua, The Act of Killing dan The Look of Silence; bersama belasan teman dan kolega. Gerimis Desember melembab basah di tempat-tempat rendah. Tak banyak orang yang merubung tempat kami menonton karena memang urung dipublikasikan secara konvensional dan terbuka, selain secara virtual di medsos saja. Tokh tak mengurangi kekhidmatan menyaksikan film yang kami proyeksikan ke dinding.

Ke dua film dokumenter Joshua ini, Jagal dan Senyap, jadi terasa istimewa bukan saja karena serentak diputar di lebih dari 133 tempat di berbagai kota dalam kerangka peringatan Hari HAM se Dunia. Melainkan juga karena film ini berhasil menyingkap apa yang selama lebih dari setengah abad dirahasiakan sebagai borok kebusukan oleh negara. Tetapi secara lugas justru dibuka sendiri secara terang-terangan oleh para pelaku sekaligus korbannya. 

Ke 2 film dokumenter ini memang mengangkat tema yang sama yakni pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh pendukung PKI di tahun antara 1965-1966 dan bahkan juga tahun-tahun berikutnya; meskipun jutaan orang korbannya tak mengerti ihwal kesalahan apa yang sesungguhnya terjadi di elite partainya. Barangkali memang ada kesalahan sejarah dalam tubuh atau bagian kepala partai politik bernama PKI; di masa lalu itu. Tetapi kesalahan sejarah seperti ini justru menjadi kesesatan tambahan lagi manakala terjadi pembantaian terbengis untuk menghukuminya. 

Sebelum berurutan lahir 2 film dokumenter Joshua ini, aku juga pernah menyimak film dokumenter mengenai tema yang sama dan dibuat oleh Lembaga Pembebasan yakni Kado Buat Rakyat Indonesia.