Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 23 Desember 2015

KH Mahfudh Sumolangu, Pejuang Komandan Angkatan Oemat Islam

Rabu, 23 Desember 2015 02:00




Oleh: Munawir Aziz* 

Salah satu kiai yang berjasa besar pada masa revolusi kemerdekaan, adalah Kiai Mahfudh Abdurrohman Sumolangu. Kiai ini, berada di barisan kiai militer, yang menggerakkan laskar-laskar santri di negeri ini. Kiai Mahfudh, menggerakkan pasukan Hizbullah-Sabilillah, di kawasan Kedu Selatan. Kemudian, pasukan ini disebut sebagai Angkatan Oemat Islam.

Siapakah sebenarnya Kiai Mahfudh Abdurrahman? Mengapa ia dianggap pemberontak dalam narasi sejarah militer negeri ini?

Kiai Mahfudh al-Hasani merupakan putra dari Syekh as-Sayid Abdurrahman bin Ibrahim al-Hasani. Ia merupakan keturunan dari Syeikh as-Sayid Abdul Kahfi al-Hasani, yang merupakan keturunan ke-10 dari Sayyid Abdul Qodir al-Jilani al-Hasani. Jika dirunut silsilahnya, yakni sebagai berikut: Kiai Mahfudh bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani) bin Muhammad bin Zainal Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syekh Sayyid Muhammad Ishom a-Hasani (Syekh Abdul Kahfi Awwal).

Kiai Mahfudh lahir di kompleks pesantren al-Kahfi pada 27 Rajab 1319/9 November 1901. Ia memiliki tiga saudara, yakni Syekh Sayyid Thoifur al-Hasani dan Syarifah Ghonimah al-Hasani serta 6 saudara seayah lain ibu.

Pada usai 7 tahun, Kiai Mahfudh sudah hafal al-Qur’an. Ia juga menghafal hadist Arbain Nawawi. Ketika usai 16 tahun, Mahfudh remaja mendapat izin ayahandanya untuk mondok di pesantren Tremas Pacitan, yang diasuh Kiai Dimyati. Ketika ngaji di Tremas, Kiai Mahfudh menyusun dua kitab: al-Fawaidus Sharfiyyah (kitab sharaf) dan al-Burhanul Qathi’ (fiqh madzhab Syafi’i), yang diselesaikan pada Ramadhan 1336 H (Juni 1918). Setelah ngaji di Tremas, Kiai Mahfudh kemudian meneruskan belajarnya di pesantren Jamsaren Solo, serta pesantren Darussalam
Watucongol, Muntilan, Magelang.
 
Ayahanda Kiai Mahfudh, yakni Syekh Abdurrahman bin Ibrahim merupakan kiai ‘alim yang menguasai banyak ilmu. Beliau berhaluan Ahlussunnah wal-Jama’ah, mengikuti fiqh madzhab Malikiyyah, dan penganut Tariqah as-Syadziliyyah. Akan tetapi, Syekh Abdurrahman menyarankan putranya untuk menganut fiqh madzhab Syafi’i. Karena, madzhab Syafi’i banyak dianut oleh warga muslim Indonesia, dan cocok dengan kultur orang Indonesia.



Menggerakkan Santri 


Kiai Mahfudh termasuk sosok ulama yang inovatif dan menginspirasi parasantri. Selain keilmuan agama dan tasawuf yang mendalam, Kiai Mahfudh juga menggerakkan santri di bidang pertanian dan perekonomian. Hal ini, dimaksudkan agar para santri dapat mandiri di hadapan rezim kolonial pada masa itu. Pada tahun 1940an, Kiai Mahfudh menggerakkan bermacam usaha, di antaranya pengolahan kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik rokok, perdagangan kayu jati, dan pemilik penggilingan padi. Pada waktu itu, usaha-usaha yang dirintis Kiai Mahfudh menjadikan santri-santri dan penduduk di kawasan Kebumen memperoleh manfaat positif.

Ketika menjelang kemerdekaan, Kiai Mahfudh juga bergerak untuk melawan kolonial. Beliau sering bertukar pikiran dengan Syekh Hasyim Asy’arie melalui surat menyurat. Kiai Mahfudh juga akrab dengan Kiai Wahid Hasyim, putra Syekh Hasyim Asy’arie. Dengan demikian, Kiai Mahfudh merupakan salah satu tokoh kunci yang menggerakkan santri dalam menjemput kemerdekaan. Nasionalisme Kiai Mahfudh menjadi catatan penting bagi pergerakan kaum santri, terutama di kawasan Kedu Selatan, dalam melawan penjajah, baik sebelum proklamasi kemerdekaan, maupun sesudahnya.

Kiai Mahfudh juga aktif berjuang di medan pertempuran dan memiliki strategi jitu dalam mengorganisasi pasukan. Ia membentuk laskar santri, dalam barisan Angkatan Oemat Islam. AOI terbentuk pada 27 Ramadhan 1346 H/ 4 September 1945. Pada waktu itu, tentara nasional sebagai pasukan militer Negara Indonesia belum sepenuhnya solid. Masa awal kemerdekaan, masih dalam transisi kepemimpinan, ekonomi dan konsolidasi pasukan militer. Pasukan-pasukan militer yang terdiri dari berbagai latar belakang ideologi, golongan dan etnis, masih tercerai berai. Pasukan yang dikomando Panglima Soedirman juga masih menata barisan. Hal ini, sebagaimana tercatat dalam thesis Atik Maskanatun Ni’amah (2013), “Biografi Syaikh Mahfudh al-Hasani Somalangu Kebumen (1901-1950)”.



Pemimpin Militer


Menurut Gus Dur, Angkatan Oemat Islam (AOI) muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Kebijakan ini menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya perang kemerdekaan. Namun, peleburan itu dengan misi bahwa hanya orang-orang yang mendapat pendidikan ‘Sekolah Umum Belanda’ saja yang menduduki jabatan komandan Batalyon. Pada konteks ini, Syekh Mahfudh Abdurrahman berminat menjadi komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Akan tetapi, karena alasan ijazah dan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan ruang negosiasi, maka karier Kiai Mahfudh terhalang. Akhirnya, yang menjadi Komandan Batalyon adalah pemuda bernama Ahmad Yani.

Akar sejatinya adalah kebijakan Re-Ra (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang digelorakan Kabinet Hatta pada 1948. Kebijakan ini, atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Melalui program Rera, personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan dipangkas menjadi separuh dari seluruh personil, dengan kualifikasi khusus yakni mereka yang memiliki ijazah. Mereka yang mendapat pendidikan militer di zaman Belanda dan Jepang mendapat prioritas, karena memiliki persyaratan administratif. Akan tetapi, kalangan santri tidak mendapatkan tempat dan disingkirkan dari jalur karier militer. Padahal, laskar-laskar santri berperan penting dalam perang kemerdekaan.

Syekh Mahfudh Abdurrahman risau dengan hal ini. Ia mengomando lebih dari 10.000 pasukan dan sekitar 30.000 massa tambahan yang menguatkan barisan laskar. Kiai Mahfudh ingin agar pasukannya dapat diakomodir oleh kebijakan negara, mengingat jasa penting dan kegigihan melawan penjajah pada masa kemerdekaan. Pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI) merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Mereka memang sebagian besar dari kalangan santri dan petani, yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Padahal, ketika pasukan NICA menyerbu berbagai kawasan di Jawa Tengah, pasukan AOI dengan gigih melawan penjajah. Sebagai Ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan di bawah Bupati Kebumen, Kiai Mahfudh mengerakkan pasukannya di garda depan menghadapi NICA. Pasukan AOI menjaga garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong Timur (Kuntowijoyo, 1970).

Ketika menjaga demarkasi barat Yogyakarta—ketika menjadi Ibu Kota RI—Kiai Mahfudh sempat was-was karena demarkasi timur, di kawasan Madiun terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin. Tentu saja, peristiwa Madiun pada 1948 menguras energi laskar, tentara dan rakyat. Kiai Mahfudh merasa bahwa NICA akan memanfaatkan situasi ini dengan menjebol demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu Yogyakarta, agar RI jatuh ke tangan Belanda. Pada 18 Desember 1948, tentara NICA menggelar kampanye militer Doortot naar Djokdja. 


Kampanye militer ini berhasil menawan Soekarno-Hatta, sebagai pemimpin Republik Indonesia. Operasi militer NICA ini, membuat pasukan TNI dan laskar-laskar tercerai berai. Kemudian, setelah peristiwa ini, terjadi penandatanganan kesepakatan di Istana Rijswik, pada 27 Desember 1949. Kesepakatan ini, merupakan lanjutan dari Konferensi Meja Bundar, dengan rumusan pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didukung APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasional. Tentu saja, kesepakatan ini membawa masalah tersendiri bagi pasukan-pasukan militer yang telah terkoordinasi pada era sebelumnya.

Pasukan AOI mendapat tawaran dari APRIS untuk bergabung. Kiai Mahfudh menolak bergabung, karena melihat bahwa kebijakan Rera merugikan laskar-laskar dan terutama AOI. Setidaknya, ada empat ancaman pasca kebijakan Rera: (1) ancaman eksistensi organisasi, (2) ancaman kehilangan posisi sosial ekonomi, (3) ancaman kehilangan posisi politis (4) ancaman kehilangan posisi budaya. Kiai Mahfudh sebenarnya sudah tidak memikirkan tentang karier militer atau posisinya sebagai komandan laskar. Akan tetapi, nasib puluhan ribu pasukan dan simpatisan laskar Hizbullah-Sabilillah, dan Pasukan AOI di kawasan Kedu Selatan menjadi keprihatinan Kiai Mahfudh. AOI pada masa itu, memiliki pengaruh besar di Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen dan Purworejo. Bahkan, kharisma Kiai Mahfudh melebihi otoritas pejabat Bupati Kebumen pada masa itu, RM Istikno Sosrobusono (Widiyanta, 1999).

Meski pasukan AOI sudah bergabung dengan Batalyon Lemah Lanang, akan tetapi masalah tidak berhenti. Para pasukan AOI yang memiliki prinsip keagamaan kuat, berbeda tradisi dengan pasukan didikan Militarie Academie Hindia Belanda, yang menjadi pasukan APRIS. Akibatnya, terjadi perkelahian antar pasukan, hingga satu pasukan AOI meninggal. Kolonel Sarbini di Magelang, menganggap peristiwa ini sebagai percikan pemberontakan.

Menurut keterangan Kiai Afifuddin (kerabat Kiai Mahfudh), hingga menjelang 1 Agustus 1950, Kiai Mahfudh sama sekali tidak menyiapkan konsep-konsep untuk mendirikan negara tersendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Kiai Mahfudh hanya ingin memperluas kawasan kepoetihan, semacam kawasan kaum muslim untuk memperluas interaksi komunitas. Akan tetapi, pembicaraan tentang ide Kiai Mahfudh ini juga tidak ada tindak lanjutnya. Pertemuan para pimpinan Batalyon 423 dan 426 (berasal dari laskar Hizbullah-Sabilillah), hanya ditujukan sebagai pertemuan untuk membahas kebijakan Rera dari pemerintah. Maka, dapat dibayangkan, betapa Kiai Mahfudh sangat kaget ketika pesantren Sumolangu diserbu oleh pasukan TNI, pada pagi hari 1 Agustus 1950. Bangunan pesantren dan rumah-rumah penduduk di kawasan Sumolangu, Candiwulan dan Candimulyo serta kawasan sekitarnya menjadi rusak. Masjid kuno yang berusia lebih 400 tahun juga mengalami kerusakan parah. Arsip-arsip dibakar. Sekitar 1000 orang tewas pada hari itu.

Kejadian ini, membawa luka mendalam bagi pengikut-pengikut Kiai Mahfudh yang berhasil meloloskan diri. Mereka kemudian membangkitkan perlawanan dengan pasukan Batalyon Lemah Lanang, yang kemudian bergabung dengan sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merabu Merapi Complex) di kawasan Gunung Slamet. Inilah yang kemudian menjadi stigma Kiai Mahfudh dan pengikutnya semakin memburuk di hadapan pemerintah. Buku-buku sejarah yang ditulis setelah peristiwa ini, dalam sudut pandang militer, memandang Kiai Mahfudh dan pasukannya sebagai pemberontak. Padahal, yang sebenarnya terjadi, adalah intrik politik dan kepentingan para elite militer dalam misi Rera, yang ingin menyingkirkan kaum santri dalam peta militer negeri ini.

Kiprah Angkatan Oemat Islam (AOI) sebagai laskar pejuang untuk menegakkan NKRI di kawasan Kedu Selatan perlu ditulis ulang dengan sudut pandang sejarah yang sebenarnya. AOI selama ini dianggap sebagai pemberontak dan memiliki jaringan dengan orang-orang komunis. Tentu saja, hal ini merupakan pandangan yang salah, mengingat kiprah AOI di bawah komando Kiai Mahfudh Abdurrahman sangat gigih membela NKRI. 
________

Referensi:
AN Ni’amah, Biografi Syaikh Mahfudh Al-Hasani Somalangu Kebumen (1901 M-1950 M) [1], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

A Zuhriyah, Angkatan Oemat Islam (Aoi): Studi Historis Gerakan Radikal Di Kebumen 1945-1950 [2], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

D Widiyanta, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: studi tentang Gerakan Sosial di Kebumen, Jakarta: FIB-Universitas Indonesia, 1999.

Kuntowijoyo, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: Beberapa Tjatatan Tentang Pergerakan Sosial, Yogyakarta: UGM, 1970.



*Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, Periset Islam Nusantara :::: Twitter: @Moenawiraziz


Sumber: NU.Or.Id 

Selasa, 22 Desember 2015

Hari Ibu dan Tugas Perjuangan Perempuan Kini

Hari ini, 22 Desember, merupakan hari bersejarah bagi perempuan Indonesia yang diperingati sebagai Hari Ibu. Hari di mana perempuan menyatukan dirinya dalam sebuah platform perjuangan bersama untuk memperjuangkan kaumnya di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada masa pra kemerdekaan.
Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa 22 Desember diperingati sebagai Hari Perempuan Indonesia. Namun tak banyak yang begitu mengetahui apa dan bagaimana peran perjuangan perempuan pada masa itu dan bagaimana memaknainya dalam konteks kekinian.
Awal Kebangkitan dan Perjuangan Kaum Perempuan
Tahun 1890-1930 merupakan tahun-tahun kebangkitan nasionalisme di Indonesia. Di tahun inilah Rasuna Said, Kartini, Tirto Adhi Suryo, Tan Malaka, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Siti Wardiah (istri KH Ahmad Dahlan), Sri Wulandani Mangunsarkoro, Rohana Kudus, Nyi Ageng Serang, Cut Mutia, Ki Hajar Dewantara, memulai gerakan perlawanan menentang pemerintahan Belanda.
Organisasi-organisasi pun mulai bermunculan seperti Budi Utomo (1908), dan Serikat Islam pada 1912 (sebelumnya bernama Serikat Dagang Indonesia). Pada waktu itu juga berkembang organisasi kedaerahan seperti Jong Java (sebelumnya bernama Tri Koro Darmo pada 1915, kemudian berubah menjadi Jong Java di 1918), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), Jong Celebes (1919).
Selain itu, organisasi perempuan mulai bermunculan di antaranya Putri Mardika atas bentukan Budi Utomo (1912), yang kemudian mempelopori berdirinya organisasi perempuan lainnya seperti Sekola Kautamaan Istri (didirikan oleh Dewi Sartika di Tasikmalaya pada 1913), Keradjinan Amal Setia (didirikan oleh Rohana Kudus di Bukittinggi pada 1914) Wanito Hadi (Jepara, 1915), Pawijatan Wanito (Magelang, 1915), Poerborini (Tegal, 1917), Pertjintaan Ibu Kepada Anak Temoroen/PIKAT (didirikan oleh Maria Walanda Maramis di Minahasa pada 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Gorontalische Mohamedaanshe Vrouwenbeweging (Gorontalo, 1920), Wanodjo Oetomo (Jogjakarta, 1920), Sarekat Kaoem Ibu Soematera (Bukittinggi, 1920), Kemadjoean Istri (Jakarta dan Bogor, 1926), Mardi Kamoeliaan (Madiun, 1927), Ina Toeni (Ambon, 1927) Wanito Mulyo (Poetri Indonesia, Jogjakarta, 1927, cabang dari Jong Java yang diketuai oleh Soejatin), Poeteri Setia (Manado, 1928), Wanita Sahati (Jakarta, 1928).
Periode awal kemunculan organisasi-organisasi perempuan ini lebih mengutamakan isu “emansipasi” yang merupakan isu yang berkembang di dunia pada abad ke 17-18. Beberapa isu utama yang diangkat oleh organisasi perempuan pada masa ini adalah kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, menyatakan pendapat di muka umum, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, memperoleh pengetahuan dan keahlian lainnya di luar rumah dan lingkungan adat.
Organisasi perempuan yang terbentuk mengalami perkembangan pesat. Anggota organisasi-organisasi tersebut bertambah banyak dan organisasi keagamaan semisal Muhammadyah pun turut ambil bagian dengan membentuk Aisyiyah yang diketuai oleh Siti Wardiah yang juga istri KH Ahmad Dahlan.
Sementara di sisi lain, mereka selalu bertindak hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan karena pemerintahan Belanda pada waktu itu juga semakin represif dalam menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang menjamur, termasuk juga kepada organisasi perempuan.
Penyatuan Gerakan: Kongres Perempuan Indonesia I
Organisasi-organisasi perempuan ini menyadari, banyak sekali hambatan dalam perjuangan perempuan. Namun di sisi lain, semangat nasionalisme untuk mengangkat derajat perempuan dari kebodohan secara adat dan intelektual inilah yang kemudian membawa mereka pada pertemuan di Jogjakarta pada 1928 untuk melakukan Kongres Perempuan, menyatukan visi dan misi secara ekonomi dan politik.
Setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, yang juga dihadiri oleh tokoh perempuan yaitu Nyi Hajar Dewantoro, Soejatin, Sitti Sundari, Sri Wulandani Mangunsarkoro, dan Johanna Masdani Tumbuan (Pembaca naskah Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928). Sebelumnya, beberapa organisasi perempuan mulai mengkoordinasikan diri untuk menggagas Kongres Perempuan se-Indonesia.
Dengan tujuan menyatukan cita-cita memajukan perempuan Indonesia, maka pada 22 Agustus 1928 di Jogjakarta, berbagai wakil dari organisasi perempuan ini pertama kali mengadakan pertemuan. Pertemuan ini menyusun konsep penyatuan berbagai organisasi perempuan kedaerahan dalam sebuah payung organisasi.
Pada saat itu, disepakati lahir organisasi payung yang diberi nama Perserikatan Perempuan Indonesia atau disingkat PPI. Ny. Sukanto dipilih menjadi ketua PPI dan merekomendasikan akan melaksanakan Kongres Perempuan se-Indonesia pada 22 Desember 1928 di Jakarta dengan menunjuk Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, dan Sitti Sundari sebagai panitia kongres.
Kongres Perempuan Pertama Indonesia kemudian terlaksana pada 22-25 Desember 1928 bertempat di Djoyodipuran, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri utusan 30 organisasi perempuan, 21 utusan dari organisasi laki-laki (di antaranya Budi Oetomo dan PNI), wakil dari pemerintah dan pers.
Kongres Perempuan Indonesia I menghasilkan poin-poin isu perjuangan perempuan Indonesia, yaitu pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, hak perempuan dalam rumah tangga, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak di bawah umur, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial.
Dalam kongres ini pula, PPI berubah nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia atau disingkat PPPI. Kongres Perempuan Indonesia I inilah yang merupakan tonggak sejarah lahirnya Hari Ibu di Indonesia. Pada 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa 22 Desember diperingati secara nasional sebagai Hari Ibu.
Rentetan sejarah ini kemudian menjadi bibit kemunculan organisasi perempuan yang lebih progresif dengan mengangkat program yang lebih radikal. Di antaranya Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang didirikan pada Juni 1950, dan pada Kongres II (1954) Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mengenai sejarah Gerwani akan dibahas pada waktu yang lain.
Hari Ibu dan Masa Kini
Jika kita melihat sejarah Hari Ibu, kita dapat menggariskan bahwa perjuangan perempuan pada masa kolonial untuk maju mengambil peran secara ekonomi dan politik. Kaum perempuan pada masa itu mempunyai kesadararan perjuangan dan mengorganisir diri ke dalam wadah-wadah organisasi perempuan.
Mereka melihat bahwa untuk berjuang mengangkat derajat dan hak perempuan, tidak cukup hanya dengan berjuang sendiri-sendiri seperti para pendahulu mereka. Di sinilah poin pentingnya. Walaupun di awal, perkembangan landasan organisasi perempuan masih mengangkat isu sederhana dan domestik dan belum memiliki ideologi yang jelas pada saat itu, adanya gerakan yang secara riil diwujudkan perempuan untuk terlibat aktif dalam memberantas ketimpangan sosial yang tumbuh dalam feodalisme.
Sayangnya, jauh setelah Kongres Perempuan Indonesia I, terutama di masa Orde Baru hingga sekarang, peringatan Hari Ibu mengalami pergeseran makna dalam sejarahnya. Peringatan Hari Ibu dilakukan hanya sebagai bentuk kasih sayang kepada ibu secara lahiriah.
Bahwa memang benar ibu adalah juga perempuan. Akan tetapi, ibu yang dimaknai di sini hanyalah sosok ibu secara domestikal bahkan dianggap sebagai kodrat yang berperan penting dalam keluarga, membangun rumah tangga yang harmonis, menyediakan makanan untuk keluarga, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.
Poin-poin penting terlupakan dan isu-isu perempuan terabaikan. Banyak generasi penerus tidak memahami makna Hari Ibu itu sendiri. Alhasil, peringatan Hari Ibu lebih bersifat seremonial budaya tanpa muatan semangat perjuangan kaum perempuan itu sendiri.
Hingga yang perlu dimunculkan sekarang adalah mengembalikan nilai-nilai perjuangan perempuan. Nilai-nilai itu tidak hanya sebatas peran perempuan dalam wilayah budaya secara umum dan domestik secara khusus (feodalisme). Akan tetapi keterlibatan aktif perempuan dalam ekonomi dan politik yang sudah dimulai pada Kongres Perempuan Indonesia I.
Kita bisa melihat betapa perempuan menjadi objek peruntuhan dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak atas apa pun, bahkan tubuhnya sendiri. Perempuan hanya menjadi objek seksualitas, tidak ada perlindungan, dan rasa aman untk dirinya. Beban domestik dan sosial, pemerkosaan, meningkatnya angka kematian ibu melahirkan hingga upah murah bagi buruh perempuan adalah model kekerasan yang dialami perempuan secara fisik dan psikis.
Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan, melanjutkan cita-cita perempuan Indonesia yang bebas dari kungkungan ekonomi, politik, sosial, budaya. Perjuangan perempuan adalah kesetaraan perempuan, yang berarti membebaskan perempuan dari budaya patriarki, melawan kapitalisme yang berarti mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara dan membebaskan perempuan dari penjajahan ekonomi, sosial dan politik.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2015
Engkau yang ajarkan kami cara kembangkan kehidupan dengan bertani. Kini, kami tak bisa terima dengan masa depan anak-anakmu yang terus dipaksa jadi TKI. Ibu, kami masih memegang teguh cita-citamu untuk hilangkan ketidakadilan di atas tanah kehidupan. Karena engkau telah ajarkan pemilik hari esok tentang tanggung jawab perjuangan.
http://geotimes.co.id/hari-ibu-dan-tugas-perjuangan-perempuan-kini/

Senin, 21 Desember 2015

Ben Anderson, G30S, dan Utusan Soeharto Bernama Ali Moertopo

SENIN, 21 DESEMBER 2015 | 16:24 WIB


Profesor Benedict Anderson dari University of Cornell saat memberikan kuliah Umum di FIB UI, Jakarta, 10 Desember 2015. TEMPO/Frannoto
TEMPO.COJakarta - Wafatnya Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson meninggalkan kenangan bersejarah. Di antaranya tentang hubungan  Ben Anderson dengan  salah satu orang penting dalam pemerintahan Orde Baru Soeharto. Dia adalah Ali Moertopo, yang meninggal pada 15 Mei 1984 pada usia 59 tahun. Sebagai orang kepercayaan Soeharto, Ali Moertopo terlibat dalam Operasi Khusus yang bekerja untuk kepentingan menjaga pemerintahan Soeharto. Ali Moertopo juga pernah menjadi menteri penerangan.

Hubungan antara Ben Anderson ini diungkapkan oleh sahabatnya, Amrih Widodo yang kini dosen antropologi budaya di Australian National University. Amrih bertemu pertama kali dengan Ben pada tahun 1981 di suatu pesta yang diadakan John Wolff, dosen di Cornell University.  John mempekerjakan Amrih sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di Cornell University sejak musim gugur 1981.  Di kampus ini juga Amrih meraih gelar master. “Pak Ben pernah menceritakan lebih dari sekali, yaitu kedatangan Ali Moertopo dan orang-orangnya,” kata Amrih kepada Tempo, Jumat 18 Desember 2015 lalu.

Ali Moertopo, kata Amrih, menemui Ben Anderson di Amerika Serikat untuk menyerahkan dokumen-dokumen peristiwa 1965-1966. Dengan menyerahkan dokumen itu, Ali Moertopo berharap akan membuat Ben Anderson berubah pikiran.  Dokumen yang diserahkan Ali Moertopo di antaranya adalah visum dokter terhadap jenderal yang menjadi korban Peristiwa 1965. Ketika itu, Ben membuat kajian tentang Peristiwa 1965 dan hasilnya menunjukkan bahwa tragedi itu merupakan lebih semata-mata akibat konflik internal di dalam tubuh Angkatan Darat.

Menurut Amrih, yang terjadi justru sebaliknya.  Dokumen tersebut malah diterjemahkan oleh Ben Anderson, lalu diterbitkan dalam The Cornell Modern Indonesia Project. Dokumen itu justru menunjukkan tidak adanya penyiksaan seperti yang disebutkan oleh sejumlah media massa yang dekat dengan Angkatan Darat pro-Soeharto.

Tentara Nasional Angkatan Darat  menjadikan penyiksaan jenderal sebagai alasan untuk membasmi PKI hinga ke akar-akarnya, sehingga terjadi pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali. “Pertemuan dengan Ali Moertopo dan penelusuran dokumen-dokumen itu malah makin memperkuat keyakinan tentang kebenaran Cornell Paper,” kata Amrih.

Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson adalah profesor dari Universitas Cornell, Amerika Serikat yang ikut mewarnai pemikiran dunia tentang Indonesia. Ben Anderson wafat di Batu, Jawa Timur, Minggu dinihari, 13 Desember 2015. Ben dikenal karena kritik-kritiknya terhadap Orde Baru. Ia pernah dilarang masuk ke Indonesia oleh Soeharto dan baru datang lagi ke sini setelah rezim Soeharto jatuh.

Ben, 79 tahun, datang ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema anarkisme dan nasionalisme di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis, 10 Desember 2015. Kegiatan ini diselenggarakan penerbit Marjin Kiri, Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan majalah Loka. Karyanya yang mengusik Orde Baru adalah "The Cornell Paper" yang ditulis bersama Ruth McVey yang juga sama-sama dari Cornell. Tulisan yang diterbitkan pada 1 Januari 1966 itu berisi analisis tentang peristiwa G30S. Ia menyimpulkan G30S adalah persoalan internal angkatan darat dan Partai Komunis Indonesia tidak terlibat langsung.

Seumur hidupnya, Ben Anderson telah menulis lebih dari 400 publikasi yang telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Bukunya juga banyak membahas mengenai perkembangan politik di Indonesia. Sebut sajaSome Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation: 1944-1945; Mythology and the Tolerance of the Javanese; dan Violence and the State in Suharto's Indonesia.

Majalah Tempo terbitan Senin 21 Desember 2015 ini mengulas Ben Anderson  dan pentingnya bagi Indonesia.

SUNUDYANTORO

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/21/078729569/ben-anderson-g30s-dan-utusan-soeharto-bernama-ali-moertopo

Sabtu, 19 Desember 2015

Mahasiswa Tuntut Pemerintah Segera Nasionalisasi Freeport

19 Desember 2015 | 1:54


Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) menggelar aksi massa di depan kantor PT Freeport Indonesia, di Kuningan, Jakarta, Jumat (18/12/2015).

Dalam aksi tersebut, massa Suropati menuntut agar pemerintahan Jokowi-JK segera menasionalisasi aset kekayaan bangsa yang selama ini dikuasai oleh Freeport.

“Segera nasionalisasi aset bangsa yang dikuasai Freeport dan harus dikelola oleh bangsa sendiri,” ujar koordinator aksi, Aditya Iskandar, dalam orasinya di aksi tersebut.

Aditya menjelaskan, jalan nasionalisasi merupakan harga mati untuk menyajahterakan rakyat Indonesia. Sebab, sudah hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam di bumi Papua, yang makmur hanya bos Freeport di Amerika Serikat.

“Tambang emas, tembaga dan perak di bumi Papua dirampok habis selama 48 tahun oleh PT Freeport. Mereka merampok habis untuk membangun gaya hidup mewah kota New York dan kota besar lain di Amerika,” katanya.
Ironisnya, kata Aditya, Papua yang menjadi tempat keberadaan tambang emas dan tembaga itu justru merupakan provinsi termiskin dan paling terbelakang di Indonesia.

“Kita dibodohi oleh bangsa Amerima lewat kontrak karya untuk merampok tambang emas kita, hanya demi kemakmuran kota-kota di Amerika. Di sisi lain, kita saksikan Papua, dimana lokasi tambang itu berada masih miskin dan tertinggal,” tegasnya.

Dalam aksi tersebut, selain menenteng poster dan spanduk, mereka juga membakar bendera Amerika Serikat sebagai bentuk protes.

Aliansi Suropati ini merupakan gabungan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mpu Tantular, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Pusat dan Utara, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), BEM Perbanas dan Jaringan Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Sulaiman Djaya

http://www.berdikarionline.com/mahasiswa-tuntut-pemerintah-segera-nasionalisasi-freeport/

Kamis, 17 Desember 2015

Papua dalam Dua Nasionalisasi


1930-an. BOVEN Digoel, Papua, tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang: ‘orang buangan’. Pemerintah kolonialisme Belanda yang gerah pada sejumlah aktivis politik dan aktivitas politik mereka yang dianggap berbahaya saat itu, akhirnya ‘merumahkan’ paksa para tokoh pergerakan nasional dari Batavia ini. Boven Digoel, belantara penuh wabah malaria itu, kini punya penghuni baru—selain binatang buas dan legenda yang menyelimutinya. Tapi hal ini tidak berlangsung lama: desakan dari berbagai pihak terhadap pemerintah Belanda akhirnya membuahkan hasil. Kebebasan. Tapi kebebasan (dan pembebasan), sebagaimana kita tahu, mesti bersyarat—meski tak langsung: frekuensi dari aktivitas pergerakan ‘nasional’ dibatasi.

1945. Jumat pagi itu. Orang-orang berkumpul di Pegangsaan Timur. Di antara mereka terdapat orang-orang yang pernah di-“Digoel”-kan, antara lain, Hatta. Bersama Soekarno, namanya tercantum dalam teks proklamasi: tanda bagi kelahiran sebuah Negara. Tapi, barangkali, angin tak berembus ke Timur saat itu. Papua tak mendengarnya; Boven Digoel masih berselimut legenda. Dan mungkin bukan hanya Papua yang tak mendengar kabar ini. Singkatnya, Papua belum masuk dalam daftar ‘Indonesia’. Papua belum jadi bagian dari ‘nasionalisasi’—sederas apapun angin berembus ke Timur, saat itu.

1963. Presiden Soekarno memberi komando agar Papua (ketika itu masih bernama Irian Barat) direbut, dan ‘dinasionalisasi’ dari tangan Belanda. Tanpa perlawanan berarti, Belanda setuju, dengan syarat masyarakat Papua boleh menentukan: berintegrasi dengan Republik atau berdaulat penuh atas tanah dan ‘dirinya’ sendiri. 1 Mei 1963, hari itu, bendera Belanda diturunkan. Merah-Putih, bendera Indonesia, berkibar—tepat di samping bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—meski Papua belum sah jadi ‘anak’ Republik.

Tapi ini: 1969. Status Papua masih simpang-siur. Soeharto kemudian memegang tampuk kekuasaan tertinggi sebagai Presiden. Kebijakan pertama yang ia buat, yaitu membuka kran investasi asing di Indonesia yang lama macet di masa pemerintahan Bung Karno dulu. Para ekonom dikirim, antara lain Emil Salim. Beberapa literatur menyebut mereka—Emil Salim, dkk ini, sebagai kelompok “Mafia Berkeley”. Dan dalam upaya kampanye ekonomi tentang terbukanya Indonesia pada investor asing, Rockefeller mengambil tempat. Pondasi ekonomi, terutama lewat sektor pertambangan, digalakkan. Tiang-tiang bagi bangunan industri dipancangkan. Dari sekian banyak nama, tersebutlah Freeport.

Freeport, raksasa baru di bidang pertambangan itu, kemudian seakan-akan menjadi mata uang Indonesia ‘yang lain’—untuk tidak mengatakan ‘yang baru’. Ada harapan di sana—berikut penyesalan. Tapi tak ada penyelesaian. Mungkin karena memang tak ada yang benar-benar selesai dari sebuah institusi atau lembaga yang bernama Negara, termasuk juga Republik yang baru berdiri bernama Indonesia, Papua tak pernah lepas dari sengketa.

Tapi sengketa adalah ironi yang mendewasakan perjalanan sebuah negeri. Papua sudah merasakannya. Kekayaan alam pulau paling Timur itu habis dikeruk tiap tahunnya. Truk-truk besar pengangkut hasil tambang berseliweran membawa emas dan hasil bumi lainnya. Sementara uang dari penjualan hasil tambang tersebut hampir tak jelas juntrungannya. Papua tetap miskin—meski pemerataan kemakmuran tengah diupayakan di sana. Antara lain lewat pendidikan bagi anak-anak Papua—selain mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi lewat pembangunan, misalnya.

Lalu kita tahu: pendidikan akan membuka mata dan hati siapa saja. Maka, anak-anak muda Papua ini, yang kemudian bersekolah ke luar Provinsi—terutama ke pulau Jawa—akhirnya sadar: mereka, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, ‘dimiskinkan’. Slogan “Nasionalisme”, “Tanah Kita Satu”, dll itu, tampak seperti omong kosong belaka. Mereka kemudian bersekutu—juga mempelajari aktivitas pergerakan (politik) leluhurnya, hingga akhirnya bersua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Tapi, sekali lagi, ini Indonesia: menuntut pemerataan pembangunan dan pendapatan, sekalipun untuk kemakmuran bersama—jika ia menggunakan sebuah terminologi dan bertudung organisasi pergerakan—seringkali dianggap sebagai upaya makar atau kudeta. Nama-nama seperti Kartosuwiryo, Daud Beureueh, Kahar Muzakar, dll, memenuhi tiap sudut sejarah gelap Republik ini sebagai tokoh-tokoh gerakan separatis.

“Pemilik rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah isi rumahnya,” kata Tan Malaka suatu ketika. Tapi ini Papua—masih bagian dari Indonesia. Terminologi Tan mungkin terlalu berat dan sulit untuk diletakkan pada pokok permasalahan ini. Tapi ini memang Indonesia: pemerataan adalah permasalahan klasik yang belum terang solusinya. Sehingga sulit untuk membedakan mana saudara dan mana penjarah.

Akhirnya, nasionalisasi itu tak berjalan sesuai tujuan mulanya, baik bagi Papua sebagai sebuah wilayah NKRI, juga kepada manusia yang hidup di sana. Bendera OPM terus berkibar di pedalaman hutan Papua. Terbaru, aksi dari anak-anak muda Papua pada 1 Desember yang lalu, di Jakarta. Di bawah nama Aliansi Mahasiswa Papua, mereka menggelar aksi yang kemudian dibubarkan dengan kekerasan oleh aparat kepolisian. Puluhan orang ditangkap, lainnya terluka. Termasuk orang-orang Papua yang tidak ikut aksi—mendukung pemisahan diri Papua atau tidak, juga segelintir orang Indonesia lain yang memang terus mendesak pemerintah mengambil langkah strategis dan tegas agar Papua tak lagi ‘berontak’—dengan atau tanpa memisahkan diri dari Republik ini.

Tapi begitulah Papua, juga Aceh, dan daerah rawan konflik lainnya. Isu pemerataan pembangunan memang selalu relevan untuk menyeret masyarakatnya ke dalam pusaran konflik dan pertentangan. Meski pembangunan Bandar Udara, Pelabuhan, dan hal-hal lain untuk percepatan pembangunan dan pemeretaan ekonomi, terus digesa. Tapi hal itu memang masih jauh dari yang diharapkan: Papua, dan daerah lain—apalagi wilayah terluar NKRI—masih didekap kemiskinan, atau mungkin: masih ‘dimiskinkan’.

Satu hal yang pasti dan tersisa bagi kita adalah anak-anak Papua sudah banyak yang bersekolah—selain kebutuhan pokok yang terus dipasok, dan usaha-usaha penguatan atas terintegrasinya Papua ke Indonesia sejak 1969 itu juga terus disorakkan pemerintah. Mereka akan terus melawan—meski hanya hutan yang jadi saksi dari perlawanan ini. Papua, akhirnya, memang harus dan selalu dinasionalisasi: wilayah dan juga manusianya.***

Penulis adalah Mahasiswa dan anggota Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) di Fakultas Ekonomi, Universitas Riau, Pekanbaru.

Senin, 14 Desember 2015

Kontradiksi Geng-geng Mafia Orde Baru

DALAM minggu-minggu ini, perhatian kita tersedot oleh sidang-sidang di MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), sebuah Dewan Etik yang menilai kepatutan berperilaku bagi para anggota DPR. Kali ini yang teradu adalah ketua DPR Setya Novanto, dan yang mengadu adalah menteri ESDM Sudirman Said. Menjadi heboh, karena ini melibatkan dua nama tokoh utama ‘mafia’ yang sudah dikenal luas sebagai pengusaha hitam dan menguasai panggung politik dari balik layar. 

Setya Novanto selama ini adalah pengusaha hitam di Partai Golkar yang kini menduduki jabatan Ketua DPR-RI. Sementara Mohammad Reza Chalid adalah pengusaha hitam yang terkenal karena tidak bisa tersentuh hukum, dan cukong di belakang layar dari Presiden-presiden Indonesia selama ini karena kerajaan Petral-nya.

Drama sesungguhnya dari rekaman berdurasi 127 menit yang diputar di layar teve dan dilihat oleh seantero rakyat Indonesia, memperlihatkan busuk dan bejatnya ekonomi politik Indonesia hingga dewasa ini. Seluruh persengkokolan yang terjadi di tingkatan elit dan aktor-aktor Negara, seakan-akan nyaris merupakan kerjaan dari seorang tokoh mafia yang selama ini namanya hanya dikenal dalam bisik-bisik di keremangan, Mr. R. Rekaman tersebut telah menggambarkan secuplik ‘permufakatan jahat’ (istilah dari Kejaksaan Agung) yang terjadi selama ini, sejak masa Orde Baru hingga kini. Ini juga sebenarnya menggambarkan contoh yang jelas dari beroperasinya rezim kapitalis Birokrat di Indonesia sejak era Orde Baru yang terus menggurita. Dan kasus ini juga menggambarkan terjadinya kontradiksi yang tidak terdamaikan antara faksi-faksi borjuasi di Indonesia, yaitu antara borjuis birokrat/rente (diwakili Setya Novanto dan Moh. Reza Chalid) dengan faksi borjuis komprador (Ma’roef Syamsudin dan Sudirman Said), dan di tengah-tengahnya adalah borjuis nasional (diwakili Jokowi). Biasanya, borjuis birokrat dan borjuis komprador serta borjuis nasional tumpang tindih atau kadang bertukar peran, karena sejatinya kelas borjuasi Indonesia adalah borjuis lumpen. Dulu semua bersatu di bawah komando satu diktator besar, Jend. Suharto. Sekarang, mereka saling berpisah dan menyebar mendirikan kerajaannya masing-masing, yang menyebabkan terbentuknya faksi-faksi borjuasi yang lebih jelas.

Kasus #papamintasaham dari Setya Novanto ini telah memperlihatkan kontradiksi yang tidak dapat disembunyikan lagi dari tiga faksi atau kelompok besar kelas borjuasi tersebut. Cara produksi sisa-sisa feodal dalam ekonomi politik Indonesia menyebabkan transisi demokrasi borjuis di Indonesia sekarang semakin mengerucut kepada kontradiksi tiga kelas tersebut. Dan ini adalah situasi objektif yang harus terjadi, ketika Indonesia memilih jalur pembangunan kapitalisme dan integrasinya ke dalam kapitalisme global dewasa ini. Kapitalisme di Indonesia sudah merajalela sejak lama, bahkan versi radikalnya yaitu rezim neoliberal telah mencengkeram rezim penguasa ekonomi politiknya. Indonesia sepenuhnya ada dalam genggaman kapitalisme global, tetapi kapitalismenya sendiri adalah kapitalisme primitif, yang masih kuat sisa-sisa feodalnya. Ini seperti jerat sejarah yang mengikat kaki dan fondasi kaum borjuasinya, yaitu mereka masihlah seorang borjuasi primitif atau borjuasi yang mengandalkan usahanya pada kekuasaan politik dalam mengakumulasi modalnya, baik lewat korupsi, kolusi, nepotisme ataupun senjata dan kekerasan (premanisme). Kalau istilah ekonom Latin Andre Gunder Frank (istilah yang saya sukai), adalah borjuasi lumpen (borjuasi brandalan). Ini adalah borjuasi yang setengah kakinya masih di alam feodalisme (tuan-tuan tanah hacienda) dan setengah kakinya yang lain di industri/bisnis kapitalisme. Ini sama dengan borjuasi rente di Indonesia, yang hampir sebagian besar kakinya masih berkubang di usaha sektor ekstraktif (pertambangan batubara, migas, bauksit dan lainnya) atau perkebunan (sawit, karet dan lainnya) karena mereka adalah pengusaha sekaligus penguasa (istilah populernya adalah penguasaha).

Dan rezim borjuasi rente semacam ini tidak langgeng hidupnya, tergantung lamanya dia berkuasa. Kalau jaman Orde Baru, mereka mampu berkuasa lama sekali. Tetapi setelah era reformasi, kebanyakan dari mereka selalu berganti-ganti tergantung siapa yang berkuasa. Karena itu, mereka menjadi sangat rakus dan ingin cepat-cepat kaya. Ini berbeda dengan borjuasi oligarki lama yang sudah mapan, yang mampu melakukan regenerasi dan reproduksi atas konglomerasi dan kerajaan bisnis mereka yang semakin terdiferensiasi. Kaum borjuasi birokrat yang baru, yang merupakan pecahan-pecahan dari kongsi oligarki Orde Baru dan kaki-tangan mereka, harus berburu dengan waktu karena rezim kekuasaan politik biasanya berumur pendek. Konsolidasi mereka baru mulai ada di masa rezim SBY yang relatif agak panjang (10 tahun), sebelum secara tak terduga digantikan oleh Jokowi, seorang borjuis nasional yang reformis dan bukan berasal dari kelompok-kelompok oligarki lama.

Apakah Jokowi mewakili kepentingan rakyat banyak, kaum buruh, kaum tani dan lainnya? Tentu saja tidak. Kelasnya adalah kelas borjuasi, sehingga pandangan dan kepentingannya juga mewakili kelasnya. Bedanya, borjuasi nasional mewakili sebuah kepentingan yang tidak melulu mengurus soal perut dan kekayaan pribadi saja, tetapi juga kepentingan nasional yang luas. Ini adalah mengenai nasib bangsa dan Negara ke depan dalam menghadapi persaingan ekonomi dengan Negara-negara lain maupun dalam kerangka persaingan kapitalisme global. Borjuasi nasional mempunyai pandangan dan kepentingan nasionalis yang jelas, bukan sekedar pura-pura nasionalis. Pandangannya adalah survival dari Negara ini di tengah persaingan global, sementara ekonomi Indonesia masih dalam kondisi terpuruk dan miskin. Jadi bornas masih memegang nilai-nilai ideal dan kepentingan-kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan pribadi. 

Karenanya era Jokowi kembali menggunakan idiom-idiom nasionalisme dari Sukarno, yaitu Trisakti: berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Dalam satu hal, perlu dicatat bahwa populisme nasionalis dari Jokowi ini bukanlah versi kiri sebagaimana Sukarno, melainkan versi tengah-kanan. Masih menjadi pertanyaan mengenai kemungkinannya Jokowi menjadi tengah-kiri atau populis kerakyatan.
Menko Maritim Rizal Ramli mengatakan bahwa kasus Setya Novanto ini adalah perang antar geng. Dan kalau disimak berbagai pemetaan yang ada, nampak sekali kontradiksi dan pertentangan antar geng oligarki Orde Baru sedang terjadi. 

Ujiannya adalah Freeport, sebuah perusahaan emas-tembaga raksasa Amerika Serikat yang sejak awal Orde Baru terus-menerus menguasai sumber cadangan emas terbesar di dunia yang berada di Papua (khususnya Grasberg). Baik borjuis birokrat maupun borjuis komprador berkepentingan untuk mendapatkan remeh-remeh emas Freeport, sementara kini borjuis nasionalnya mulai mencoba berdaulat untuk meminta bagian yang lebih besar dari penguasaan Freeport. Pemerintah RI hingga kini hanya mendapatkan saham 9,3 persen dan pemerintah Jokowi berusaha meminta bagian yang lebih besar, yaitu sekitar 30 persen. Tuntutan bagi nasionalisasi Freeport banyak juga disuarakan orang, yang sifatnya retorik saja, karena sebenarnya hanya upaya bargaining atas Freeport yang akan habis masa beroperasinya di tahun 2021. Freeport sendiri berkepentingan untuk memperpanjang operasinya kembali hingga 2041.

Dapat diduga bahwa Freeport tidak pernah akan bisa disingkirkan dari Indonesia; demikian pula oleh pemerintahan Jokowi-JK, karena tidak akan ada yang mau memperjuangkannya dengan kuat. Meskipun sudah banyak suara keras untuk mengakhiri dominasi Freeport tersebut, terutama dari kalangan progresif, kerakyatan, nasionalis dan ekologis. Tuntutan pemerintah nantinya hanya sebatas permintaan gradual atas saham sebesar 30 persen. Hal ini sebenarnya menyalahi hukum dan aturan di Indonesia sendiri, yang meminta porsi saham bagi usaha-usaha strategis sejenis ini sebesar 51 persen bagi pihak Indonesia dan sebesar-besarnya 49 persen bagi penguasaan asing. Akan tetapi Freeport nampaknya akan tetap menjadi pengecualian. Indonesia masihlah tunduk pada kepentingan Amerika Serikat, dan kepentingan Amerika atas cadangan emas Freeport sangatlah besar. Bila pemerintahan Jokowi mampu meminta 51 persen saja, sungguh sudah merupakan prestasi sejarah. Apalagi bila mampu menggusurnya nanti di tahun 2021, karena memang tidak sesuai dengan agenda Trisakti dan Nawa Cita. Saya masih berharap terjadinya kejutan ini.

Lalu bagaimana nasib Setya Novanto dan Mr. R? Kini nampaknya masa transisi akan menyingkirkan pemain-pemain lama yang dianggap sudah kadaluarsa atau mengganggu sistem yang lebih besar. Apalagi dengan sorotan publik yang luar biasa, yang merupakan sebuah drama yang kelihatannya disetting dengan baik. 
Akan terjadi pergeseran ke arah kompradorisme yang lebih kuat. Senyatanya kalangan komprador tidak suka dengan borjuis birokrat, yang sifatnya parasit dan primitif. Mereka lebih suka sebuah kapitalisme liberal yang menempatkan ukuran-ukuran manajemen modern sebagai acuan, bukan kerajaan-kerajaan bisnis ala feodal yang tak terbatas, sebagaimana Mr. R. Untuk itu borjuis komprador lebih senang berkolaborasi dengan borjuis nasional, karena mereka menggunakan ukuran-ukuran yang sama, yaitu good-governance dan rule of law. ***

Minggu, 13 Desember 2015

Indonesianis Benedict Anderson Meninggal Dunia di Malang

Buku Di Bawah Tiga Bendera karya Benedict Anderson yang akan diluncurkan.
MALANG, KOMPAS.com - Pemikir dan peneliti Indonesia, Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Benedict Anderson meninggal dunia dalam usia 79 tahun di Batu, Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/12. 2015) pukul 11.30 WIB.

Kabar meninggalnya Anderson diperoleh dari akun Twitter dan Facebook resmi penerbit Marjin Kiri yang akan meluncurkan buku Anderson di Indonesia berjudul "Di Bawah Tiga Bendera".
Kedatangan Benedict Anderson ke Indonesia dalam rangka menghadiri peluncuran buku tersebut.
Pada Kamis (10/12/2015) lalu, Anderson juga baru memberi kuliah umum di Universitas Indonesia tentang "Anarkisme dan Sosialisme".
Dalam akun Facebooknya, penerbit Marjin Kiri, mengatakan bahwa Anderson meninggal dunia (Sabtu) dini hari tadi di sebuah hotel di daerah Batu, Malang, saat beristirahat sehabis berjalan-jalan
Anak angkat Ben Anderson, Wahyu Yudistira mengatakan, Anderson tak memiliki penyakit khusus saat meninggal.
"Usianya sudah lanjut, capek saja, kelelahan," kata Wahyu.
Menurut Wahyu, Anderson berada di Jawa Timur untuk berjalan-jalan, bernostalgia di tempat-tempat yang pernah dia kunjungi sebelumnya, seperti Museum Mpu Tantular di Sidoarjo atau Candi Belahan di Mojokerto.
Minggu (13/12/2015) pagi, jenazah Anderson dibawa ke Surabaya dari Malang untuk disemayamkan. Dan, sesuai permintaannya, Anderson ingin jasadnya dikremasi dan abunya disebarkan di Laut Jawa.
"Keluarga sudah diberitahu. (Mereka) Diusahakan secepatnya ke Indonesia. Saya dan keluarga kami sedang mengurus keperluan untuk kremasi," kata Wahyu.
Semasa hidupnya, Anderson adalah pengkaji Asia Tenggara paling terkemuka di dunia. Bukunya, "Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism" dianggap sebuah karya klasik dalam ilmu sosial dan ilmu politik.
Karya-karya Anderson lainnya termasuk Java in a Time of RevolutionDebating World Literature, dan Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
Pria kelahiran Kunming, China itu pernah dicekal pada masa Orde Baru, dan dia baru boleh kembali ke mengunjungi Indonesia pada 1999.
Editor: Ervan Hardoko
Sumber: BBC Indonesia

Jumat, 11 Desember 2015

Ketika Perpanjangan Kontrak Freeport Terungkap, Terbitlah kasus Prostitusi Artis

Lingkarannews.com- Sun Tzu melalui The Art Of War-nya pernah berkata, kuasai lah informasi maka kamu akan memenangkan setiap peperangan yang ada, pendapat Sun Tzu ratusan tahun yang lalu seolah menjadi sebuah kebenaran pada saat ini, ketika media informasi ;dikuasai’ maka akan mampu menutupi semua ‘kelemahan’ yang terjadi
Satu dua hari ini, beredar surat yang diterbitkan kementerian ESDM mengenai jaminan perpanjangan kontrak freeport, surat yang diketahui melanggar Undang Undang dan menjadi pangkal ‘kegaduhan’ papa minta saham
1201442IMG-20151118-WA0001780x390
CVejQEdVEAEUDnU
Surat yang ditandatangani langsung oleh Sudirman Said Menteri ESDM sendiri, dan menjadi sorotan perhatian paling besar dari para netizen
Beredarnya surat dari Sudirman Said di publik ini, seolah menjelaskan bahwa sebenarnya ada kebusukan yang ditutupi pemerintah Jokowi dibalik perpanjangan kontrak Freeport yang selama ini tidak di akui.
Kebusukan yang langsung ditutupi dengan beredarnya rekaman setnov, MRC dan Presdir Freeport Maroef Sjamsoeddin, namun hal itu tak berlangsung lama, surat itu pun akhirnya beredar ke publik dan beredar luas di social media secara viral
Namun, kini tiba tiba semua menjadi berubah ‘arah’ angin pemberitaannya dengan berita ditangkapnya prostitusi melibatkan artis Beromset ratusan juta rupiah
Hebat, memang dunia informasi di negeri ini, ketika angin sengaja mengungkap sebuah kebusukan persengkokolan jual aset negeri, akhirnya harus redam oleh berita menghebohkan ala dunia infotainment penangkapan dan pengungkapan praktek prostitusi melibatkan artis
Ibarat memadamkan api dengan api yang lain, supaya publik teralihkan sebab musabab yang menjadi perhatiannya, dan itulah pentingnya kuasai Informasi menurut Sun Tzu yang kini dipraktekan benar oleh Penguasa saat ini

Minggu, 06 Desember 2015

Yang Saya Kenang dari Wijaya Herlambang

Martin Suryajaya

SAYA akan mengenang Wijaya Herlambang tanpa melankoli. Sebab ia meninggalkan pada kita setumpuk tugas yang masih belum usai, tugas-tugas yang masih perlu dikerjakan. Oleh karena itu, saya tak akan membuang waktu dengan pertunjukan kesedihan dan parade air mata, melainkan dengan memikirkan tugas-tugas itu. Karya besarnya, Kekerasan Budaya Pasca 1965, telah membukakan ruang penyelidikan yang begitu luas. Melalui tulisan ini, saya akan mengenang Wijaya Herlambang sebagai buku-buku yang akan datang, sebagai kitab-kitab yang belum dituliskan, sebagai sehimpun pekerjaan yang masih harus disudahkan, yang menyusun sebagian jalan menuju sosialisme Indonesia.
Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 memperlihatkan dengan benderang operasi-operasi politik dan ekonomi macam apa yang bermain di balik pengarus-utamaan kultur antikomunis sesudah 1965. Wijaya menyuguhkan pada kita bukti-bukti tertulis dari apa yang selama ini cuma jadi pergunjingan di antara kita, yakni bagaimana persisnya para budayawan PSI dan kaum konservatif bahu-membahu menumpas PKI di lapangan ideologi dan membangun suatu ‘sensibilitas kebudayaan’ baru, suatu ‘pandangan-dunia kultural’ baru yang punya andil dalam mengukuhkan Orde Baru. Lebih dari itu, Wijaya mengajarkan pada kita cara untuk melacak bukti-bukti tersebut sekaligus cara membacanya, menarik kesimpulan kritis darinya. Dengan begitu, Wijaya mengajarkan kita cara untuk menjadi semacam ‘detektif kebudayaan’: membongkar arsip, menelusuri jejaring keaktoran, merekonstruksi argumen estetik dan politik serta mengenali implikasinya dalam kehidupan nyata.
Sumbangsih Wijaya ini penting terutama karena temuan-temuannya tentang politik kebudayaan pasca 1965 juga dapat dipakai untuk menjelaskan panggung politik kebudayaan kita hari ini. Analisisnya atas ideologi ‘humanisme universal’, politik kebudayaan kaum ‘liberal’ dan perkembangannya hingga era Reformasi jelas membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di lapangan kebudayaan kita hari-hari ini. Dengan kata lain, Wijaya Herlambang menjelaskan pada kita tentang asal-usul ‘hari ini’. Buat saya sendiri, inilah sumbangan terpenting yang ia berikan dalam usianya yang terlalu singkat itu. Melalui capaian itulah juga ia sebetulnya membuka ruang penyelidikan lebih lanjut yang belum tergarap. Dalam kenangan atas sosoknya, saya akan mencoba merinci topik-topik kajian apa saja yang dimungkinkan melalui karyanya tetapi belum atau kurang diolah sejauh ini:
  • Akar kolonial dari ideologi ‘humanisme universal’: cita-cita Pencerahan, teosofi Blavatsky, tradisi mistik Islam dan kejawen, dst?
  • Kait-kelindan antara konsepsi tentang ‘humanisme’, ‘liberalisme’ dan tradisi lirik dalam kesusastraan dan seni rupa kita: apa kaitan antara kemunculan genre puisi lirik dalam puisi modern kita dan konsolidasi kapitalisme di Hindia Belanda, perkembangan serta dominasi puisi lirik dan apa kaitannya dengan lirisisme abstrak dalam sejarah seni rupa kita, dst?
  • Hubungan antara konsolidasi kebudayaan Orde Baru dan menguatnya eksplorasi bentuk dalam puisi dan seni rupa pada dekade 1970-an: adakah keterkaitan antara menguatnya dominasi seni lukis abstrak dan latar ekonomi-politik Orde Baru, dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’ dan sufisme dalam praktik kesenian sejak 1970-an, lalu dengan ‘teologi negatif’ yang marak sesudah diterimanya pascamodernisme di era 1990-an: apakah kecenderungan ke arah estetika sufistik (Abdul Hadi WM dan Ahmad Sadali, misalnya) punya akarnya pada pandangan tentang kodrat universal manusia sebagai makhluk moral dan makhluk spiritual, dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’ dan euforia penerimaan atas pascamodernisme serta maraknya ‘industri kerukunan antar umat beragama’: sejauh mana gagasan pokok soal kemanusiaan yang menolak politik kelas bersinergi dengan relativisme pascamodern dan maraknya advokasi (maraknya funding) berkaitan dengan multikulturalisme, lalu kemudian pluralisme, dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’, politik kebudayaan sosialis-kanan (PSI) dan perkembangan berbagai LSM serta gerakan civil society yang kritis terhadap Orde Baru sejak dekade 1980-an: bagaimana menjelaskan pergeseran perimbangan politik antara kubu sosialis-kanan dan Orde Baru dan dampaknya bagi pembentukan gerakan masyarakat sipil, dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’ dan pengarus-utamaan Marxisme ‘gaya Frankfurt’ alias ‘Dilema Usaha Manusia Rasional’ dan segala variasinya: bagaimana para pemikir Katolik mendukung dan mengelaborasi visi ‘humanisme universal’ kemudian menggulirkan sejenis ‘Marxisme humanis’ yang lebih bercorak moralis ketimbang politis, dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’ dan kelompok-kelompok studi yang menjadi cikal-bakal PRD (dengan kata lain, gerakan Kiri pasca-1965): sejauh mana Marxisme yang dipelajari dalam berbagai study club era 1980-an telah disaring dan disunting menjadi semacam filsafat etika melalui interaksi dengan elemen-elemen sosialis-kanan dan Katolik dalam gerakan masyarakat sipil (dan karenanya kebencian yang nyaris irasional terhadap Stalin dan karenanya juga kecintaan berlebih terhadap Trotsky–dalam kontras dengan sikap gerakan Kiri pra-1965 terhadap kedua sosok itu), dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’ dan kelompok-kelompok anarkis menjelang dan sesudah 1998: sejauh mana sensibilitas kultural sosialis-kanan (mentalitas antikomunis, antibirokrasi, antinegara) berpengaruh bagi formasi pemikiran anarkisme di Indonesia, dari jejaring dan sumber dana manakah penerbitan terkait anarkisme berasal, dst?
  • Hubungan antara ‘humanisme universal’ dan atmosfir kultural dari berbagai kelompok muda-mudihipster perkotaan: bagaimana menjelaskan keterkaitan antara maraknya sensibilitas liris (atau pandangan-dunia liris) dalam syair-syair lagu band indie di tanah air, dst?
Daftar topik kajian ini masih bisa diperpanjang lagi. Sepuluh topik yang saya sebutkan hanyalah ilustrasi dari keluasan bidang yang mungkin kita kaji bersama berkat penelusuran awal dari Wijaya Herlambang. Oleh karenanya, paling tidak buat saya, mengenang Wijaya adalah mengingat sederet pertanyaan yang melayang-layang di udara dan tumpukan buku yang belum pernah dituliskan.
Selain tentang karyanya, saya juga ingin berbicara tentang sosoknya dalam dunia pergerakan. Wijaya adalah seorang sarjana, scholar, yang juga berani mengambil posisi dan menyatakan keberpihakannya dalam pergulatan gerakan rakyat di Indonesia. Namun yang membuatnya berbeda dari aktivis Kiri biasanya adalah bahwa ia merupakan bagian dari kalangan yang mengambil posisi politik Kiri tanpa tergabung dalam partai-partai Kiri yang ada. Wijaya, dalam arti itu, adalah representasi dari generasi pemikir Kiri masa kini. Ia adalah yang paling senior dari generasi kami—saya dan beberapa kawan muda di IndoPROGRESS dan berbagai kolektif lain—yang mendukung sepenuhnya politik Kiri tanpa pernah tercatat sebagai anggota penuh di salah satu partai Kiri. Dalam perhitungan angkatan kuliah, ia tentu jauh di atas saya: ia masuk kuliah tahun 1993, sementara saya baru tahun 2005. Namun ketakterlibatannya dalam partai Kiri dan keaktifannya dalam percaturan pemikiran Kiri yang baru sejak akhir dekade 2000-an mendekatkannya dengan pengalaman angkatan kami. Kami tidak pernah mengalamisplit, konflik berlarut-larut dan pusaran permusuhan personal yang mencirikan medan kepartaian Kiri pasca-Reformasi. Kami adalah generasi pasca-perpecahan PRD yang tumbuh matang dalam sebuah situasi yang menyulitkan kami bergabung ke salah satu partai Kiri yang ada (sebab akan terpaksa memusuhi yang lain). Belle Époque kami—Zaman Ideal yang selalu kami kenang tanpa pernah kami alami secara langsung—adalah era pergerakan 1990-an, yakni ketika semua kekuatan Kiri tergabung dalam sebuah partai besar (atau ‘agak besar’) dan berjuang bersama dalam pertarungan hidup-mati melawan Orde Baru. Mungkin saya agak romantik di sini, tapi begitulah gambarannya, setidaknya menurut saya. Era 2000-an, hari ini, adalah era perpecahan yang memusingkan buat generasi kami. Begitulah, sebagian dari generasi kami kemudian memilih menjadi ronin, pendekar tak bertuan, yang siap memasang badan bergelut dengan sarjana-sarjana soska, budayawan-budayawan bermental abon dan babinsa-babinsa kelas menengah—membantu sebisa mungkin gerakan Kiri (menyuplai bahan pendidikan, memenangkan perang ideologi, sesuai bidang keahlian kami) tanpa bergabung ke dalam partai secara formal. Sekali lagi, ini cuma kesan saya; mungkin saya keliru.
Walaupun saya berbicara tentang ‘generasi kami’, ungkapan itu tidak dimaksudkan untuk mengacu pada keidentikan pandangan. Sudah tentu ada beberapa perbedaan, khususnya pada aras taktik gerakan. Saya dan Wijaya berbeda pandangan sewaktu musim kampanye 2014. Saya memilih untuk menjadi relawan Jokowi, sementara ia (dan sebagian gerakan Kiri) menolak untuk memberikan dukungan pada Jokowi ataupun Prabowo. Pertimbangan yang ia berikan adalah bahwa baik Jokowi maupun Prabowo tak punya landasan ideologis yang bisa diidentifikasi sebagai Marxis, dengan kata lain bahwa keduanya sama saja dari perspektif Marxis. Menurutnya, Jokowi tak punya basis massa dengan kekuatan kelas yang jelas dan dukungan terhadapnya hanya akan menguntungkan soska macam GM yang juga mendukung Jokowi.
Sementara pandangan saya berbeda. Pertanyaan kuncinya bukan ‘apa’, tapi ‘bagaimana’. Bukan apa bentuk perjuangan paling ideal yang sesuai dengan pakem Marxisme, melainkan bagaimana perjuangan yang paling efektif dan feasible yang dapat ditempuh dalam kondisi riil yang ada demi perwujudan pokok-pokok Marxisme. Bukan apakah rezim Jokowi dapat mewujudkan cita-cita sosialisme (sudah tentu tidak), tetapi bagaimana caranya untuk mengusahakan supaya melalui rezim itu agenda-agenda politik sosialis bisa memperoleh ruang dan berkembang. Bukan apakah kondisi yang ada sekarang emansipatoris atau tidak (sudah tentu tidak), tetapi bagaimana mengusahakan agar kondisi tersebut menjadi emansipatoris. Bukan apakah saya akan satu kapal dengan kaum soska, tetapi bagaimana supaya agenda Kiri menang melawan agenda soska di tingkat pemerintahan.
Bukan apa, tapi bagaimana—itulah pertanyaan revolusioner zaman kita.
Terhadap posisi Wijaya pun saya tak merasa berlawanan secara total. Saya tidak merasa bermusuhan dengan Wijaya atau kawan-kawan di gerakan yang memilih memperkuat gerakan rakyat dan menolak intervensi elektoral. Pengorganisasian kekuatan politik rakyat tetaplah hal yang sentral dan intervensi elektoral hanyalah salah satu sarana untuk membantu gerakan itu. Untuk mudahnya, saya akan menggunakan sistem klasifikasi yang mudah dipahami guna menerangkan perbedaan ini. Katakanlah ada tiga jenis Kiri:
  • Kiri ‘NU’: kaum Kiri yang percaya bahwa otoritas tekstual Marxisme mesti didialogkan dengan konteks spesifik dan Marxisme hanya bisa diwujudkan dengan cara dilahirkan kembali dari nationyang konkrit secara sosio-historis.
  • Kiri ‘Muhammadiyah’: kaum Kiri yang percaya bahwa otoritas tekstual Marxisme punya prioritas yang lebih tinggi ketimbang penyesuaian dengan konteks.
  • Kiri ‘Wahabi’: kaum Kiri yang percaya bahwa hanya otoritas tekstual Marxisme yang sahih, segala sesuatunya mesti dibuat sesuai dengan citra ideal tentang Soviet sembari menyalah-nyalahkan kenyataan yang ada.
Perbedaan antara saya dan Wijaya (tetapi saya pikir juga perbedaan antara PKI dan partai-partai Kiri sekarang) cuma perbedaan antara Kiri ‘NU’ dan Kiri ‘Muhammadiyah’. Saya cenderung termasuk dalam golongan Kiri ‘NU’ dan Wijaya dalam golongan Kiri ‘Muhammadiyah. PKI dulu juga cenderung akulturatif terhadap konteks politik yang ada (makanya ada tradisi ‘naskir’ alias nasionalis-Kiri seperti Njoto), berbeda dari partai-partai Kiri kekinian. Namun, pada akhirnya, di antara kedua golongan itu hanya terdapat perbedaan penekanan saja. Kasusnya berbeda bila dibandingkan dengan Kiri ‘Wahabi’ seperti Ted Simpleton dan sekelompok kecil yang cenderung saya sebut sebagai ‘Kiri-Kiri kontra-produktif’.
Demikianlah kenangan saya akan Wijaya Herlambang. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya tengah menulis buku tentang politik kebudayaan antikomunis kontemporer atau tentang evolusi tradisi liris dalam kesusastraan Indonesia, saya akan teringat Wijaya—petualangan kami bersama menggempur budayawan bermental abon dan buku-buku yang belum pernah dituliskan.***

http://indoprogress.com/2015/12/yang-saya-kenang-dari-wijaya-herlambang/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29