Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 19 Juni 2017

Tanggapan Untuk Editorial Indoprogress

Monday, 19 June 2017


Keterasingan Indoprogess

oleh : Budi Wardoyo

Aksi Damai Buruh Tolak PP 78/2015--Dihajar Polisi, 30 Okt 2015

Editorial Indoprogress hari ini, sungguh mengejutkan, bukan hanya karena isinya yang sama sekali tidak berangkat dari kenyatan dinamika gerakan buruh di Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini, namun justru diangkat pada saat ribuan kawan-kawan Awak Mobil Pertamina—dengan solidaritas luas—sedang berjuang untuk hidup dan matinya mereka---bukan dalam istilah kiasan, tetap itulah kenyataannya.

Sebuah editorial dari media—yang mencitrakan dirinya, sebagai media dengan pandangan-pandangan progressif, namun justru secara tajam menyerang Gerakan Buruh Indonesia secara semena-mena.


Baiklah, mari kita lihat dimana letak serangan itu?

Garis besar dari editorial Indopregress, intinya mau mengatakan gerakan buruh Indonesia hari ini —dengan istilah politik identitas—adalah gerakan yang sangat sektarian, mengabaikan segala hal diluar kepentingan langsung dirinya sendiri, sehingga dengan demikian akan mudah dimanfaatkan oleh elit yang sebenarnya menjadi musuh buruh, dan juga membuat gerakan buruh tidak punya kemampuan untuk bersolidaritas terhadap buruh lainnya apalagi terhadap sektor rakyat di luar buruh. Sebuah serangan yang juga menganggap remeh perjuangan hak-hak demokratik buruh.

Tapi apakah benar faktanya gerakan buruh Indonesia, secupet gambaran editorial Indoprogress atau justru Indoprogress yang cupet?

Tak perlu menarik terlalu jauh ke periode di mana Coen masih menjadi aktivis, untuk melihat bahwa gerakan buruh Indonesia saat ini juga menjadi bagian dari Gerakan Demokratik, misalnya seperti salah satu link yang saya sertakan di komentar saya pada akun FB Coen, bahwa saat Rezim Kapitalis di Indonesia mencoba mempersempit ruang demokrasi—yang salah satu caranya dengan membatasi organisasi-organisasi massa, Gerakan Buruh menjadi bagian terdepan yang melakukan mobilisasi perlawanan pada saat itu, untuk menolak pengesahan RUU Ormas bersama dengan gerakan sosial lainnya.

Juga Gerakan Buruhlah yang telah berperan—sekaligus dikecam, karena telah memperjuangkan satu sistem jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan yang dikenal dengan BPJS Kesehatan (dengan catatan, kecaman itu nampak keras saat awal, namun sebagian pihak yang dulu mengecam, justru sekarang berbalik mendukung BPJS, setidak-tidaknya mendukung KIS—yang merupakan bagian dari BPJS Kesehatan.

Lebih jauh lagi, sebagai bagian dari tanggung jawab untuk memperjuangkan sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik—karena BPJS memang bermasalah, Gerakan Buruh di banyak kota, membentuk berbagai relawan kesehatan, yang setiap hari melakukan kerja-kerja advokasi kesehatan bagi siapapun yang mengalami hambatan dalam pelayanan kesehatan—satu badan relawan kesehatan yang paling berpengaruh adalah Jamkeswatch, yang dibentuk oleh kawan-kawan FSPMI, sementara mungkin Coen justru sedang tidak melakukan apa-apa dalam hal ini.

Untuk kasus lainnya, adalah bagaimana gerakan buruh menjadi bagian penting dari Gerakan Solidaritas terhadap Petani Kendeng—sehingga sampai hari ini, upaya pihak Semen Indonesia (yang tentu saja kongkalikong dengan kekuasan lokal maupun nasional) untuk mengadu domba antara kaum tani dan kaum buruh, bisa dikatakan tidak berhasil atau diminimalkan.

Doa Lintas Agama--Untuk Yu Patmi dihadiri juga oleh Gerakan Buruh Pembela Kendeng yang terdiri dari KSPN, FSPMI, SP Reformasi, FSPI, Yasanti/PPR Mandiri, Effort, FSP Farkes Reformasi, FSP KEP, FSPLN, Kahutindo, Jejer Wadon, dan LBH Semarang.

Sebagai contoh terakhir, apakah benar dengan mengangkat isu-isu PHK atau Upah misalnya, tidak punya kesanggupan membangun solidaritas? Seharusnya Coen lebih banyak membaca kiri sosial (hehe), yang menjadi salah satu corong perjuangan kawan-kawan AMT saat ini melawan PHK ilegal, melawan status kerja kontak/outsourcing dan soal-soal normatif lainnya. 

Dukungan terhadap perjuangan mereka sudah cukup banyak—mungkin yang terbanyak setelah kasus Petani Kendeng. Dukungan itu datang dari KASBI, SGBN, KSN, FPBI, SERBUK Indonesia, FBLP, SP BANK PERMATA, FORUM BURUH KAWASAN, FSP2KI, FSPMI, KSPI, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Bandung, Arus Pelangi, Jala PRT, KPA, Perempuan Mahardhika, Federasi Mahasiswa Kerakyatan, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi, Serikat Mahasiswa Indonesia—ini yang sekitar Jakarta, belum lagi organ-organ lokal yang ikut bersolidaritas di Lampung, Banten, Yogya, Bandung, Tegal, Surabaya, Banyuwangi, Makassar dan kota-kota lainnya.

Ah, mungkin Coen bertanya, lho, kok cuman itu, kenapa Gerakan Tani gak mendukung, kenapa LSM HAM gak mendukung, atau kenapa intelektual-intelektual gak mendukung? Itu juga pertanyanku, kenapa Indoprogress dan yang lainnya tidak ikut mendukung? Apa karena persoalan PHK adalah persoalen remeh temeh, tidak terkait dengan masalah lainnya, sehingga tidak layak diperjuangan-didukung sekuat-kuatnya?

Dan tidak masuk akal, sebuah gerakan--termasuk gerakan buruh, akan sanggup memperjuangkan kepentingan jangka panjangnya, kalau tidak secara militan memperjuangkan kepentingan jangka pendeknya? Apalagi di Indonesia, berjuang untuk kepentingan normatif--yang bahkan sudah diakui dalam UU, resikonya tidak kecil.

Buruh Dibacok Karena Pejuangan Normatif

Keresahan yang sama

Bukan hanya Coen yang resah—kecuali kalo Coen bepikir hanya dialah yang punya kesanggupan untuk merasakan bahaya dari kebangkitan politik SARA dan politik Militeristik yang berkelit kelindan dengan kepentingan modal dan kekuasaan.

Gerakan Buruh Indonesiapun menyadari hal tersebut, oleh karena itulah, pada momentum MAY DAY 2017, sebuah tekad diluncurkan oleh Gerakan Buruh Indonesia, dengan mengambil tema “Gerakan Buruh Untuk Rakyat”yang poinnya antara lain melawan politik SARA dan politik Militeristik, bersamaan dengan poin melawan kebijakan Kapitalis-Neoliberal yang dijalankan oleh Rezim Jokowi. 

Semangat ini, masih berlanjut sampai dengan momentum kematian Marsinah, bahkan sampai Momentum 21 Mei—Peringatan jatuhnya Soeharto, yang mungkin tidak lagi diperingati oleh Coen.

Hampir semua elemen buruh—dan memang mayoritas elemen dari Komite ini adalah gerakan buruh—terlibat dalam peringatan 21 Mei 2017, yang mengambil tema “Bangun Demokrasi Rakyat, Lawan Kebangkitan Politik Orde Baru “ di Tugu Proklamasi Jakarta. Acara yang digagas oleh KPBI, KASBI, SGBN, SP BANK PERMATA, KSPI, FPR, Politik Rakyat, LBH Jakarta dan lainnya—tentu dengan membuka diri bagi semua kelompok gerakan rakyat, bahkan bagi setiap individu yang setuju pada tema ini—justru tidak banyak dihadiri oleh elemen-elemen non buruh (bahkan dari mereka yang cukup gencar mengkampanyekan isu yang sama), dan ini adalah sebuah persoalan yang harus dipecahkan bersama-sama, bahwa sekalipun temanya menyangkut persoalan umum rakyat, tidak otomatis didukung oleh semua elemen-elemen pergerakan rakyat.

Coen benar, ketika berpikir masih banyak persoalan yang tidak direspon oleh Gerakan Buruh Indonesia. Tentu saja, sebagaimana juga halnya masih banyak persoalan yang tidak direspon oleh Indoprogress.

Tapi apakah dengan tidak (atau belum) diresponnya sebagian persoalan memberikan landasan yang kuat bagi Coen untuk memberikan kesimpulan seperti pada tulisannya? Jika logikanya begitu, Indoprogress harus disimpulan seperti apa?

Peringatan 21 Mei 2017; Pimpinan-pimpinan buruh dari KSPI, KASBI, SGBN, KPBI, SP JHONSON nampak di Foto bersama Pimpinan Mahasiswa


Kerja-kerja-kerja (Bekerjalah lebih giat untuk perjuangan)

Mungkin disinilan masalah Indoprogress, yang tidak menceburkan dirinya dalam dinamika gerakan buruh Indonesia, sehingga tidak bisa memahami—bahkan sampai kehilangan empati, bahwa bukan hal yang mudah saat ini bagi Gerakan Buruh (juga gerakan rakyat lainnya) untuk tampil sebagai satu kekuatan politik dengan kesadaran yang lebih komperhensif (dalam bahasa Coen, kesadaran kelas).

Di tengah situasi semakin gencarnya Rezim Kapitalis Jokowi menjalankan program-program Kapitalis-Neoliberalnya, maka setiap kelompok masyarakat, termasuk kelompok buruh dihadapkan pada masalah-masalah kongkrit, yang terkait dengan kehidupannya, yang oleh Coen diremehkan-seperti perjuangan melawan PHK Ilegal, atau perjuangan melawan Status Kerja Kontrak/Outsourcing dan bahkan Jokowi jutru lebih keji lagi, dengan menasionalkan program status kerja magang ( Jokowi yang sama, yang dulu didukung Coen)--Apakah ini terlalu sulit untuk dimengerti, bahwa tingkat kegawatannya serupa dengan kasus perampasan tanah di desa-desa?

Ada faktor obyektif—tanpa kemudian harus menyerah pada kesulitan-kesulitan tersebut—yang memang menghambat ruang gerak bagi pengembangan kesadaran kelas di kalangan buruh, apalagi kebebasan berserikat tidak sepenuhnya terjamin di Indonesia, dengan waktu luang yang semakin sempit--akibat jam kerja yang melebihi 8 jam kerja, dan kelelahan fisik serta mental.

Hambatan ini memang harus diatasi—dan bukan dengan menjadi bagian dari Rezim Kapitalis Jokowi, atau menjadi bagian dari Faksi Borjuasi lainnya, melainkan dengan beberapa pekerjaan yang simultan (baik kerja pembangunan kesadaran politik dan ideologis , pengorganisasian, aksi-aksi perlawanan, persatuan dll) yang semuanya itu harus sekaligus diletakan dalam arena perjuangan buruh setiap harinya, dan dalam arena perjuangan yang lebih luas.

Bagaimana bisa, kaum buruh masuk dalam proses penyadaran yang diseru-serukan dari kejauhan, dari gedung-gedung tinggi, sementara sang penyeru, tidak pernah hadir dalam pergumulan sehari-harinya buruh, tidak ikut berdarah-darah dalam perjuangan upah, phk, status kerja dll?

Jangan sempitkan kehadiran itu harus setiap saat dengan kehadiran fisik—tinggal setiap hari seumur hidup misalnya dengan kawan-kawan buruh, namun juga kehadiran dalam bentuk empati, dalam bentuk solidaritas, dalam bentuk dukungan, dalam bentuk dialog—bukan ceramah.

Beruntunglah, sekarang ini jaman media sosial, sehingga sekalipun jarak Amerika dan Indonesia, begitu jauh, namun (jika berkendak) ruang dialog dengan buruh bisa terbangun secara intensif, sehingga seorang Coen bisa dengan mudah seharusnya berdialog dengan seorang Awak Mobil Tanki Pertamina yang saat ini lagi di PHK, dan disitulah masing-masing pikiran didengarkan, didiskusikan, sehingga Coen bisa mengerti apa yang sedang terjadi pada kawan-kawan ini, dan sebaliknya, kawan-kawan bisa mengerti apa yang sedang Coen pikirkan.

Dengan demikian, pada akhirnya Indoprogresspun menjadi media bagi kaum buruh untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya—baik kepentingan jangka pendek, maupun kepentingan jangka panjangnya, dan sebaliknya gagasan-gagasan progressif—jika ada , dari Indopogresspun ada yang diserap oleh kaum buruh Indonesia.

http://kirisosial.blogspot.co.id/2017/06/tanggapan-untuk-editorial-indoprgress.html#more

Gerakan Buruh Sebagai Gerakan Identitas?


Coen Husain PontohHarian IndoPROGRESS



BAGAIMANA kita menilai perkembangan gerakan buruh saat ini? Buat saya, secara organisasi gerakan buruh mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan 15 atau 20 tahun lalu. Kebebasan berorganisasi dijamin, serikat buruh menjamur di mana-mana, dan aksi-aksi buruh bukan lagi hal yang terlarang.
Namun demikian, secara politik dan ideologi, gerakan buruh mengalami kemunduran luar biasa. Gerakan buruh hanya asyik dan aktif mengadvokasi isu-isu partikularnya atau isu-isu sektoralnya semata: menuntut naik gaji, menuntut penghapusan kerja kontrak, menuntut penghapusan pasar kerja fleksibel, menuntut jaminan keselamatan kerja. Pokoknya, isu-isu yang hanya berkaitan dengan dirinya sendiri.
Di luar isu-isu sektoral itu, gerakan buruh bungkam dan tutup mata. Gerakan buruh diam ketika terjadi persekusi terhadap kelompok minoritas agama, etnis dan orientasi seksual. Gerakan buruh bungkam terhadap penindasan yang dilakukan korporasi dan aparat keamanan terhadap petani. Gerakan buruh tidak menunjukkan solidaritasnya terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertindas lainnya dalam masyarakat. Intinya, selama itu tidak berkaitan dengan kepentingan khusus kaum buruh, maka gerakan buruh tidak peduli.
Pada titik ini, gerakan buruh hanya menjadi sekadar gerakan berbasis Politik Identitas. Dan karena itu, gerakan buruh sangat mudah terjebak menjadi gerakan yang konservatif, terpisah dan terisolasi dari gerakan rakyat tertindas lainnya. Apa-apa yang mengancam manfaat yang dinikmatinya akan mereka lawan, bahkan sesama buruh pun bisa saling bermusuhan. Itulah yang terjadi ketika sebagian serikat buruh menjadikan tenaga kerja asing (asal Cina) sebagai musuhnya. Di sini serikat buruh menjadi gerakan bersendikan nasionalisme sempit, bukan mengadvokasi solidaritas pekerja internasional yang sama-sama ditindas oleh sistem kapitalisme.
Politik Identitas gerakan buruh juga menyebabkan mereka gampang digiring oleh elit-elit serikat untuk kepentingan politik para elit tersebut. Dalam momen pilkada DKI yang sarat kampanye SARA, kita temukan elit-elit serikat buruh yang mendukung pasangan Anies-Sandi yang mempromosikan kampanye SARA itu. Padahal tidak ada sama sekali jaminan bahwa pemenang Pilkada ini akan memperbaiki kualitas hidup kaum buruh.
Politik Identitas gerakan buruh juga membuat kompetisi antar serikat menjadi tidak sehat: rebutan massa, rebutan pabrik, rebutan teritori pengorganisiran, atau karena perbedaan garis politik masing-masing serikat. Bahkan di antara sesama buruh individual terjadi saling sikut-menyikut, cari muka ke atasan atau majikan demi memerptahankan hidup dan pekerjaannya. Akibatnya, jangankan solidaritas dengan sesama kaum tertindas, solidaritas sesama serikat pun sangat sulit terbentuk.
Dengan menguatnya Politik Identitas gerakan buruh ini, maka sulit untuk menyaksikan gerakan buruh menjadi pelopor perubahan sosial secara keseluruhan. Dalam sistem kapitalisme pos-fordisme saat ini, dengan neoliberalisme sebagai ujung tombaknya, maka aksi-aksi sektoral gerakan buruh sama sekali tidak akan menggoyahkan kekuasaan kelas kapitalis. Dengan pergerakan kapital yang sangat cepat dari satu teritori ke teritori lainnya, maka aksi-aksi sektoral bukanlah jawaban. Bahkan, aksi-aksi sektoral itu hanya akan memperkuat kedudukan kapital. Aksi menuntut kenaikan upah, misalnya, mengasumsikan bahwa kaum buruh ingin agar pemodal itu tetap eksis, tetap meraih keuntungan maksimal dan berkelanjutan, dan juga tetap menindas mereka. Hanya saja, naikkan sedikitlah upah kami.
Namun jika serikat terus-menerus melakukan mogok, pabrik bisa tutup. Sebagian aktivis serikat berpendapat, jika pabrik tutup maka gerakan buruh harus merebut pabrik tersebut, mendudukinya dan menjalankannya secara swakelola. Bukankah anggota serikat sudah memiliki keahlian, baik dalam hal permesinan maupun manajerial? Dalam banyak kasus, tidak hanya di Indonesia, aksi-aksi perebutan dan pendudukan pabrik ini mengalami kegagalan: karena soalnya bukan hanya mengoperasikan pabrik, memproduksi barang dan menjualnya, tapi bagaimana keluar dari lingkaran penindasan kapital? Apa artinya pabrik yang dikelola oleh kaum buruh tapi tetap menjalankan prinsip-prinsip kerja kapitalisme?
Sampai di titik ini, kita lihat bahwa kemajuan organisasi yang dicapai oleh gerakan buruh saat ini tidak memadai dalam memperjuangkan hak-haknya. Tanpa kesadaran politik dan ideologi yang jelas, maka gerakan buruh hanya menjadi gerakan Politik Identitas yang akhirnya berujung buntu. Gerakan buruh harus meninggalkan Politik Identitas, karena ini secara esensial mengandaikan bahwa buruh itu sudah ada sejak adanya bumi ini dan akan terus ada selama bumi ini eksis. Sehingga apapun aktivitas gerakan buruh pasti sifatnya tambal-sulam. Inilah esensi politik identitas itu: a-historis.
Agar tidak tambal-sulam, maka kelas buruh mesti meyadari bahwa dirinya adalah sebuah kelas yang berelasi dengan kelas lainnya, yakni kelas kapitalis. Tanpa adanya kelas kapitalis maka tak ada kelas buruh, begitu sebaliknya. Dan relasi kelas buruh-kapitalis ini bukanlah sesuatu yang abadi, ia tidak muncul di zaman feudal atau perbudakan, tetapi baru muncul di zaman kapitalisme, karena itu relasi ini bisa dihapuskan. Dengan kesadaran ini, maka gerakan buruh berhadapan dengan kapitalis bukan dalam hubungan personal apalagi identitas, tapi hubungan politik dan struktural. Politiknya adalah Politik Kelas. Ia bergerak bukan untuk menuntut belas kasih kelas kapitalis, menuntut remah-remah dari keuntungan yang dipungut kelas kapitalis dalam bentuk kenaikan upah semata. Ia bergerak untuk menghapuskan sistem ini, sistem masyarakat berkelas yang membuatnya eksis sebagai buruh.
Dengan semakin gencarnya penetrasi kapitalisme di seluruh ruang dan aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologi saat ini, maka solidaritas kelas buruh terhadap kelompok masyarakat lainnya yang tertindas oleh sistem kapitalisme ini menjadi keharusan. Gerakannya menjadi inklusif, terkoneksi dengan yang lain, dan bersifat universal.
Pada titik inilah baru kita bisa mengklaim bahwa gerakan buruh adalah pelopor perubahan sosial.***

https://indoprogress.com/2017/06/gerakan-buruh-sebagai-gerakan-identitas/

Jumat, 16 Juni 2017

Ibnu Sina, Filsuf & Dokter Islam Ternama yang Dianggap Ateis

Reporter: Maya Saputri | 16 Juni, 2017

Ibnu Sina. tirto.id/Sabit
Ibnu Sina, yang pada masanya dianggap tidak bertuhan, karyanya menjadi standar pedoman ilmu medis di Barat.

tirto.id - Pada sampul buku The Canon of Medicine, tergambar seorang gadis sedang diperiksa denyut nadinya oleh seorang tabib dan tabib lainnya mempersiapkan obat untuk seorang pemuda. Ilustrasi tersebut melukiskan legenda Ibnu Sina—lebih dikenal di Barat sebagai Avicenna—yang pernah mengobati pangeran muda Gurgan di daerah Laut Kaspia.

Pemuda ini jatuh sakit, tak seorang pun bisa menyembuhkan. Ibnu Sina memeriksa denyut nadi si pemuda dan meminta seseorang untuk menyebutkan nama-nama kota di provinsi itu. Saat orang itu menyebutkan alamat tertentu, denyut nadi si pangeran berdetak lebih kencang.

Barulah diketahui bahwa orang ini ternyata jatuh cinta pada gadis yang tinggal di wilayah itu. Alih-alih mengobati, Ibnu Sina meminta si pemuda untuk menikah dengan si gadis. 

Kasus tersebut menunjukkan teori Ibnu Sina bahwa sakit tak melulu disebabkan oleh fisik yang lemah, tapi bisa juga karena kejiwaan yang bermasalah. Berkat sederet penemuan penting, ia menjadi pelopor ilmu kedokteran eksperimental (Danielle Jacquart, Islamic Pharmacology in the Middle Ages: Theories and Substances, 2008:27).

Selain soal pengaruh kesehatan emosional terhadap fisik, kontribusi buku ini bagi kedokteran modern meliputi temuan beberapa penyakit menular, salah satunya tuberculosis (TBC). Dia juga dokter pertama yang mendiagnosa meningitis, bagian mata, dan katup jantung, serta temuannya saraf yang terhubung dengan nyeri otot.

Dua karyanya yang paling berpengaruh, ensiklopedia filsafat Kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan) dan The Canon of Medicine, menjadi warisannya bagi dunia kedokteran yang diakui oleh dunia Barat. The Canon of Medicine—atau Al Qanun fi Tibb—menjadi buku kedokteran eksperimental paling penting yang pernah ditulis dalam sejarah dan menjadi kanon pengobatan dalam dunia Muslim dan Eropa hingga abad ke-17.

Selain menuai pujian, Canon juga menjadi sasaran kritik oleh ilmuwan Renaisans. Salah satu kritik datang dari dokter Abad Pertengahan, Arnold dari Villanova. Ia mengkritik Avicenna sebagai "juru tulis profesional yang telah membuat dokter Eropa bingung karena salah tafsirnya terhadap Galen." Galen adalah dokter Yunani yang hidup di abad ke-2. Namun, pernyataannya itu tak bisa memungkiri kenyataan bahwa karya Ibnu Sina telah bertahan berabad-abad.

Buku Canon justru dipakai oleh para pengajar medis di Barat untuk memperkenalkan prinsip dasar sains pada mahasiswanya, karena memuat praktik dan teori kedokteran seperti penjelasan dalam teks-teks Yunani-Romawi. Melalui buku itu, ia berkontribusi pada kemajuan ilmu anatomi, ginekologi, dan pediatri dan dokter pertama yang melakukan uji klinis dan pengenalan farmakologi klinis (Erica Fraser, The Islamic World to 16001998).

Penemuan mengenai penyakit yang sekarang populer semacam kanker, tumor, diabetes dan efek placebo hingga bedah tumor juga dibahas dalam buku itu. Temuan Ibnu Sina itu sempat ditolak oleh dunia medis Barat selama ratusan tahun. Namun, setelah mikroskop ditemukan, teori Ibnu Sina tentang beberapa penyakit itu akhirnya bisa diterima.

Dalam buku tersebut, Avicenna juga udah menyebutkan mengenai manfaat olahraga untuk menjaga kesehatan.

Isi buku itu juga membahas rangkuman 760 obat sederhana dan senyawa patologi dari Galen. Buku ini terbagi dalam lima bagian, salah satunya berisi empat risalah yaitu mengulas empat elemen (bumi, udara, api dan air) yang berhubungan dengan empat cairan (darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam) yang dibahas Galen.

Selain Galen, dokter Yunani Hippokrates juga mempengaruhi pendekatan medis Ibnu Sina, terutama soal mengatasi kelainan tulang belakang dengan teknik reduksi. Pendekatan ini telah disempurnakan oleh dokter dan ahli bedah Yunani, Paul of Aegina.

Ibnu Sina melibatkan penggunaan tekanan dan daya tarik untuk meluruskan atau memperbaiki kelainan tulang dan sendi. Teknik itu tidak digunakan lagi pada 1896 setelah dokter bedah Perancis Jean-François Calot memperkenalkan teknik baru.

Avicenna juga menyarankan anggur sebagai pembalut luka yang diterapkan di Eropa abad pertengahan. Dia juga mendiagnosis penyakit "api Persia" yang saat ini dikenal sebagai antrak, mengkorelasikan rasa manis urine sebagai gejala penyakit diabetes, dan penyakit cacing guinea/ Guinea Worm Disease (infeksi yang disebabkan cacing guinea).

Dalam bidang fisika, Robert Briffault dalam bukunya The Making of Humanity menjelaskan bahwa termometer pertama ditemukan oleh Ibnu Sina pada abad ke-11. Termometer dalam bentuk paling sederhana ini berupa alat untuk mengukur panas dan dingin udara sekitar dengan tabung.

Di bidang psikologi, jauh sebelum Carl Jung dan Sigmund Freud, ternyata Ibnu Sina telah menemukan dasar-dasar psikologi modern. Avicenna telah mempelopori psikofisiologi, psikosomatik, dan neuropsikiatri, dan temuannya ini dituliskan dalam jurnal. Beberapa penyakit yang dibahas dalam jurnal tersebut diantaranya halusinasi, insomnia, mania, demensia, dan vertigo.

Meski karyanya diakui dunia Barat, Ibnu Sina justru dianggap oleh kalangan muslim tak mempercayai Tuhan alias ateis karena menganut aliran Mu’tazilah. Aliran ini menjadi fondasi bagi lahirnya filsafat Islam dengan tokoh-tokohnya yang dikenal setelahnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Aliran Mu'tazilah kurang diterima oleh sebagian penganut Sunni karena beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim (Robert Wisnovsky, Avicenna's Metaphysics in Contexts, 2003).

Padahal, Avicenna mengintegrasikan gagasan dan metodologi Aristoteles, neoplatonisme, dan filsafat Yunani lainnya dengan tradisi monoteistik Islam. Ia mengadopsi teori neoplatonisme, tapi dia membuat membedakan antara Tuhan dan ciptaan untuk menghindari kecenderungan neoplatonis terhadap panteisme.

Dia adalah salah satu filsuf pertama yang menerapkan logika filsafat terhadap teologi Islam, dan tulisannya memicu reaksi keras dari para teolog Islam belakangan. Meski demikian, seperti dicatat New World Encyclopedia, karyanya menjadi buku teks standar di madrasah-madrasah.  
Ibnu Sina, Filsuf & Dokter Islam Ternama yang Dianggap Ateis

Sebagai salah satu ilmuwan berpengaruh di abad pertengahan masa kejayaan Islam, Ibnu Sina telah membaca Alquran dan sastra sejak umur 10 tahun. Dia dilahirkan dari pasangan Setareh dan Abdullah pada 980 Masehi di Uzbekistan.

Dibimbing oleh Natili, Ibnu Sina belajar logika dasar dan pada usia 16 tahun mempelajari ilmu pengobatan. Saat Sultan Bukhara jatuh sakit, Avicenna-lah yang berhasil menyembuhkannya. Sebagai ucapan terima kasih, seperti ditulis Encyclopedia Britannica, sang sultan membuka perpustakaan kerajaan Samanid untuknya. 

Sejak itu, ia mulai menulis pada usia 21 tahun dan menghasilkan 240 tulisan. Karya-karyanya melintasi bidang-bidang matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, metafisika, filologi, musik, dan puisi.

Laki-laki yang dikenal tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya ini sulit diketahui catatan mengenai kehidupan pribadinya. Satu-satunya sumber dari otobiografi yakni catatan yang didiktekan pada anak didiknya, al-Juzjani.

Dituliskan dalam otobiografi itu, Ibnu Sina tetap memiliki banyak kawan dari berbagai kalangan meski tetap dimusuhi dan difitnah oleh golongan Islam puritan, bahkan sempat dipenjara. Ia mencintai kehidupan, memiliki selera makan yang besar, sangat tertarik pada musik, anggur, dan seks.

Terlepas dari itu semua, kecerdasan karya-karyanya sebagai dokter muslim pertama memberikan pengaruh mendalam terhadap sekolah-sekolah medis Eropa hingga abad ke-17.

Akhir hidup filsuf eksentrik ini berakhir di bulan Ramadan 1037 Masehi, saat dalam perjalanan menemani Ala al-Dawla menuju Hamadan. Ia meninggal karena sakit perut, mengalami luka parah, dan tidak bisa bertahan hingga menghembuskan napas terakhir.

Pada 1913, dokter dan profesor kedokteran Kanada, Sir William Osler menyebut Ibnu Sina sebagai "penulis buku teks medis paling terkenal yang pernah ditulis sepanjang sejarah." Osler, seperti terpacak pada laman Britaniccamenilai sosoknya sebagai seorang praktisi kedokteran yang sukses sekaligus berperan sebagai negarawan, guru, filsuf dan tokoh sastra.
 
Makam Ibnu Sina di kota Hamadan, sebelah tenggara Teheran, Iran, pada 1950 diperbarui dan diubah menjadi museum yang dilengkapi dengan perpustakaan dengan ribuan koleksi buku. Tokoh muslim ini disebut mampu mengembalikan kejayaan ilmuwan Islam abad pertengahan dan karyanya masih diakui hingga sekarang.
https://tirto.id/ibnu-sina-filsuf-amp-dokter-islam-ternama-yang-dianggap-ateis-cqPp

Jumat, 09 Juni 2017

Konspirasi RUU Pertembakauan

Deni Wahyudi Kurniawan | Friday, 9 June 2017

Petani menyiangi rumput di antara tanaman tembakau di perladangan lereng gunung Sindoro desa Tlahab, Kledung, Temanggung, Jateng, Senin (5/6). Memasuki musim kemarau petani di kawasan lereng gunung Sumbing dan Sindoro mulai menanam tembakau untuk dipanen pada bulan Agustus hingga bulan Oktober mendatang. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/aww/17.

Pada 22 Mei 2017 yang lalu Sidratahta Mukhtar (SM) menulis di koran sindo dengan judul Kebijakan Politik di Tengah Perang Tembakau. Dalam tulisan itu SM menyinggung tarik menarik kepentingan dalam pembahasan RUU Pertembakauan antara DPR dan Presiden Jokowi. Di satu sisi DPR ingin menuntaskan RUU tersebut untuk melindungi petani tembakau, sementara Presiden Joko Widodo menolak melanjutkan pembahasan karena rokok menyebabkan kemiskinan dan beban biaya ekonomi kepada Negara dan masyarakat.
Dalam tulisan tersebut SM kemudian menyitir tarik menarik ini terjadi karena pertarungan antara kepentingan petani tembakau melawan perusahaan farmasi multinasional yang berkedok gerakan anti rokok. SM menyatakan regulasi FCTC-WHO didukung Gates Foundation dan Bloomberg Philantrophy untuk memuluskan kepentingan industri rokok asing menguasai pasar rokok dan tembakau Indonesia. Tulisan ini mencoba memberikan perspektif lain dan alternatif pemahaman dari argumentasi yang disampaikan tulisan tersebut.
Teori Konspirasi dan Upaya “Killing The Messenger”
Industri rokok adalah bisnis ratusan triliunan yang menempatkan para pemilikinya di jajaran orang-orang terkaya. Namun fakta ilmiah bahwa produk tembakau menyebabkan sakit dan berbagai gangguan kesehatan berat menempatkannya sebagai bisnis yang tidak normal dan harus dikendalikan seketat mungkin.
Untuk melawan citra buruk ini, industri rokok selalu mengalihkan perdebatan ke isu lain. Disebutlah berbagai mitos keuntungan ekonomi dari industri berikut dampak bagi petani tembakau dan pekerja industri rokok jika rokok dikendalikan. Tidak cukup hingga disana, industri rokok juga selalu berupaya untuk mengangkat teori konspirasi bahwa ada kepentingan industri farmasi multinasional yang ingin memasarkan tembakau sintetis dalam tuntutan kelompok anti rokok.
Mereka selalu mengkampanyekan bahwa rokok bukan hanya soal kesehatan tapi juga soal kedaulatan negara menghadapi intervensi asing. Karya yang selalu dijadikan rujukan industri adalah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton yang merupakan aktifis Forces Internasional, sebuah kelompok pro rokok yang merupakan underbow perusahaan-perusahaan rokok di Amerika Serikat.
Berbagai dokumen dan memo internal industri rokok yang dibuka oleh pengadilan Amerika Serikat menunjukkan upaya ini juga digunakan untuk mendiskreditkan lembaga-lembaga yang melakukan kampanye pengendalian tembakau. Maka kemudian dimunculkan frame bahwa para aktifis anti rokok adalah kepanjangan tangan Gates Foundation dan Bloomberg untuk memuluskan bisnis terapi nikotin. Setiap lembaga dan tokoh yang mendukung perjuangan kesehatan masyarakat kemudian dituduh sebagai antek asing bahkan dicap sebagai setan gundul musuh para petani tembakau.
Isu Ekonomi dan Petani sebagai Pengalihan Isu
Industri rokok juga mendalilkan besarnya sumbangan ekonomi industri rokok terhadap perekonomian nasional di tanah air. Pendapatan cukai rokok yang saat ini sudah lebih dari 170 triliun dianggap sebagai bukti besarnya sumbangan industri kepada Negara.
Klaim ini tentu tidak tepak jika kita lihat filosopi cukai yang dikenakan bagi barang-barang yang membahayakan masyarakat seperti rokok, tembakau, alkohol dan produk yang mengandung alkohol. Cukai adalah instrumen pengendalian konsumsi bukan alat untuk menambah pendapatan Negara. Sehingga keberhasilan cukai tidak diukur dari besarnya pendapatan cukai namun dari efektifitasnya dalam mengendalikan konsumsi produk tersebut.
Pun begitu tuduhan bahwa Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) akan melarang menanam tembakau berisi regulasi yang menguntungkan industri rokok asing dan mematikan industri rokok nasional adalah tidak berdasar dan jauh dari bukti. Faktanya FCTC berisi paket kebijakan untuk membantu Negara pihak mengendalikan konsumsi rokok baik dari sisi supply maupun permintaan.  Tidak ada satu pasal pun yang melarang petani menanam tembakau. Pun begitu berbagai pasal di dalam FCTC menyampakan bahwa setiap peraturan yang direkomendasikan harus sesuai dengan regulasi dan kebijakan nasional masing-masing. Artinya, FCTC justru sangat menghormati kedaulatan dan keputusan masing-masing Negara yang menjadi pihak dalam FCTC.
Bahkan dalam pasal 17 dan 18, FCTC memberikan penekanan bahwa setiap negara pihak harus memikirkan kesejahteraan petani tembakau dan pekerja industri rokok yang dalam jangka panjang akan terdampak penurunan konsumsi rokok. Dalam konteks ini FCTC justru memberikan perhatian dan memikirikan masa depan petani tembakau dan pekerja industri rokok.
Fakta lain adalah bahwa FCTC merupakan konvensi internasional pertama yang mengatur kesehatan. Hingga saat ini sudah 180 negara yang menjadi Negara pihak FCTC dan tercatat sebagai hukum internasional yang paling cepat diratifikasi oleh banyak negara. Fakta yang selalu disembunyikan adalah bahwa pengusul FCTC adalah negara-negara berkembang yang ingin melindungi rakyatnya seperti Indonesia, Thailand, Brasil dan beberapa negara lain. Indonesia bahkan menjadi tuan rumah pembahasan FCTC pada tahun 2001.
Begitu pula dengan RUU Pertembakauan yang saat ini sedang dibahas di DPR sarat dengan agenda terselubung kepentingan industri rokok. Selain urgensinya yang dipertanyakan banyak pihak, RUU juga tumpang tindih dengan 17 undang-undang yang sudah disahkan. Bahkan dalam konteks perlindungan petani, UU Perlindungan, dan Pemberdayaan Petani yang disahkan pada tahun 2014 memuat aturan yang lebih komprehensif. Yang paling berbahaya dari RUU Pertembakauan adalah pasal peralihan yang intensinya sangat jelas ingin mengembalikan berbagai pengaturan soal rokok yang sudah ada saat ini mundur beberapa langkah.
Masalah utama petani tembakau adalah anomali cuaca ekstrim yang sulit ditebak serta sistem tata niaga yang tidak menguntungkan. Petani juga terdesak dengan meningkatnya impor tembakau yang justru dipicu oleh peningkatan produksi rokok dalam negeri. Pertumbuhan produksi rokok yang meningkat rata-rata 5 miliar batang tiap tahunnya tidak bisa diikuti oleh peningkatan produksi petani yang hanya maksimal 250 ribu ton semakin melemahkan daya tawar petani dan tembakau lokal. Pada akhirnya selain para perokok dan perokok pasif, negara dan petani tembakau sekalipun menjadi korban dari lingkaran setan bisnis tembakau.
Menyelamatkan Masa Depan
Dalam dua dekade terakhir tren angka kesakitan akibat penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung, stroke dan kanker terus meningkat hingga 60% dari total kematian dunia secara keseluruhan. Pemicunya utamanya adalah empat faktor resiko yaitu kurang olahraga, makanan tidak sehat, konsumsi alkohol dan pandemi konsumsi tembakau. Maka tidak heran jika dunia bersepakat untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan diisahkannya FCTC pada tahun 2003.
Indonesia meskipun terlibat secara intens dalam proses penyususnannya namun hingga saat ini belum mengaksesi konvensi tersebut. Akibatnya Indonesia terlambat beberapa langkah dan hingga saat ini termasuk Negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Pandemi tembakau juga tidak akan surut dengan cepat karena banyaknya anak muda yang merokok akibat pengaruh berbagai upaya marketing dari industri rokok. Kondisi ini jika dibiarkan akan mengancam bonus demografi yang akan dinikmati pada tahun 2045.
Pandemi konsumsi rokok adalah masalah kesehatan masyarakat, namun dampaknya bersifat sistemik karena berpengaruh kepada ekonomi, sosial dan kualitas bangsa. Agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) menempatkan isu tembakau sebagai salah satu tantangan pembangunan.
Membiarkan konsumsi tembakau merajalela sama saja membiarkan bangsa berkubang di middle income trap dan gagal dalam mencapai tujuan pembangunan. Maka, sudah saatnya Negara bersikap untuk menegaskan komitmen dan memperkuat regulasi pengendalian tembakau!.
http://geotimes.co.id/konspirasi-ruu-pertembakauan/