Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 20 Desember 2018

Sehat Berkat Minum Air Hujan

KAMIS, 20 DES 2018 | 21:31:42 WIB


Tujuh orang peserta dari Bina Swadaya Konsultan, minum bersama air Hujan dielektrolisa saat pelatihan di Muntilan, akhir Mei 2018. (V Kirjito/koranbernas.id)
Adalah Romo V. Kirdjito yang sejak 2013 mengadakan riset eksperimental manfaat air hujan bagi kesehatan manusia, sehingga banyak orang terjaga kesehatannya karena minum air hujan yang telah diproses dengan ionisasi. Berkat ketekunan beliau, melalui metode gethok tular, terbentuklah sejumlah komunitas yang sangat peduli budidaya air minum untuk kesehatan yang tersebar di wilayah Muntilan dan daerah-daerah lain, seperti komunitas H2Obe di sekitar Bekasi - Jakarta, komunitas Air Langit di Bali, komunitas Kandhang Udan sekitar Klaten - Yogya - Solo - Muntilan, komunitas Omah Udan di Semarang, komunitas Uran Pa'kamasena Puang di Toraja serta Lokakarya Labora Udan di Wisma Hijau, Depok dan di Nabire, Papua. Kenyataan ini mendorong Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) --sekarang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)-- memilih beliau menjadi salah satu dari 72 Ikon Prestasi Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI ke-72, 21 Agustus 2017.

Pada forum 72 Ikon Prestasi Indonesia inilah saya bertemu Romo Kirdjito, kemudian semakin akrab berkomunikasi melalui WAG dan berlanjut dengan komunikasi langsung. Romo Kir mengeluhkan wacana pengamalan Pancasila yang cenderung hanya dari sisi agama saja, seolah Pancasilais itu terbatas pada kerukunan beragama. Beliau merasa lebih tertarik mengapresiasi etika, moral, tertib hukum dan sains-sains sederhana di masyarakat. Dalam komunikasi itu saya menerima tulisan-tulisan beliau yang dimuat di harian Kompas dan Koran Bernas, maupun draft buku yang akan diterbitkan. Yang terakhir ini saya langsung kontak dengan Ibu Yani Trisnawati, koordinator penerbit Bina Swadaya, guna menelaah kelayakan terbit buku tersebut di badan penerbit Bina Swadaya, dan ternyata Puspa Swara dan Trubus menyambut positif.

Mengapa air hujan? Dalam artikel beliau di Koran Bernas edisi 2 April 2018 dibahas bahwa air hujan adalah air suling alam, mendekati air murni, datang dari langit dengan ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Langit itu bebas dari sampah padat, entah kotoran hewan, kotoran manusia, limbah pabrik dan sebagainya. Ada asap kendaraan dan pabrik, tetapi begitu melayang di udara segera terurai dan netral. Air hujan sedikit kotor ketika jatuh di atap rumah. Tetapi atap rumah dimanapun tidak menjadi tempat sampah. Sampah selalu dibuang di tanah yang digali, kemudian meresap dalam tanah ketika hujan turun. Jumlah dan jenis sampah jauh lebih banyak. Akibatnya tentu mempengaruhi kualitas air dalam tanah. Air bersih dari langit berikut sentuhan inovatif sederhana, --bahasa kerakyatannya disetrum--, kemudian dikonsumsi menjadi air minum, sangat berperan dalam proses metabolisme membentuk darah yang bersih. Darah yang bersih sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan dan stamina. Demikian penjelasan Romo Kirdjito.

Salah satu tulisan Romo Kir yang menggugah saya adalah kisah "Keluarga Alex dan Mukjizat Air Hujan" (Koran Bernas, 10 April 2018). Suatu kisah keluarga petani di dusun Gemer, Desa Argomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang istri dan anak-anaknya sakit-sakitan dan tergantung obat dokter, berubah menjadi sehat setelah mengkonsumsi air hujan yang diionisasi sendiri oleh Pak Alex Kusnadi. Informasi ini mencuat di tengah berita krisis air minum di Afrika Selatan, sementara Indonesia yang dilanda banjir dimana-mana juga mengalami kesulitan air bersih. Wah, kalau kabar dari Magelang itu benar, akan merupakan peluang besar untuk kesehatan kita di Komunitas Bina Swadaya dan masyarakat yang kita berdayakan di daerah-daerah yang mengalami kesulitan air minum. Kemudian setelah dibahas cepat di Bina Swadaya dengan Romo Kirdjito, maka terjadilah lokakarya pelatihan khusus bagi Trubus Bina Swadaya Grup (8 orang) di Muntilan, Jumat, 27 April 2018, selama 9 jam.
Walau dipahami bahwa air yang dimaksud tidak untuk mengobati orang sakit, namun pengalaman teman-teman Bina Swadaya dalam lokakarya pelatihan memberikan kesaksian yang sama. Mereka merasa tetap fit, antusias dan konsentrasi mengikuti kegiatan lokakarya 9 jam non stop (kecuali makan) berkat minum air sehat yang telah terionisasi selama lokakarya berlangsung. Bahkan Mas Siwi yang hampir tidak ikut karena kurang sehat, suaranya hampir hilang, hidung meler, tenggorokan gatal dan batuk-batuk, setelah minum air elektrolit merasa lebih fit dan tahan berpartisipasi sampai akhir acara. "Bahkan saya dan Mas Ari Primantoro heran, karena biasanya sore hari setelah intens mendengarkan atau diskusi, biasanya teler, loyo sudah. Tapi air dari Romo seperti setrum yang mengisi baterai energi dalam tubuh. Luar biasa. Menurut saya ini bermanfaat untuk orang banyak, sehingga harus diberitakan, disebarkan," kata Siwi Kristianto.

Labora Udan
Kesuksesan teman-teman tersebut mendorong keinginan kami untuk belajar lebih dalam tentang air minum yang sehat dan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Oleh karena itu, kami mengundang Romo Kirjito ke Jakarta, tinggal beberapa lama di Wisma Hijau, memberikan pencerahan bagi komunitas Bina Swadaya tentang air sehat ini sekaligus melatih teman-teman yang ingin membuat alat-alat yang diperlukan. Didampingi Mas Bimo, mulai pagi sampai tengah malam berlangsung diskusi-diskusi yang menarik perhatian para sahabat Bina Swadaya di sekitar Wisma Hijau dan tempat yang lebih jauh lagi.

Dalam diskusi-diskusi pada kunjungan pertama, kami dipahamkan bahwa kalau upaya memproduksi sendiri air sehat untuk diminum dilakukan dengan benar, hal itu akan berdampak membaiknya kesehatan, meringankan beban ekonomi dan meningkatnya kepedulian pribadi akan kualitas air yang diminum. Tentang membaiknya kesehatan telah dirasakan sejak usainya lokakarya Muntilan (27 April 2018). Para peserta segera membuat peralatan memproduksi air minum sehat. Demikian juga keluarga kami di rumah.

Dampak yang kami rasakan setelah mengkonsumsi air sehat itu, stamina yang lebih kuat, tidur yang lebih lelap, badan terasa fit, kotoran badan (keringat, air seni, tinja, dll) lebih baik (kami mencatat dengan tekun seperti dianjurkan Romo). Dari sharing teman-teman, pada saat awal sebagian ada yang merasa sakit perut, mengantuk, pusing, bahkan saya pribadi merasakan nyeri pada hidung, tenggorokan dan telinga. Setelah diperiksa oleh dokter THT dengan alat-alat canggih, tidak ditemukan penyakit yang mengkhawatirkan. Kami memaknai gejala-gejala tersebut merupakan reaksi proses detoksi darah. Nyatanya, setelah beberapa lama, gejala itu hilang dengan sendirinya.

Dari aspek ekonomi, bebannya semakin ringan karena tidak perlu lagi membeli air galon yang selama ini dilakukan plus biaya obat. Dari sharing teman-teman di Wisma Hijau, aspek ekonomi sebagai dampak dari memproduksi air minum secara swadaya ini juga bervariasi. Keluarga Anton Ria, staf maintenance, mencatat setiap bulan berpengeluaran Rp320.000 untuk membeli air minum dan obat-obatan. Tendensi membaiknya kesehatan dan berkurangnya beban ekonomi ditambah kesadaran tentang pentingnya kualitas air yang baik, menyakinkan komunitas Bina Swadaya pentingnya menggunakan upaya minum air hujan yang diionisasi ini sebagai instrumen penting bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Di kota besar dan di desa-desa terpencil, orang miskin sering membeli air minum lebih mahal daripada kelas menengah ke atas. Proses pemikiran dan kesadaran ini mendorong kami untuk membangun Laboran Udan Bina Swadaya di kompleks Wisma Hijau.(*)
Bambang Ismawan
Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya, Pemimpin Umum Majalah Pertanian Trubus.

Kamis, 15 November 2018

Jurnalisme Investigasi


 Dandy Dwi Laksono


Dari 47.000 media di Indonesia, hanya TUJUH yang tergabung dalam IndonesiaLeaks yang melakukan investigasi secara gotong-royong dalam kasus "Buku Merah" KPK yang melibatkan unsur-unsur polisi.

Menurut Dewan Pers, Indonesia adalah negara yang memiliki media terbanyak di dunia, meski konsumsi bukunya (minat baca) hanya satu level lebih baik dari Botswana. Saat ini ada 2.000 media cetak, 674 radio, dan 523 televisi. Sisanya --yang terbanyak--- adalah media online.

Dari tujuh media pemberani yang tergabung dalam IndonesiaLeaks itu, hanya lima yang memublikasikan hasil liputannya. Satu media sudah mengolah namun tidak jadi menayangkan. Satu media yang lain ikut proses peliputan tetapi tidak mengolah dan belakangan justru mundur dari IndonesiaLeaks.

Begitulah. Liputan investigasi tak hanya perkara menyamar, menyelundupkan dokumen, atau memakai kamera tersembunyi. Jauh lebih kompleks dari itu adalah politik media, budaya organisasi, komitmen anggaran, dan terutama nyali industrinya sendiri menghadapi tekanan-tekanan dari berbagai pihak.

Semakin mapan sebuah bisnis media, biasanya justru semakin pelit memproduksi liputan-liputan investigasi. Entah kenapa.
Tapi salah satu penjelasannya adalah, model bisnis media yang terkonglomerasi (hanya dimiliki sekitar 12 kelompok usaha saja), membuat industri berita ini memiliki banyak kaitan dengan perusahaan lain yang juga punya masalah, mulai dari pertambangan, perkebunan, perbankan, perhotelan, properti, retail, sampai rumah sakit, kampus, warung kopi atau taman hiburan.

Itu belum menghitung kaitannya dengan partai politik yang hampir pasti akan ikut menyeret-nyeret ruang redaksinya dalam pusaran kepentingan, terutama jika media itu diisi wartawan-wartawan yang menganggap profesinya sekadar pekerjaan. Tak lebih. Tak ada kaitan dengan empat doktrin klasik media yang melayani informasi, pendidikan, hiburan, dan --terutama-- kontrol sosial.

Konon lagi sampai dikaitkan dengan menyuarakan kepentingan yang lemah, kaum minoritas, hak asasi manusia, lingkungan hidup, atau pemberantasan korupsi seperti yang sedang dikerjakan para jurnalis yang tergabung dalam IndonesiaLeaks.

Buku ini saya tulis tahun 2009 dan diterbitkan oleh grup Mizan. Lalu kini diterbitkan ulang oleh penerbit independen dari Yogyakarta, Penerbit Circa.

Isinya adalah pengalaman wartawan-wartawan lokal dalam melakukan liputan investigasi, dan sedikit gambaran bagaimana politik media memperlakukan liputan-liputan seperti ini.

Semoga tetap relevan.

Rabu, 22 Agustus 2018

Detail Kejadian Keluhan Suara Azan dan Kerusuhan di Tanjung Balai

Oleh: Rio Apinino - 22 Agustus 2018


Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Meiliana mengikuti persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/7/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana


Meiliana, seorang keturunan Tionghoa, akhirnya divonis penjara 1,5 tahun. Semua berawal dari keluhannya terhadap suara azan yang terlampau keras.
Massa mengamuk. Mereka berteriak di tengah-tengah kegelapan. "Bakar... bakar... bakar... bakar..." Dan terjadilah kengerian itu: api disulut di bawah sebuah van putih. Tak lama setelahnya api juga berkobar di lantai satu vihara, membubungkan asap tebal ke udara. 

Tak ada polisi yang berjaga ketika kengerian itu terjadi, demikian kata salah satu saksi mata yang dikutip dari Majalah Tempo edisi 8 Agustus 2016. Satuan Brigade Mobil baru datang pagi keesokan harinya. 

"Pak, tolong kejadian di Tanjungbalai ditangani," kata Tito Karnavian, Kapolri, kepada Komisaris Besar Jenderal Syafruddin. 

Namun semua sudah terlambat. Seisi vihara sudah hancur. Dupa berserakan di mana-mana, pun dengan patung dewa yang bagian bawahnya sudah entah ke mana. 

Malam itu tercatat tiga vihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, dirusak dan dibakar. Bukan cuma itu, tiga mobil, dua motor dan satu becak juga dibikin gosong. 

Berawal dari keluhan

Semua berawal dari keluhan Meiliana ketika sedang belanja di warung Kasini, Jumat 22 Juli 2016 pukul tujuh pagi. Kepada pemilik warung, ka Uo, Meiliana mengeluh soal volume speaker masjid yang menurutnya terlalu keras. Meiliana adalah seorang keturunan Tionghoa beragama Buddha. 

Masjid yang ia maksud adalah Al-Maksum, lokasinya persis ada di depan rumah yang disewa Meiliana di Jalan Karya Kelurahan Tanjungbalai Selatan I. Meiliana sudah delapan tahun tinggal di tempat itu. 

Ada dua versi keluhan Meiliana ini. Pertama menurut Meiliana sendiri, dan kedua berdasarkan keterangan ka Uo. Versi Meiliana, ia mengatakan kepada ka Uo: "ka Uo, dulu kan suara masjid kita tidak begitu besar, sekarang kok agak besar?" Kak Uo menjawab: "Iya, ya." Sementara menurut Uo sendiri, Meiliana awalnya bilang: "Bilang sama uwak itu, tolong kecilkan suara masjid, bising kupingku ribut kali."

Mendengar keluhan itu ka Uo menjawab: "Ya, nanti aku sampaikan ke ayahku." Ayah Uo adalah Kasidi, yang tidak lain merupakan pengurus masjid. 

Kak Uo tidak menyampaikannya langsung ke ayahnya. Ia lebih memilih bicara ke Hermayanti, adiknya, pada 23 Juli 2016. Adiknya yang kemudian menyampaikan ke ayah. Kata ka Uo ke Hermayanti: "Her, orang Cina muka itu minta kecilkan volume masjid." Embel-embel "orang Cina" turut disampaikan ke Kasidi. 


Kasidi mengkonfirmasi permintaan itu ke Uo. Uo membenarkannya. Sejak dari sini pernyataan Meiliana telah menyimpang dari apa yang benar-benar ia katakan.

29 Juli 2016. Kasidi memberitahu apa yang ia dengar dari sang anak ke Haris Tua Marpaung (Lobe), Zul Sambas dan Dailami. Ketiganya adalah pengurus masjid. Tidak butuh waktu lama, bakda Magrib keempat orang ini dan seseorang bernama Rifai mendatangi rumah Meiliana meminta klarifikasi. 

Lagi-lagi ada dua versi dari pertemuan ini. Meiliana mengatakan dia tak pernah melarang azan. Sementara versi satunya lagi–dari Lobe–menyebut Meiliana memang keberatan dengan "suara azan di masjid". 
Pukul 19.15, Fahrur Razman Sambas, Kepala Lingkungan I Tanjungbalai Kota I, melaporkan hal ini ke lurah. Lurah kemudian meminta Bhabinkamtibmas dan Babinsa untuk turut serta hadir ke kantornya. Di sana Meiliana mengaku dia memang keberatan, tapi bukan oleh azan itu sendiri melainkan karena suaranya yang dianggap terlampau bising. 

Di luar, sekitar pukul 21.15, ternyata sudah berkumpul massa. Satu orang tak dikenal tiba-tiba masuk mencoba memukul Meiliana. 

Kabar berkembang cepat. Muncul berita sumir di tengah-tengah warga kalau "seorang Cina mengamuk ke kelurahan," "Cina larang-larang azan", dan sejenisnya. Rudi Bakti, seorang warga, bahkan berorasi menggunakan pengeras suara di depan Polsek. Tingkahnya membikin informasi makin cepat tersebar. Dia juga menghidupkan sirene pengeras suara di Bundaran PLN. 

"Hari ini kita jangan diinjak kaum Cina, adanya pelarangan azan yang berkumandang di masjid," katanya berulang-ulang. Setelah warga berkumpul, mereka dimobilisasi. Rumah Meiliana dirusak. 

Setelah itu Rudi dan massa bergerak ke vihara karena gagal menghancurkan rumah Meiliana yang dijaga warga setempat. Mereka melanjutkan aksi brutalnya. 

Seluruh kronologi itu disaripatikan dari laporan penelitian berjudul Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai yang dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina. 

Meiliana dipenjara

Masih menurut laporan Siswo, Irsyad dan Ali, sebetulnya tak ada masyarakat yang mau melaporkan Meiliana ke polisi. Pun awalnya Majelis Ulama Indonesia Kota Tanjungbalai enggan mengeluarkan fatwa penodaan agama kepadanya. Tapi lembaga lain seperti FUI, HTI, dan pesantren al-Wasliyah mendesak. 

MUI kalah suara. Pada Januari 2017 mereka mengeluarkan fatwa yang isinya adalah apa yang dilakukan Meiliana masuk dalam kategori penistaan terhadap agama Islam. 

Kejadian-kejadian ini berlangsung bersamaan dengan aksi-aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, atas dugaan pasal yang sama. 

Polisi, dalam hal ini Polda Medan, akhirnya menetapkan status tersangka kepada Meiliana pada Maret 2017. Pasal yang dikenakan adalah pasal 156 subsider 156 a KUH Pidana tentang penistaan agama, sama seperti Ahok. 

Sidang-sidang pun berlanjut, tak jarang dengan kehadiran massa. 

INFOGRAFIK Terpidana kasus penistaan agama


Meiliana hanya bisa menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dari Pengadilan Negeri Medan akhirnya memutusnya bersalah dan menghukumnya dengan kurungan 1,5 tahun penjara pada Selasa (21/8/2018) kemarin. 

Hendardi, ketua Setara Institute, mengatakan sedari awal proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trial. "Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya," kata Hendardi kepada Tirto. 

Bagaimanapun palu telak diketok. Meiliana tetap harus menjalankan hukuman meski telah berkali-kali meminta maaf. Padahal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saja mengatakan kritik suara azan yang terlalu keras "bukan ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu".

Seharusnya, kata Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan Robikin Emhas seperti dikutip dari Antara, kritik suara azan harus dilihat sebagai kritik yang konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural.

Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS

Sumber: Tirto 
___________________



Sebagai Tim Penasehat Hukum ibu Meliana, setelah menahan diri untuk tidak menuliskan apapun terkait perkara ibu Meliana, karena kami beranggapan bahwa medsos bukanlah ranah untuk saling membuktikan kebenaran, namun baiklah sekarang kami menuliskannya setelah hakim membacakan putusannya menghukum penjara Meliana selama 18 bulan, sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Untuk info lebih detail terkait perkara tersebut, bisa meminta copy dakwaan, tuntutan, pledoi dll ke kantor hukum kami, akan dengan senang hati kami berikan, dalam kerangka menghadirkan diskusi intelektual untuk perkembangan hukum kita. Catatan ini hanya keterangan singkat, tidak akan utuh dalam menjelaskan duduk perkaranya.

Singkatnya perkara ibu Meliana begini:
Tanggal 22 Juli 2016,
ibu Meliana belanja ke tetangganya, lazimnya ibu-ibu belanja, curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua), "kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras", pemilik warung yang jadi saksi dipersidangan tersebut juga mengakui bahwa itulah yang diucapkan Meliana.
Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meliana tersebut kepada saudaranya, saudaranya menyampaikan kepada bapaknya, bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi, akhirnya tersebar isu bahwa ada "orang melarang Adzan" merujuk kepada ibu Meliana, issu tsb menyebar luas, seperti biasa medsos bekerja dengan cepat, massa menelan mentah-mentah issu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016. Dalam persidangan bahkan seorang saksi mengaku bahwa ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan. (Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan)
Tanggal 29 Juli 2016
Beberapa orang mendatangi rumah Meliana, mempertanyakan kebenaran issu "ada yang melarang Adzan" langsung ke rumah Meliana, orang-orang semakin ramai, rumah Meliana dilempari, dirusak dan dibakar. Tidak hanya itu saja, massa yang marah juga membakar puluhan rumah termasuk rumah ibadah umat Budha di Tanjung Balai.
Tanggal 30 Mei 2018
Kejaksaan Negeri Tanjung Balai mengeluarkan surat perintah menahan Ibu Meliana. Jaksa mendakwa ibu Meliana, melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia"
Jaksa mendakwa perbuatan pidana Meliana dilakukan pada tanggal 29 Juli 2016, padahal pada tanggal tersebut Melianalah yang menjadi korban tindak pidana dari orang-orang yang beramai-ramai menyatroni rumahnya, mengintimidasi, merusak rumahnya, membakar rumahnya dan melempari rumahnya, dan berteriak-teriak bakar kepada Meliana dan keluarga. Jaksa menjadikan surat pernyataan dari orang lain dan fatwa MUI Prov Sumut sebagai alat bukti Meliana melakukan perbuatan yang dituduhkan. Surat pernyataan tersebut dengan rinci menguraikan ucapan Meliana pada tanggal 29 Juli 2016, meskipun tidak pernah ada rekaman/video yang membuktikan kebenaran surat pernyataan tersebut adalah sama dengan yg diucapkan Meliana.
Dalam persidangan, Jaksa Anggia Y Kesuma, SH dkk tidak pernah membuktikan kebenaran dakwaannya, tidak dapat menghadirkan rekaman suara atau video yang bisa membuat terang tindak pidana yang dilakukan oleh Meliana. Jaksa malah menyebutkan dalam tuntutannya bahwa barang bukti yang mereka buat adalah toa dan amplifier yang tidak pernah diperlihatkan di muka sidang, padahal barang bukti tersebut tidak sedikitpun menunjukkan apalagi membuktikan Meliana mengucapkan apa yang dituduhkan.
Padahal, di era digital saat ini, orang yang bertengkar dipinggir jalan saja ada yang iseng memvideokannya, mengapa saat orang ramai menyatroni rumah Meliana untuk mempertanyakan kebenaran issu tersebut tidak satupun ada video? Atau ada video, namun tidak ada bagian yang membuktikan bahwa Meliana mengucapkan apa yang dituduhkan?
Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa dan yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum telah menerangkan, bahwa rekaman suara adalah suatu hal yang lazim diperdengarkan untuk menguji kebenaran ucapan seseorang dengan apa yang sudah dituliskan. Dalam hal ini, dakwaan jaksa dengan surat pernyataan masyarakat sama persis tulisannya terkait ucapan Meliana, Penasehat Hukum sudah keberatan terhadap dakwaan Jaksa tersebut, sejak dari Eksepsi sampai pada Pledoi, namun Majelis Hakim yang mulia tetap mengadili perkara Meliana.
Terkait unsur sengaja di muka umum pun kami anggap tidak terpenuhi, karena umum tersebutlah yang mendatangi rumah ibu Meliana pada tanggal 29 Juli 2016.
Terkait penodaan, keterangan ahli agama Islam, bapak Rumadi Ahmad menjelaskan bahwa respon terhadap adzan tidak dapat dianggap sebagai respon terhadap ajaran agama, karena itu tidak dapat dianggap sebagai penodaan terhadap agama itu sendiri, hal ini juga panjang lebar telah diterangkan pak Rumadi dilaman facebooknya. Tim juga menghadirkan ahli hukum pidana Dr Sri Wiyanti dan ahli Bahasa Dr Mitsuhito Solin.
21 Agustus 2018
Meliana divonis oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, SH., MH dan dua anggota Majelis Hakim yaitu: Saryana, SH., MH dan Erintuah Damanik, SH., MH., dengan putusan Meliana terbukti bersalah melanggar pasal 156 a huruf (a) dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Tanpa keraguan kami Penasehat Hukum langsung menyatakan banding terhadap putusan tersebut, meskipun resikonya mendapatkan intimidasi dan kekerasan verbal dari pengunjung sidang yang sejak awal sudah membenci Meliana dan menularkan kebenciannya tersebut kepada kami Tim Penasehat Hukum, bahkan dalam setiap persidangan kami mendapatkan kekerasan verbal tersebut. Untung rugi daripada banding ini akan kami diskusikan kemudian dengan ibu Meliana, dan upaya banding tersebut akan kami review kembali setelah bertemu dengan ibu Meliana dalam waltu dekat ini.
Satu hal lagi yang perlu kami sampaikan, ibu Meliana adalah perempuan, ibu dari empat anak, bersuku Tionghoa dan beragama Budha, saat ini tidak bisa membesarkan anak dan mengurus keluarganya, karena harus berhadapan dengan rimba raya penegakan hukum di negara kita yang seharusnya semakin baik.
Karena itu, mari kita sejenak membayangkan bahwa Meliana adalah ibu kita, kakak perempuan kita, anak perempuan kita, apakah benar Meliana berani mengucapkan apa yang dituduhkan padanya tersebut didepan orang banyak yang sedang marah? Meliana perempuan yang tidak berdaya dari kelompok yang minoritas, suaminya hanya bekerja serabutan menjaga sarang burung walet milik orang lain yang sekarang kehilangan pekerjaannya tersebut karena perkara ini, anaknya trauma berat karena massa marah yang mendatangi rumah mereka. Saya kuatir Meliana dipenjara 10 tahun pun tidak mengobati kebencian kita terhadap perbedaan2 agama, namun sebaliknya akan membuka ruang-ruang hukum untuk memperkarakan perbedaan-perbedaan agama dan pahamnya.
Beruntung dalam menghadapi perkara tersebut ibu Meliana dibantu oleh Tim hebat Ferry Wira Veryanto Sitohang dan rekan-rekannya dari Organisasi Aliansi Sumut Bersatu (ASB) organisasi yang selama ini getol menyuarakan pluralisme, yang bekerja keras menghadirkan ahli dan mempersiapkan hal lainnya untuk membela ibu Meliana. Ibu Meliana juga beruntung didampingi oleh penyuluh agama dan juga peneliti Deva Alvina Br Sebayang. Bahkan banyak pihak yang bersimpati dan mendukung ibu Meliana, termasuk kak Anita Martha Hutagalung yang tidak bosan-bosannya menjelaskan fakta terhadap perkara ini dan hadir dalam sidang putusan tempohari.
Semoga informasi tersebut membantu kita memahami perkara ibu Meliana.
Mari kita hentikan perdebatan di ruang medsos ini, tidak perlu lagi saling menyalahkan, jangan sampai menambah suasana yang tidak harmonis, mari kita percaya kepada penegak hukum, meskipun hasilnya tidak memuaskan kita. Toh dari awal kita semua sudah tahu bahwa memperjuangkan keadilan adalah proses yang terus menerus, bukan hanya di ruang sidang, bahkan sejak dari ruang pikir kita masing-masing.
Bagi pihak-pihak yang membenci kami Tim Penasehat Hukum karena pembelaan kepada Meliana, kami dapat memakluminya. Dalam melakukan pembelaan tersebut kami dilindungi oleh undang-undang, keliru jika pembelaan ini juga dianggap sebagai suatu penodaan. Kami hanya memastikan bahwa hukum dijalankan sesuai dengan aturan yang sebenarnya, bukan karena tekanan sekelompok orang.
Membela kepentingan hukum Meliana sebaiknya tidak didasarkan pada perbedaan atau persamaan agama, tapi karena setiap kita akan membutuhkan pembelaan pada waktunya, dan karena setiap kita menyadari bahwa hukum bisa salah dalam penerapannya, karena kita semua manusia, yang tidak mungkin luput melakukan kesalahan.
Meliana adalah kita, mari kita buat dia tersenyum dengan tidak saling menyalahkan, karena dia dan kita sedang memperjuangkan Indonesia yang lebih baik dengan keberagamannya, Indonesia yang lebih baik dengan Bhinneka Tunggal Ika. Saat ini Meliana yang dipenjara, tapi kita berharap tidak lagi ada yang dipenjara karena perbedaan paham-paham atau terkait penodaan agama.
Perjuangan kita berat, menerima perbedaan agama, perbedaan suku sebagai suatu perekat kebangsaan kita, bukan malah menjadikannya sebagai pembeda identitas bermasyarakat dan berpolitik, apalagi untuk memenjarakan atau memperkarakan satu sama lain.
Salam hormat kami,
_________
Aan Anshori: 
NANGIS GETIH
Gusti, besok hari raya Idhul Adha, hari penting yang sarat pesan penting tentang pengorbanan. Tadi, seorang perempuan di Tanjung Balai divonis 18 bulan karena memprotes bising volume toa masjid. Ia dianggap menghinakan agamaku --suatu anggapan yang menurutku tidak masuk akal.
Yang justru masuk akal olehku; perempuan ini telah "berkorban" untuk alasan yang jauh lebih besar. Yakni, supaya saudara-saudaraku Muslim bisa lebih memahami esensi tentang berkorban. Mereka harusnya berani berkorban memangkas ego-mayoritasnya untuk tidak lagi berbuat sewenang-wenang atas nama agama kepada orang lain.
Membunyikan toa/sound system dengan volume yang bisa memekakkan telinga tetangga adalah hal yang perlu dihentikan, bahkan ketika alat itu melantunkan sesuatu yang suci sekalipun.
Kesucian, bagiku, menuntut seseorang agar lebih sensitif dalam menjalankannya. Kesucian harus dilakukan dengan cara suci, termasuk tidak merugikan orang lain. Jika selama ini tidak ada yang protes, tidak berarti volume memekakkan telinga menjadi benar adanya.
Idul adha seharusnya membuat kita menjadi lebih benar, dengan cara menyadarkan kita agar berani mengorbankan diri supaya lebih sensitif sebagai manusia.
Sebagai muslim, aku merasa telah berhutang banyak pada Meiliana. Dia menjadi korban di hari raya Kurban agar kita berani berkorban, memotong kesombongan kita sebagai mayoritas (bermental minoritas).
Hormatku untukmu, Cik Meiliana.
Selamat hari raya Idul Adha!
#nangisgetih
___________

Rumadi Ahmad:
Ibu Meiliana, Maafkan Aku....
Ibu Meiliana, maafkan aku. Ternyata keterangan saya sebagai saksi ahli dalam persidanganmu tak didengarkan hakim. Hakim lebih memilih bisikan lain, daripada bisikanku. Saya sudah berusaha sekuat pengetahuan yang saya miliki untuk membebaskankanmu dari tuduhan melakukan penodaan agama, meskipun saya tahu biasanya hakim tidak akan tahan dengan tekanan massa. Engkau akhirnya tetap divonis melakukan penodaan agama dengan pidana 18 bulan. sebelumnya menduga, jaksa akan terpengaruh dengan argumentasi saya dan menuntutmu bebas. Mengapa? Setelah sidang, salah satu jaksa mendekati saya sambil berkata: "Terima kasih pak atas keterangannya. Banyak yang mencerahkan saya, termasuk posisi fatwa dalam Islam". Ternyata, dugaan saya inipun meleset.
Saya sangat sedih mendengar vonis yang dijatuhkan hakim ini. Keluhanmu atas suara azan yang semakin bising mengantarkanmu ke bui. Engkau sudah menjadi kurban, hanya beberapa hari sebelum Idul Kurban. Sedih....
Ada beberapa hal yang sata tekankan dalam keterangan sebagai ahli:
1. Penerapan pasal 156a tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dg pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Meski saya tdk setuju dengan UU ini tapi faktanya UU ini masih berlaku. Mengapa Pasal 1? Karena disitulah substansi penodaan agama, yaitu "….. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 tersebut terdakwa tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama. Terdakwa tidak melakukang dukungan umum, juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum. DIa hanya menyempaikan dalam perbincangan kecil engan beberapa orang yang kemudian disebarkan ke banyak orang. Terdakwa juga tidak melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
2. Adzan itu bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama. Adzan pada dasarnya adalah seruan panggilan untuk solat. Meskipun bagian dari syiar Islam, tapi hukumnya sunnah. Artinya adzan bukanlah suatu kewajiban.
3. Adzan dan pengeras suara dalam adzan adalah dua hal yang berbeda. Panggilan solat bisa dilakukan bisa dengan berbagai macam cara. Dulu sebelum ada pengeras suara panggilan solat biasa dilakukan dengan memukul bedug atau kentongan sebagai tanda sudah masuk waktu solat.
4. Mempermasalahkan pengeras suara adzan tidak bisa dimaknai mempersoalkan adzan itu sendiri. Dalam hukum Islam, adzan tidak masuk persoalan dharuri (sesuatu yang menjadi pokok ajaran agama yang wajib ditunaikan). Paling tinggi derajatnya hajiyah (sebagai kebutuhan yang harus ditunaikan supaya memudahkan urusan agama, sehingga adzan hukumnya sunnah –paling tinggi sunnah muakkad). Sedangkan pengeras suara masuk kategori tahsiniyah (untuk semarak dan keindahan Islam).
5. Pengeras suara adzan mempunyai dua sisi: sebagai syiar Islam di satu sisi, tapi dia juga punya potensi untuk mengganggu kedupan sosial, terutama dalam masyarakat yang plural. Karena itulah pemerintah, melalui Dirjen Biman Islam Kementerian Agama mengeluarkan Instruksi DIrjen Bimas Islam Nomer KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musolla. Dalam isntruksi tersebut ada tuntunan bagaimana seharusnya pengeras suara digunakan dalam masjid dan musolla yang intinya sangat penting memperhatikan ketenangan masyarakat. Jangan sampai pengeras suara adzan –yang hukumnya sunnah—merusak sendi-sendi keharmonisan masyarakat.
6. Karena itu penting adanya toleransi dua arah: pengelola tempat ibadah penting menyelami masyarakat, terutama non-muslim, tapi yang non-muslim juga perlu mengerti mengapa umat Islam menggunakan pengeras suara dalam adzan. Kalau ada pihak yang terganggu harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip toleransi tersebut.
Sayangnya keterangan saya tak dipertimbangkan hakim, sebagaimana dalam kasus-kasus sejenis di tempat yang lain.
Saya tahu, ke depan hidupmu akan semakin berat. Meski Anda masih punya hak hukum untuk melakukan perlawanan ke Peradilan yang lebih tinggi, tp saya juga tidak terlalu yakin. Sekali lagi, maafkan saya yang belum bisa membantumu bebas dari kasus ini.
Bandara Soetta, 22 Agustus 2018
Rumadi Ahmad

Jumat, 27 Juli 2018

Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi

27 Juli 2018 | Aris Santoso*



Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa hampir semua peristiwa besar di tanah air tak lepas dari keterlibatan militer. Dua peristiwa mutakhir yang masih segar dalam ingatan publik adalah Peristiwa Mei 1998 dan Peristiwa 27 Juli 1996. Dua peristiwa terakhir ini selalu aktual untuk dibahas karena menandai akhir sebuah era.

Rezim Soeharto memang berakhir pada Mei 1998, tapi rintisan atau pemanasan menuju kejatuhan itu sudah dimulai sejak Peristiwa 27 Juli 1996. Khusus untuk Peristiwa 27 Juli—atau dikenal 'Kudatuli' ('Kerusuhan 27 Juli)—meski sudah 22 tahun berlalu, tapi jejaknya masih kuat hingga kini. Hal itu bisa terjadi karena dua entitas “produk” (output) peristiwa, yaitu PDIP (baca Megawati Soekarno) dan sekelompok purnawirawan jenderal Angkatan Darat, adalah pihak yang berkuasa hari ini.

Pasca-27 Juli hingga memasuki era reformasi, dua entitas itu tak selamanya berjalan seiring. Dengan cara masing-masing, mereka mencari jalan menuju kekuasaan. Baru di era Presiden Jokowi inilah dua entitas itu kembali bertemu dalam panggung kekuasaan yang membahana.

Dalih Menuju Kekuasaan

Ada banyak kepentingan yang bermain sehubungan Peristiwa 27 Juli, salah satunya untuk menghentikan laju karier Letjen Soeyono (Akmil 1965), Kasum ABRI (kini TNI) saat itu. Ketika itu nama Soeyono santer disebut sebagai calon KSAD berikutnya untuk menggantikan Jenderal Hartono (Akmil 1962). Mengapa Soeyono harus dihentikan? Penjelasannya mungkin agak panjang dan rumit.

Ringkasnya begini: Memasuki 1990-an, dalam peta elite militer khususnya di tubuh Angkatan Darat, berkembang isu ada polarisasi antara dua faksi, yang kemudian diberi label “merah” dan “hijau”. Label merah merujuk sekumpulan perwira “nasionalis” dan (dalam batas tertentu) dianggap sekuler. Yang lebih penting untuk disampaikan, kelompok ini acapkali dianggap di bawah bayang-bayang Jenderal Benny Moerdani. 

Sementara label hijau—kita sudah bisa menebaknya—adalah kelompok perwira yang dianggap dekat dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), organisasi (instan) yang saat itu berkibar. Figur dari kelompok ini adalah Pangab Jenderal Feisal Tanjung (Akmil 1961) dan KSAD Jenderal Hartono.

Setelah dua dekade berlalu, kita baru bisa menilai argumentasi pemberian label “merah” dan “hijau” terbilang sumir. Faksi hijau misalnya, tak sama dengan ideologi ala Masyumi yang sanggup menginspirasi gerakan PRRI di masa lalu. Demikian juga faksi merah: ideologi nasionalis tak bisa diklaim milik kelompok ini saja. Terlebih bila dihubungkan TNI hari ini ketika ideologi nasionalis semakin mengkristal sesuai semboyan generik “NKRI Harga Mati”.

Sejatinya, pengelompokan berdasarkan ideologi yang sumir itu adalah cara pragmatis menggapai kekuasaan. Ini sangat jelas pada kasus naiknya Jenderal Hartono sebagai KSAD. Feisal Tanjung adalah contoh lain. Ia dianggap bagian dari kelompok hijau karena kebetulan berlatar belakang keluarga Muhammadiyah dan dekat dengan figur Habibie. Selain itu, Feisal kebetulan menempuh Seskoad di Jerman.

Mustahil pula Hartono dihubungkan dengan ideologi hijau, terlebih bila hijau yang dimaksud adalah ideologi seperti Masyumi. Latar belakang etnis Hartono adalah Madura, umumnya adalah kaum nahdliyin. Kemudian, bila menilik jalur karier Hartono (sebelumnya) sebagai Kassospol ABRI, jabatan ini secara tradisi bukanlah jalur menuju KSAD, mengingat posisi Kassospol adalah implementasi “sayap politik” dari doktrin Dwifungsi—yang tidak dikenal dalam nomenklatur posisi pimpinan tentara di negara mana pun. Sementara untuk KSAD sebelumnya lebih sering direkrut dari posisi operasional (pasukan) seperti Pangkostrad atau Wakil KSAD.


Bila menelusurinya lagi, Soeyono hanyalah “tumbal” dari konflik internal dalam tubuh elite TNI AD. Posisi Soeyono yang tidak bisa diidentikkan dengan salah satu kubu menyebabkan kedudukannya rentan. Soeyono hanya bermodal kesetiaan (tanpa batas) pada figur Soeharto. Untuk ukuran jenderal bintang tiga, sikap tersebut terbilang naif.

Dalam kasus Soeyono, polarisasi itu bisa ditelusuri hingga di tingkat mikro, dalam hal ini lulusan Akmil 1965, yang tak lain adalah angkatan Soeyono. Lulusan Akmil 1965 terbilang besar (sekitar 400 perwira) sehingga banyak yang masuk jajaran perwira tinggi. Dari sekian jenderal, beberapa muncul sebagai figur kuat seperti Yunus Yosfiah, Theo Sjafei, Tarub, dan Syamsir Siregar.


Dengan kata lain, pada generasi ini telah muncul faksi, semacam satelit polarisasi di luar. Pada faksi merah, terdapat nama Theo Sjafei yang sejak lama dikenal sebagai perwira yang sangat dekat dengan Benny Moerdani. Sehingga pada level rekan setara, Soeyono sudah diadang Theo Sjafei. Dan, uniknya lagi, yang menggantikan Soeyono sebagai Kasum adalah Tarub, yang sama-sama tak bisa dikategorikan masuk dalam faksi tertentu. Kelompok merah memang seolah tidak memperoleh apa-apa terkait distribusi jabatan strategis TNI, tapi mereka memiliki agenda lain.

Theo Sjafei, sebagai bagian dari kelompok Benny, berperan penting dalam menggerakkan operasi intelijen tingkat tinggi di belakang Peristiwa 27 Juli. Operasi ini punya agenda utama melambungkan nama Megawati sebagai simbol perlawanan mereka terhadap Soeharto. 

Bila kemudian Theo Sjafei begitu dipercaya oleh Megawati (ketika Megawati mulai menyongsong kekuasaan), hal itu karena hubungan keduanya sudah lama dibina, bahkan dari jauh-jauh hari sebelum Peristiwa 22 Juli.

Solidaritas Kujang I

Saya sendiri menduga pemberian label "tentara merah" dan "tentara hijau" adalah cara yang memudahkan para pengamat (termasuk jurnalis) dalam membaca peta militer saat itu. Para perwiranya sendiri justru tidak sadar bahwa mereka diidentifikasi dalam faksi tertentu, mengingat motivasi para perwira berkelompok sejatinya bukan dalam konteks ideologis, tapi lebih pada pragmatisme untuk mencapai karier vertikal.

Jika mengingat kembali masa itu, sebenarnya, ada variabel lain yang juga signifikan dalam promosi perwira. Variabel ini adalah solidaritas tipikal pada perwira yang pernah bertugas di lingkungan Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kujang I, satuan legendaris Kostrad yang sejak dua tahun terakhir telah berganti nama menjadi Brigade Infanteri Para Raider 17/Kujang I.

Asumsi terakhir ini bisa diuji di lapangan berdasarkan keterkaitan tiga perwira yang pernah menjadi komandan brigade tersebut: Feisal Tanjung (Komandan Brigade 1975-1977), Agus Widjoyo (1990-1991), dan Susilo Bambang Yudhoyono (1993-1994).

Saat Peristiwa 27 Juli, Brigjen SBY menjabat sebagai Kasdam Jaya. Sekitar sebulan setelahnya, pada akhir Agustus 1996, SBY dipromosikan sebagai Pangdam II/Sriwijaya (Palembang) dengan pangkat mayjen. SBY memang seperti mendapat tempat khusus dalam TNI. Kira-kira mirip Prabowo (Akmil 1974) yang begitu mudah meniti karier sebagai militer.

Saat diangkat sebagai Pangdam Sriwijaya, SBY menggantikan senior jauhnya, yaitu Mayjen Karyono (Akmil 1965). Pergantian itu adalah lompatan sangat luar biasa dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Biasanya pejabat baru adalah adik kelas satu atau dua angkatan. Namun, lompatan itu sempat “memakan” korban, yakni Brigjen Agus Widjoyo (Akmil 1970) yang saat itu menjabat Kasdam Sriwijaya.

Bila mengikuti kebiasaan, seharusnya Agus Widjoyo yang lebih diprioritaskan untuk menduduki posisi Pangdam Sriwijaya karena lebih senior dari SBY. Bisa saja ini skenario lanjutan dari polarisasi kelompok merah dan hijau, ketika Agus Widjoyo tidak masuk gerbong salah satu faksi tersebut. Pada titik ini Feisal Tanjung berperan menyelamatkan karier Agus dengan menariknya ke Mabes TNI (d/h ABRI) sebagai Staf Ahli Pangab bidang Polkam, menggantikan Mayjen Agum Gumelar (Akmil 1968). Dalam posisi terakhir ini, Agus Widjoyo menjadi setara dengan SBY: sama-sama bintang dua.

Promosi bagi SBY adalah satu rangkaian dengan digesernya Letjen Soeyono selaku Kasum dan diangkatnya Wiranto sebagai Pangkostrad dengan pangkat letjen. Rangkaian mutasi ini tentu bisa ditafsirkan politis, khususnya bagi Wiranto. Karena baru pada Wiranto-lah posisi Pangkostrad ditetapkan sebagai pos bintang tiga (letjen).

Dalam hal faksi, Soeyono dan Wiranto condong ke grup Cendana, yakni tegak lurus bersama figur Soeharto. Grup Cendana bisa disebut sebagai penyeimbang ketika terjadi polarisasi ekstrem antara kelompok hijau dan merah. Dengan kata lain, mereka berperan sebagai “poros ketiga”.

Reuni di Istana

Frasa jawa klasik wolak walike ing jaman (“pasang surut kehidupan”) sangat pas untuk menggambarkan perjalanan nasib dua entitas output Peristiwa 27 Juli 1996, dalam hal ini PDIP (baca Megawati Soekarnoputri) dan sekelompok perwira anak-didik Jenderal Benny Moerdani (Hendropriyono, Agum Gumelar, Luhut Panjaitan). Dua dekade setelah Kudatuli, mereka bertemu kembali di Istana dan menikmati manisnya madu kekuasaan.

Bisa jadi mereka sempat selisih jalan, tetapi kini bisa bersatu kembali memperkuat rezim Jokowi. Seperti Agum Gumelar, yang pada 2004 sempat coba-coba maju sebagai cawapres, seolah “menantang" Megawati, yang saat itu maju kembali sebagai capres periode kedua. Agum kalah, sebagaimana Megawati dan Wiranto. Namun, Agum juga gagal ketika maju sebagai cagub di Jabar (yang diusung PDIP) pada 2008.

Pengalaman pahit Agum (dan Wiranto) ini bisa menjadi pelajaran bagi para purnawirawan lain yang masih memiliki aspirasi kekuasaan: Lebih baik nempel pada kekuasaan yang sedang berlangsung daripada maju sendiri tanpa kepastian berhasil. 

Tak heran, langkah untuk beredar di orbit kekuasaan yang sekarang diambil purnawirawan seperti Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Agum Gumelar, Wiranto, dan seterusnya adalah cara tepat dan bisa menjadi model bagi purnawirawan lain yang sekiranya kurang percaya diri untuk maju sendiri sebagai capres atau cawapres.


Aris Santoso, peneliti militer, terutama TNI AD. Bekerja sebagai editor buku paruh waktu
Sumber: Tirto.Id 

Jumat, 29 Juni 2018

Pidato Kemenangan Kotak Kosong Makassar

Ahmed Taufiq Rosidi



Warga Makassar tercinta,

As-salâmu ‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Salom. Om swastiastu. Namo buddhaya. Salam sejahtera untuk kita semua.

Kita baru saja menyelesaikan sebuah tugas konstitusional dan demokratis, yakni Pemilihan Wali Kota Makassar, sebagai bagian dari rangkaian Pilkada nasional yang diselenggarakan secara serentak di seluruh negeri bersama daerah-daerah lain. Tugas itu telah kita tuntaskan dengan baik, damai, tertib, dan penuh kemenangan.

Rasa terima kasih harus kita berikan kepada segenap pihak yang bekerja keras mewujudkan hajatan akbar ini, baik kepada KPUD, panitia, aparat keamanan, pemerintah kota, dan terutama kepada kita sendiri, warga Makassar. Tak hanya warga kota yang datang ke TPS-TPS tetapi juga warga kota yang tak ikut memilih.

Kita harus menghormati cara masing-masing orang dalam menyatakan hak politiknya. Mereka golongan putih yang tak memilih, maupun kita golongan hitam yang memilih kotak kosong. Semua sama. Kita sama-sama menolak calon yang dipilihkan oleh elite dan partai politik. Hanya cara kita untuk mengungkapkan saja yang berbeda.
Warga Makassar tercinta,

Kita boleh berbangga jika membandingkan diri dengan warga di daerah-daerah lain. Warga Jakarta, misalnya, mereka masih saja sibuk saling hujat satu sama lain hanya karena mendukung calon yang berbeda.
Mereka terpecah belah hanya karena percaya pada omongan politisi.

Padahal tepat setelah pemilihan, mereka masih tetap bergelut sendiri dengan masalah sehari-hari. Yang punya utang tetap harus memikirkan utang. Yang miskin tetap harus membanting tulang. Yang bodoh tetap akan ditipu orang. Yang sakit tetap dipusingkan oleh biaya pengobatan. Mereka tetap akan diisap oleh kapitalisme.

Atau warga Yogya, yang sama sekali tak punya hak untuk memilih Gubernur. Mereka diberi pemimpin yang sama sekali tak pernah mereka pilih. Gubernur yang akan tetap menjadi pemimpin hampir seumur hidup sebelum ia digantikan. Oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan anak-cucunya sendiri. Mereka terus dibelenggu feodalisme.

Namun, warga Makassar berbeda.

Dengan memenangkan kotak kosong di atas calon pilihan elite dan partai politik, kita telah mencatatkan diri ke dalam lembar sejarah politik dan demokrasi Indonesia. Hari ini kita telah membuktikan kepada para elite dan partai politik yang congkak itu, bahwa doktrin the lesser evil yang mereka jual kepada rakyat tidak laku di Makassar.

Kita, warga kota, diberi hak oleh konstitusi untuk memilih pemimpin dan kita memilih untuk tak dipimpin oleh siapa-siapa kecuali diri kita sendiri. Warga Makassar telah berhasil merebut kembali kota yang kita cintai ini dari tangan para elite dan partai politik.

Lebih jauh, kita telah merebut kembali kedaulatan politik kita sebagai warga kota yang selama ini hanya dianggap sebagai digit angka di papan perhitungan suara. Kita, warga Makassar, adalah rakyat yang berdaulat atas dirinya sendiri. Kita menolak tunduk di hadapan kepentingan elite, makelar, mafia, partai, maupun oligarki politik mana pun.

Warga Makassar tercinta,

Kemenangan ini hanyalah satu dari sekian banyak tugas yang harus kita selesaikan dengan baik. Tugas kita masih banyak dan berat. Kita harus bersatu mempertahankan apa yang telah kita menangkan dari para elite dan partai politik.

Kita harus segera merumuskan tata kelola kota Makassar terutama bidang ekonomi-politik yang lebih demokratis, mutualis, partisipatoris, egalitarian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan budaya. Kita akan buktikan kepada dunia bahwa demokrasi rakyat sangat mungkin dilakukan.

Selain itu, kita harus memperjuangkan kemenangan yang sama untuk lima tahun ke depan. Bukan hanya di pemilihan wali kota, tetapi juga pemilihan gubernur. Tak hanya di Makassar, kita harus menularkan ke daerah-daerah lain di seluruh negeri. Kita harus mendesak pemerintah memasukkan pilihan kotak kosong ke dalam surat suara, meskipun di daerah tersebut calonnya tidak tunggal.

Kita harus buktikan bahwa doktrin the lesser evil adalah pembodohan. Kita harus buktikan rakyat bukan sekumpulan orang bodoh yang tak bisa mengatur dirinya sendiri, rakyat bukan sekumpulan orang bodoh yang harus selalu didikte oleh para elite dan partai politik. Kita akan wujudkan demokrasi yang benar-benar dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Panjang umur pembangkangan!

Hidup warga kota!
Hidup Makassar!

As-salâmu ‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Salom. Om santi santi santi om. Namo buddhaya. Salam sejahtera untuk kita semua.


Sumber: GeoTimes 

Senin, 21 Mei 2018

Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1) - (2)


Petrus Hariyanto - 21 Mei 2018

Ditahan dengan tuduhan sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka meyakini gerakan mahasiswa dan rakyat hanya tiarap sesaat.

Deklarasi Partai Rakyat Demokratik di Jakarta, 22 Juli 1996. Foto: prd.or.id.

GEDUNG Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu "angker” bagi tokoh-tokoh oposisi, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Satu per satu mereka diperiksa sebagai saksi Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka antara lain Megawati Soekarnoputri, Ridwan Saidi, Aberson M. Sihaloho, Sophan Sophiaan, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritno, Sukowalujo Mintorahardjo, Julius Usman, dan Permadi.

Saat itu, di salah satu ruangan berukuran 4x4 m2 yang dijadikan sel Rutan Salemba Cabang Kejagung, aku meringkuk sendirian. Sudah lebih sebulan aku ditahan di sana.

Sejak 17 Agustus 1996, aku ditahan di Gedung Pidana Umum Kejagung bersama Budiman Soejtamiko, ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD); Garda Sembiring, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Jabotabek; dan Mochtar Pakpahan, ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Kami ditangkap dengan tuduhan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996.

Kerusuhan 27 Juli sebenarnya merupakan imbas dari rezim Soeharto, dengan menunggangi PDI Suryadi, merebut kantor DPP PDI pimpinan Megawati di Jalan Diponegoro dengan cara kekerasan. Rakyat marah. Banyak gedung dibakar.

Sebelumnya, berhari-hari kantor di Jalan Diponegoro itu menjadi arena mimbar bebas, terkenal dengan “Mimbar Rakyat”. Arena mengecam pemerintah yang telah mengintervensi PDI pimpinan Megawati. Setiap hari dipenuhi massa rakyat. Takut menjadi bola salju dan kekuatan people power, Mimbar Rakyat dihentikan dengan cara kekerasan. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyebut lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang.

Kami menjadi tersangka. Pasal yang dipakai terdapat dalam UU Subversif. Hukuman tertingginya adalah hukuman mati.

Pemerintahan Soeharto juga mengumumkan bahwa PRD sebagai partai terlarang. Sejak itu, aparat militer mulai memburu anggota PRD di seluruh daerah. Yang tertangkap sebagian besar disiksa. Kawan-kawan di Surabaya, misalnya, ditangkap Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakortanasda) Jawa Timur dan disiksa berhari-hari, bahkan ada yang dipaksa makan katak.

Pagi hari di Gedung Bundar, sekitar Oktober 1996, aku mendapat surat dari kawan-kawan yang masih bebas di luar. Surat diantar atau tepatnya diselundupkan Esther Indah Yusuf, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan salah satu anggota Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia (TPHKI).

Surat itu ditulis Herman Hendrawan, salah satu korban penculikan aktivis ‘98 yang sampai saat ini belum kembali. Herman mengabarkan bahwa sebagian kader PRD sudah dapat dikonsolidasikan.
"Kawan-kawan yang di penjara, kalian tenang-tenang saja. Kami akan lanjutkan perjuangan yang sudah kita mulai bersama.”
Aku cukup terharu. Kawan-kawan sudah mengkonsolidasikan diri dan membentuk struktur kepemimpinan PRD bawah tanah. Mereka tetap melawan, walau aparat militer Orde Baru terus memburu mereka. Mereka gencar mengeluarkan pernyataan sikap atas nama Mirah Mahardika (Komite Pimpinan Pusat PRD).

Gerakan rakyat yang semakin luas menentang kediktaktoran Soeharto tak mungkin lagi bisa dihenti, walau rezim berusaha menumpasnya dengan cara kekerasan. Kotak Pandora sudah dibuka. Soeharto harus ditumbangkan.

PRD Didirikan

Soeharto merebut kekuasaan dengan menyingkirkan Sukarno dan menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk memperkuat kekuasaannya, partai politik dilemahkan melalui kebijakan fusi atau penyederhanaan partai politik menjadi hanya tiga. Gerakan mahasiswa, yang ikut andil dalam menumbangkan Sukarno, redup teratur. Beberapa aktivisnya meraih kedudukan di parlemen.

Setelah sekian lama bungkam, mahasiswa mulai mengkritik penguasa pada awal 1970-an. Dari soal pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hingga penolakan modal asing Jepang yang berujung pada Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari). Aktivitas mahasiswa di dalam kampus mulai diperketat. Namun langkah itu tak menyurutkan langkah mahasiswa untuk turun ke jalan. Puncaknya, pada 1978, mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk ketiga kalinya.

Pukulan telak pun dilancarkan penguasa. Didahului pendudukan kampus-kampus oleh tentara, salah satunya Institut Teknologi Bandung (ITB), disusul sterilisasi kampus dari aktivitas politik melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), gerakan mahasiswa “dijinakkan” Rezim Soeharto.

Sejak itu kampus sepi dari aktivitas politik. Soeharto melenggang dan melanggengkan kekuasaannya tanpa ada oposisi dari mahasiswa.

Gerakan mahasiswa mulai muncul kembali sekitar 1988. Kasus tanah, seperti pembangunan Waduk Kedung Ombo, mendorong mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa turun ke jalan. Mereka menolak tunduk pada kebijakan rezim yang melarang mahasiswa berpolitik.

Dari kemunculan gerakan mahasiswa saat itu, sebagian kelompok mahasiswa dan gerakan rakyat (buruh dan tani) mendirikan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). Hal ini didasari perlunya organisasi payung untuk mewadahi perlawanan di sektor mahasiswa, buruh, dan tani. Tak boleh bersifat sektarian sektor dan kota. Tak boleh lagi organisasi perlawanan bersifat ad hoc, berganti-ganti nama sesuai aksi yang dilakukan. Harus sistematis dalam beroganisasi dan programatik.

Sayang, usaha pertama kami gagal. Pada saat bersamaan, terjadi peningkatan eskalasi perlawanan terhadap pemerintah. Pemicunya, pembredelan tiga media: majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik. Demonstrasi terjadi di berbagai kota. Tidak hanya mahasiswa, budayawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut bergerak melakukan aksi.

Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang sebenarnya masih dalam konsolidasi tertutup, tiba-tiba dimunculkan. Sebagian besar anggota SMID adalah peserta kongres yang mendirikan PRD.

SMID mengambil-alih peran PRD sebagai organisasi terbuka yang melawan Soeharto. Antara lain ditunjukkan dengan menggelar mogok makan di depan Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Aksi itu berakhir dengan penangkapan hampir 30 peserta aksi.

Sebulan kemudian, tepatnya 1 sampai 3 Agustus 1994, SMID melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Mega Mendung. Kongres menyepakati program politik: Cabut 5 UU Politik 1985, Cabut Dwifungsi ABRI, dan Referendum di Timor-Timur.

Dua bulan berikutnya, kawan-kawan yang mengorganisir buruh mendirikan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dalam sebuah kongres di Bandungan, Ambarawa, yang dihadiri organiser buruh dari berbagai kota.

Sejak deklarasi kedua organisasi tersebut, aksi massa terjadi di berbagai kota.
Awalnya, "Cabut 5 UU Politik" dan “Cabut Dwifungsi ABRI" menjadi program politik kelompok Petisi 50, yang dikomandoi Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta. Berkat SMID dan PPBI, isu tersebut kian populer di kalangan masyarakat.

SMID menggelar aksi-aksi bersama buruh dan tani. Beberapa isu yang menjadi perhatian media antara lain; Peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 1995 di Semarang, aksi dengan kaum tani yang tergabung Serikat Tani Nasional (STN) pada 10 November 1994 mengguncang Ngawi, kota kecil di Jatim.

Dalam aksi-aksinya, SMID juga mengangkat isu Timor-Timur. Puncaknya, SMID, Presidium Sementara PRD (PS-PRD), dan Gerakan Pemuda Timor Leste melakukan aksi lompat pagar Kedutaan Belanda dan Rusia. Aksi ini menjadi perhatian media asing. Isu referendum bagi rakyat Maubere pun naik ke permukaan.

Organisasi dengan skala nasional yang kami bentuk telah mewarnai politik saat itu. Bersama kelompok mahasiswa radikal lainnya, organisasi kami mampu mengispirasi mahasiswa untuk berpolitik lagi. Jumlah mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota yang melawan meningkat. Secara kualitatif, terjadi peningkatan sentimen anti-Soeharto. Kampanye tentang kebijakan Orde Baru yang menindas secara politik dan ekonomi meluas ke masyarakat.

Terbentuknya Sebuah Partai

Suhu politik biasanya meningkat menjelang pemilihan umum (pemilu). Sebuah momentum untuk meningkatkan perlawanan rakyat sekaligus menuntut perubahan organisasi dan strategi taktik. Harus ada organisasi yang mampu mengkonsolidasikan gerakan multisektor.

Menjelang pemilu 1997, kami menjawabnya dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 15 April 1996. Aku terpilih sebagai sekjen. SMID, PPBI, STN, dan Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) menyatakan berafiliasi secara politik dan organisasi (underbouw) kepada PRD.

Dari strategi taktik, PRD harus mempelopori front persatuan dengan kekuatan elemen gerakan lain. Beberapa front berdiri seperti Oposisi Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan Majelis Rakyat Indonesia (Mari).

Ketika pemerintahan Soeharto mengintervensi PDI Megawati Soekarnoputri, dengan cara membuat kongres tandingan di Medan, PRD langsung menyatakan dukungannya kepada Megawati. Kepada pimpinan PDI di Jakarta dan berbagai daerah, PRD menawarkan jalan keluar perlawanan dengan aksi massa.

Di berbagai daerah PRD dan pemimpin PDI yang radikal menggelar aksi. Di Jakarta, PRD dan berbagai kelompok oposisi mendukung aksi massa yang dilancarkan PDI Megawati. Bahkan aksi besar terjadi di Jakarta pascakongres Medan 20 Juni 1996. Ketika itu aksi dipukul, terkenal dengan insiden “Gambir Berdarah”. Perlawanan tidak surut, dilanjutkan dengan mimbar bebas yang digelar di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Berhari-hari mimbar bebas berlangsung. Semua orasi mengecam penindasan yang dilakukan Soeharto. Hampir setiap hari massa mendatangi acara tersebut, dan jumlahnya semakin membesar. Situasi yang berbeda dari sebelumnya, aksi sudah mampu menggerakan rakyat. Mimbar Rakyat itu menjadi simbol perlawanan rakyat kepada Rezim Soeharto, dan dampaknya meluas ke mana-mana.

Sikap rezim Soeharto sudah dapat diduga. Mimbar bebas itu bisa menjadi embrio people power, dan harus dihentikan dengan cara kekerasan, walau itu akan memakan korban. Pagi hari, tanggal 27 Juli 1996, kantor tersebut diambilpaksa oleh PDI Soeryadi, dengan dibantu aparat militer.

Ketika kantor itu diambil alih secara paksa dan jatuh banyak korban, massa rakyat berkumpul di sekitar Jalan Diponegoro. Awalnya, kemarahan mereka ditumpahkan dalam mimbar bebas. Lama-kelamaan massa bentrok dengan aparat Brimob yang menjaga kantor itu. Menjelang sore, ketika massa dipukul dan digiring ke arah Salemba berubah menjadi kerusuhan. Sepanjang jalan Salemba ke Matraman dan juga ke arah Senen, gedung-gedung dibakar massa.
Dua hari setelahnya, 29 Juli 1996, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengumumkan ke publik bahwa PRD Dalang Kerusuhan 27 Juli.

Para pemimpin PRD ditangkap. Semua elemen gerakan direpresif. Terjadilah situasi di mana gerakan tiarap.

Banyak yang mengatakan semua ini adalah kesalahan PRD karena terlalu maju melawan Soeharto. Tapi PRD menjawab gerakan hanya tiarap sementara, dan akan segera bangkit lagi dengan kekuatan berkali-kali lipat. Seperti kata Budiman Soejatmiko, “Peristiwa 27 Juli” hanya senam untuk melatih otot gerakan rakyat semakin kuat.

Penulis adalah mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.


---

Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)

Dari dalam penjara menyaksikan perlawanan terhadap rezim Soeharto dan kejatuhannya.

Petrus Hariyanto – 21 Mei 2018

Partai Rakyat Demokratik.

SELAMA 1993 sampai 1994, setiap kali kereta api yang kutumpangi memasuki Stasiun Jatinegara, sejenak aku menengok ke kiri. Kupandangi tembok Lembaga Pemasarakatan Cipinang yang terlihat begitu angkuh.

“Suatu saat aku akan berada di sini. Cepat atau lambat rezim Soeharto akan memenjarakanku,” gumamku.

Dan benar, sekitar Desember 1996, aku dan beberapa kawan PRD dan Mochtar Pakpahan dipindahkan ke LP Cipinang, sementara Budiman Soejatimiko dan kawan-kawan lainnya ke Rutan Salemba. Setelah vonis jatuh, kami dipenjara di LP Cipinang, sebagian di Surabaya dan Malang.

Seperti biasa, di pagi hari, sebelum para napi kasus kriminal bangun, kami sudah bangun. Rapat di pagi hari, agar aman tidak didengar napi lain. Sekitar pukul 05.30, para napi belum bangun, dan kebetualan pintu sel sudah dibuka. Kebiasaan ini kami lakukan bertahun-tahun. Agenda utamanya, mengumpulkan data dan informasi yang kami terima dari ruang bezukan. Informasi itu datang dari para pembezuk, kader PRD muda yang belum terdeteksi aparat, dan ada juga dari kurir yang dikirim kawan-kawan dari luar.

Sesungguhnya, penjara tidak membuat kami terisolasi dari dunia luar. Kami selalu bisa mengikuti perkembangan perlawanan yang dilancarkan kawan-kawan di luar.

PRD Bawah Tanah

Kawan-kawan di luar menyatakan akan tetap melawan, walau dengan cara klandestin. Metode perlawanannya melalui distribusi selebaran dan Pembebasan (terbitan PRD bawah tanah), masuk ke basis massa PDI Pro Mega, serta mengorganisasi mahasiswa dan buruh.

Pada 30 September 1996, Komite Pimpinan Pusat PRD (KPP-PRD), organ kepemimpinan organisasi bawah tanah PRD, mengeluarkan pernyataan sikap yang dikirim ke media massa.

“Pemenjaraan, penahanan, pemberangusan, dan fitnah politik terhadap PRD bukanlah jalan keluar untuk mengatasi problem rakyat Indonesia yang demikian parah di bawah Rezim Orde Baru ini. Di tengah represi dan teror putih Rezim Orde Baru yang ganas, kami akan terus bergerak walaupun harus meratap di bawah tanah. PRD akan terus berjuang bersama rakyat untuk sebuah Indonesia yang demokratik multipartai kerakyatan,” tulis Mirah Mahardika (nama samaran), ketua KPP PRD.

Pembebasan edisi perdana terbit Oktober 1996. Tabloid terbuat dari kertas buram berukuran HVS itu memuat judul: "PRD Menjawab Fitnah dan Tuduhan".
"Sebenarnya tuduhan tersebut tak berdasar. Pemerintah hanya menyebutkan alasan bahwa bahwa orang-orang PRD terlibat aksi-aksi mendukung Megawati Soekarnoputri. Walaupun tuduhan itu tidak masuk akal, namun didukung dengan pemberitaan media massa yang gencar. TVRI, RRI, beserta koran-koran yang ada di bawah kontrol pemerintah dengan gencar memberitakan tuduhan itu," tulis Pembebasan edisi No. 1, Oktober 1996.

Pembebasan juga berisi taktik yang harus dijalankan rakyat dalam melawan pemerintah dan tuntutan program politik strategis.

Pada Oktober 1996, menurut kesaksian Ilhamsyah, mahasiswa YAI yang pada 1999 menjadi sekjen Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), kader PRD sudah berani melakukan aksi bersama dengan massa pendukung Megawati. "Aksi mendatangi Polres Jakarta Selatan menolak politik intervensi pemerintah kepada PDI Megawati Soekarnoputri," ujar Ilhamsyah.

"Bahkan, pada 28 April 1997, saat sidang vonis untuk Budiman dan kawan-kawan, simbol-simbol berbau PRD mulai berani ditampakkan. Basis mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta, dan basis pengorganisiran kaum miskin kota dimobilisasi dalam vonis tersebut," ujar Lukas Dwi Hartanto, yang saat itu tercatat sebagai mahasiswa Institut Sosial dan Ilmu Politik (ISIP), Jakarta.

"Para demonstran menamakan dirinya Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Demokrasi (FPMD). Mereka meneriakkan ‘Boikot Pemilu’, ‘Bebaskan Budiman’. Mereka juga menyanyikan ‘Mars PRD’ dan ‘Darah Juang’," tulis Harian Suara Merdeka.

Sebelum mahasiswa bergerak, akhir tahun 1997 menurut Kamaludin Pane, ia dan Sulis memobilisasi buruh-buruh di 10 pabrik di Cakung untuk mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR). 
“Saat itu ribuan buruh kami gerakkan. Aku dan Ida Nashim ditangkap, kemudian disiksa dengan disundut rokok selama dua hari di markas militer,” ujarnya.

Tidak hanya di Jakarta. Di Semarang, wartawan koran minguan Inti Jaya Joni Budiono memberi kesaksian bahwa beberapa kader PRD memimpin aksi reli dari kampus Universitas Diponegoro (Undip) menuju Gedung DPRD I Jateng, tepat pada hari HAM 10 Desember 1997. "Saat itu gerakan mahasiswa masih tiarap," ujarnya.

"Di Yogyakarta, aksi mahasiswa pecah pertama pada 17 November 1996. Haris Sitorus (anggota SMID), mengundang aktivis pers mahasiswa se-Yogyakarta untuk melakukan aksi advokasi peristiwa penggrebekan percetakan tabloid Independen, terbitan AJI (Aliansi Jurnalis Independen)," ujar Nining Wahyuningsih, koordinator kader PRD bawah tanah di Yogyakarta.

Kemudian Nining bersama Nur Hiqmah, keduanya mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), membentuk Komite Keprihatinan Mahasiswa (Kokam) UGM. Walau mengangkat isu internal kampus, aksi yang diikuti 500 mahasiswa memecah kebisuan gerakan mahasiswa di Yogyakarta.

“Setelah itu, bak jamur di musim hujan, banyak komite perlawanan mahasiswa berdiri di Yogyakarta,” ujar Nining.

Di Lampung, kader-kader PRD baru terkonsolidasi setelah pengurus dari Jakarta mengadakan kursus politik. "Sekitar Oktober 1996, Agus Jabo ke Lampung. Saat itu berbarengan dengan aksi mogok sopir angkot di Bandar Lampung. Kita langsung pimpin aksi tersebut, dan itu aksi pertama sejak 27 Juli 1996," ujar Putra Budi Anshori.

"Waktu itu aku ditunjuk sebagai sekretaris kota PRD bawah tanah. Kader-kader PRD aktif mengorganisir tani, massa PDI Pro Mega, dan mahasiswa di berbagai kampus," ujarnya dalam wawancara beberapa waktu lalu.

Atas militansi kader di sana, pada Maret 1998, sebelum Sidang Umum MPR, terjadi aksi mahasiswa dan rakyat besar-besaran.

"Aksi itu menggunakan nama Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung (KMPPRL). Ribuan orang terkonsentrasi di Universitas Lampung (Unila). Bentrok besar terjadi melawan aparat. Dan seingatku itu bentrok yang pertama kali," ujar Putra Budi Anshori, yang kini menjadi dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Riau.

"Aku, Kamaludin Pane, Ihkyar Velayati sempat ditahan selama dua minggu setelah 27 Juli meletus. Dibebaskan bukan berarti leluasa mengorganisir mahasiswa lagi. Selama enam bulan aparat menjaga rumah kami masing-masing. Kami dilarang ke mana-mana. Kalaupun pergi lama, orang tua kami ditekan agar kami segera balik ke rumah," ujar Aswan Jaya, yang saat itu mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatra Utara, ketika aku wawancarai beberapa waktu lalu.

Akhirnya, ketiga mahasiswa IAIN Sumatra Utara itu nekat kabur dari rumah. Dan mereka berhasil mendorong mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) melakukan mimbar bebas. "Itu aksi mahasiswa UMSU pertama kali sepanjang sejarahnya. Aksi mahasiswa pertama kali setelah 27 Juli. Dampaknya, banyak kampus di bulan April 1997 mulai bergerak," ujar Aswan Jaya yang kini menjadi ketua wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz.

Di Palu, para aktivis PRD dan LSM pasca-27 Juli harus berurusan dengan kejaksaan. "Selama seminggu kami dipanggil untuk di-BAP, dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00," ujar Fermasyah yang saat itu sekretaris wilayah PRD Sulawesi Tengah.

Menurutnya, yang tidak terdeteksi sebagai PRD ditugaskan mengorganisir mahasiswa dan pemuda. “Pada April 1997, kami melakukan aksi pertama kali di tengah situasi gerakan tiarap. Ada dua organ yang kami mobilisasi, yakni Forum Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah (FMIST) dan Forum Pemuda Demokrasi. Isi tuntutannya: Tolak Hasil Pemilu 1997,” ujarnya.

Menurut Prijo, koordinator PRD Jateng-DIY, mampu membentuk sel-sel baru (kader baru). "Sel-sel baru ini mampu membentuk Komite Pemuda dan Mahasiswa Surakarta (KPMS). Tanggal 28 Oktober 1996 mampu melakukan aksi peringatan Sumpah Pemuda, di tengah-tengah sunyinya gerakan perlawanan di Solo," ujar Prijo yang saat itu mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret atau biasa disingkat UNS.

Perlawanan Mahasiswa

Pada Oktober 1996, partai melakukan pertemuan nasional (Dewan Nasional). Keputusan pentingnya, organisasi menggunakan sistem komando, konsentrasi pengorganisasian perlawanan rakyat diprioritaskan di Jakarta.

“Saya menjadi koordinator wilayah Jakarta Selatan. Untuk Jakarta Utara dipegang Alit, Jakarta Timur dipegang Hari Subagyo, sedangkan Jakarta Pusat koordinatornya adalah Faisol Reza,” ujar Lukas Dwi Hartanto.

Seluruh kader terbaik dari daerah disebar ke Jakarta. “Banyak kader PRD Lampung dikirim ke Jakarta. Mereka berpengalaman mengorganisasi sektor rakyat seperti nelayan dan petani. Selama di Jakarta, mereka ditugaskan keliling kampus untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar tidak sektarian, mau berjuang bersama rakyat,” ujar Putra Budi Anshori.

Keputusan penting lainnya: isu gulingkan Soeharto harus dikampanyekan secara masif. Fenomena Mega-Bintang dan kemarahan rakyat kepada Rezim Soeharto sudah sangat meluas dan manifes. Mega-Bintang adalah perlawanan massa PDI dan PPP dalam kampanye Pemilu 1997. Terjadi radikalisasi massa, diwujudkan dalam aksi dan bentrok dengan aparat di berbagai daerah.

Taktiknya melalui grafiti action. “Saya tertangkap bersama Bimo Petrus (korban penculikan aktivis ‘98 yang sampai hari ini belum ditemukan) karena melakukan grafiti action: ‘Gulingkan Soeharto’. Kami berdua ditahan selama tiga bulan di kantor polisi,” ujar Ilhamsyah.

Grafiti action dengan tulisan “gulingkan Soeharto” dilakukan di semua daerah. Tujuannya memberi kepeloporan perlawanan. Perlawanan harus diarahkan lebih maju lagi. “Di Palu, kami membentuk tim, satu motor dua orang untuk melancarkan grafiti action dengan sasaran kampus, tembok pagar sekolah SMA, pertokoan.

Prioritas pengorganisasian di sektor kaum miskin kota. Ada juga yang mengorganisir kampus. Seperti diceritakan Lukas Dwi Hartanto dalam tulisannya di Indoprogres (media online progresif). Pertemuan cikal-bakal Forkot (Forum Kota) dilakukan sekitar akhir 1997.

“Saat itu kami yang di ISIP menjadi pengundang, dihadiri simpul gerakan mahasiswa dari Universitas Islam DJakarta, Universitas Djuanda, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Trisakti. Pertemuan kedua dilakukan di kampus Trisakti, semakin banyak kampus mengirimkan delegasinya. Pertemuan berikutnya berjalan terus-menerus dan konsisten memakai nama Forkot. Forkot itu sebenarnya adalah aliansi berbagai simpul gerakan mahasiswa antarkampus se-kota Jakarta,” tulisnya.

Dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, dia menjelaskan lagi, setelah Soeharto jatuh, beberapa elemen yang tergabung dalam aliansi Forkot memisahkan diri, antara lain Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Keluarga Besar UI (KB UI), dan Front Aksi Nasional (Fronas)). Sedangkan Lukas Dwi Hartanto dan basis pengorganisasian PRD membentuk Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad). 
Sementara Forkot tetap ada dan dipimpin Adian Napitupulu, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan periode sekarang.

Untuk masuk ke UI, dikirimlah Nezar Patria, Herman Hendrawan, Wigyo, dan Asep Salmin. Mereka mampu menemukan kontak baru untuk dikader. “Mereka memberi materi pengorganisasian buruh kepada kami mahasiswa FISIP UI yang tergabung dalam kelompok diskusi Humanist,“ ujar Ki Joyo Sardo Huminsa.

Ki Joyo Sardo atau sering dipanggil Sardo bersama Reinhard dan Karlos yang tergabung dalam Humanist, akhirnya bersama dengan elemen mahasiswa dari berbagai fakultas lain membentuk KB UI. Kelak, Sardo menjadi ketua PRD dan Reinhard menjadi ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Ketika Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain mulai bergerak, saya dan Ulin Niam Yusron yang saat itu menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa, diinstruksikan balik ke kampus. Kami harus konsolidasi untuk menggerakkan aksi di kampus UNS," ujar Kelik Ismunandar yang saat itu mahasiswa Fakultas Sastra.

"Aksi pertama di dalam kampus, memakai nama Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Awalnya, unsur di luar PRD belum bergabung," ujarnya lagi.
Semakin lama semakin membesar melibatkan unsur mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tapi minus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

"Aksi setiap hari Senin dan Jumat. Selalu dimulai dari boulevard UNS. Taktiknya menguasai dan memblokir jalan raya (yang menghubungkan Kota Solo dengan kota-kota lain di Jawa Timur) di depan gerbang kampus UNS. Jumlah yang terlibat ribuan, termasuk rakyat turut bergabung. Bila terjadi bentrok dengan aparat, masyarakat sekitar kampus memukul tiang listrik. Mereka turut melempari aparat dengan batu," ujarnya.

Pada 28 Februari 1998, mahasiswa Filsafat yang digerakan kader-kader PRD membuat aksi mogok makan, dengan menggelar tenda di depan Fakultas Filsafat UGM. Terpampang spanduk besar: Tolak Sidang Umum MPR dan Turunkan Soeharto.

“Setiap hari aksi itu didatangi oleh elemen gerakan mahasiswa. Saat itu, di sana satu-satunya tempat perlawanan mahasiswa di Yogyakarta. Terjadi konsolidasi gerakan selama beberapa hari mogok makan. Akhirnya, mampu mendorong terbentuknya KPRP. Hari Rusli Moti menjadi ketua, dan aku sekjennya,” ujar Fendri Panomban, yang saat itu mahasiswa Filsafat UGM.

Menurut penuturan Wirayanti, beberapa kader PRD di awal 1998 mulai berkeliling kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo dan Universitas Islam Sultan Agung. "Kami bertemu dengan kontak lama kami. Membangun kesepakatan untuk memulai mimbar bebas di kampus," ujar mahasiswa FISIP Undip itu.

Pada Mei 1998, katanya, aksi semakin membesar karena gabungan antarkampus. Joni Budiono, wartawan Inti Jaya yang saat itu masih mahasiswa Fakultas Sastra Undip, menyebut pertentangan kelompok Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Undip dengan non-SMPT sudah mencair. 
“Mereka mampu menduduki Gedung DPRD I Jateng beberapa hari sampai Soeharto tumbang,” ujar Joni.

Pada Maret 1998, kader PRD yang mengelola majalah mahasiswa Ganesha ITB Bandung mengundang pengelola majalah mahasiswa Boulevard ITB dan kelompok mahasiswa lain untuk membentuk Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan (GMIP).

"GMIP pertama aksi langsung keluar kampus dengan isu ‘Turunkan Soeharto’. Di depan Masjid Salman, aparat mengembuk massa aksi. Sejak itu, kami mendirikan Posko GMIP di halaman depan kampus ITB, untuk mengajak rakyat bergerak juga," ujar Ardi Putra yang saat itu mahasiswa ITB.

Sehingga, pada 1 Mei 1998, GMIP bersama buruh yang diadvokasi LBH Bandung, melakukan aksi Peringatan Hari Buruh Se-dunia. Ribuan orang terlibat dalam aksi tersebut,”

"Aksi GMIP terbesar terjadi tanggal 12 Mei 1998. Kalau di Trisakti hari itu aparat menembak dengan peluru tajam, di Bandung ditembaki dengan peluru karet," ujar Ardi.

Ada dua kelompok di Surabaya yang membidani lahirnya sebuah front perlawanan bernama Arek-arek Suroboyo Pro-Reformasi (ASPR). "Kami dari kader-kader PRD bawah tanah yang dipimpin Purwadi, dan satunya lagi dari Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). ASPR sejak Februari 1998 aktif melakukan aksi antarkampus. Tidak hanya mimbar bebas di kampus tetapi juga reli di jalan, dan sering digebug aparat," ujar Dandik Katjasungkana yang saat itu mahasiswa FISIP Universitas Airlangga (Unair), Surabaya.

Kalau ASPR organisasi front tingkat kota, di kampus Unair sendiri berdiri Mahasiswa Univeristas Airlangga Pro Reformasi (MUPR). Selain anggota SMID, beberapa elemen mahaasiswa lain di Unair tergabung dalam komite perlawanan tingkat kampus ini.

“Dari tanggal 1 Maret sampai 9 Maret 1998, MUPR menggelar aksi mogok makan. Aku salah satu pesertanya. Hampir setiap hari dijadikan ajang mobilisasi. Ribuan orang setiap hari menghadiri aksi yang kami gelar, reli dari depan Perpustakaan Pusat Unair menuju pintu gerbang Unair di Jalan Dharmawangsa,” ujar Heru Krisdianto mahasiswa FISIP Unair.

Kodam V Brawijaya melarang mahasiswa turun aksi pada 19 Mei 1998. “Kalau nekat aksi, militer akan memukul habis peserta aksi. Kami yang di Unair tidak mengindahkan ancaman itu. Ketika aksi memasuki jalan di samping Rumah Sakit dr. Soetomo, dua truk militer pasukan elit Kodam Brawijaya menabrak peserta aksi. Selain banyak yang terluka, terjadi juga penangkapan,” ujar Heru.

Ketika krisis ekonomi semakin dalam, dan di berbagai kota mahasiswa mulai melawan, Aswan Jaya dan delapan kader PRD lainnya langsung mendaftar kuliah di Sekolah Tinggi Al-Hikmah Medan.

“Sebagai mahasiswa kami telah dipecat dari IAIN Sumut. Agar punya legitimasi sebagai mahasiswa, kami harus kuliah lagi. Kami juga membentuk Senat ST Al-Hikmah. Kemudian, kami mengundang semua elemen gerakan di berbagai kampus. Sejak itu, hampir setiap hari mahasiwa bergerak dari berbagai kampus, bahkan pernah menduduki Bandara Polonia Medan,” ujar Aswan jaya.

Pada 12 Mei 1998 ada beberapa peristiwa penting. Selain tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti ketika melakukan demo, juga terjadi penculikan aktivis.

Menurut Aan Rusdianto, salah satu kader PRD yang diculik, pada tanggal itu Komite Nasional Perjuang Demokrasi (KNPD) mendeklarasikan dirinya di Kantor YLBHI. Setelah menghadiri acara tersebut, Herman Hendrawan, Faizol Reza, dan Raharjo Waluyo Jati diculik aparat tak dikenal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

“Pada tanggal 13 Maret, giliran aku, Nezar Patria dan Mugiyanto diculik di Rumah Susun Klender,” ujar Aan.

Menurut keterangan Nining Wahyuningsih, KNPD adalah organisasi yang mulai terkonsolidasi di Kaliurang, Yogyakarta, pada April 1997. Yang bergabung adalah basis pengorganisiran PRD ke basis massa PDI Pro Mega. Ketuanya Nuraini Hilir (mahasiswa Filsafat UGM), dan sekjennya Nur Hiqmah (mahasiswa Filsafat UGM).

“Kami perlu menjadi organisasi terbuka, agar bisa berhubungan dengan kelompok pro demokrasi lain. Selama dalam persembunyian, kader PRD susah membangun font dengan tokoh-tokoh oposisi. KNPD ini kepanjangan tangan PRD bawah tanah untuk tampil legal,” ujar Hiqmah.

Pada 13 dan 14 Mei 1998, pascapenembakan mahasiswa Trisakti, di Jakarta terjadi kerusuhan. Selain pembakaran gedung-gedung dan penjarahan, juga terjadi pemerkosaan terhadap perempuan etnis tertentu. Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, yang dirilis Oktober 1998, menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. 

Jumlah korban yang diverifikasi tim: 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.

Menurut Gubernur DKI saat itu Sutiyoso, 4.393 gedung rusak, termasuk 21 gedung milik pemerintah. Kerugian ditaksir mencapai Rp21 trilyun. Jakarta saat itu kacau sekali.

Peristiwa tersebut tidak membuat gerakan mahasiswa berhenti, justru semakin mengila. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai kampus tumpah-ruah menduduki Gedung DPR/MPR. Para mahasiswa memasuki gedung wakil rakyat itu pada tanggal 19 Mei sampai 21 Mei 1998, sampai Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri.

Menyaksikan Soeharto Jatuh

Dari penjara LP Cipinang kami menyaksikan asap hitam menjulang tinggi. Dari berita yang kami pantau melalui radio, banyak gedung pertokoan dan mall dibakar pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Pada hari itu, selain mendengarkan siaran radio, kami menandai pada sebuah peta DKI untuk setiap gedung yang telah dibakar massa.

“Hampir semua tempat ada gedung yang terbakar, ujar Ignatius Pranowo, yang saat itu sekjen PPBI.

Fauzi Isman, salah satu narapidana politik yang sedang menjalani proses asimilasi, mengabarkan kalau di luar banyak terjadi penjarahan. “Aku ditawari komputer dengan harga murah sekali. Kata orang-orang itu komputer jarahan. Banyak toko hancur karena dijarah,” ujar Fauzi.

Fauzi adalah narapidana politik Kasus Talangsari yang divonis 21 tahun penjara. Fauzi dan Darsono rekanannya bisa keluar penjara karena sedang menjalani proses asimilasi. Hak itu diberikan kepada napi yang sudah menjalankan hukuman lebih dari setengah massa hukuman.

“Pagi kami keluar penjara untuk bekerja, sore hari kami pulang dan dipenjara lagi," ujar Fauzi dengan tertawa.

Di LP Cipinang, para sipir lebih ketat menjaga warga binaan karena takut terjadi pemberontakan di penjara. Kami mendengar di Rutan Salemba, para napi sudah menggoyang penjara. Dan menimpakan kambing hitam, penggerak kerusuhan itu kepada Garda Sembiring, satu-satunya Napol PRD yang berada di sana.

Kalau dua bulan lalu kami selalu sedih, karena mendengar kawan-kawan kami diculik. Setelah tanggal 15 Mei, kami sangat bergairah menyaksikan perlawanan mahasiswa begitu masif. Kami memantau lima radio dan dua televisi sepanjang hari. Di pagi hari, kami memantau berita radio Nederland dan BBC London yang punya program bahasa Indonesia.

“Aku yakin, sebentar lagi Soeharto akan terjungkal dari kekuasaannya. Krisis ekonomi semakin mendalam, gerakan rakyat dan mahasiswa sudah tidak dapat dibendung. Dalam keadaan begini, pasti mendorong perpecahan juga di elit politik,” ujarku kepada Budiman dan kawan-kawan ketika mendiskusikan situasi di luar.

Pagi hari, tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00, kami mengikuti berita di TV dan radio. Kami mendengar siaran langsung saat Soeharto menyatakan dirinya mundur. Kalau di Gedung DPR RI para mahasiswa bersukacita dengan mandi di kolam air mancur, kami di LP Cipinang menceburkan diri ke kolam ikan di blok penjara kami.

Penulis adalah mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.