Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 12 Januari 2018

Asal-usul Pangeran Samber Nyawa


Sumber-sumber Jawa primer menyingkap di balik julukan menggetarkan yang disandang salah satu pemimpin militer paling berbakat dan berpengalaman sepanjang sejarah Jawa.


Lukisan Perang Jawa (1741-1743). 
Foto

RADEN Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I, pahlawan nasional Indonesia, punya julukan legendaris: Pangeran Samber Nyawa. Dulu, saya membayangkan julukan itu mungkin berasal dari salah satu peristiwa penuh kekuatan gaib. Ternyata tidak.

Di antara tokoh-tokoh Jawa terkemuka pada abad ke-18, ada dua yang legendaris: Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Yogyakarta Hamengkubuwana I (bertahta 1749-1792) dan Pangeran Mangkunagara I (1726-1795), pendiri Pura Mangkunagaran di Surakarta pada 1757. Di era penuh konflik dan perang saudara yang sangat berdarah, kedua tokoh itu menonjol sebagai pemimpin yang luar biasa.

Mangkunagara memihak kaum pemberontak sejak 1740 (waktu berumur 14 tahun) dan terus berjuang hingga tahun 1757 (umur 31 tahun). Musuh-musuh utama pada awalnya adalah Susuhunan Pakubuwana II (bertahta 1726-1749) dan Kompeni Belanda (VOC).

Semula Mangkubumi menentang Mangkunagara. Sesudah Mangkubumi sendiri memberontak tahun 1746, mereka bersekutu melawan Keraton Surakarta dan VOC. Mangkubumi adalah pemimpin senior, sedangkan Mangkunagara memainkan peranan sebagai panglima besarnya (senapati). Jelas bahwa Mangkunagara merupakan salah satu pemimpin militer paling berbakat dan berpengalaman sepanjang sejarah Jawa. Pengikut loyal dan pengagumnya sangat banyak.

Dua pangeran bergabung merupakan kekuatan paling besar dan berbahaya yang pernah dihadapi Kompeni Belanda di Jawa. Selama “Perang Suksesi Jawa III”, tanah dan rakyat Jawa sangat dirugikan. Tapi, pada 1752-1753, dua Pangeran itu berpisah dan berperang satu sama lain.

Perpecahan itu melahirkan situasi baru yang menguntungkan VOC. Namun pada akhirnya Kompeni mengakui tak mungkin menang dalam perang saudara yang semakin rumit itu. Taruhannya, dana dan korban jiwa sangat tinggi, baik bagi orang Jawa maupun orang Eropa dalam tentara VOC. Alhasil, pada 1755, dalam Perjanjian Giyanti, pihak Belanda menyetujui tuntutan-tuntuan Mangkubumi untuk membagi kerajaan Jawa menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.

Sejak itu, Mangkunagara ditinggalkan tanpa sekutu yang berarti dan menghadapi situasi berbahaya. Tapi Sang Pangeran terus berperang.
Dari tahun 1755 sampai 1757, dengan berakhirnya perang antara keraton Surakarta dan Mangkubumi, kerajaan Surakarta mulai menjadi lebih makmur. Tapi Susuhunan Pakubuwana III (baru berumur 25 dan hampir tanpa pengalaman perang) harus mengakui kelemahannya dibandingkan pamannya, Sultan Mangkubumi, di Yogyakarta (yang berumur 40 dan sangat berpengalaman). Jadi, dia mengundang Mangkunagara (berumur 31 dan seorang prawira terkemuka) untuk berdamai dan berdomisili di Surakarta demi memperkuat kerajaannya. Alhasil, Mangkunagara masuk Surakarta, melepaskan kehidupan perang dan menjadi seorang Pangeran Miji –seorang pangeran yang lebih tinggi derajatnya daripada semua pangeran lain.

Kompeni Belanda setuju dengan perdamaian itu: mereka sudah mengakui bahwa tak mungkin mencapai tujuan utamanya, yaitu membunuh Mangkunagara. Sultan Mangkubumi marah atas perdamaian antara keraton Surakarta, Mangkunagara, dan pihak Belanda, tapi dia harus menyesuaikan diri.

Selama hidupnya di Surakarta, Pangeran Mangkunagara –yang boleh kita sekarang namakan Pangeran Mangkunagara I, pendiri pura dan trah (keturunan) Mangkunagaran– menghadapi situasi-situasi baru. Kehidupan damai sangat asing baginya.

Selama hidupnya, sejauh bisa diketahui dari sumber-sumber dari zaman Mangkunagara I sendiri –baik dalam bahasa Jawa maupun Belanda– dia tak pernah dinamakan Pangeran Samber Nyawa. Baru sesudah wafatnya, sebutan itu mulai digunakan. Jadi, dari mana sebutan Pangeran Samber Nyawa itu?

Panji Perang

Berbasis sumber-sumber Jawa primer, sekarang kita bisa menjawab pertanyaan itu. Pertama kita harus mengerti apa arti “samber nyawa”. Kata samber dalam bahasa Jawa sama artinya dengan “sambar” dalam bahasa Indonesia. 
Kata nyawa dalam bahasa Jawa sama artinya dengan kata yang sama dalam bahasa Indonesia. Jadi, samber nyawa berarti seorang atau sesuatu yang menyambar dan menangkap sesuatu, seperti burung elang menyambar anak ayam atau seorang nelayan menyambar ikan dengan jala. Namun, dalam kasus ini, yang disambar adalah nyawa.

Istilah samber nyawa muncul dalam dua sumber primer yang luar biasa dari zaman Pangeran Mangkunagara. Yang pertama, otobiografi yang disusun Sang Pangeran sendiri –otobiografi dalam bahasa Jawa paling kuno yang diketahui sampai sekarang. Judulnya Serat Babad Pakunagaran. Judul itu merefleksikan variasi yang lazim mengenai nama-nama Jawa waktu itu: Mangkunagara kadang ditulis Pakunagara, Gunung Merbabu pernah dinamakan Gunung Prababu, dan sebagainya.

Naskah Serat Babad Pakunagaran menyebut secara jelas bahwa Mangkunagara I-lah yang menulis sesudah dia berdamai dan kembali ke Surakarta, yaitu tahun 1757: ingkang murwa carita, Kangjeng Pangeran Dipati, ingkang saking lalana andon ayuda.

Salinan naskah itu masih tersimpan di British Library, London, tapi bukan yang tahun 1757, melainkan salinan yang dibuat untuk merayakan ulang tahun ke-55 Sang Pangeran pada bulan Ruwah tahun Jawa 1705 (17 Augustus 1779). Juga ada fragmen kecil yang tersimpan di Perpustakaan Radyapustaka di Surakarta, tertanggal bulan Sawal, tahun Jawa 1719 (Mei-Juni 1793). Keduanya jelas disalin oleh beberapa prajurit perempuan (prajurit estri) dalam Pura Mangkunagaran. Sumber ini ditulis dalam tembang macapat dan cukup tebal –lebih dari 800 halaman.

Di bagian Serat Babad Pakunagaran yang meriwayatkan tahun 1750, di tengah-tengah perang di Gondang, dekat Surakarta, kita menemukan deskripsi panji perang Mangkunagara: bandera wulung kakasih, pun Samber Nyawa, ciri wulan aputih; sebuah panji perang berwarna wulung, namanya Samber Nyawa, dan berciri bulan berwarna putih (hampir pasti bulan sabit). Jadi, jelaslah nama “Samber Nyawa” berasal dari panji perang Sang Pangeran.

Pada era itu lazim tokoh-tokoh pemimpin punya panji perang yang diberikan nama. Misalnya, panji perang Pangeran Mangkubumi bernama Gula Kalapa. Prawira terkemuka Rongga Prawiradirja punya panji yang namanya Geniroga (api penyakit) dengan gambar seekor monyet yang berwarna wulung.

Dalam sumber primer lain, kita sekali lagi menemukan panji Samber Nyawa. Ini semacam campuran antara buku harian dan babadSekali lagi ini merupakan inovasi dalam kesusasteraan Jawa: buku harian paling kuno yang diketahui. 
Masih terdapat beberapa naskah yang diberi judul berbeda-beda: Babad Tutur, Babad Nitik Mangkunagaran, dan Babad Nitik Samber Nyawa, yang meliputi tahun 1780 sampai 1793. Naskah-naskah ini disimpan di perpustakaan Leiden, Mangkunagaran, Museum Radyapustaka, dan Museum Sonobudoyo. Penulisnya tak diketahui, tapi jelas buku itu disalin prajurit estridalam Pura Mangkunagaran.

Pada bagian Babad Tutur yang tertanggal 15 Oktober 1791, kita membaca kenang-kenangan (oleh Mangunagara I sendiri?) mengenai kehidupan Sang Pangeran sebelum tahun 1757, saat masih berperang. Panji perang Samber Nyawa dideskripsikan: bandera denarani, pun Samber Nyawa ranipun, mila ran Samber Nyawa, pilih kang tahan nadhani, yen anamber kang mengsah kathah kang pejah /0/ yen langkung ageng kang mengsah, m[a]ring wana ngardi ngo[n]cati, yen sedheng mengsah kapisah, sinamber saking ing wukir, mengsah kagyat keh mati, lamun dengengi kang mungsuh, ngo[n]cati dhateng wana, Jeng Gusti Pangran Dipati, kang bandera mila ran pun Samber Nyawa.

Terjemahannya: Panji perang Samber Nyawa namanya, dinamakan Samber Nyawa karena jarang orang bisa bertahan. Kalau menyambar, banyak musuh yang mati. /0/ Kalau musuh terlalu banyak, [Mangkunagara] melarikan diri ke hutan di gunung. Kalau jumlah musuhnya yang terpisah sedang, mereka disambar dari puncak gunung. Musuh terkejut karena banyak dari mereka yang mati, kalau musuh dijumlahkan. [Mangkunagara] sudah melarikan diri ke hutan di gunung. Karena itulah panji perang Sang Pangeran Adipati [Mangkunagara] dinamakan Samber Nyawa.

Berperang Laksana Macan

Panji perang Samber Nyawa termasyhur di kalangan orang Jawa saat Mangkunagara masih berperang, dan merupakan objek yang bisa bikin keder musuh-musuhnya. Malahan, panji perang itu dianggap punya kekuatan luar biasa.

Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan panji perang itu diceritakan dalam sumber Jawa maupun Belanda. Peristiwa itu terjadi pada Oktober 1756. Pada paruh kedua tahun 1756, situasi Mangkunagara semakin memprihatinkan. Bersama sisa pengikutnya yang masih loyal, berjumlah tidak lebih dari 400 prajurit, dan keluarganya, dia siap membela diri di daerah pegunungan di Kaduwang. Para musuhnya –Sultan Mangkubumi, Susuhunan Pakubuwana III, dan Kompeni Belanda– mengepungnya dengan menutup semua jalan. Sultan Mangkubumi, seorang perwira yang juga amat masyur, memimpin tentaranya sendiri.

Dalam kondisi terjepit, nasib Mangkunagara amat suram. Penasehat utamanya, Kudanawarsa, yang sedang terluka, sangat takut akan masa depannya.

Namun Sang Pangeran memilih sebuah jalan yang tak diketahui orang lain (dengan mengikuti burung-burung gagak yang sepertinya menjadi pemimpin gaibnya). Dia pun bisa meloloskan diri dari kepungan musuh tanpa diketahui mereka.

Dari daerah pegunungan, dia bergerak ke Desa Giyanti, tempat persetujuan antara Mangkubumi dan VOC pada 1755, dan membakarnya. Dari sana mereka mendekati daerah Mataram. Kudanawarsa dan para prajurit, yang masih diselimuti ketakutan, menekankan situasinya amat berbahaya dan mendorong Mangkunagara untuk mundur. Namun, dicatat dalam otobiografi Serat Babad Pakunagaran, Sang Pangeran dengan tegas menjawab: “Walaupun saya mati, kalau sudah menemui ajal, jangan jauh dari Mataram, tempat pemakaman para leluhur saya. Mari kita bersama jangan menghitung mati, serahkan diri kepada Allah, mari kita masuk api!” (sanadyan aku matiya, yen wus tumekeng jangji, aja doh Mataram, dagane luhur ingwang, payo padha derah pati, asrah ing Allah, payo alebu gni).

Pada 28 Oktober 1756, dengan 300 pasukan kuda andalannya, Mangkunagara keluar di jalan dari Prambanan ke Yogyakarta. Saat itu, Yogyakarta hanya dijaga sedikit tentara, karena kebanyakan tentara kasultanan yang dipimpin Sri Sultan dan kekuatan VOC masih berada di daerah Kaduwang untuk mencari Mangkunagara.

Mangkunagara dan para pasukannya belum mengibarkan panji perang. Mereka bertemu beberapa remaja dengan kerbau di jalan. Sepuluh kerbau diambil dan digembalakan di depan mereka. Melihat mereka sedang mendekati keraton kasultanan, masyarakat menyangka mereka serdadu Yogyakarta yang pulang dari medan perang dengan rampasannya.

Saat itu, seorang bupati senior bernama Cakrakarti (atau Cakrajaya) sedang main kartu dengan orang Belanda di loji Kompeni. Seorang serdadu penjaga Eropa melihat ada kelompok pasukan yang mendekati dan masuk loji untuk bertanya apakah Sri Sultan dan Pangeran Mahkota sudah pulang dari medan perang. Cakrakarti keluar untuk melihat siapa yang memasuki kota.

Sekonyong-konyong Mangkunagara membentangkan panjinya (yang tidak dinamakan dalam sumber-sumber kita, tapi pasti Samber Nyawa). Cakrakarti terkejut begitu mengenali itu bukan panji dari pihak Yogyakarta!

Mangkunagara dan pasukannya langsung menyerang keraton baru Sri Sultan yang terbuat dari kayu. Mereka lalu bergerak ke selatan keraton, ke kediaman Bupati Distrik Mataram Raden Adipati Jayaningrat. Sang Bupati sedang minum teh dengan Tumenggung Sindusastra, kepala para pujangga kasultanan. Pihak Mangkunagara melepaskan tembakan. Kedua tokoh senior itu berusaha meloloskan diri lewat kebun namun gagal; Sindusastra ditangkap dan dibunuh sedangkan Jayaningrat terluka.

Di mana-mana, di keliling keraton, muncul kepanikan. Di gardu alun-alun kidulhanya ada 18 serdadu Kompeni. Mereka melepaskan dua salvo sebelum terpaksa kabur ke dalam keraton dan mengunci pintu selatannya. Mangkunagara mengejar. Menurut salah satu sumber Belanda, Mangkunara dan pasukannya berperang “seperti macan”.

Akhirnya Kompeni menembaki para penyerbu dengan meriam dari dinding loji. Mangkunagara pun memerintahkan mundur melalui jalan ke Prambanan.
Sebagian dari keraton terbakar dan sejumlah orang tewas. Menurut sumber Belanda, Mangkunagara kehilangan 30 prawira dalam serangan itu dan melarikan diri secara panik. Namun menurut Serat Babad Pakunagaran, mereka mundur secara teratur dan Sang Pangeran memandang tembakan meriam dari loji Kompeni sebagai semacam salut terhadapnya.

Sri Sultan Mangkubumi sangat marah. Dia sekali lagi ditipu oleh Mangkunagara, yang berhasil meloloskan diri dari kepungan di Kaduwang, memasuki keraton Yogyakarta tanpa perlawanan, membunuh dan membakar, serta pergi bersama sebagian besar tentaranya –dan tentu saja dengan membawa panji perang Samber Nyawa yang tersohor. Kendati beberapa bulan sesudah itu Sang Pangeran berdamai di Surakarta, Sri Sultan tetap marah kepadanya.

Anumerta

Pada 28 Desember 1795 (atau Senen-Pon, 16 Jumadilakir, windu Adi, wuku Pahang, mongsa Kapitu, tahun Jimakir 1722), Pangeran Mangkunagara I wafat di dalemnya di Surakarta. Dia dimakamkan di Mangadeg, di lereng Gunung Lawu.

Sesudah wafat, raja-raja Jawa dan tokoh-tokoh besar lain diberi sebutan anumerta. Kapan dan bagaimana cara untuk memilih sebutan itu tidaklah jelas. Dalam kasus Mangkunagara I, ada pilihan yang gampang.

Mangkunagara I seorang prawira sejati, yang memiliki karier perang gemilang. Jadi untuk sebutan anumerta dipilih nama objek terkenal, yang mendampinginya dalam perang, dianggap memiliki kekuatan gaib, dan dikenal di seluruh Jawa –baik oleh pengikut-pengikut Sang Pangeran maupun musuh-musuhnya– sebagai tanda pribadi tokoh luar biasa ini. Panji perangnya bernama Samber Nyawa. Dengan demikian, Pangeran Mangkunagara I almarhum menjadi Pangeran Samber Nyawa. Nama itu menjadi legendaris dan tetap termasyur sampai sekarang; 222 tahun sesudah wafatnya Pangeran Mangkunagara I.

*M.C. Ricklefs, Penulis adalah profesor emeritus di Australian National University dan penulis banyak artikel maupun buku mengenai sejarah Indonesia. Buku terbarunya, biografi Pangeran Mangkunagara I berjudul Soul Catcher: Java’s fiery prince Mangkunagara I, 1726-1795 akan diterbitkan tahun 2018. Edisi bahasa Indonesia sedang direncanakan.

Sumber: Historia

Kamis, 11 Januari 2018

Tukliwon, Pelaut Indonesia yang Melawan Belanda di Australia

Oleh: Petrik Matanasi - 11 Januari 2018

Sekretaris Federal Buruh Pelaut Austrailia EV Elliot (kedua dari kiri) menyerahkan bendera republik Indonesia kepada Tukliwon (ketiga dari kiri). FOTO/Istimewa

Setelah mengabarkan kemerdekaan Indonesia di Australia, Tukliwon menggerakan buruh-buruh pelabuhan dan pelaut melakukan pemogokan.
Meski umurnya sudah 20, bagi orang Australia dia terlihat seperti remaja 16 tahun. Dia punya nama yang amat "pribumi", sekaligus terkesan ndeso di zaman ini: Tukliwon. Walaupun muda dan terlihat ndeso, Tukliwon bukan sembarang pemuda. Ketika Hindia Belanda runtuh, Tuk sudah jadi pelaut. 

Seperti diungkap Rupert Lockwood dalam Armada Hitam (1983), kaum pelaut Indonesia di Australia berisikan orang-orang malang dengan gaji 3 dolar per bulan yang dikaryakan begitu rupa untuk kepentingan Belanda. Demi mengantar dan menyelamatkan nyawa pecundang-pecundang Ratu Wilhelmina yang ditekuk balatentara Jepang, pelaut-pelaut Indonesia itu harus bertahan tiga puasa tiga lebaran di Australia. Bahkan ketika datang ke Australia, mereka masih berpakaian sarung (hlm. 64-65). 

Tuk dan pelaut lain tinggal di di Woolloomoolloo, pinggiran pantai Sidney. Rupert Lockwood menyebut Tuk belajar bahasa Inggris kepada Nyonya Gwyn William. 
“Teman-teman Australia telah mengusahakan kursus baginya di Kolese Teknik Sidney dan sesudah itu diberi pekerjaan sebagai montir perawatan di kapal-kapal tambangan Pelabuhan Sidney,” tulis Rupert (hlm. 91-92). 
Pada suatu hari di bulan Agustus, Tuk mendengar berita radio yang menggembirakannya di kantor Serikat Pelaut Indonesia (Sarpelindo) di Woolloomoolloo. Berita penting pertama, Jepang sudah menyerah kalah. Dan yang kedua lebih penting lagi: proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dibacakan. 
Orang-orang Indonesia pelarian itulah, menurut Rupert, “yang mula-mula mendengar siaran dari Batavia mengenai proklamasi Republik pada 17 Agustus. Mereka menari-nari karena girang.” 
Tuk begitu girang. Bahkan ketika dia mendatangi kelas Nyonya Gwyn William di Darlinghurst, dia tak sembunyikan kegirangannya. Tuk adalah Sekretaris Sarpelindo cabang Sidney. Dia punya kepentingan untuk menyebar berita-berita itu, tak hanya pada sesama orang Indonesia, tapi juga kawan-kawan Australianya. 
“Pagi 18 Agustus 1945, dia pergi ke luar kantornya untuk menyebarkan berita gembira itu kepada mitra serikat kerja Australia,” tulis Hersri dalam artikelnya, "The exemplary life of Joris Ivens (1898-1989)", yang dimuat di Inside Indonesia No.22 (Maret 1990). Tuk segera dapat dukungan. Termasuk dari kawan-kawan pelaut dan buruh tepi air Australia. 

Menggerakkan Boikot dan Pemogokan

Seminggu setelah menyebar kabar gembira, Tuk berkabar lagi soal rencana otoritas Belanda di Australia yang hendak membawa pulang pelaut-pelaut Indonesia pulang ke negeri asal. Namun, pelaut-pelaut Indonesia menolak pekerjaan yang diberikan otoritas Belanda, yang terkait dengan Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA). Partai Komunis Australia yang bermarkas di Jalan George, Sidney, tak luput memberi dukungan kepada Tukliwon. E.V. Elliot dari Australian Seamen's Union (Serikat Buruh Laut Australia) salah satunya. 
“Bulan September 1945 Tukliwon didorong oleh Elliot dalam usahanya untuk mengatur boikot terhadap 25 kapal Belanda di Australia begitu mereka dipindah-tugaskan dari tugas perang ke tugas baru mengangkut barang-barang Belanda yang kembali Indonesia. Kedua orang ini lalu meminta dukungan dari Waterside Workers' Federation (Federasi Buruh Dok dan Pelabuhan) di Sydney,” tulis Martin O'Hare dan ‎Anthony Reid dalam Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1995: 13). 
Pemogokan menjalar. Para buruh yang mogok itu sadar bahwa kapal-kapal Belanda yang berangkat ke Indonesia nantinya akan menyiksa dan menjajah lagi Indonesia. Kapal-kapal itu juga dicurigai memuat senjata dan amunisi. Membiarkannya adalah dosa besar bagi para buruh itu. 

Kapal-kapal Belanda pun tak kunjung berlayar ke Indonesia. Muatan-muatan tertahan. Gerakan pemogokan buruh-buruh Australia, yang mendukung kemerdekaan Indonesia itu, di kemudian haru dikenal sebagai Armada Hitam. 

Film dokumenter karya Joris Ivens, Indonesia Calling (1946), menggambarkan pemogokan itu. Tak hanya kuli angkut, pekerja transportasi mematikan mesin truk mereka, begitu juga tukang cat kapal. Mereka ogah melayani kapal Belanda. 

Tukliwon dan kawan-kawannya, termasuk Max Sekantu, memeriksa kapal-kapal yang tidak jadi berlayar. Di antara sekian kapal, sebuah kapal bernama Swarten yang diawaki orang-orang India sempat lepas jangkar. Namun, pelaut-pelaut India itu juga ikut mogok. Mereka merasa tertipu karena katanya akan ditempatkan di kapal sekutu tapi ternyata ditempatkan di kapal Belanda. Mereka bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. 
“Perjuangan mereka adalah perjuangan kami. Kemenangan mereka adalah kemenangan kami,” kata salah satu pelaut India.
Tukliwon, seperti terekam di awal film Ivens, pulang ke Indonesia naik kapal Esperance Bay. Menurut catatan Muhammad Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan (2011:90), kapal itu milik Inggris yang dijamin pemerintah Australia untuk mengangkut para pelaut Indonesia pada Oktober 1945. Mereka berjumlah sekitar 1400 orang dan dijamin tidak akan diturunkan di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Belanda. Demi memastikan hal itu, seorang pejabat Australia ikut serta dalam perjalanan. 

Sebelum berlayar pada 13 Oktober 1945, E.V. Elliot ikut mengantar sebagai wakil buruh Australia yang jelas simpatinya pada orang-orang Indonesia. Elliot menyerahkan bendera besar setinggi leher Tukliwon. Hingga hanya sekitar kepala Tukliwon saja yang terlihat. 
“Sebagai sekretaris Federal Perserikatan Buruh Pelaut, atas nama pergerakan buruh Australia, saya berikan bendera ini kepada Anda. Bawalah kembali ke Republik Anda yang baru, sebagai simbol dukungan para pekerja Australia dalam perjuangan kemerdekaan Anda,” kata Elliot. Selesai sambutan singkat itu, Tukliwon dan yang hadir bersorak: “Hip hip hore! Hip hore! Hip hore!” 
Tukliwon pun memberikan sambutan yang juga singkat seperti Elliot. “Teman-teman, atas nama Republik Indonesia, saya mengucapkan terima kasih atas bendera ini. Kami tidak akan melupakan bantuan besar yang diberikan oleh buruh Australia pada awal Republik kami. Saat kami sangat membutuhkan pertolongan,” kata Tukliwon. 
Tukliwon belum selesai. Sambil mengacungkan kepalan tangan naik-turun, dengan semangat penuh, Tukliwon berdoa: “Dan semoga Australia dan Indonesia bersatu selamanya!” Salah seorang hadirin berseru, “Indonesia Merdeka!” dan Tukliwon menirukannya, “Indonesia Merdeka!” Lalu mengulang-ulang lagi “Hip hore!” 

Infografik Tukliwon


Bertahun-tahun setelah peristiwa itu, Tukliwon sudah menjadi Tuk Subianto. Dia aktif dalam gerakan buruh. Tidak banyak catatan tentangnya. Jika tahun 1945 dia sudah 20 tahun, diperkirakan dia lahir pada 1925. Menurut catatan Oey Hay Djoen, Tukliwon tergolong “seseorang yang berbapak seorang Digulis.” 

Ketika menjadi buruh di dermaga Tanjung Priok, menurut catatan Molly Bondan dalam Molly Bondan: Pengabdian pada Bangsa: Penuturan dalam Kata-katanya Sendiri (2008), dia terlibat dalam pengambilalihan kapal KPM yang berlabuh di Tanjung Priok (hlm. 127). 

Sementara Pewarta Kemlu, Volume 4, Masalah 1-7 (1958:357) menyebut bahwa Tuk Subianto pernah menghadiri Konferensi Maritim ke-41 yang diselenggarakan organisasi buruh PBB (International Labour Organization, ILO) di Jenewa, Swiss, pada 29 April-16 Mei 1958. Ia berangkat ke sana dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Umum Serikat Buruh Pelayaran (hlm. 357). 

Selepas 1965, menurut catatan Rupert Lockwood, sosok Tukliwon alias Tuk Sutrisno tidak pernah muncul. Tak ada kabar sama sekali tentang dirinya.

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id

Rabu, 10 Januari 2018

Kulon Progo dan Keblingernya Kebijakan Pemerintah Nasional

 Danang Pamungkas


Kredit foto: Tirto
SEJAK lama saya hanya ingin diam melihat konflik Bandara Internasional di Kulon Progo. Bukannya saya menutup mata terhadap penindasan negara terhadap petani Kulon Progo, namun karena saya bingung mau membantu apa. Jujur di dalam hati saya mendukung perlawanan petani Kulon Progo melawan Kebijakan negara! Namun, mulai hari ini saya bersikap, saya melawan kebijakan penjajahan Pemerintah atas petani Kulon Progo.
Pembangunan infrastruktur NYIA bukan dari kebijakan Gubernur DIY, Atau Bupati Kulon Progo. NYIA adalah kebijakan pembangunan proyek infrastruktur Pemerintahan Jokowi-JK. Dalam APBN 2016, pemerintah merencanakan pembangunan 15 bandara baru, dengan dalih membuat solusi atas kesenjangan ekonomi dan sosial[1]
Sebagai warga negara, sulit bagi saya untuk menerima logika bahwa pembangunan ini untuk memberantas kesenjangan ekonomi dan sosial. Data yang dilansir CNN Indonesia[2] tampak benar bahwa Provinsi DI Yogyakarta merupakan Provinsi dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di Indonesia setelah setelah DKI Jakarta. Namun, kalau kita lihat data yang dilansir oleh Majalah Tempo 2017[3], maka kita temukan gambaran sangat mengejutkan:
“Sebanyak 23, 7 juta petani Indonesia hanya memiliki lahan 21,5 Juta hektar. Sementara 2000 Perusahaan perkebunan menguasai 16 juta hektare. Sebanyak 304 perusahaan menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Sedangkan 13, 57 juta petani tidak memiliki lahan alias nol hektare.”
Apa artinya ini? Ternyata salah satu akar dari persoalan ketimpangan tersebut adalah akses pada kepemilikan tanah. Dengan kata lain, tanah merupakan kunci bagi kehidupan dan investasi. Ini terjadi karena Indonesia merupakan negara paling buruk dalam menjalankan industri manufaktur. Selama bertahun-tahun kekuasaan Suharto sampai Pemerintahan Jokowi-JK, tak ada perubahan apapun dalam menjalankan industri berkelanjutan. Indonesia selalu bertumpu pada sektor sumber daya alam mentah dan jasa dalam menjalankan roda perekonomiannya. Mengapa banyak investor menanamkan investasi propertinya di Yogyakarta? Karena mereka adalah bandar yang tak ingin bersaing dengan kapital internasional. Mereka ingin menjadi The Godfather di setiap kapling tanah di Yogyakarta. Sektor properti sekarang ini merupakan sektor yang diproteksi negara secara habis-habisan. Mengapa itu dilindungi? Mudah saja ditebak, karena mereka dekat dengan kekuasaan.
Karya Jeffrey Winters “Oligarki” dan Richard Robison “Suharto dan Pembangunan Kapitalisme di Indonesia” menjelaskan tanpa teding aling-aling bahwa pengusaha kaya raya di Indonesia selalu membutuhkan proteksi negara agar mereka bisa aman dari persaingan internasional dan memburu keuntungan semaksimal mungkin melalui jabatan politik, partai, dan birokrasi[4].
Pertanian di Indonesia merupakan sektor paling penting baik saat ini maupun masa depan. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Artinya, profesi petani merupakan kekuatan utama dalam perekonomian. Dengan proyek infrastruktur yang menjajah dan mengusir petani dari kegiatan pertanian artinya negara sudah keblinger dalam membuat kebijakan. Ketimpangan pemanfaatan lahan membuat petani kesulitan untuk sejahtera[5]. Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan membangun bandara untuk kelas menengah-atas, namun mengembangkan ekonomi kreatif dan UMKM yang sering jadi jargon Nawacita.
Mungkin kita terlahir menjadi bangsa yang suka sekali dengan jargon. Seperti jargon Nawacita, Trisakti, Ekonomi Pancasila, entah apapun itu hanya menjadi nyanyian kesenangan semu! Rakyat membutuhkan hal yang konkrit, dan yang konkrit itu apa? Bukan bandara internasional, bukan juga sawit. Rakyat hanya butuh bisa hidup nyaman, tenteram, bisa makan, mampu mencukupi kebutuhan, pendidikan, dan masa depan keluarga. Semua itu tidak akan terealisasikan bila kebijakan ekonomi malah menyingkirkan rakyat.
Petani punya kemerdekaan untuk mengelola lahan dan bebas menjual produknya. Harusnya negara menciptakan kondisi ekonomi yang sehat untuk mendukung sektor pertanian rakyat. Bukan malah membuat kebijakan cetak sawah dan menurunkan militer dalam membantu petani menanam, apalagi sampai melakukan penggusuran. Jangan-jangan rezim saat ini menyukai metode Suharto untuk merampas hak rakyat. Saya berdoa untuk rezim ini agar segera sadar dari ketidakwarasannya.
Terakhir saya ingin mematahkan argumen kelompok yang pro bandara. Dengan cara berhitung sederhana khas rakyat biasa. Begini saja kita hitung-hitungan duit. Berapa gaji yang kamu dapat untuk membeli tanah di Yogyakarta? jika misalnya kamu adalah warga Jogja yang UMR-nya tak lebih dari Rp. 1,5 juta.
Jika seluruh lahan di Indonesia dikuasai oleh pengusaha properti dan Sawit, kita semua ini mau hidup di mana? Bayangkan saja harga tanah di Jogja per meter bisa dijual sampai Rp. 1- 5 juta[6]. Kita ambil saja angka tengahnya, yaitu Rp. 3 juta per meter persegi. Kalikan saja kalau kita ingin membeli rumah sekitar 300 meter persegi, berarti harus merogoh kocek Rp. 900 juta. Itupun tipe rumah mini! Kalau ada inflasi kenaikan harga tanah bisa mencapai 13 persen per bulan, maka harga akan berlipat ganda. Karena ekonomi manufaktur Indonesia itu lesu, maka semua pengusaha berpindah ke ranah ekonomi jasa dan properti macam perhotelan, perumahan, bandara, dan apartemen. Di sini mereka merasa aman lantaran alat produksi tanah bisa terkunci, dan harganya melambung tinggi karena permintaan tanah tidak akan surut. Oleh sebabnya, bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki tanah, apalagi petani, jangan sampai menjual tanah kepada pengusaha properti/rezim properti!
Ini logika sederhana yang saya pakai untuk menolak semua argumen terkait jargon pemerintah yang “katanya” ingin mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial. Bagaimana pemerintah bisa mengurangi kesenjangan kalau masalah utamanya adalah tanah itu dikuasai oleh konglomerat? Saya pesimis dengan hal ini.
Saya mengkritik pemerintahan Jokowi-Jk karena saya adalah warga negara Indonesia yang sadar bahwa negara ini semakin lama tidak jelas. Masa depan saya sebagai manusia Indonesia terancam karena kelak tidak bisa membeli tanah, karena tanah harganya selangit! Saya katakan hal ini tanpa jargon nasionalisme atau tetek bengeknya. Di dalam konflik agraria seperti sekarang, saya percaya akan muncul dogma agama atau doktrin nasionalisme yang segera didengungkan oleh para broker dan mafia politik yang ingin mendapatkan kue kekuasaan.
Hidup Petani Kulonprogo!
Lawan penjajahan dan penggusuran lahan!
*** 
Penulis adalah penulis lepas di beberapa media online
————-
[1]Percepatan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien untuk mendukung kegiatan sektor-sektor strategis ekonomi serta mengurangi kesenjangan ekonomi dan spasial. 26 dan 59 lokasi bandar udara yang dikembangkan di daerah perbatasan dan rawan bencana; 15 lokasi bandar udara baru yang dibangun. Sumber; Kementerian Keuangan, Info APBN 2016.
[2]Badan Pusat Statistik (BPS) melansir Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi di Indonesia. Tercatat, per September 2016, rasio gini Yogyakarta yang mencerminkan ketimpangan pengeluaran masyarakat mencapai 0,425. Baca selengkapnya; https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170201154328-92-190589/yogyakarta-punya-ketimpangan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia
[3] Baca selengkapnya majalah Tempo Edisi 20-26 Maret. Liputan Khusus Ketimpangan; Kaya Raya Miskin Papa.
[4] Menurut majalah the Economist, dua pertiga kekayaan dari penduduk terkaya Indonesia di dapat dari sektor kroni yang sarat dengan praktek bisnis pemburuan rente. Berdasarkan indeks kapitalisme kroni versi Economist, Inodnesia berada di urutan ke-7 terburuk dari 22 negara yang di survey pada 2016. Baca selengkapnya Majalah Tempo Edisi 20-26 Maret. Liputan Khusus Ketimpangan; Kaya Raya Miskin Papa. Tulisan Faisal Basri; Kesenjangan di Persimpangan Jalan
[5] Setiap satu menit. Satu rumah tangga dan seperempat hektar lahan pertanian hilang di Indonesia. “Itu bukan masalah serius kalau industri mampu menyerap mereka, tapi kenyataannya tidak.” Dikutip dari Ketua Dewan Konsorisum Pembaharuan Agraria Iwan Nurdin, Majalah Tempo Edisi 20-26 Maret 2017; Bertani di Lahan Sempit.

Sumber: Indoprogress 

Senin, 08 Januari 2018

Politik Tani di Indonesia


January 8, 2018 | Oleh: Hendro Sangkoyo [1]

sumber gambar: http://lintasnasional.com

Pasar hilang gaung/
Sungai hilang lubuk/
Fakta hilang makna/
Sri datang dalam goni

Abstrak

Bagaimana memahami dinamika perampasan ruang-ruang hidup di kepulauan Indonesia sejak tamatnya pengorganisasian petani dalam tradisi Kiri di paruh kedua 1960? Pertama, dinamika tersebut tercermin dengan baik dalam perubahan tingkat laba, rente dan riba dari perluasan monopoli kuasa atas situs produksi nilai dalam sirkuit kapital Bumi.

Kedua, politik agraria di sepanjang rejim Suharto dan varian-variannya sampai dengan tahun-keuangan 2011 menunjukkan perubahan dramatis dalam ekspresi institusional dari adu-kepentingan penguasaan ruang, yang harus dibaca dalam perluasan sirkuit  industrial dan keuangan di Asia timur-laut dan tenggara. Ketiga, rerantai proses, pelaku, jejaring sosial di sepanjang transformasi moda produksi nilai di kepulauan dan perarian Indonesia berjalan berkelindan dengan perubahan pesat dalam rerantai proses-proses ekologis di situ. Di sepanjang dekade pertama abad ke duapuluh-satu, ketiga gejala perubahan tersebut, yang telah ikut melahirkan bukan saja krisis bagi sirkuit kapital di Asia, tetapi juga konsolidasi dan integrasi vertikal dari rerantai proses produksi-konsumsi energi dan bahan antar wilayah-negara, sekarang tengah mencari ujud baru untuk mengatasi turunnya tingkat laba dari produksi barang dan realisasi penciptaan nilainya, dengan kata sandi “made in the World”. Ada tidaknya sebuah subjek sejarah kolektif di hadapan kombinasi perubahan tersebut di atas dapat mulai kita baca dari moda dan daya lawan perusakan serta daya pulih kerusakan sosial-ekologis dan kombinasi proses-proses berskala raksasa itu.

Pendahuluan

Politik tani, fokus tulisan ini, menyangkut dinamika relasi sosial-ekologis dari produksi-konsumsi massa biologis, dengan “produser-konsumer tani” dan “ruang-operasinya” sebagai si subjek perubahan. Bagaimana menuturkannya mengandung masalah: Perubahan macam apa yang terjadi, begitu pula bagaimana perubahan berlangsung dalam ruang-waktu, bisa dituturkan lewat beragam kerangka makna atau ideologi.

Barthes menulis di tahun 1967, penuturan sejarah berada dalam keadaan sekarat, karena penanda Sejarah bukan lagi apa yang nyata, melainkan apa yang hendak dimengerti, dengan struktur tuturan serta arsitektur artikulasi dari penuturnya (Barthes, 1967). Ada dua catatan di sini.
Pertama, mengacu pada cakupan pertimbangan dari sebutan politik tani di atas, objek periksa di sini adalah status dari fungsi-fungsi reproduksi kemanusiaan dari prosumer tani, dan fungsi-fungsi faal dari kepulauan perairan Indonesia Indonesia di sepanjang proses perubahan.
Kedua, camera obscura dari zona-zona ruang waktu dan sikap pikir yang berbeda juga berperan penting dalam mediasi perubahan.[2]

Masa di antara 1957 dan 1967 dapat disebut sebagai episoda penentu dalam perubahan politik tani di Indonesia, semacam prelude dari badai pembongkaran yang terus merambat dan berkecamuk sampai sekarang.
Dimulai dengan nasionalisasi aset-perusahaan perusahaan perkebunan Belanda pada tahun 1957,[3] kemenangan di atas kertas dari legislasi UU Pokok Agraria 1960 gagal mengharap pembelaan Negara di lapangan, dan harus berakhir dengan kekalahan gerakan tani kiri dalam “perang-kelas” terbuka di garis depannya sendiri. Kekalahan tersebut adalah babak pendahuluan dari plot Perang-Dingin yang berujung pada perdarahan besar-besaran dalam konteks pemusnahan paripurna tubuh gerakan kiri di Indonesia lewat kekerasan terorganisir.  Sepuluh tahun yang genting tersebut ditutup dengan sebuah grand finale yang memutar-balikkan logika-sosial dari kedaulatan politik tani di awal episoda. Para manajer negara di bawah ayunan tongkat komando Suharto berhasil meluncurkan tiga ketentuan politik berkekuatan hukum yaitu UU nomor 1/1967-penanaman modal asing; UU nomor 5/1967-ketentuan-ketentuan pokok kehutanan; dan UU nomor 11/1967-ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Indonesia-1967 menjadi epitaph bagi subjek dan rejim politik tani yang lama, sekaligus menjadi patok kilometer nol dari sebuah orde politik-tani baru.[4]

Empat-puluh Lima Tahun Orde Politik Tanu Baru di Indonesia

Pertanyaan pokok dalam rejim pertanian yang baru adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ekonomika neoklasik pada produksi tanaman dan ternak. Petani dan konsumer hasil tani sebagai pribadi-pribadi atomistik diperlakukan dan diharapkan berprilaku sesuai dengan rasionalitas ekonomika neoklasik, seperti berangkat dari kepentingan sendiri, bertindak berdasarkan kecukupan informasi dan pertimbangan ekonomi. Pembelaan negara terhadap kepentingan kolektif petani sebagai kelas produser kecil dan buruh tani/kebun maupun koreksi terhadap konsentrasi penguasaan tanah dihapus dari agenda politik pengurusan publik. Di lain pihak, vitalitas rerantai pasokan pangan menjadi garis-depan dari penguatan peran negara, lewat investasi dalam industri petro-kimia, pengenalan varietas padi dengan genetika rakitan, distribusi pestisida secara besar-besaran, beserta pelaksanaan bimbingan dan intruksi massal. Hal ini berlaku di sepanjang orde baru politik tani sejak 1967, tanpa perubahan penting sejak jatuhnya pemerintah Suharto sampai sekarang.

Rasionalisasi produksi tani-pangan terutama padi dalam konteks pengelolaan ekonomi-makro bukan satu-satunya perubahan penting. Lebih mendasar lagi, orde politik baru tersebut juga mengenalkan rasionalitas baru dalam perlakuan atas ruang-waktu di wilayah-kuasa negara, sebagaimana ditampilkan oleh ketiga Undang-Undang tersebut di atas.

Untuk pertama kalinya, negara membingkai seluruh wilayah berhutan sebagai ruang yang dikuasai negara lewat UU nomor 5/1967 di atas. Pasal 2 UU tersebut menegaskan bahwa Hutan Negara mencakup hutan-hutan yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat. Dengan kata lain, pengakuan hak atas wilayah-wilayah menyejarah berdasarkan relasi sosial adati atas tanah dalam UU Pokok Agraria 1960 kehilangan kekuatan atau nilai kedakastralnya. Penjelasan umum dari UU  nomor 5/1967 butir 2 dan 3 menyebutkan  dasar pertimbangan dari adanya instrumen undang-undang tersebut adalah “makin  majunya ekspor hasil hutan serta makin banyaknya permintaan dari luar negeri; serta makin majunya industri yang menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku.”

UU nomor  11/1967  tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, meniadakan penekanan dalam UU/Perpu nomor 37/1960 pada kualifikasi yang berhak melakukan penambangan, yaitu “asal kewarga-negaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta yang pengurusnya adalah warga-negara Indonesia seutuhnya”.[5] Sama seperti pembalikan logika politik dari UUPA/1960 lewat UU nomor  5/1967, UU nomor 11/1967 membalik sikap nasionalisme ekonomik dalam UU/Perpu nomor 37/1960 yang disusun sejak 1951 untuk menggantikan Indische Mijnwet.

Dalam konteks valorisasi ulang wilayah-wilayah kepulauan, penghapusan “lunak”keabsahan ruang berdasar hukum adat dalam UU nomor 5/1967 adalah setara dengan penghapusan pengakuan hukum terhadap relasi sosial atas tanah yang bersifat “ekso-ekonomik” atau “pra-kapitalis”.
Sementara itu, penghapusan syarat asal-usul “warga negara” dalam UU nomor 11/1967, pertimbangan permintaan ekspor produk kayu dalam UU nomor 5/1967, serta fasilitasi investasi asing dalam UU nomor 1/1967 memadukan orde baru alokasi ruang ke dalam rerantai produksi-nilai global. Dengan logika yang sama, di tahun 1968 rejim Suharto memberikan konsesi grosiran kepada armada penangkapan ikan tuna Jepang untuk beroperasi di seluruh Laut Banda.[6]

Perluasan monopoli kuasa atas situs produksi-nilai dalam sirkuit kapital Bumi

Rejim politik-tani baru tersebut di atas tak sekedar merupakan pembalikan logika politik tani populis di episoda republik pasca-kolonial sebelumnya. Beberapa perkembangan berikut ini menunjukkan beberapa gejala baru dalam evolusi proses kapital yang menyarankan perlunya dipertimbangkan kembali cakupan dari apa yang hendak dicapai oleh sebuah gerakan politik-tani progresif.

Dalam dua setengah dekade setelah paruh kedua 1960an, perluasan ekstrasi rente dari petak-petak daratan dan perairan kepulauan, khususnya di kedua cabang produksi nilai utama yaitu pertambangan—termasuk pertambangan hidrokarbon—dan kehutanan, menjadi salah satu tumpuan pemasukan kas negara yang terpenting. Dompet negara dikelola dengan parameter kesehatan moneter yang sedikit sekali kaitannya dengan daur metabolisme sosial dari penduduk pulau-pulau situs ekstrasi.

Di satu pihak, mekanisme “osmosis” dari situs surplus ke Jakarta, tanpa disertai dengan mekanisme distribusi surplus yang sesuai dengan tuntutan metabolisme di masing-masing situs, menyebabkan adagium “tanah bagi yang mengerjakannya” tak lagi menjamin syarat keadilan bagi si petani. Di lain pihak, kalkulus redistribusi antar juridiksi untuk pemasukan kas negara, yang memediasi kontras di antara propinsi kaya dan miskin bahan-mentah, tidak merepresentasikan seluruh alir surplus di masing-masing wilayah juro-politik.

Di situs-situs ekstraksi bahan mentah utama di propinsi Atjèh, Riau, Kalimantan Timur, Papua, kombinasi dari redistribusi pemasukan rente ekspor bahan mentah dan pembesaran volumetrik dari produksi bahan dan energi bahkan menghasilkan perumitan kemiskinan, krisis kesehatan rakyat, dan stagnasi atau kemunduran tingkat pelayanan publik.

Jejak ruang-waktu dan identitas genetik dari rerantai proses sosial-ekologis—seperti siapa yang memetik bagian terbesar dari surplus, siapa mengkonsumsi bahan mentah di mana, bagaimana produksi bahan mentah di satu wilayah menciptakan reduksi atau diskonto daya metabolisme sosial di situ untuk generasi yang belum lahir, bagaimana mengurangi dampak kerusakan fungsi-fungsi alam dan berapa lama dibutuhkan untuk memperbaikinya—hilang dari pengamatan publik.

Di satu sisi, rendahnya porsi rente yang dapat dikutip oleh pengurus negara di kedua sektor produksi nilai utama, yaitu kehutanan-ekstraktif dan pertambangan menunjukkan pelemahan representasi kepentingan politik warga masyarakat dalam cakap ekonomi kebangsaan. Di sisi lain, representasi binèr dari evolusi rerantai operasi kapital vs. pudarnya negara-bangsa di 1990an (Ohmae, 1995) merèmèhkan pentingnya kendali politik negara atas penduduk dalam perluasan medan-integrasi produksi-konsumsi. Kasus regionalisme negara-negara ASEAN, yang sekarang berujung pada “kemitraan ekonomi menyeluruh Asia timur” (CEPEA), memberikan gambaran yang baik mengenai awètnya politik kenegaraan.

Politik-Tani Baru Sebagai Subordinat Dari Perluasan Domain Akumulasi
Domain arena politik tani  pra-Orde Baru, yang berfokus pada relasi-spasial dyadic yang menautkan situs tani dengan lokasi kontrol penguasaan tanah in-absentia, menjadi terlalu sempit untuk merepresentasikan difusi spasial yang baru. Perluasan rerantai produksi-konsumsi bahan dan energi dalam orde politk-tani baru mencakup wilayah geografis yang jauh lebih luas, serta jejaring situs-situs kontrol institusional yang jauh lebih rumit. Apa yang dirampas lewat mekanisme keuangan atau realokasi fungsi ruang bukan saja ruang produksi tani dan wilayah-kuasa adati, melainkan juga cadangan ruang pendukung reproduksi tani manusia di daratan dan perairan setiap pulau. Cakupan spasial untuk membalik perambatan pencaplokan ruang tersebut menjadi lebih besar daripada situs pertanian atau desa-desa tani saja.
Medan reforma sekarang adalah jejaring situs-situs produksi nilai yang melahap ruang mukim dan lahan cadangan, serta meracuni tanah, air dan udara.

Pemusatan penguasaan tanah di Indonesia sejak Suharto juga berlangsung dalam konteks dominasi kapital keuangan. Jaringan sistem kredit Bumi mendorong dan melancarkan penyatuan pasar lahan pada skala regional, lewat perpipaan bank-bank raksasa yang menyatukan pasar kredit investasi dengan bursa saham, pasar bond , dan perbankan eceran. Alir keuangan yang jauh lebih cair tersebut membuka jalan ke petak-petak situs produksi bahan mentah di pedesaan maupun kampung-kampung pinggir kota yang sebelumnya adalah situs produksi tani-pangan penting.

Jakarta merupakan situs utama dari proses kapital tersebut. Pengusiran besar-besaran warga kampung-kampung kota di kawasan “segi-tiga emas” Kuningan di pertengahan 1980an untuk mengakomodasi investasi asing raksasa di sektor properti memberikan efek percontohan untuk proyek “super-block” sejenis di Jakarta dan di kota-kota lain. Dalam konteks politik tani, cerita dari sektor properti kota seperti ini melemahkan logika survival untuk masuk kota di antara musim tanam dan musim panen—siasat migrasi ulang-alik dari buruh-tani.

Sejauh menyangkut kapital keuangan, di samping dominasinya dalam proses perluasan perampasan ruang, logika akumulasi dari proses perluasannya baik menjadi pertimbangan. Untuk menjaga kelangsungan akumulasi, dibutuhkan jalan keluar yang tidak ada pada ruang operasinya semula, yaitu perluasan domain spasial dari operasinya. Untuk bisa merepresentasikan potensi tersebut, harus dilakukan valorisasi atau re-valorisasi dari sang objek (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Evolusi Cakupan Sumber Surplus dalam Medan Perluasan-Ekonomik Bumi [7]

Dalam empat dekade terakhir, destabilitasi proses-proses alami telah mendorong pemeriksaan kembali instrumentalisme ekonomik sebagai gangguan bagi reproduksi masyarakat manusia dan fungsi faal alam. Meskipun begitu, bangkitnya penolakan dan membanjirinya peringatan dari kalangan otoritas keilmuan tersebut juga berlangsung pada zaman revolusi instrumentasi kapital keuangan. Pembesaran aliran dana konsumsi, termasuk transfer payment dan asuransi di dalam sirkuit perbankan, serta penghapusan sekat di antara sirkulasi bank investasi dengan sirkulasi simpan-pinjam lokal, mencaplok mekanisme penunjang kesejahteraan warga-negara menjadi bagian dari sirkulasi untuk akumulasi.

Satuan luas lahan Cartesian sendiri melemah maknanya sebagai basis inventory dari ruang produksi tani—salah satu numeraire vital dalam kritik terhadap politik tani maupun rumusan geometris dari tuntutan perombakan kuasa atas tanah—karena dua perkembangan berikut. Pertama, relasi-nilai sepetak lahan dalam rejim orde politik-tani-baru mencakup sumber rente yang jauh lebih majemuk dan dinamis dibandingkan imajinasi di balik Undang-Undang Pokok Agraria 1960.
Rente diferensial dari sepetak lahan yang rendah produktivitas taninya sekarang harus dipertimbangkan di hadapan lapisan-lapisan peta potensi rente dari kandungan mineral, hidrokarbon, nilai derivatifnya, atau infrastruktur ekologis yang dibarangkan sebagai “jasa layanan alam”.

Perkembangan kedua yang tak kalah pentingnya, ketiga Undang-Undang di awal rejim orde baru tersebut di atas menggeser konteks sosial dari soal rente absolut. Dalam konteks populisme “Narodnik” di awal 1960an, masalah sentral adalah relasi kelas parasitik dari pemilik tanah dengan petani gurem dan buruh tani.
Dalam konteks liberalisasi rentier setelahnya, negara membarui monopoli hak atas ruang untuk mendapatkan rente berlapis atas petak muka Bumi.
Sementara prinsip eminent domain mengacu pada pengambilalihan milik pribadi untuk kegunaan umum—dengan bayaran atau kompensasi, akuan negara atas situs produksi kehutanan, pertambangan, atau real estate perkotaan berwatak calo.

Reklamasi hak atas sepetak muka Bumi saja, seperti agenda redistribusi lahan berhutan atau bekas hutan bagi komunitas-komunitas asli—hanya bersifat semacam transfer payment lewat hak mengutip atau mengeruk rente komunitas, tanpa mengubah logika perluasan produksi-konsumsi bahan dan energi. Tidak mengherankan bahwa dalam satu dekade terakhir setelah Suharto, terus bermunculan label-label apologetik seperti koperasi penebangan-hutan-untuk-eskpor-oleh-orang-kampung; pertambangan-emas-yang-baik-atas-nama-kampung-pemilik-hak ulayat; koperasi-tambang-batu-bara milik-putra-daerah; perkebunan-monokultur-oleh-kami-sendiri; dan seterusnya. Di lain pihak, sekarang terjadi pengaliran uang kompensasi pembesaran emisi dari industri negara utara ke komunitas penjaga hutan di pulau-pulau gemuk-karbon di Indonesia, sebagai mekanisme-politik atau keuangan dari kapital industri untuk mengingkari tanggung-jawab penurunan emisi gas rumah-kaca di pabrik sendiri.

Lebih jauh lagi, pemetaan menyeluruh dari sistem-sistem ekologis Bumi beserta kunci dari mekanisme reproduksinya telah mendorong (re)valorisasi ekosfera. Baik gejala krisis maupun perluasan investasi yang mendorong pendalamannya sekarang menjadi wilayah depan akumulasi nilai. Kerusakan ekologis tidak serta merta buruk bagi proses akumulasi lewat kapital keuangan. Domain ke III dalam gambar 1 di atas menunjukkan tahap evolusi sekarang dalam cakupan domain pembarangan/komodifikasi.

Ketiga perkembangan utama sejak orde politik-tani baru di akhir 1960an di atas—pembebasan dan transformasi alir kapital untuk perampasan ruang (a), pengabaian relasi dan nilai non-ekonomik dari rerantai proses sosial dan alam (b) dan pembesaran ruang integrasi-ekonomik serta domain sumber surplus (c)—takkan bisa dihadapi hanya dengan transfer aset tanah kepada subjek tani-kecil/keluarga. Politik-tani tandingan juga akan harus merespon perubahan dalam moda operasi negara, pengurusan rerantai ekonomik, dan pengurusan publik.

Transformasi praktek institusional pengurusan alir kapital dalam rejim politik-tani baru

Citra tentang pesatnya perluasan lahan-tani untuk ekstraksi rente juga memunculkan pertanyaan, apakah selama empat dekade terakhir ini juga terjadi reorganisasi serta penguatan instrumentasi dalam operasi dari lembaga-lembaga negara dan internasional, yang berpengaruh pada dinamika perampasan ruang. Beberapa petunjuk berikut memberikan konfirmasi atas pertanyaan tersebut.

Fasilitas Perluasan Pendudukan Ruang

Pada skala Bumi, penguasaan lahan besar-besaran tengah berlangsung dengan kecepatan penuh. Di antara 2005-2009, 20-50 juta hektar tanah-ladang di negeri miskin berpindah tangan ke perusahaan. Lebih dari 100 milyar dolar digunakan untuk akuisisi tanah-tani seluas +50 juta hektar.[8]

Di Indonesia, industri tani-sawit dan industri tambang memberikan contoh yang jelas mengenai reorganisasi peran negara dalam melancarkan alir kapital dalam orde tani-baru.
Tabel 1 menunjukkan angka perluasan kebun-industri sawit di Indonesia.

Tabel 1. Perluasan Kebun Sawit, 1967-2007 [9]

1967-1977: + 0.1 juta ha
1977-1987: + 0.5 juta ha
1987-1997: + 2.3 juta ha
1997-2007: + 3.7 juta ha

Sebagian besar dari tanah caplokan tersebut tak segera digarap, semacam stok lahan perusahaan-perusahaan raksasa. Komisi Sawit Indonesia memperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan swasta telah mengakumulasi + 3.3 juta hektar tanah yang tidak diolah, menunggu saat datangnya keadaan keuangan dan ekonomi yang tepat. Di Indonesia perusahaan diijinkan memiliki lebih daripada 100 ribu hektar. Sementara itu tidak ada larangan pendirian perusahaan-perusahaan baru oleh korporasi keuangan untuk mendapatkan tanah tambahan.[10]

Contoh dari industri sawit tersebut di atas menunjukkan dimensi waktu dari perampasan ruang, yang lebih sedikit mendapatkan perhatian dalam kritik terhadap rejim tani-baru sekarang. Ketentuan politik orde-tani-baru bukan saja membolehkan, tetapi juga melancarkan pemusatan pemilikan untuk jangka-waktu yang sangat panjang.

Sektor industri tambang memberikan ilustrasi terbaik mengenai hilangnya ruang-waktu bagi subjek tani oleh penghibahan hak monopoli  atas ruang-waktu. Gambar 2 di bawah ini menunjukan bagaiman U.U. nomor 4/2009 tentang pertambangan mineral dan batu-bara melancarkan perluasan monopoli ruang untuk operasi industri tambang. Luas kumulatif dari seluruh situs operasi tambang pada saat ini adalah sekitar 60 juta hektar, lebih dari  30% luas daratan kepulauan. Menjelang akhir kepresidenan Suharto, jumlah ijin usaha pertambangan adalah + 1000. Satu dekade setelah rejim otonomi pengurusan kabupaten/kota berjalan sekarang, telah dikeluarkan 10,235 ijin baru.

Sektor pertambangan minyak dan gas memberikan ilustrasi dramatis mengenai penciptaan ruang-ruang residual tersebut. Determinasi pencaplokan ruang lewat hibah hak monopoli penggunaan ruang kepada industri minyak dan gas sepenuhnya bertumpu pada peta rekonstruksi geologis dari distribusi cebakan hidrokarbon, yang diproyeksikan pada kartografi muka bumi. Berkat jasa dari otoritas perpetaan geologis utama seperti Dinas Geologi AS (USGS), wilayah Asia Tenggara dibagi habis menjadi 63 propinsi geologis dengan informasi cadangan hidrokarbon, dan wilayah kepulauan Indonesia dibagi habis menjadi 35 propinsi geologis.

Gambar 2. Hibah Ruang-Waktu Lewat Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Dalam U.U. no.4/2009 [11]

Penjelasan: Grafik di sebelah kiri menunjukkan rentang-waktu yang dihibahkan pada perusahaan tambang untuk setiap tahapan. Grafik di sebelah kanan menunjukkan bentang ruang maksimum yang dihibahkan pada perusahaan tambang untuk setiap tahapan.

Bencana-industrial peluapan lumpur yang bermula dengan underground blow-out di sumur Banjarpanji 1 milik PT Lapindo di kabupaten Sidoarjo, misalnya, berada di dalam bingkai propinsi geologis nomor 3809.[12] Di dalam propinsi geologis yang sama, kurang-lebih  dua pertiga wilayah propinsi Jawa Timur dibebani dengan superimposisi blok operasi tambang  minyak dan gas. Perairan dan daratan pulau Madura nyaris seluruhnya menjadi situs operasi tambang minyak dan gas. Ruang-operasi tani dengan kelengkapan jejaring akuifer dan sistem-ekologis-tanahnya, dan ruang hidup bagi + 37 juta warga propinsi, de facto diperlakukan sebagai ruang saja.

Gambar 3 di bawah ini menunjukkan sebaran blok operasi minyak dan gas untuk propinsi Jawa Timur.

Gambar 3. Cakupan Blok Situs Operasi Industri Minyak dan Gas di Propinsi Jawa Timur
Sumber: BP Migas. 2010. WKP 2010.

Seperti halnya kasus Jawa Timur, ruang-ruang pendukung kehidupan manusia di masing-masing pulau di Indonesia dapat disebut sebagai ruang residual dari situs-situs produksi surplus.

Menjelang krisis ekonomi Asia di paruh kedua 1990an, perhimpunan ASEAN sendiri telah menjadi mekanisme politik pencaplokan wilayah pulau-pulau besar di Indonesia sebagai situs produksi “bersama” antar negara anggota perhimpunan. Rencana pengembangan Wilayah-Pertumbuhan-Asia-Timur yang melibatkan Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Filipina (BIMP-EAGA) misalnya, memaparkan dalam dokumen-dokumen perencanaannya, bahwa agar keempat negara mendapatkan manfaat komparatif optimum, Indonesia harus menyediakan tanah-tanah berskala besar yang disiapkan sebagai situs investasi bersama, lewat tiga mekanisme pembiayaan utamanya yaitu foreign direct investment, portofolio investment dan kredit bank.[13]

Ketika Asia, khususnya Asia timur, masuk ke dalam episoda krisis sejak 1998, rontoknya nilai tukar mata-uang negara-negara anggota ASEAN menjadi peluang emas untuk akuisisi aset lahan dan bisnis di negara-negara tersebut. Indonesia berada di posisi teratas dalam nilai akuisisi intra-ASEAN pasca-krisis tersebut, terutama di sektor primer (kebun sawit dan tambang), 1,010 juta dolar.[14]

Penyatuan Situs-Situs Produksi Surplus Asia Timur

Belajar dari tidak adanya mekanisme kolektif untuk menghadapi krisis ekonomi Asia di akhir 1990an, episoda perluasan ekonomik Asia Timur berikutnya ditandai dengan integrasi spasial yang lebih ambisius. Sepuluh negara anggota ASEAN sekarang berkongsi dengan RRC, Jepang dan Korea Selatan (ASEAN+3) membentuk fakta dagang Wilayah Perdagang Bebas Asia Timur. Sementara RRC dan Federasi Rusia menguatkan kendalinya pada wilayah Eurasia dengan Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), Jepang memimpin Kemitraan Ekonomik Menyeluruh untuk Asia Timur (CEPEA), beranggotakan tiga-belas negara dalam ASEAN+3 serta India, Australia  dan Selandia Baru.

Basis pemikiran pokok dari gagasan dan turunan model mengenai integrasi ekonomik untuk Asia, khususnya Asia Tenggara, berpusat pada teori “Geografi ekonomik baru”/GEB[15] dengan model-model potensi aglomerasi produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model  “pusat-pinggiran” yang baru, eksternalitas positif, serta berbagai efek maupun pendorong aglomerasi perluasan ekonomik. Jepang sebagai pemimpin prakarsa CEPEA juga mendorong kampanye moda bagi-kerja antar negara yang baru dengan pendekatan yang sama. Di akhir 2011 yang lalu IDE/JETRO—thinktank pemerintah Jepang—bersama Organisasi Dagang Dunia (WTO) meluncurkan prakarsa “Made in the World” di Paris. Fragmentasi rantai-pasokan bahan dan barang dalam produksi industrial sekarang menuntut kesediaan negara-negara untuk mengubah peran, dari produsen barang menjadi pemasok fungsi dalam proses dan rantai penciptaan nilai yang berkaki di banyak lokasi.

Meskipun menggunakan istilah “baru”, teori GEB sesungguhnya tidak mengandung perbedaan mendasar dari pendekatan umum ekonomika neoklasik, yang menaruh perdagangan sebagai arena utama dari pemeriksaan dan pengurusan. “Terobosan” dalam aglomerasi dalam hal ini juga bukan sebuah solusi permanen, tetapi sementara. Demikianlah pula, kerangka konseptual GEB bersandar pada seperangkat sikap pikir dan asumsi lama mengenai firma, manfaat/utility, serta daur-bisnis dalam kaitannya dengan perluasan usaha.

Dari titik berangkat yang menaruh seluruh rerantai ekonomik sebagai subset dari rerantai sosial dan rerantai ekologis, tidak ada sedikipun pencerahan dalam teori GEB tentang kerangka ruang-waktu diferensial dari sebuh wilayah hidup.
Dengan kata lain, chronotype dan spatiotype geografi “baru” tersebut mengacu pada kerangka ruang-waktu rerantai ekonomik semata. Sumber inspirasi dari GEB memang bukanlah pemburukan krisis yang menuntut pembaruan sikap pikir tentang penggunaan ruang dan waktu, melainkan peluang yang jauh lebih besar bagi akumulasi kekayaan lewat pembebasan alir kapital dari ketentuan-ketentuan pengurusan publik ekso-ekonomik.

Salah satu hambatan utama bagi pendekatan perencanaan aglomerasi skala raksasa adalah “efek batas juridiksi wilayah pengurusan publik” (border effect). Dalam model  biaya transportasi dari teori GEB, efek batas negara/teritori/wilayah pengurusan tersebut dapat dikonversi  ke dalam pembesaran jarak dan biaya transportasi antar wilayah. Adanya beda policy dalam soal perdagangan, investasi industrial, pembiayaan, moneter, dan fisikal di antara dua wilayah negara dapat menghambat aglomerasi dan karenanya sebisa-bisanya harus ditiadakan. Pertimbangan ini mendorong perumusan kesepakatan regional di Asia Timur untuk menghapuskan berbagai regulasi tapal batas, termasuk regulasi yang melindungi keselamatan dan keamanan manusia serat keutuhan ekologis jangka panjang. Teori GEB sendiri menunjukkan kemungkinan munculnya wilayah-wilayah “bayang-bayang aglomerasi” (agglomeration shadow) di sela-sela pusat produksi-konsumsi hasil aglomerasi, di mana yang terjadi di sepanjang proses aglomerasi justru penurunan penciptaan nilai dari kegiatan ekonomi domestik.

Dominasi Lex Mercatoria

Transformasi rejim tata-guna tanah di Indonesia sejak paruh kedua 1960an, beserta pengembang-biakan instrumentasi utamanya, yaitu kartografi ekonomistik berbasis monopoli penggunaan petak-permukaan-Bumi, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan lex mercatoria, rejim hukum yang dirintis oleh para saudagar di Eropa abad pertengahan, dalam bentuk protokol yang mengatur transaksi dagang sesamanya.
Ujud kontemporer lex mercatoria adalah berbagai traktat, organisasi—khususnya yang menyangkut perdagangan dan arbitrasinya, dan instrumen regulasi transaksi komersial lain. Rejim tani-pangan global adalah salah satu medan penguatan lex mercatoria pada tataran trans-nasional, yang bekerja dengan kombinasi dengan berbagai protokol regulasi  dari dalam keluarga PBB, sindikal komersial, dan pakta-pakta kesepakatan pada tingkat regional dan nasional.[16]

Pembebasan sekat-sekat antar negara untuk kelancaran alir barang produk tani dan kapital secara umum, lewat kesepakata seperti pakta perdagangan bebas Asia Timur, kesepakatan perhimpuan ASEAN, atau kongsi ekonomii CEPEA, bukan saja melayani pembebasan arus perdagangan, tetapi juga melemahkan rejim hukum nasional, terutama yang menyangkut proteksi warganegara dari efek negatif perluasan ekonomik atau infrastrukturnya. Seperti halnya dengan episoda awal dari perkembangan lex mercatoria menjadi bagian dari hukum perdata di Eropa, sekarang di Indonesia dan di Asia tenggara kita bisa memetakan bagaimana ciri-ciri lex mercatoria menjelma lewat instrumen-instrumen hukum, mekanisme pengurusan, dan institusi kenegaraan. Dalam konteks orde tani-baru pasca 1960an, undang-undang bahkan memberikan hak pada pengurus negara untuk mengurung warga-negara yang menolak melepaskan tanah milik pribadi atau kampung untuk menjadi situs investasi kapital—di bawah ketentuan politik “pengadaan lahan bagi kepentingan pembangunan”.

Lex mercatoria bertumpu pada logika bahwa korporasi dan proses bisnis mampu mengatur diri-sendiri. Anggapan ini sebagian benar. Pengelolaan korporasi membela kepentingan perusahaan dengan mendorong transparansi alir keuangan, mencegah transaksi gelap antara perusahaan dengan pengurus negara, dan mempromosikan kriteria keberlanjutan usaha dengan pertimbangan aspek sosial atau ekologis. Cabang produksi nilai yang paling lapar lahan dan berdaya rusak tinggi seperti pertimbangan pun coba-coba bicara transparansi dengan melibatkan banyak pihak.

Masalahnya, ketika kriteria kelayakan, parameter ketaatan, dan cakupan tindakan koreksi ditentukan dari dalam dunia dagang sendiri, sama-sekali tidak ada jaminan apakah ketiganya selaras dengan logika keselamatan manusia atau keutuhan fungsi alam. Begitu pula,  ketika sistem regulasi-otonom dari dunia dagang bahkan tidak mampu mendeteksi datangnya krisis akut seperti  krisis Wall Street 2008, yang terjadi bukanlah kegagalan pasar menjalankan fungsi optimumnya, melainkan bangkrutnya pretensi bahwa kapital industri dan keuangan sebagai rerantai sosial otonom mampu mengatur tabiatnya sendiri melawan logika akumulasi  dalam denyut jantungnya sendiri.

Perekahan Ekologis

Pembesaran allometrik dari produksi-konsumsi bahan dan energi metabolik, sekarang dihadapkan pada pembesaran telapak spasial yang mengikuti logika akumulasi. Uraian di depan menunjukkan bagaimana proses pembungkaman logika reproduksi beserta representasi spasialnya yang bercorak allometrik berlangsung dalam empat dekade ini. Kata kunci perekahan ekologis mengacu pada bentrokan di antara corak adaptasi allometrik dari daur reproduksi alam beserta masyarakat manusia di satu pihak, dengan corak pelahapan ruang ad infinitum dari perluasan produksi-konsumsi bahan dan energi di lain pihak.[17]

Dalam rentang-ruang-waktu yang persis sama dengan usia rejim-tani-baru pasca 1960an, pembesaran jumlah penduduk telah mendapatkan “kredit kesalahan” lebih besar daripada yang layak diterimanya. Perekahan ekologis memberikan bukti tandingan yang sulit dibantah.

Untuk kepulauan Indonesia, cerita rontoknya sistem-sistem daur air utama sejak awal 1980an sampai akhir kepresidenan Suharto sedikit sekali berkorelasi dengan percepatan pertumbuhan penduduk di wilayah-wilayah aliran air tersebut.[18] Bagaimana dengan wilayah daratan pulau di seluruh Indonesia yang jatuh ke tangan koroporasi raksasa sebagai situs produksi nilai yang tidak melayani metabolisme manusia dan alam di situ?

Pertimbangan pulau Jawa, kemah-konsentrasi utama penduduk kepulauan. Di situ, rontoknya daya reproduksi sosial dan kesatuan-kesatuan sosial ekologis menyejarah yang tadinya mengurus produksi-konsumsi pangan dan airnya sendiri tidak mungkin diatasi lewat pengurangan pertambangan penduduk dengan migrasi penduduk ke luar pulau dan atau pembatasan kelahiran. Harus diperiksa kembali logika pembesaran rerantai produksi-konsumsi bahan dan energi, dalam ujud urbanisme parasitik yang dipuja-puji sampai sekarang. Seperti halnya dengan absennya penjelasan mengenai duduk perkara politik dari gejala involusi  ruang-operasi kelas pekerja-tani yang belum dilahirkan telah didorong oleh vektor-perluasan ekonomik dengan infrastruktur politiknya; bukan karena terlalu besarnya jumlah penghuni kepulauan.

Pembesaran kegawatan ruang-ruang hidup di Indonesia mencerminkan keadaan mutakhir dari holarki kesatuan-kesatuan sosial-ekologis menyejarah Bumi. Krisis berubahnya keajegan klimatik dari ekosfera sekarang, misalnya, telah dikiaskan sebagai sebuah “badai moral yang sempurna”, di tengahnya sulit bagi siapapun untuk menentukan arah tujuan.[19] Elemen kunci dari badai tersebut adalah masalah daya-tindak, godaan untuk melemparkan masalah ke generasi yang belum dilahirkan, dan ketidak-mungkinan untuk menerapkan teori-teori politik yang ada.[20]

Pembaruan politik tani atau rekonsitusi subjek sejarah dan ruang-hidupnya?

Seluruh catatan di depan mencoba menunjukan bahwa sebuah pemeriksaan yang agak lengkap atas dinamika politik-tani di kepulauan Indonesia paling tidak harus mencakup status dari fungsi-fungsi reproduksi kemanusiaan dari prosumer tani, fungsi-fungsi faal dari kepulauan perairan Indonesia, serta keragaman camera obscura dalam tafsir dan mediasi perubahan.

Pertanyaan di akhir catatan ini menyangkut kelengkapan syarat-syarat belajar untuk memperbarui dan memperkuat perlawanan terhadap perusakan. Agenda perombakan agararia macam apa harus tumbuh besar di Indonesia. Perombakan atau pembaruan agraria sendiri mengundang pertanyaan mengenai kecukupan dari agenda belajar dan koreksinya, di hadapan domain dan rentang krisis sosial-ekologis sekarang.

Pentingnya koreksi skala Bumi terhadap vektor pendorong perekahan ekologis beserta seluruh kontradiksi kemanusiaannya tidak memerlukan banyak komentar tambahan. Meskipun demikian, kriteria dari apa yang semestinya tercakup dalam tindakan koreksi tersebut bersifat genting. Fokus pada redistribusi petak-petak ruang produksi-tani kecil saja jelas tidak berwatak korektif, karena kemajuan dari sirkuit-sirkuit kapital keuangan sekarang.

Fantasi para pengurus negara di bawah kepresidenan Yudoyono, bahwa redistribusi macam itu setidaknya akan menjadi lubang katup pelepas amarah warga-negara di situs perkebunan, pertambangan atau real-estate perkotaan sesungguhnya tidak masuk akal, karena sebab-sebab yang diuraikan di depan. Hari ini, redistribusi tanah secara terbatas bagi petani kecil dan rakyat jelata di sekeliling situs-situs pembongkaran bentang alam terdengar seperti penerapan yang buruk dari resep Hernando De Soto untuk sertifikasi tanah-tanah pemukiman liar di negara-negara miskin, menjadikannya bankable dan transferable.

Sebagai pembanding, di tahun 2004 Presiden Filipina Arroyo menerapkan gagasan De Soto untuk membebaskan nilai lahan permukiman liar sebesar 100 milyar dolar, dengan sertifikasi tanah pemukiman liar, sekitar 57% dari penduduk perkotaan Filipina. Dengan tumpang-tindih peraturan dan wewenang antar badan pengurus publik, dibutuhkan  13 sampai 25 tahun untuk melaksanakannya.[21] Di sejumlah negara miskin di selatan, dan di halaman belakang De Soto sendiri di Peru, pemukiman liar yang baru saja dilegalkan ternyata hanya mendapatkan sedikit manfaat dari sertifikasi. Dari 200 ribu lebih rumah-tangga di kota Lima yang mendapatkan sertfikasi tanah di tahun 1998-1999, hanya 24 persen yang telah mendapatkan hutang di tahun 2002, itupun hampir semuanya dari kas negara.[22]

Untuk Indonesia, pertanyaannya adalah apakah sertifikasi tanah, sebagai hipotek kredit bank, akan mendorong gerakan pembaruan politik-tani. Agenda belajar yang mendesak sekarang adalah pemeriksaan kriits atas arah promosi atau advokasi politik-tani tandingan yang menjadi pilihan dari warga prosumer tani maupun organisasi-organisai partikelir yang gelisah.

Pembelaan kedaulatan atas ruang-hidup sekarang telah menjadi arena perebutan ruang bagi mayoritas warga-negara. Dalam dua dekade terakhir, pembesaran tekanan perampasan tanah dan air di kepulauan , yang telah menciptakan potensi perlawanan balik dari subjek yang terampas ruang-hidupnya, juga dihadapkan pada ketidak-mampuan kolektif untuk menemukan basis solidaritas kemanusiaan di tengah kesamaan derita, dan telah berhujung pada serangkaian perang terbuka atau diam-diam sesama rakyat jelata di berbagai pulau, dengan atau tanpa provokasi.

Dalam satu dekade ke depan sulit membayangkan perubahan politik-tani akan datang dari dalam pengurusan negara, karena asal-usul kelas dari awaknya maupun karena watak dari bangunan politiknya. Tuntutan pekerja-tani untuk belajar bersama merebut syarat hidupnya sendiri akan terus membesar, meskipun sangat boleh jadi bukan karena penguatan politik atau mengecilnya fragmentasi intra-kelas, tetapi karena memburuknya krisis.

Kepustakaan

Althuser, Louis. 1970. Idéologie et appareils idéologiques d’État. (Notes pour une recherche)/Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an Investigation). La Pensée, no 151, juin.
Bankoff, Greg; Peter Boomgard. 2007. A History of Natural Resources In Asia.
Barthes, Roland. 1981 (1967). The Discourse of History. Dalam Shaffer, E. S. Comparative Critism: A Yearbook Volume 3, pp. 3-20. Cambridge: Cambridge University Press.
Berman, Paul S. 2002. The Globalization of Jurisdiction. U. Of Connecticut School of Law Articles and Working Papers.
Bull, Malcolm. 2012. What is the rational reponse?.  LRB (34:10, 24 Mei 2012)
Carrión, Jesús et al. 2009. European Union and Transnational Corporation: Trading Corporate Profits for Peoples’ Right. Enlazando Alternativas.
Chester, Marvin. 2011. A Law of Nature? Open Journal of Ecology Vol. 1, No. 3, 77-84,
Domhoff, G. William. 2005. The Death of Autonomy Theory: A Critique of Skocpol’s Soldiers And Mothers. http://www2.ucsc.edu/whorulesamerica/theory/skocpol.html.
Fairhead, James, Melissa Leach; Ian Scoones. 2012. Green Grabbing: a new appropriation of nature? Journal of Peasant Studies, 39: 2. 237-261
Fay, Chip; Martua Sirait. 2005. Kerangka Hukum Negara dalam Mengatur Agraria dan Kehutanan Indonesia: Mempertanyakan Sistem Ganda Kewenangan atas Penggusuran Tanah. ICRAF Southeast Asia Working  Paper, No. 2005_3
Foster, John Bellamy, Brett Clark, and Richard York. 2010. The Ecological Rift: Capitalism’s War on the Earth. New York: Monthly Riview Press.
Gardiner, Stephen. 2011. A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change. Oxford: Oxford University Press.
Garver, G. 2011. A Framework for Novel and Adaptive Governance Approaches Based on Planetary Boundaries. Colorado State University, Colorado Conference on Earth System Governance, 17-20 May 2011.
Giampietro, Mario. 2005. Multi-Scale Integrated Analysis of Agroecosystem. Boca Raton, FL, CRC Press.
Haug, Wolfgang Fritz. 1984. Die Camera obscura des Bewusstseins. Kritik der Subjekt/Objekt-Artikulation im Marxismus. Dalam Die Camer obscura der Ideologie, Philosophie, Ã–konomie, Wissenchaft. Drei Bereichstudien von Stuart Hall, Wolfgang Fritz Haug und Veikko Pietilä.Argument-Sonderband, AS 70, Berlin/West
Kaur, Amarjit. 2004. Wage Labour in Southeast Asia since 1840: Globalisation, the International Division of Labour and  Labour Transformations. New York: Palgrave MacMillan.
Korfman, Sarah. 1998. Camera Obscura of Ideology. Ithaca, NY, Cornell University Press.
Krugman, Paul. Geography and Trade. Cambridge: MIT Press, 1991.
—.”Increasing Returns and Economic Geography.” Journal of Political Economy.99 (1991): 483-99.
—.”The New Economic Geography, Now Middle-Aged.” Meeting of the Association of American Geographers (2010)
Lenin, V. I. 1901. The Agrarian Question and the “Critics or Marx, Ch.4. Zarya, Nos. 2-3, Dec. 1901
Lohmann, Larry. 1997. Cost-Benefit Analisys Whose Interest, Whose Ratonality? Presentation to the Yale University Program in Agrarian Studies.
Martinez-Alier, Joan. 2011. The EROI of agriculture and its use by the Via Campesina. Journal of Peasant Studies, 38:1, 145-160.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation-State: The Rise of Regional  Economies.  New York: Simon and Schuster Inc.
O’Neill, D.W., Dietz R., Jones, N. (Editors). 2010. Enough is Enough: Ideas for a sustainable economy in a world of finite resources. The report or the Steady State Economy Conference. Center for the Advancement of the Steady State Economy and Economic Justice for All, Leeds, UK.
Pereira Machado, Diamantino. 1992. On the Autonomy of the State and the Case of the Portuguese Estado Novo.
Ross, Michael L. 2004. Timber Bombs and Institutional Breakdown in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
Skocpol, Theda. 1979. State and social revolutions: A Comparative Analisys of France, Russia and China. Cambridge: Cambridge University Press.
Sudipto Roy; Majumdar, Priyadarshi; Ghosh, Subhankar. 2011. A theoritical analysis of the growth process of an organism and its dependence on various allometric relations. Natural Science Vol.3, No. 9, 802-811.
Zhao Chen, Ming Lu dan Zheng Xu. 2006. Core-Periphery Model  of Urban Economic Growth: Empirical Evidence form Chinese City-Level Data (1990-2006)

*) Tulisan ini pernah dimuat di Sangkoyo, H. (2013). “Politik Tani di Indonesia“. dalam Jurnal Studi Politik, Vol II, No.2, September 2013, hh. 58-74, Jakarta, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.

[1] Pelajar di School of Democratic Economic
[2] Camera Obscura (lit. Kamar gelap), semula digunakan untuk menunjukkan pembalikan imaji dalam konteks fotogtafi, dipakai sebagai kiasana dari pembentukan kesadaran-terbalik dalam telaah ideologi. Lihat, MECW 5, 36 (1975); Haug, W.F. (1984); Kofman (1999).
[3] Undang-Undang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1954 Tentang Nasionalisasi Bataviasche Verkeers Matschappij N. V. (b.v.m.) (lembaran-negara Tahun 1954 No. 67 (UU 71 thn 1957).
[4] UU nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan digantikan oleh UU nomor 4/1999, yang mengenalkan “jasa pelayanan lingkungan” sebagai “fungsi produksi” hutan, yang dapat diusahakan oleh pribadi, koperasi, badan-badan swasta atau milik negara. Desakan dari industri tambang menghasilkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU  nomor  1/2004, yang menegaskan hak beroperasi bagi perusahaan-perusahaan tambang yang sudah ada sebelum UU no 41/1999.
[5] UU/Perpu nomor 37/1960, penjelasan Umum butir 3.d.
[6] FAO. (tanpa tahun). The History of Industrial Marine Fisheries in Southeast Asia.
[7] Sumber: SDE, 2012
[8] Institute for Food and Development Policy.(tanpa tahun). Fact Sheet.
[9] Komisi Sawit Indonesia, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan, 2009.
[10] USDA. 2009. Commodity Intelligence Report.
[11] Sumber: SDE. 2011
[12] USG. (2009). Open File Report 97-470F.
[13] Situs BIMP-EAGA seluas 1,6 juta km persegi, dengan jumlah penduduk 57.5 juta, mencakup seluruh kesultanan Brunei Darussalam, propinsi-propinsi pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Papua di Indonesia, Negara Bagian Sabah dan Sarawak serta Teritori Federal Labuan di Malaysia, dan pulau Mindanao serta propinsi Palawan di Filipina. Lihat
[14] Bartels, Frank L. 2004.
[15] Krugman (1991).
[16] Untuk uraian yang cukup luas pertimbangannya, lihat, mis. Berman, Paul S. The Globalization of Jurisdiction, U. Of Connecticus School of Law Articles and Working Papers, (2002). Untuk kajian yahg lebih kritis mengenal bagaimana rerantai transnaional memperkuat kedudukannya di depan hukum, lihat, Jesús Carrión et al. European Union and Transnational Corporation: Trading Corporate Profits for Peoples’ Right. Enlazando Alternativas, 2009.
[17] Lihat Foster, J.B. et al (2010).
[18] Dari 89 satuan wilayah (pengurusan) sungai di seluruh kepulauan Indonesia, angka satuan wilayah sungai utama berstatus rusak untuk tahun 1984, 1992, dan 1997 adalah 29/89, 39/89 dan 59/89 (DPU, berbagai tahun). Laju pertumbuhan penduduk per annum  untuk tahun-tahun yang sama (%) adalah 2.12, 1.62, dan 1.38 (www.indexmundi.com/facts/indonesia/population-growth)
[19] Gardiner, S. (2011).
[20] Bull, M. (2012).
[21]Gil C. Cabacungan Jr. 2004.arroyo launches urban land reform. Inqurier News Service,29/20/2004.
[22] Gravois, J. The De Soto Delusion. Slate, 29/01/2005.

Sumber: LPIK.Org