Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 25 April 2015

Tembakau, Budaya, dan Proses Kreatif Sastrawan

23 April 2015 | 
oleh Membunuh Indonesia


Tradisi budaya di Indonesia bernilai seni tinggi. Dengan kecerdasan dan kualitas estetika yang mumpuni, para leluhur menciptakan kebudayaan berdasarkan alam sekitar dan hubungan vertikal dengan Sang Maha Pencipta. Mereka berjuang menghadapi kompleksitas kehidupan melalui berbagai macam penyikapan budaya dengan mencipta berbagai produk budaya.
Salah satu produk budaya adalah Tari Lahbako, tarian asal Jember yang menceritakan proses pengolahan tembakau. Jember merupakan salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Tarian ini menggambarkan identitas budaya Jember.
Gerak tari ini menggambarkan kerja mengolah tembakau, seperti memetik tembakau, ngelus, dan nyujen. Tata rias busana juga memiliki makna tersendiri. Warna-warna busana yang digunakan banyak menggambarkan warna kualitas tembakau. Musik pengiring menggunakan musik kendang patrol. Tarian Lahbako merupakan produk tari kebudayaan yang mengadopsi “budaya tembakau” yang telah menghidupi rakyat Indonesia.
Salah satu produk industri hasil tembakau adalah kretek. Kretek merupakan salah satu benda yang dapat mempersatukan ruang-ruang sosial yang selama ini tersekat berbagai hierarki sosial. Kretek merupakan salah satu produk yang mampu menembus batas-batas strata sosial di masyarakat.
Di Indonesia, banyak sekali pekerja seni yang hobi menghisap kretek. Tak heran jika melihat foto-foto para pekerja seni berpose sambil menghisap kretek. Kretek adalah suatu wujud kebudayaan bangsa Indonesia.
Kretek dan seni merupakan kesatuan. Dari tangan para pekerja seni yang bekerja sambil menghisap kretek, lahir banyak karya. Ngretek membuat pikiran lebih santai, tersenyum, dan tertawa. Mendorong proses kreatif pekerja seni dalam membuat karya.
Harry Roesli pernah bilang, “Kalau aku tidak merokok, aku tidak bisa berkarya. Dan jika aku tidak bisa berkarya, sama saja aku sudah mati.”
Chairil Anwar termasuk seniman jenius. Besar kontribusinya bagi dunia sastra Indonesia. Ia pentolan generasi sastra Angkatan ’45.
Satu yang tak bisa dilepaskan dari Chairil adalah rokok. Foto-foto Chairil Anwar yang lazim kita temui sekarang adalah mata yang menatap tajam ke depan, dua alis menyatu, dan di bibir terselip sebatang rokok. Chairil Anwar memang terkenal sebagai seorang perokok berat.
Rokok membawa manfaat baginya, menjadi teman dalam melahirkan bait-bait puisinya yang menggedor. Bagaimana jika Chairil Anwar tidak merokok, bisakah dia menjadi seorang jenius seperti kita kenal sekarang?
Pramoedya Ananta Toer adalah  sastrawan besar Indonesia yang menghasilkan lebih dari 50 karya yang sudah diterjemahkan dalam 41 bahasa asing. Karya Pram penuh dengan kritik sosial, mengantarkan dia keluar-masuk penjara tanpa proses pengadilan. Selama di kamp pembuangan Pulau Buru ia tidak berhenti menulis, menghasilkan karya fenomenal “tetralogi buru”.
Pram tidak bisa dipisahkan dari kretek. Kretek selalu menemani Pram saat berkarya. Dari proses kreatif ini ia mendapatkan puluhan penghargaan, antara lain Ramon Magsaysay Award pada 1995,  gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan pada 1999, hadiah budaya Asia Fukuoka XI 2000, dan Norwegian Authors’ Union Award 2004 atas sumbangsihnya pada sastra dunia.
Kretek menyatu dalam proses kreatif Pram. Ia tidak bisa menulis tanpa menghisap kretek. Tidak akan bisa kita nikmati karya-karya sastra berkualitas tinggi hasil guratan pena seorang Pram tanpa kretek yang selalu dihisapnya. Sampai akhir hidupnya, Pram meminta keluarganya menempelkan kretek di bibirnya. Ia ingin menghisap kretek untuk terakhir kalinya.

http://membunuhindonesia.net/2015/04/tembakau-budaya-dan-proses-kreatif-sastrawan/

Selasa, 21 April 2015

Ini Tujuh Kasus Pelanggaran HAM yang Akan Diusut Pemerintahan Jokowi

Selasa, 21 April 2015 | 17:12 WIB | Tempo

Penjelasan Jaksa Agung - Jaksa Agung, HM Prasetyo, memberi penjelasan terkait eksekusi hukuman mati saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/1). Jaksa Agung juga menjelaskan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba tahap berikutnya akan segera dilakukan.


JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahan Joko Widodo membentuk tim untuk mengusut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Tim akan memprioritaskan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Apa saja tujuh kasus tersebut?

"Kongkretnya, ada tujuh kasus, yakni kasus Talangsari, Wamena, Wasior, penghilangan paksa orang, penembak misterius, G30S PKI dan kerusuhan Mei 1998," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (21/4/2015).

Prasetyo mengatakan, tim akan menempuh dua jalur penyelesaian kasus. Pertama, untuk kasus yang masih memungkinkan menjerat pelaku dan menemukan barang buktinya, akan ditempuh melalui jalur judisial.

Kedua, lanjut Prasetyo, untuk kasus yang sudah terjadi di atas 15 hingga 30 tahun lalu yang kemungkinan kecil bisa menjerat pelaku, akan didorong ke upaya rekonsiliasi antara korban dengan pelaku.


Menurut Prasetyo, ada beberapa kasus yang telah didata berkasnya oleh Komnas HAM. Tim akan bekerja berdasarkan temuan Komnas HAM sembari mencari bukti atau saksi baru demi penuntasan kasus-kasus HAM tersebut.


"Saat ini tim akan bekerja bersama secara cermat, menelaah, meneliti kasus itu satu per satu. Intinya kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu harus tuntas tanpa harus saling menyalahkan satu sama lain," ujar Prasetyo.
"Bangsa ini punya beban sejarah di masa lalu, yakni dugaan pelanggaran HAM berat. Kita akan mencari bagaimana penyelesaian terbaik atas kasus itu," lanjut Prasetyo.


Pembentukan tim ini merupakan hasil pertemuan antara Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Badan Intelejen Negara Marchiano Norman, perwakilan Panglima TNI dan para komisioner Komnas HAM di ruangan Jaksa Agung, Selasa siang.

Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor : Sandro Gatra


http://nasional.kompas.com/read/2015/04/21/17120411/Ini.Tujuh.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Akan.Diusut.Pemerintahan.Jokowi

Rabu, 08 April 2015

Apa Kata Mereka?

| M. ABDUH AZIZ | Menolak bungkam, bersama meraih keadilan
 
Bagi para film maker, peristiwa 1965 merupakan peristiwa terkelam dalam sejarah Indonesia yang selalu menarik untuk didokumentasikan. Jumlah korban tewas yang fantastis, tekanan politik yang dialami para korban, upaya pemerintah Orde Baru membangun narasi yang berbeda dengan fakta sejarah, hingga ketakutan masyarakat pada hantu “ PKI ” yang memunculkan rasa alergi pada segala hal yang diberi stigma komunis, menjadi tantangan tersendiri bagi para film maker untuk menghadirkan narasi baru yang berbeda dengan narasi resmi.

M. Abduh Aziz adalah salah seorang film maker yang mengangkat tema 1965 dalam karyanya. Berkolaborasi dengan Lasja F. Susatyo, ia membesut Tjidurian 19 pada tahun 2009, sebuah film dokumenter yang mengangkat peran Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Menurutnya, latar belakang akademisnya yang sejarah membuatnya tertarik untuk membuat film karena dianggap mampu mengangkat moment sejarah atau interpretasi sejarah dengan sangat baik, tanpa meninggalkan kemampuannya bercerita mengenai kondisi-kondisi kemanusiaan yang ada. Terhitung hampir 20 tahun, lulusan Sejarah Universitas Indonesia ini berkiprah di dunia film, terutama yang ber-genre dokumenter karena mengutamakan fakta dan validitas. Meskipun demikian, Direktur Program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006 – 2009 dan sekretaris DKJ 2009 – 2012 ini berhasil meraih penghargaan Piala Dewantara pada tahun 2014 untuk film fiksi layar lebarnya yang berjudul Sebelum Pagi Terulang Kembali.

Bertempat di kantor production house Cangkir Kopi yang merupakan tempatnya berkarya, Redaksi IPT-65 berkesempatan mewawancarai perjalanan karirnya sebagai pembuat film terutama dalam mengangkat peristiwa 65 dalam film dan pandanganya terhadap film Senyap serta kontroversi pelarangan pemutaran film tersebut oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

Film yang paling berkesan yang pernah diproduksi ?

Pada tahun 1999 saat film Indonesia sedang terpuruk-terpuruknya, sekumpulan pembuat film termasuk saya berpikir bahwa harus ada terobosan dalam pola produksi maupun cara bertutur dalam film. Maka kami membuat film eksperimen berjudul Impian Kemarau. Dibuat pada tahun 1999 tapi release pada tahun 2004 karena film independen. Film ini mengambil style film yang puitik, menggunakan bahasa gambar, puitik, metafornya sangat kuat dan berisi kritikan-kritikan sosial. Berkisah tentang anak muda yang berprofesi sebagai meteorolog Dikirim ke Gunung Kidul untuk menurunkan hujan, namun mengalami kegagalan. Dalam menjalankan tugasnya, ia berkonflik dengan warga desa karena tidak memahami budaya lokal. Hingga ia menyadari bahwa ia tidak dibutuhkan dan hanya dijadikan alat kampanye.

Film ini sangat berkesan karena dibuat sangat independen. Tidak ada kompromi mengenai tema, konten dan segala macam. Sambutan terhadap film ini sangat baik dan pada tahun 2005 berhasil menang di Shanghai Film Festival. Sayangnya film ini tidak beredar di Indonesia, kecuali di pemutaran-pemutaran khusus.

Karya lainnya yang berkesan adalah Percobaan Omnibus KvsK dan Sebelum Pagi Terulang Kembali. Keyakinan saya semakin kuat bahwa film harus mempunyai kontribusi terhadap kehidupan sosial.


Sebelumnya, saya juga membuat film Tjidurian 19. Judul film diambil dari alamat sekretariat Lekra. Ketidakpuasan pada penjelasan pemerintah mengenai peristiwa 1965, mendorong saya untuk mengangkat peristiwa ini dari perspektif pelaku sejarah. Saya menggali memori ingatan mengenai Lekra, sehingga orang punya kesempatan melalui pengalaman personal memahami apa yang terjadi pada tahun 65. Subyek yang kita ikuti Martin Aleida, Putu Oka Sukanta, Amarzan Lubis, Iskandar, Hezri Setiawan dan Amrose Natasha. Film ini tidak bicara mengenai peristiwa makro politik yang terjadi tetapi bagaimana mereka tumbuh bersama Lekra, perspektif mereka sebagai anak muda dan manusia sampai badai politik yang terjadi. Saya seperti punya ikatan lebih dalam film ini karena merasa mendapat kehormatan untuk ikut dalam pengalaman bapak-bapak narasumber tadi.

Lekra itu sebuah tempat yang sebenarnya tidak melulu bermuatan politis tapi lebih pada pencarian anak muda. Mereka bertemu banyak referensi, banyak ideologi yang kemudian mematangkan mereka. Yang luar biasa dari survival ini adalah kematangan mereka melihat dari kacamata saat ini. Ada nuansa pemaafan, penerimaan dengan jiwa besar tapi juga ada tetap ada penantian mereka atas pengakuan dan keadilan. Bukan dendam yang dipelihara tapi mereka sadar apa yang mereka lalui adalah pelajaran berharga yang seharusnya diketahui oleh banyak orang dan mudah-mudahan tidak terulang kembali.

Awal perkenalan dengan film Tjiduarian 19 ini seperti apa?

Karena saya lulusan sejarah jadi tidak asing dengan tema ini. Saya selalu punya keinginan untuk membuat momen sejarah dari kacamata intim yaitu personal. Saya ingin bicara manusia. Karena film dan sejarah sebenarnya sama, it’s all about human. Kemudian ada obrolan dengan Institut Sejarah Indonesia (ISI) dan selanjutnya saya dipertemukan dengan Putu Oka. Beliau sering membuat serial tentang peristiwa 1965. Saat itu saya sangat terbantu dengan arsip yang dimiliki ISI. Penggalian itu semakin membuka mata saya bahwa banyak ruang yang selama ini dihancurkan Orde Baru, yang ikut menghancurkan memori ingatan. Ini merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Setelah itu saya melakukan wawancara-wawancara dan jadilah film itu.

Satu tahun dalam penyiksaan bawah tanah, tujuh tahun dalam penjara dan beberapa dekade dalam peledahan membuat Endang Darsa tetap bersemangat. 50 tahun setelah peristiwa ia tetap menuntut keadilan (sumber: Spiegel Online)

Film itu dibuat pada saat Indonesia sudah terbuka, apakah ada tekanan saat pembuatan atau pemutaran film itu?

Mungkin inilah hasil dari reformasi, jadi tidak ada ketakutan, tidak ada intimidasi. Sampai hari ini juga masih ada permintaan untuk diputar di beberapa tempat. Mungkin karena film ini tidak mendapat media exposure yang high profile sperti film Senyap. Apalagi Senyap memiliki achievement di dunia internasional.

Pesan utama dari film Tjidurian 19 untuk publik ?

Film ini sebenarnya tidak memberikan gambaran yang utuh tentang peristiwa 1965, dia hanya sebagian dari pengalaman manusia-manusia. Kesadaran baru bahwa peristiwa 65 harus dibuka karena berbeda dari sejarah resmi. Selama ini ada penyederhanaan Lekra sama dengan PKI, padahal Lekra sendiri sangat dinamis meskipun ada beberapa pengurus Lekra yang menjadi anggota PKI.

Bagaimana anda sebagai film maker melihat film Senyap yang juga mengangkat peristiwa 65 dan apa sumbangsihnya terhadap Indonesia?

Yang menarik dari film ini, masih banyak orang Indonesia yang denial terhadap peristiwa semacam itu. Film Joshua ini membuka kotak untuk mengkonfrontasikan kesadaran orang tentang apa yang terjadi. Saya sebagai pembuat film mengagumi metode Joshua ini karena kalau saya sebagai orang Indonesia mempunyai semacam cultural bounderies sehingga tidak mungkin saya mengkonfront langsung. Joshua berhasil melemparkan pertanyaan yang banyak orang Indonesia tidak berani utarakan. Itu sumbangan yang luar biasa.
Ini sebenarnya prasyarat mutlak kalau kita ingin bicara rekonsiliasi, memang truthnya dulu yang mesti dibicarakan. Kalau itu sampai sekarang tidak pernah diutarakan, diakui, maka akan tetap jadi beban dan menghambat peradaban kita. Jerman mengakui kejahatan Nazi dan Hitler sebagai beban sejarah, sehingga mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka sebagai bangsa. Kita tidak mau mengakui bahkan masih sering digunakan seperti sebutan “bahaya laten komunis”, komunis jahat”, sehingga kita menjadi bangsa yang tidak pernah dewasa dan paling penting kita adalah bangsa yang tidak pernah belajar dari kesalahan.
Jadi akui dulu, konfront , pahami lalu dengan penuh kesadaran mengupayakan rekonsiliasi nasional.

Ada yang bilang film Senyap ini justru membuka konflik baru yang selama ini tersimpan. Menurut anda ini kekhawatiran yang berlebihan atau bagaimana?

Saya kira tidak. Itu kekhawatiran yang berlebihan dan justifikasi saja dari pihak yang tidak mau berubah. Publik kita makin dewasa. Bahkan salah seorang tokoh perempuan dalam film itu mengakui dan meminta maaf kepada Adi Rukun terhadap apa yang bapaknya lakukan. Jangan-jangan semua orang memahami itu tapi pihak-pihak tertentu yang tidak mau mengakui. Film ini sudah diputar keliling dan tidak menimbulkan gejolak apapun. Paling tidak menjadi cermin bahwa ada yang gelap dari peristiwa 65. Ini pemberontakan, kudeta. Ini kan sebenarnya peristiwa politik aja. Nah itu yang tidak mau diakui.

Bagaimana anda melihat pelarangan Senyap oleh LSF? masih relevankah LSF ?

Saya sebenarnya bersyukur kasus ini meruak lagi. Tahun 2007, kami dari Masyarakat Film Indonesia sebenarnya sudah membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi. Karena menurut kami aneh di negara demokratis masih punya lembaga sensor. Lembaga sensor itu pengandaiannya bahwa negara berhak memilihkan tontonan yang sesuai untuk rakyatnya. Tuntutan kami waktu itu gagal. Apa yang diperlihatkan sekarang oleh lembaga sensor film menunjukan bahwa persoalan demokratisasi masih jadi masalah di sini. Setelah reformasi kita bebas, film saya smooth, tapi makin ke sini gejala konservatisme makin menguat.

Seharusnya lembaga sensor film sudah tidak ada di jaman reformasi. Dia seharusnya ganti menjadi Lembaga Klasifikasi. Kalau Lembaga Klasifikasi lebih demokratis. Orang diberikan informasi tentang tayangan apa yang akan dia saksikan dan berhak memilih. Saya pikir apa yang dilakukan LSF sekarang ini selain tidak relevan, sebenar bisa menjadi titik berangkat untuk mempersoalkan kembali pembubaran lembaga sensor.
Dengan adanya kasus Senyap ini kita bisa melihat lagi. Orang ingin melihat wajahnya sendiri

Dan tidak pengaruh juga pelarangan ini, filmnya tetap diputar di mana-mana dan tidak menimbulkan gejolak, meskipun ada pembatalan di Malang atau Semarang tapi tetap bisa jalan.

Seharusnya pemerintah merespon film Senyap dan film tentang 65 lainnya seperti apa?

Seharusnya yang diatur distribusinya. Kita ga pernah lihat kan ada bouncer di jaringan 21 untuk memeriksa KTP. Kalau pemerintah mau menjadikan Indonesia lebih demokratis, hapus lembaga sensor dan ganti menjadi lembaga klasifikasi.

Termasuk tenaga-tenaga profesionalnya tidak seperti LSF sekarang yang isinya wakil agama, wakil intelejen dan orang-orang yang tidak relevan dengan film.

Untuk substansi film Senyap sendiri, balik lagi pemerintah harus jelas-jelas mempunyai political will untuk mengakui terjadinya peristiwa tersebut. Kemudian mengusahakan rehabilitasi kepada para korban. Dengan begitu kita akan lihat efeknya akan berbeda sama sekali. Bahwa ada suatu kesalahan yang diakui bersama, ada sanksi hukum yang diberikan. Kemudian kita bisa move on untuk menjadi lebih baik. Kalau tidak ada political will seperti ini tidak ada, kan sampai saat ini hanya Gus Dur yang minta maaf.
 

http://1965tribunal.org/id/apa-kata-mereka/

Senin, 06 April 2015

Konflik Agraria, Kemiskinan dan Kapitalisme

OLEH  · APRIL 6, 2015
Belakangan ini kita disuguhi potret pilu kekerasan berbasis konflik agraria terhadap masyarakat petani miskin pedesaan oleh suatu kolaborasi ‘tangan-tangan’ pemilik modal (perkebunan, kehutanan dan tambang) dan negara (beserta aparatus keamanannya) yang kembali semarak muncul, misalnya, kekerasan atas ibu-ibu petani oleh Semen Indonesia di Rembang (Jateng) dan kriminalisasi 3 petani/nelayan miskin di Ujung Kulon Banten, masyarakat pedesaan di Kupang, Bima, Makasar, Nenek Asiyani di Situbondo (Jatim) dan seterusnya.
Kekerasan dan konflik tersebut tentu saja pucuk gunung es dari beragam masalah sejenis yang tidak/belum terekspos media secara nasional. Laporan  kekerasan dan konflik agraria yang dikeluarkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada 2013 menyebut, terdapat 369 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia selama 2013 atau terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan pada 2011 dan 2011 (198 dan 108 kasus konflik). Selama SBY memimpin (2004-2013) terjadi sebanyak 987 kasus,–hanya 21 petani/warga tewas, 30 orang tertembak, 130 orang dianiaya dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan yang dapat dijangkau dan dilaporkan ke KPA. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 139.874 kepala keluarga, sementara luas areal konflik mencapai 1.281.660.09 ha (meningkat tajam, sebelumnya 2012: 318.248, 9 ha).  Dari 987 kasus yang terjadi, 180 di sektor perkebunan, 105 kasus di sektor infrastruktur, pertambangan 38 kasus, 31 kehutanan, pesisir kelautan 9, lain-lain 6 kasus.
Seiring dengan ini, laporan dari Komnas HAM RI tahun 2013 menunjukkan bahwa laporan yang masuk lebih pada persoalan konflik agraria dan sumber daya alam. Setiap tahun tak kurang 6000 kasus yang masuk ke Komnas HAM, dan lebih dari separuhnya adalah kasus berbasis tanah dan sumber daya alam (SDA). Ini pun yang resmi terlaporkan. Atas dasar inilah, dan juga dalam rangka mendorong implementasi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, pada tahun 2013-2014 ini melakukan Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang “Hak Masyararakat Hukum Adat di Kawasan Hutan”. Kasus yang diselidiki secara menyeluruh adalah di 7 region (Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Bali Nusra, Papua).
Dari  40 kasus yang terpilih, menunjukkan pelanggaran HAM berat, sistematis dan kronis atas Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kawasan Hutan. Temuan awal dari Inkuiri Nasional Komnas Ham ini menunjukkan kejahatan, kekerasan, kriminalisasi, diskriminasi dan pelanggran berat HAM masih terjadi melibatkan pihak Keamanan Polri (Paling dominan kesatuan Brimob) dan TNI Angkatan Darat, Perusahaan (negara dan swasta) :  Tambang (Emas, Batubara, Nikel), Perkebunan (Sawit, Tebu, Kakao, PTPN), Kehutanan (Konservasi, Hutan Lindung, HTI), juga melibatkan pihak Pemernitah Pusat dan Daerah serta masyarakat (kelembagan adat bentukan pemerintah).
Sumber utama konflik adalah pemberian konsesi dan ijin kepada pihak-pihak pengusaha (pemilik modal; dalam dan luar negeri) baik oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mengabaikan hak MHA di kawasan hutan dan dilibatkannya militer ( TNI dan Polri) sebagai pengaman bagi perusahaan dan hak konsesi mereka. Bahkan di beberapa kasus, TNI dan Polri adalah bagian dari pelaku bisnis dan pengelola dari konsesi tersebut (pertambangan, kehutanan, perkebunan).  Laporan keseluruhan dalam proses penulisan untuk menjadi rekomendasi nasional yang akan diberikan kepada Presiden paling lambat awal tahun depan.
Ketimpangan Struktur Agraria dan Globalisasi
Sayangnya, masalah kekerasan atas petani miskin pedesaan ini lebih banyak dipersepsikan pada sudut pandang ‘sektoralisme-tematik’; HAM, keamanan, masyarakat adat, pengalihan isu politik nasional, dan pelanggaran-pelanggaran hukum negara lainnya. Persepsi ini cenderung membias dari akar masalahnya, yakni ketimpangan penguasaan, pemilikan,dan peruntukan sumber-sumber agraria nasional. Satu bentuk ketimpangan struktural agraria yang nyata-nyata mengingkari mandat konstitusional baik UUD 1945 (khususnya Pasal 33), UUPA 1960, TAP MPR No IX/2001, maupun Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang mengatur pengelolaan dan pengurusan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pada praktiknya, kekayaan alam, aset nasional, dan sumber penghidupan rakyat hanya dimiliki oleh segelintir penguasa modal (baik pribumi maupun asing). Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010), kurang lebih 56% aset nasional dikuasai hanya 0,2% dari penduduk Indonesia. Dengan kenyataan semacam ini, dapat dikatakan bahwa para petani pedesaan sudah kehilangan jaminan tenurial securityatau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam.
Hampir seluruh kebijakan dan program pembangunan negara hari ini sulit dijelaskan secara terang benderang tanpa mengaitkannya dengan kepentingan politik-ekonomi dari kapitalisme global. Pemberian konsesi dan hak penguasaan di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, pertanian, kelautan, pulau-pulau kecil, dan beragam sumber agraria lainnya kepada pengusaha-konglomerat pribumi maupun Trans National Corporation (TNC) adalah bagian nyata dari kolaborasi dan kaitkelindan kepentingan ekonomi-politik guna akumulasi modal sebesar-besarnya untuk lembaga dan kelompok oligarkis mereka sendiri. 
Untuk tujuan itu, beragam pintu masuk dan “karpet merah” masuknya modal diperlebar, apa yang dianggap menyumbat“ leher botol” investasi ditiadakan. Maka tak heran jika lahir beragam regulasi sektoral pasca reformasi yang lebih pro pemodal raksasa dan mengabaikan hak masyarakat miskin. Sebut saja di antaranya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-Undang No 7/2004 Sumber Daya Air, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian,UU Migas,dan yang terbaru adalah UU Pengadaan Tanah yang baru disahkan pada Desember 2011. Sementara ‘payung’ hukum pengelolaan sumber- sumber agraria nasional yang dimandatkan UUPA tahun 1960 tidak kunjung dihidup-tegakkan. Dengan melihat kaitkelindan hubungan integral negara dan kapitalisme, dapat dipahami segala hal yang dianggap menghambat jalan utama sirkuit modal akan ditiadakan (kalau perlu) dengan cara apa pun.
Masyarakat petani pedesaan yang hidup di sekitar/dalam kawasan perkebunan, pertambangan hutan, dan sumber-sumber agraria lainnya (yang kerap) dianggap sebagai masalah dan ancaman akan menjadi bagian yang akan disingkirkan paksa. Jika masih dan mau ditundukkan, mereka akan menjadi cadangan buruh murah, tentu setelah mereka terputus hubungan dengan aset tanah dan alam mereka. Proses terlemparnya petani pedesaan dari hubungan-hubungan tradisionalnya dengan tanah dan alam menjadikan mereka hanya berpangku pada tenaga dirinya sendiri. Sementara untuk berkompetisi di wilayah industrialisasi perkotaan, mereka tak cukup keterampilan dan pengetahuan. Barangkali di tengah “ketiadaan pilihan” itu apa pun akan mereka lakukan, sekadar untuk bisa bertahan hidup, mempertahankan basis subsitensi mereka yang makin terancam. Meski harus jahit mulut, harus dipukuli, dipenjara, dibacok,dan tertembak mati.
Dalam karya klasiknya The Great Transformation, Karl Polanyi (1944) sudah menegaskan bahwa “tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah”.
Nalar Elit Negara
Problem konflik agraria di atas beririsan kuat dengan nalar elit Negara mengatur rakyat dan sumberdaya alamnya. Problem mendasar kebijakan politik negara yang sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi terus berulang adalah apa yang disebut oleh W.F Weritheim (2009) watak “sociology of ignorance” (sosiologi kemasa-bodohan/pengabaian). Beragam kebijakanan dan program politik negara seringkali lebih banyak di susun di atas meja dan oleh segelitir orang,  yang berada jauh dan mengabaikan realitas empirik sosial-ekonomi masyarakat. Dalam kacamata ini, persepsi kaum elit lebih didonimasi oleh “false conciousness” (kesadaran palsu) tentang persepsi massa kaum miskin. Sebab segala kalkulasi dan indikator kemiskinan lebih berdasar pada angka-angka dan perpsektif makro ekonomi semata. Aspek ketimpangan struktur penguasaan lahan, dampak kerusakan dan krisis sosial-ekologis, konsentrasi aset sumber daya alam dan agraria, persoalan asimetri informasi pasar dan sejenisnya tidak menjadi pertimbangan, atau sengaja diabaikan. Akibatnya, lahirlah bentuk-bentuk politics of ignorance. Sebuah perilaku dan sikap politik pengabaian, ketidaktahuan dan ‘masa bodoh’ atas suara lapis bawah atau persepsi massa. Gap persepsi elit negara dan persepsi massa ini sangat terasa melingkupi persoalan kebangsaan dan kenusantaraan  kita hari ini.  Tak heran, jika penyelesaian beragam krisis sosial-ekologis, konflik agraria yang kronis (sebagimana dijelaskan di awal), krisis energy, kemiskinan dan beragam ketimpangan struktur agrarian lainnya lebih pada tujuan ‘lip service,charity, reaktif dan karikatif’ daripada mencari solusi pada akar masalah kemiskinan (dan juga konflik) yang sebenarnya.
Kemiskinan Struktural-Relasional
Nalar elit negara dan wakil rakyat yang berwatak politics of ignorancetelah meletakkan problem kemiskinan semata sebagai “kondisi”, bukan sebagai “konsekuensi”. Kemiskinan sebagai kondisi, melahirkan cara penanganan masalah kemiskinan yang lebih economic minded yang melahirkan terjemahan tingkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi. Padahal kemiskinan yang terjadi di negeri ini lebih sebagai ‘konsekuensi’. Sehingga kemiskinan harus dililihat pada beragam kompleksitas ketimpangan hubungan sosial-ekonomi-politik secara “historis dan struktural” dalam rentang panjang yang terus berulang dan mencipta serta mengakibatkan  beragam kemiskinan yang terwariskan. Dengan cara pandang ini menurut David Mosse (2007) kemiskinan adalah bersifat relasional. Hasil bentukan dari relasi kekuasaan (sosial-ekonomi-politik) yang timpang yang bersifat historis dan struktural. Sehingga, mengatasi kemiskinan berwatak relasional tidak akan tuntas jika mengabaikan penyebab ketimpangan relasi kekuasaan yang menyebabkannya.
Menurut pandangan Sajogyo dan “Madzhab Bogor” lainnya, sebagaimana dikutip Wahono (2011), persoalan kemiskinan dan ketimpangan relasional harus dikaitkan dengan persolan ketimpangan struktur agraria. Kuncinya adalah pada penguasaan sarana-sarana produksi keagrariaan, yang meliputi tanah, air, keanekaragaman hayati, udara dan sebagainya. Dengan dasar ini, apapun positifnya intervensi negara maupun swasta dan swadaya rakyat dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pemerataan pendapatan, atau dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, jika penguasaan sarana-sarana produksi masih timpang, akhirnya tetap saja tidak akan membawa kepada penyelesaian sejati, atau bahkan memperparah ketidakadilan sosial.
Oleh karena itu wacana tentang keadilan, pertanian, dan pembangunan, pokok kunci persoalannya selalu kembali pada siapa yang menguasai sarana produksi, berapa dan bagaimana, serta untuk atau dinikmati oleh siapa. Dengan pandangan berwatak “sosialisme kerakyatan” semacam ini, maka setiap kebijakan pengurangan kemiskinan atau peningkatan kemakmuran rakyat harus selalu mempertimbangkan keadilan sarana produksi,  dan mampu membumi dalam sebuah penyelesaian sederhana namun kunci. Gagasan Sajogyo tentang pengorganisasian tata produksi lahan terbatas oleh petani gurem dan buruh tani yang tersimpul pada konsep Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) dan  konsep “Dalapan Jalur Pemerataan” penting untuk dikontekstualisasikan kembali. Sayang, pemerintah belum sungguh-sungguh menerapkannya hingga kini.
Maka, “wajar” jika watak nalar elit Negara dan wakil rakyat yang masih mengidap politics of ignorance itu meletakkan persoalan penundaan harga BBM dan rencana Bantuan Langsung Sementara (BLS) dianggap sebagai “solusi” mengatasi atau mengantisipasi kemiskinan. Padahal jenis kemiskinan yang dialami masyarakat bukan sekedar “kondisi”, tetapi  lebih sebgai “konsekuensi” yang bersifat relasional. Dan menjadi wajar pula, jika masyarakat dan mahasiswa tetap tidak terima argument “penundaan” harga BBM itu, bukan karena tidak faham hitungan-hitungan rasionalisme politik ekonomi para elitnya, tetapi lebih karena pemerintah dan wakil rakyat nampak seolah tidak peka dan masa bodoh (ignorance) pada persoalan empirik mereka keseharian dan penantian panjang perubahan nasib mereka untuk “keadilan sosial bagi seluruh Indonesia” yang menurut Buya Syafi’I Maarif telah lama diyatim-piatukan negara. Sebab diatas semua tujuan kebijakan pembangunan demi dan untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan tidak otomatis selaras dengan prinsip dan nilai keadilan sosial.
Dari sekilas uraian di atas dapat dikatakan bahwa beragam ketimpangan struktur agraria adalah akar dari semaraknya masalah konflik agraria dan terciptanya bentuk-bentuk kemiskinan struktural-relasional  yang merupakan ujung dan akibat dari  kuatnya gurita sistem kapitalisme bekerja dalam ragam banyak bentuknya yang berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lainnya.
Wallahu ‘alam bissowab
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Bogor. Alumnus Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakrta (2004) dan Pascasarjana Sosiologi Pedesaan (SPD) Institute Pertanian Bogor (2012).
http://islambergerak.com/2015/04/konflik-agraria-kemiskinan-dan-kapitalisme/

Minggu, 05 April 2015

Berharap Negara Hadir Menonton Senyap (Perdebatan Dibelakang Pemutaran Senyap)

Apr 5th, 2015 | Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana


Latar Belakang
 
Pemutaran Senyap secara terbuka di Yogyakarta terselenggara tidak sampai tiga kali hingga tanggal 16 Desember 2014. Terakhir diselenggarakan oleh MAP Corner UGM serta JPP UGM. Paska itu, terjadi berbagai pembubaran pemutaran Senyap. Pembubaran tersebut terjadi pada pemutaran di AJI Yogyakarta, LPM Sintesa UGM, ISI Yogyakarta, dan Memoar. Sementara itu pemutaran Senyap di Mahkamah FH UGM yang sebelumnya sudah mendapatkan ijin dicabut ijinnya oleh pihak kampus. Hal yang serupa terjadi terhadap rencana pemutaran Senyap di UTY yang tidak mendapatkan ijin dari pihak kampus. Terakhir pada tanggal 25 Februari, pemutaran Senyap di Universitas Sanata Dharma juga dilarang oleh kepolisian. Beberapa pemutaran Senyap masih bisa berjalan namun secara tertutup atau terbatas.

Maraknya pembubaran pemutaran film Senyap diberbagai tempat di Yogyakarta, mendorong berbagai individu, organisasi serta LSM untuk mengadakan konsolidasi untuk menyikapi hal tersebut. Pada awalnya terdapat dua konsolidasi, pertama yang diinisiasi oleh AJI Yogyakarta dan kedua diinisiasi oleh KPO PRP, IHAP dan LBH Yogyakarta. Kedua konsolidasi tersebut kemudian disatukan dan menghasilkan sebuah komite bersama bernama Barisan Penyelamat Demokrasi (BPD). Berbagai kelompok serta organisasi yang tergabung di dalam BPD antara lain: KPO PRP, PEMBEBASAN, PPR, LBH, AJI, AMP, PLUSH, JPY, LPM Sintesa UGM, LPM Natas USD, IHAP, Memoar, dari beberapa panitia pemutaran Senyap, kelompok-kelompok minoritas keagamaan dan sebagainya.

Yang menyatukan BPD adalah persoalan keprihatinan terhadap pembubaran pemutaran film Senyap oleh kelompok-kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner. Termasuk juga bahwa pembubaran Senyap bukanlah satu-satunya serangan terhadap ruang demokrasi. Sebelumnya telah banyak terjadi serangan terhadap ruang demokrasi di Yogyakarta. Namun memang keprihatinan saja tidaklah cukup, perbedaan yang tajam terjadi dalam hal bagaimana merespon serangan tersebut.

Oleh karena itu untuk menyatukan berbagai kelompok tersebut maka diambil sikap bahwa setiap organisasi bebas melakukan respon apapun terkait dengan pemutaran Senyap. Namun diharapkan tetap berkoordinasi dengan BPD sehingga bisa dimungkinkan ada kerjasama ataupun timbal balik diantara organisasi.

Perbedaan pertama adalah terkait dengan perlawanan yang harus dilakukan. KPO PRP melihat bahwa respon terhadap berbagai serangan dari kelompok anti demokrasi selalu berkutat pada mengandalkan jalur-jalur legal. Ketika terjadi serangan maka respon yang standart dilakukan adalah: konferensi pers, melaporkan ke polisi, konseling, advokasi dan pengawalan proses hukum. Dan respon seperti itu terbukti gagal dan menghasilkan demoralisasi.

Oleh karena itu persoalan demokrasi, menjaga ruang demokrasi hanya bisa dilakukan oleh kekuatan rakyat itu sendiri. Sehingga tidak heran muncul dukungan terhadap perspektif bahwa rakyat harus membangun unit-unit keamanan dan pertahanan dirinya sendiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan buruh dengan membangun laskar atau garda-gardanya sendiri.

Sementara itu kelompok moderat melihat bahwa kita dapat menggunakan nama, istilah atau ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh kelompok-kelompok anti demokrasi. Sehingga diharapkan mereka dapat mudah memahami dan mengerti kepentingan demokrasi yang dibawah oleh BPD.

Selain itu kelompok moderat juga mengkritik perspektif pembangunan unit-unit pertahanan diri. Argumentasi mereka adalah bahwa itu membuat BPD sama saja dengan kelompok-kelompok anti demokrasi yang menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan. Termasuk kekerasan itu sendiri hanya akan menimbulkan konflik horizontal. Bahwa melawan mereka dibutuhkan strategi bukan kekerasan. Argumentasi-argumentasi itu ditambahkan dengan argumentasi bahwa kekuatan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner secara khusus banyak mempunyai backingan dari polisi, tentara maupun elit politik. Sementara kita bahkan tidak “dekat” dengan rakyat.

Kedua, semua kelompok awalnya setuju untuk menyelenggarakan pemutaran film Senyap kembali. Perbedaannya adalah terkait dengan dimana diselenggarakan pemutaran Senyap. Kelompok moderat ingin mendorong ada pemutaran Senyap yang diselenggarakan di Kantor Gubernur ataupun kantor Walikota Yogyakarta. Dengan menggunakan tempat tersebut mereka berharap ada perlindungan keamanan terhadap pemutaran Senyap. Termasuk juga menagih komitmen Negara untuk menjaga ruang demokrasi.

Sementara KPO PRP dan beberapa organisasi lainnya melihat harus diselenggarakan pemutaran Senyap besar-besaran di kampus sebagai tempat strategis dengan adanya massa mahasiswa yang dapat melakukan perlawanan. Awalnya pemutaran Senyap secara besar-besaran diupayakan terselenggara di UGM. Apalagi melihat pernyataan sikap Rektor UGM yang menentang pembubaran Senyap di Fisipol UGM. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Kegagalan pemutaran Senyap besar-besaran di UGM menandai penurunan dalam konsolidasi BPD. Upaya untuk menyelenggarakan diskusi publik (bukan pemutaran film) terkait dengan Senyap secara setengah hati dilakukan. Karena kemudian esensi menjadi perjuangan demokrasi menjadi hilang. Upaya berikutnya adalah mencoba mendorong Mahkamah FH UGM serta LPM Natas USD untuk menyelenggarakan pemutaran Senyap secara besar-besaran, namun tidak berhasil. Kegagalannya terutama karena kegamangan panitia untuk mengkonsolidasikan kekuatan gerakan serta memilih untuk melakukan pemutaran secara tertutup dan atau terbatas.

Konteks yang Lebih Besar

Sebelum pembubaran pemutaran Senyap juga sudah sering terjadi serangan-serangan terhadap ruang demokrasi di Yogyakarta. Berbagai aksi, diskusi ataupun pertemuan diserang atau diintimidasi oleh kelompok fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner beserta polisi; Aksi hari Transgender pada 20 November 2014 diserang oleh sekelompok orang. Sementara itu aksi Aliansi Mahasiswa Papua, 6 Agustus 2014, diserang oleh gabungan polisi bersama Paksi Katon. Seminar Jagong Media Rakyat di JNM dilarang oleh polisi karena ancaman FUI. Q-Film Festival yang diselenggarakan Lembaga Indonesia Perancis juga mengalami intimidasi. Sementara itu diskusi yang diselenggarakan oleh LKiS dengan mengundang Irsyad Manji diserang oleh massa FUI dan mengakibatkan 7 orang terluka parah. Disisi yang lain juga terjadi penyerangan terhadap eks Tapol 1965. Pada tanggal 27 Oktober 2013, pertemuan tersebut diserang oleh FAKI (Front Anti Komunis Indonesia) dan “didampingi oleh polisi dan muspida”. Sehari setelahnya FAKI bersama dengan FKPPI (Forum Keluarga Putra Putri Purnawirawan Indonesia) mengintimidasi LBH Yogyakarta agar tidak memberikan pendampingan hukum untuk eks Tapol 1965 yang sebelumnya mereka serang.

Kebebasan beragama serta beribadah juga yang paling sering mengalami serangan. Pada bulan November 2013 terjadi intimidasi kepada komunitas Rausyan Fikr (komunitas yang mengkaji pemikiran Syiah). Sementara itu Bupati Sleman justru ikut dalam deklarasi anti Syiah di Masjid Kampus UGM. Pada bulan Januari 2012, Silahturahmi Nasional Gerakan Ahmadiyah dibubarkan oleh Front Umat Islam. Pengajian rutin Minggu Pahing Majelis Ta’lim Raudhatul Jannah di Dusun Sumberan dibubarkan oleh Front Jihad Islam dan Front Umat Islam. Peringatan Asyura yang diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia di Yogyakarta dihentikan ditengah jalan. 

Sekretaris PW Ansor DIY, Aminuddin Aziz, yang merupakan aktivis lintas iman dianiaya oleh Front Jihad Islam pada Mei 2014. Rencana perayaan Paskah Adiyuswa Sinode Gereja Kristen Jawa Gunung Kidul mendapatkan intimidasi. Ibadah rosario di rumah Direktur Galang Press diserang dan mengakibatkan beberapa orang terluka parah. Sementara itu ibadah yang dilakukan oleh jemaat Santo Fransiskus Agung Gereja Banteng diserang oleh Front Jihat Islam.

Demikian penyerangan Kopassus ke LP Cebongan juga menandai meningkatnya rasialisme di Yogyakarta. Sebagai bagian dari pembenaran terhadap penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Kopassus di LP Cebongan maka rasialisme dikembangkan. Secara khusus terhadap orang-orang yang diidentikan berasal dari bagian Indonesia Timur. Berbagai kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner dimobilisasi. Paska itu berkembang stigma bahwa orang Indonesia Timur (secara umum juga orang luar Yogyakarta) membuat kekacauan dari maraknya premanisme hingga macetnya jalan-jalan di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu intimidasi juga terjadi kepada berbagai pihak yang menyinggung Kopassus dalam kasus Cebongan. Bahkan jurnalis diintimidasi agar membuat berita yang mendukung Kopassus.

Serangan terhadap ruang demokrasi tersebut juga termasuk kasus-kasus kriminalisasi terhadap rakyat dan aktivis rakyat. Istri seorang buruh, Ervani, dikriminalisasi karena mengeluh di FB terhadap mutasi sewenang-wenang yang dialami suaminya. Sementara itu Aji Kusumo, seorang aktivis dikriminalisasi karena menolak pembangunan Apartemen Utara. Aktivis PPLP dan seorang petani, Tukijo juga dikriminalisasi dan dipenjarakan selama 3 tahun karena penolakan terhadap perusahaan tambang pasir besi, PT JMI. 

Terakhir hanya karena memindahkan pohon tumbang seorang kakek harus ditahan. Termasuk juga 4 orang aktivis dari WTT ditangkap terkait dengan penolakan mereka terhadap pembangunan bandara di Temon.

Pemutaran Senyap UIN: Perspektif Diuji Dalam Praktek

Dengan konteks dan latar belakang seperti itu memutar film Senyap di Yogyakarta secara terbuka sudah pasti akan berhadapan dengan kekuatan fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner yang dilindungi oleh aparat negara.

Sehingga pemutaran Senyap secara terbuka bukanlah sekedar menonton Senyap. Menonton Senyap secara terbuka adalah sikap menantang kekuatan anti demokrasi yang telah lama merajalela. Menonton Senyap, dengan latar belakang seperti diatas, seperti menyuarakan kelompok agama minoritas yang tempat ibadahnya diserang, kaum LGBT yang mau dihukum mati karena orientasi seksualnya, rakyat Papua yang terus dibungkam suaranya, korban Peristiwa 1965 yang berpuluh-puluh tahun terus menerus ditindas, dsb. 
Menonton Senyap berkembang maknanya melampaui apa yang terkandung dari film itu sendiri. Menonton Senyap secara terbuka bermakna sebagai sebuah bentuk perjuangan demokrasi.

Pemutaran Senyap di UIN diinisiasi oleh LPM Rhetor UIN. Mereka juga sebelumnya pernah datang di konsolidasi BPD dan mengutarakan rencananya memutar film Senyap. Namun seiring dengan menurunnya BPD demikian juga konsolidasi untuk memutar Senyap semakin lemah. Rencana awal pemutaran dilakukan pada tanggal 26 Februari namun diundur menjadi 11 Maret 2015. Beberapa hari mendekati waktu pelaksanaan, semakin banyak intimidasi dan pelarangan bermunculan.

Oleh karena itu upaya dilakukan untuk meyakinkan panitia bahwa yang dibutuhkan adalah segera mengkonsolidasikan kekuatan gerakan. Pertama konsolidasi tersebut bermakna menggalang kekuatan riil bukan hanya pernyataan sikap atau memberikan stempel logo organisasi sebagai bentuk dukungan. Konsolidasi tersebut bermakna dorongan untuk mobilisasi massa sebanyak-banyaknya dari berbagai organisasi gerakan maupun diluar gerakan. Kedua konsolidasi serta mobilisasi massa tersebut juga merupakan satu-satunya jaminan keamanan dan terselenggaranya pemutaran Senyap.

Konsolidasi dihadiri oleh LPM Rhetor, KPO PRP, PPR, GMNI, PMII, LPM Arena, SMI, PEMBEBASAN, HMI dan berbagai organisasi lainnya. Dalam konsolidasi tersebut LPM Rhetor tetap ingin melanjutkan pemutaran Senyap. Yang kemudian didukung secara bulat oleh seluruh organisasi yang hadir. Konsolidasi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk memobilisasi massa sebanyak-banyaknya dengan seluas-luasnya mempublikasikan agenda pemutaran Senyap serta membentuk unit keamanan. Namun seiring mendekati hari H, semakin kencangnya intimidasi, mendekati momen-momen benturan yang akan terjadi terdapat organisasi yang mengalami kebimbangan. HMI DIPO UIN yang sudah sejak awal (sebelum konsolidasi gerakan) bersedia menjadi pendukung pemutaran Senyap menyatakan mundur.

Dengan konsolidasi tersebut pemutaran Senyap di UIN berhasil diselenggarakan. Sekitar 300 orang lebih hadir menonton sementara ratusan orang baik individu maupun organisasi hadir bersolidaritas menjaga pemutaran Senyap. Keberhasilan menyelenggarakan pemutaran film Senyap mendapat respon positif dari banyak orang. Menurut Sarinah, pengelola Solidaritas.net mengatakan bahwa dalam waktu 3 hari, berita tentang pemutaran Senyap di UIN sudah dilihat sebanyak 30 ribu kali. Termasuk juga ramai muncul tagar jogjamelawan di twitter.

Kesemuanya itu menunjukan bahwa apa yang dilakukan di UIN mengekspresikan hasrat dari rakyat. Sementara sebagian orang memilih untuk menganggap bahwa “hasrat” itu sudah hilang. Bahwa rakyat sudah memilih untuk tunduk ditindas. Sehingga tidak ada pilihan selain mencari perlindungan dan mengikuti arus ketertundukan itu. Pemutaran Senyap di UIN mengekspresikan “hasrat” yang ditindas, dipendam dan dipaksa dikubur dalam-dalam. Hasrat dari mereka yang tempat ibadahnya dihancurkan, hasrat dari buruh-buruh yang dianiaya saat memperjuangkan haknya. Hasrat dari kelompok LGBT yang diskusinya diserang. Hasrat kaum perempuan yang dilecehkan. Hasrat dari rakyat Papua yang aksi-aksinya direpresi. Hasrat dari korban 1965 yang terus menerus diinjak-injak. Hasrat bahwa kita tidak bisa terus menerus menerima penindasan. Hasrat bahwa kita harus mengepalkan tangan kita dan melakukan perlawanan.


Keberhasilan pemutaran Senyap di UIN juga menjadi bukti (penegas) dari berbagai perdebatan yang muncul sebelumnya.

Berharap “Negara Hadir”

Tesis yang paling sering digunakan sekarang oleh para intelektual dan aktivis LSM adalah “Negara Tidak Hadir” atau hadir atau absen atau ijin sakit, dsb. Dengan argumentasi seperti itu mereka pertama menempatkan negara sebagai lembaga yang netral diantara rakyat (kelompok minoritas, LGBT, buruh, petani, perempuan, penonton Senyap, rakyat Papua, dsb, dsb) berseberangan dengan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner. Dengan begitu maka kedua negara dianggap bisa diajak atau didorong untuk terlibat membela rakyat dalam berhadap-hadapan dengan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner.

Dengan tesis itu maka yang harus dilakukan adalah mencari strategi dan taktik agar mendorong Negara (polisi atau “penegak hukum”) untuk melindungi pemutaran film senyap. Strategi dan taktik itu antara lain mencoba memutar Senyap di kantor Gubernur atau Kantor Walikota Yogyakarta.

Namun faktanya Negara selalu hadir dalam setiap penyerangan ruang-ruang demokrasi. Bahkan media massa yang dikuasai oleh para pemilih modal itu mengatakannya dengan jujur. Dalam kasus penyerangan pertemuan eks Tapol di Sleman, Tempo menggambarkannya seperti ini: “Penyerangan itu terjadi Ahad pagi tadi sekitar pukul 10.55 WIB. Sedikitnya ada 20 anggota FAKI Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin Burhanudin, didampingi (penekanan dari saya) polisi dan Muspika Godean, mendatangi padepokan Santi Dharma.” Sementara itu polisi bersama dengan Paksi Katon kompak membuat barikade menghalangi dan kemudian menyerang aksi Aliansi Mahasiswa Papua.

Dalam pemutaran Senyap di AJI disebutkan bahwa “Rombongan Kapolsek Umbulharjo AKP Nanang dan Kasat Intelkam Polresta Yogyakarta Kompol Sigit Hariyadi datang ke kantor AJI Yogyakarta. Mereka mendesak pemutaran film dibatalkan (penekanan dari saya) karena beredarnya ancaman pembubaran itu.” Sementara itu Senyap di Sintesa Fisipol UGM “Pihak kepolisian dan Dekanat memberi instruksi untuk menyudahi acara (penekanan dari saya) ini karena mendapat kabar ada gerakan massa yang coba masuk kesini.” Polisi juga hadir mendiamkan saat Memoar tempat pemutaran Senyap diobrak-abrik.

Hubungan antara kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner dengan para elit politik juga bisa kita lihat di Yogyakarta. Paksi Katon berada dibawah Gubernur DIY yang juga Raja Kraton, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Mereka dibentuk untuk menjadi ”penjaga kebudayaan dimana kebudayaan sebagai salah satu pilar keistimewaan”. Paksi Katon juga mendapatkan pelatihan dari tentara. Sementara itu Ketua Paksi Katon sendiri, Suhud adalah mantan Ketua Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Sekarang FAKI dikomandoi oleh Burhan “Kampak” yang beraliansi dengan FUI dalam upaya menyerang pemutaran Senyap di UIN. FAKI sendiri memiliki kedekatan dengan Partai Golkar. FAKI bersama dengan Paksi Katon termasuk yang dimobilisasi untuk mendukung Kopassus dalam kasus Cebongan.

Terkait dengan pembubaran Senyap di ISI, Kapolres Bantul, Surawan ketika ditanya tentang jaminan konstitusi terkait kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat bahwa: baik yang pro maupun yang kontra semua punya hak. Kelompok milisi sipil reaksioner dan fundamentalis kanan tersebut memiliki hak untuk mengancam dan membubarkan pemutaran senyap. Tapi apakah itu berarti bahwa para penyelenggara Senyap memiliki hak untuk bertahan dan melawan upaya pembubaran?

Dengan melihat pemutaran Senyap di UIN maka jelas bahwa polisi melindungi hak mengancam, membubarkan dan mementungi dari kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Sementara hak kita untuk bertahan dan melawan akan dijawab dengan represi oleh polisi.

Dalam pemutaran Senyap di UIN polisi pada awalnya ikut melarang. Namun menghadapi perlawanan yang besar dari mahasiswa dan aktivis pro demokrasi pelarangan tersebut tidak diteruskan. Menjelang berakhirnya acara, polisi menawarkan “tukar guling” untuk menyelamatkan muka mereka dan FUI. 

Dengan alasan menenangkan ratusan massa FUI yang berkumpul di Amplaz (Ambarukmo Plaza, sebuah mall yang berjarak sekitar 1 km dari UIN), polisi meminta panitia bersedia menyerahkan beberapa mahasiswa untuk dibawa dan dimintai keterangan. Tentu saja panitia dan berbagai organisasi yang mendukung menolak tawaran dari polisi. Kami memilih membiarkan polisi kebingungan mencari cara menyelamatkan mukanya sementara seluruh panitia, organisasi dan peserta sudah dipastikan selamat pulang ke tempat masing-masing. Polisi kemudian masuk ke dalam kampus, ke Gedung Student Center dan melakukan penyisiran mencari panitia.

Apa yang saya ungkapkan diatas mayoritas merupakan peristiwa yang terjadi di Yogyakarta. Kita hanya cukup membuka mata kita dan menganalisanya secara jujur bahwa kesimpulan yang sama akan diulang diberbagai peristiwa dan tempat lainnya. Di Bekasi, Bupati, polisi dan tentara bergandeng tangan bersama para preman dan milisi sipil reaksioner, rapat di hotel untuk membahas bagaimana menghadang Mogok Nasional buruh. Di Batam, APINDO Batam membentuk milisi sipil reaksioner, bernama Garda Bima Sakti, untuk menghancurkan gerakan buruh. Milisi sipil tersebut dilatih oleh TNI, tepatnya Batalion Infantri 134/ TS.

Kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner ini memiliki hubungan yang erat dengan negara. Untuk menghadapi gelombang perlawanan mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998-99, Panglima TNI, Wiranto mengumpulkan preman dan kelompok fundamentalis kanan untuk membentuk KAMRA serta PAM SWAKARSA. Demikian adalah polisi dan BIN yang membentuk dan memiliki tradisi untuk mendanai Front Pembela Islam, dengan fungsi “sebagai ‘alat’ oleh polisi, agar petugas keamanan itu tidak menerika kritik terkait pelanggaran HAM.” Dalam kerusuhan saat Referendum Timor Leste, kerusuhan SARA, yang melibatkan berbagai kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner serta peristiwa pemboman yang marak di tahun 2000-an tedapat keterlibatan atau indikasi keterlibatan aparat negara. Kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menghadapi perlawanan rakyat, memecah belah klas buruh dan rakyat agar mudah ditindas, membuat kekacauan sehingga rakyat menjadi “terpaksa” membutuhkan perlindungan Negara. Termasuk juga untuk membersihkan tangan Negara dari “pekerjaan-pekerjaan kotor”.

Kesemuanya hal diatas menegaskan tesis dasar bahwa negara bukanlah sebuah institusi yang netral. Negara juga bukanlah seorang “pelancong” yang kadang bisa hadir dan kadang kala tidak hadir. Berbagai produk hukum dirancang serta disahkan untuk melindungi klas yang berkuasa. Semua pejabat tinggi di Indonesia, presiden, menteri, legislatif, judikatif, jenderal-jenderal polisi dan tentara memiliki kekayaan yang membuatnya lebih dekat dengan posisi para pemilik modal ketimbang rakyat pada umumnya.

Secara politik, Rejim Militer Soeharto berdiri diatas dasar pembantaian tahun 1965. Mereka mendapatkan jabatannya, kekayaannya serta status sosial didalam masyarakat dengan memanipulasi sejarah. Dari menghancurkan kekuatan klas buruh dan rakyat, serta menjadikan klas buruh dan rakyat sebagai “massa mengambang”. Mereka yang paling mendapatkan keuntungan dari terus dimanipulasinya sejarah dan apa yang terjadi pada tahun 1965 dan selama Rejim Militer Soeharto berkuasa. Walau Reformasi 1998 berhasil menggulingkan Soeharto dan membuka sedikit banyak ruang demokrasi namun hingga kini mereka masih merupakan kekuatan politik yang dominan. Mereka adalah Partai Golkar dan pembelahannya–entah itu Gerindra, Hanura, Nasdem, dsb–serta Angkatan Darat.

Sementara kekuatan politik elit diluar orde baru tidak pernah secara konsisten memperjuangkan demokrasi. Oposisinya terhadap Rejim Militer Soeharto hanyalah sebatas kritik dan berharap Soeharto tidak dicalonkan kembali sebagai presiden. Bahkan ketika gelombang rakyat sedemikian besar menuntut “Reformasi Total” mereka justru ketakutan terhadap kekuatan rakyat dan berupaya meredamnya dengan membuat konsesi-konsesi pada sisa-sisa Rejim Militer Soeharto, dihasilkanlah Deklarasi Ciganjur.

Sehingga tidak mengherankan tidak ada elit-elit politik yang mendukung pemutaran Senyap atau bahkan menontonnya secara terbuka. Satu-satunya dukungan mungkin hanya surat dari Tjahyo Kumolo yang menyatakan tidak bisa hadir dalam pemutaran Senyap di TIM Jakarta pada 10 November 2014. Tapi toh setelah itu pembubaran demi pembubaran tetap terjadi.

Matinya Intelektual Kampus

Pada Rejim Militer Soeharto, kampus menjadi bagian untuk memperkuat manipulasi sejarah dan doktrinnya. Terdapat prosedur khusus atau Litsus untuk memeriksa apakah dosen atau pegawai kampus “bersih lingkungan” atau terlibat Komunis. Ribuan buku dilarang terbit, terutama buku-buku yang menjelaskan versi sejarah 1965 yang berbeda dari versi resmi Rejim Militer Soeharto. Civitas akademika wajib untuk mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Tentunya Pancasila versi dari Rejim Militer Soeharto. Ide-ide yang dipaksakan dalam P4 adalah masyarakat Indonesia yang statis, dimana rakyat Indonesia harus bekerja sama mendorong pembangunan. Serta menekankan peran angkatan bersenjata dalam menjaga tatanan dan tidak mengijinkan adanya ruang untuk perubahan. Doktrinasi tersebut diperkuat dengan kebijakan NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus) yang melarang aktivitas politik apapun didalam kampus. Jika itu belum cukup maka militer dapat masuk kedalam kampus. Salah satunya melalui Resimen Mahasiswa yang memiliki hubungan langsung dengan komandan militer setempat.

Salah satu bagian dari perjuangan atau jika tidak, salah satu akibat dari keberhasilan Reformasi 1998 adalah pada kebebasan akademik. Kampus menjadi relatif bebas dari intervensi militer, berbagai organisasi mahasiswa bisa melakukan aktivitas politik didalam kampus, termasuk juga berbagai diskusi politik dan mata kuliah dengan tema-tema yang kritis dapat dilangsungkan. Dengan kebebasan akademik tersebut makan ilmu pengetahuan dapat berkembang.

Namun lambat laun dengan privatisasi kampus, universitas semakin lama semakin jauh dari kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebebasan akademik yang melandasinya. Kepentingan dari dunia universitas semakin lama hanyalah untuk akumulasi modal serta mengejar karir semata.
Intelektual kampus menerapkan swa-sensor terhadap pemutaran Senyap.

Pemutaran Senyap oleh Mahkamah FH UGM yang sebelumnya telah mendapatkan ijin kemudian dibatalkan pada hari H dengan alasan “menjaga keamanan kampus dari oknum-oknum tertentu di luar sana.” Sementara itu di Universitas Sanata Dharma, hal yang serupa terjadi, pemutaran Senyap dilarang oleh Rektor.

Di UGM pembubaran Senyap, yang diselenggarakan oleh LPM Sintesa, oleh Front Umat Islam mendapatkan respon dari Rektor UGM. Rektor UGM dan jajarannya menyatakan akan mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan pembubaran Senyap. Pernyataan sikap yang memunculkan antusiasme besar di aliansi Barisan Penyelamat Demokrasi saat itu. Oleh karena itu bersama dengan kawan-kawan LPM Sintesa UGM, BPD mengupayakan agar ada kerjasama dengan Rektor UGM dan Fisipol UGM untuk menyelenggarakan pemutaran Senyap secara besar-besaran.

Namun apa yang indah dalam pernyataan belum tentu indah dalam tindakan. Upaya sudah dilakukan untuk mengajak pihak UGM baik Rektorat maupun Fakultas Fisipol mengkonsolidasikan kekuatan dan melawan kelompok-kelompok anti demokrasi. Sebenarnya itu hanya merupakan upaya untuk memanifestasikan apa yang dikatakan oleh Rektor UGM di dalam pernyataan sikapnya. Namun dengan gaya khas birokrat, Dekan Fisipol UGM memberikan jawaban: kita diminta menunggu hingga para dosen, dekanat serta pimpinan universitas selesai berunding. Dan ketika mereka menemukan format acara yang tepat maka kita akan diijinkan bergabung.

Hal yang sama terulang lagi di UIN. Rektorat UIN yang sebelumnya mengijinkan pemutaran Senyap ternyata pada saat hari-H ikut memberangus kebebasan akademik dengan melarang pemutaran Senyap.


Tidak sekalipun kaum intelektual kampus itu secara serius mempertahankan kebebasan akademik serta ruang demokrasi di dalam kampus. Seketika bahaya mengancam, mereka melupakan semua seminar nasional dan internasional, diskusi, menjadi narasumber di media massa ternama tentang demokrasi, toleransi, kebebasan beragama, dsb. Bahkan diantara mereka yang paling maju pun hanya bisa menghasilkan pernyataan sikap tanpa tindakan nyata.

Demokrasi, kebebasan akademik, ilmu pengetahuan, tolerasi, kebebasan beragama bagi mereka adalah tema-tema untuk disertasi, buku, proposal pengajuan dana hibah ataupun topik-topik yang akan mereka bicarakan di seminar nasional dan internasional, di media massa ternama atau forum-forum berkelas lainnya. Tidak terkait dengan kepentingan mengkonsolidasikan kekuatan klas buruh dan rakyat untuk memperjuangkannya. Dan bukan sebuah nafas bagi pembebasan klas buruh dan rakyat tertindas.

Berhadapan Dengan Kelompok Fundamentalis Kanan dan Milisi Sipil Reaksioner

Dalam perdebatan di BPD berulang kali kelompok moderat mengemukakan bahwa kita harus melawan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner tersebut dengan strategi. Strategi…strategi….dan strategi, namun ketika menilik lebih dalam strategi yang dimaksud oleh kelompok moderat sebenarnya hanya pertama, bersembunyi dibalik para elit-elit politik dan kedua mencari cara melawan tapi tidak dengan perlawanan.

Dalam beberapa kesempatan kelompok-kelompok moderat tersebut justru menyeberang mendukung kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner entah itu disadari atau tidak disadari. Seperti aktivis-aktivis yang justru dibalik slogan damai dan anti kekerasan menyamakan perlawanan yang ingin dibangun oleh gerakan rakyat dengan kelompok fundamentalis. Sama-sama menggunakan kekerasan, sama-sama membuat konflik horizontal serta sama-sama tidak mau menggunakan otak tapi otot.

 Strategi Lama Menghasilkan Demoralisasi

Apa kongkritnya strategi perlawanan yang dimaksud oleh kelompok moderat tersebut? Garis yang mendasari strateginya adalah mengharapkan Negara untuk melindungi demokrasi.

Beberapa hal yang umumnya dilakukan konferensi pers, yang berisikan harapan agar Negara hadir, melaporkan kepada kepolisian dan mengawal jalannya proses litigasi di kepolisian. Semua proses tersebut akan ditambah dengan pendampingan atau konseling untuk mereka yang menjadi korban.

Hampir semua proses hukum terkait dengan penyerangan ruang demokrasi di Yogyakarta berhenti begitu saja. Kasus Irsyad Manji berhenti ditengah jalan walau sudah diambil alih oleh Kepolisian Daerah Yogyakarta. Demikian juga dengan kasus penyerangan pertemuan eks Tapol di Sleman. Termasuk juga kasus penyerangan aksi hari Transgender. Bahkan yang dilaporkan ke Presiden Jokowi saja tidak ada hasilnya hingga sekarang, yaitu pembubaran pemutaran Senyap di Fisipol UGM.

Konseling atau pendampingan kemudian hanyalah berarti meminta para korban menerima fakta bahwa dirinya menjadi korban. Dan agar korban terus menerus menerima bahwa ruang-ruang demokrasi bagi dirinya semakin tertutup. Pada akhirnya konseling tersebut hanya akan meyakinkan korban bahwa tidak ada gunanya melawan, karena tidak ada ruang bagi si korban sebagai seorang LGBT, sebagai seorang yang memiliki agama dan keyakinan minoritas, tidak ada ruang bagi suku, agama serta ras minoritas, tidak ada ruang bagi korban 1965 selain bersembunyi didalam “lemari”. Disitulah demoralisasi muncul.

Namun bukan saja korban yang bisa menjadi demoralisasi, keseluruhan gerakan juga menjadi terdemoralisasi. Ketika kita terkurung pada harapan agar Negara atau kepolisian bisa menegakan hukum dan menjaga demokrasi kita mengabaikan perspektif mendasar bahwa pertama negara bukanlah institusi netral dan kedua, tidak pernah ada sejarah elit-elit politik konsisten memperjuangkan demokrasi.

Semakin lama semakin nyata, Negara dan para elit-elit politik tidak kunjung hadir. Sehingga gerakan justru terus menerus mencari-cari strategi, taktik, metode yang disesuaikan dengan ruang demokrasi yang semakin sempit. Disesuaikan dengan apa yang sudah “ditetapkan” oleh kelompok fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner dan para elit-elit politik. 

Perjuangan direduksi menjadi mencari-cari ruang untuk ekspresi diri semata.
Salah satunya terlihat dari usulan agar aliansi, yang kemudian menjadi BPD, menggunakan bahasa atau istilah yang bisa diterima oleh kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Sebagai nama aliansi maupun tuntutan serta isu yang diangkat. Seperti menggunakan istilah “NKRI”, “Pancasila”, “Nasionalisme”, dsb, dsb.

Namun pertama sebenarnya itu hanya berarti melawan istilah dengan istilah (yang dimaknai) lain. Sama sekali tidak merubah akar dari penindasan tersebut. Penindasan (dalam hal ini penyerangan terhadap ruang demokrasi) berakar dari kepentingan ekonomi politik klas borjuis. Yang pertama adalah sejalan dengan semakin masifnya kebijakan neoliberal maka penyerangan terhadap ruang demokrasi akan dilancarkan untuk melindungi kebijakan neoliberal tersebut. Termasuk didalamnya kepentingan dari klas borjuis untuk terus memecah belah klas buruh dan rakyat berdasarkan atas suku, agama, ras, orientasi seksual, dsb. Dan kedua, para elit-elit politik dan jenderal-jenderal bisa berkuasa, kaya raya, dihormati dan memiliki jabatan terkait dengan Rejim Militer Soeharto dan kejahatan yang dilakukannya. Terbukanya ruang demokrasi (termasuk pengadilan HAM dan membuka ingatan sejarah) berarti akan juga menghancurkan kekuasaan para elit politik dan jenderal itu sendiri.

Kedua, istilah-istilah yang digunakan oleh kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner justru membatasi konsolidasi kekuatan demokratik itu sendiri. Penggunaan istilah “nasionalisme” atau “NKRI” tentunya akan membatasi keterlibatan dan perjuangan dari kawan-kawan Papua yang menuntut hak demokratis untuk menentukan nasib sendiri. Istilah-istilah yang digunakan oleh kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner itu juga telah bertahun-tahun digunakan untuk menindas klas buruh dan rakyat. Atas nama (kesaktian) “Pancasila”, jutaan orang dibantai dan Bung Karno digulingkan oleh jenderal-jenderal Angkatan Darat. Demikian pula atas nama NKRI, rakyat di Aceh, Papua dan Timor Leste ditindas bertahun-tahun.

Membangun Unit Pertahanan Diri

Satu hal yang juga ditolak oleh kelompok moderat adalah upaya untuk mengorganisasikan unit-unit pertahanan diri. Tidak heran, karena usaha ini bertentangan dengan tesis mereka bahwa Negara-lah yang harus bertanggung jawab melindungi klas buruh dan rakyat dari serangan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner.

Alasan penolakan tersebut bahwa itu berarti gerakan memicu konflik horizontal. Kita menjadi sama dengan kelompok milisi sipil reaksioner dan fundamentalis kanan karena menggunakan kekerasan. Serta akan memicu kekerasan selanjutnya.

Pada faktanya masyarakat memang bukan sebuah entitas yang tunggal. Masyarakat sudah terpecah menjadi para elit politik, para pemilik modal dan jenderal-jenderal yang berkuasa disatu sisi dengan klas buruh dan rakyat yang tertindas disisi yang lain. Agar kekuatan klas buruh dan rakyat tidak sadar dan bersatu untuk melawan mereka sebagai musuh sebenarnya maka para elit politik, pemilik modal dan jenderal-jenderal itu memecah belah klas buruh dan rakyat. Memecahnya berdasarkan atas suku, ras, agama ataupun jenis kelamin. Disitulah salah satu fungsi dari kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner.

Kita telah mengalami sendiri bagaimana ketika perlawanan rakyat coba ditelikung. Pada saat Reformasi 1998, kemarahan rakyat di alihkan dengan isu rasialisme. Serangan terhadap Rejim Militer Soeharto dialihkan pada etnis Tionghoa.

Menghadapi itu bukanlah dengan menghindari perlawanan terhadap kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Atau memperbesar ilusi bahwa Negara akan “hadir” menegakan hukum dan menghentikan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner.

Justru, rakyat harus mengetahui siapa musuhnya dan akar dari konflik SARA yang terus menerus dikobarkan. Sehingga yang harus dilakukan adalah propaganda untuk membongkar hubungan erat antara kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner dengan para elit politik dan pada akhirnya hubungan mereka semua dengan kekuatan Imperialis.

Namun upaya propaganda tersebut tidak akan berhasil dihadapan serangan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Karena mereka menyerang alat klas buruh dan rakyat untuk memperjuangkan, bahkan, kepentingan normatifnya. Mereka menyerang organisasi, pertemuan, rapat, diskusi serta aksi-aksi massa, membakar buku-buku ataupun terbitan klas buruh dan rakyat. Kepentingan dari kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner bukanlah untuk bernegosiasi dengan klas buruh dan rakyat. Mereka menjadi alat untuk menghancurkan alat perjuangan klas buruh dan rakyat.

Itu kenapa minimal dibutuhkan unit-unit pertahanan diri dari klas buruh dan rakyat itu sendiri. Unit-unit pertahanan diri tersebut bertujuan untuk memastikan serta mempertahankan alat-alat perjuangan klas buruh dan rakyat tetap ada.

Kita akan memprovokasi kekerasan dan akan jatuh korban jiwa begitu katanya. Inipun argumentasi yang memutar balikan fakta. Mereka beranggapan bahwa Negara beserta kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner itu tidak akan menyerang kita jika kita berdiam diri. Jika begitu maka kelompok moderat itu sama saja mengatakan bahwa peserta diskusi, mereka yang beribadah, mereka yang menonton Senyap, mereka-mereka yang kesemuanya dibubarkan, dipentungi-lah yang bersalah karena memprovokasi kekerasan.

Mungkin ironi bagi kelompok moderat dan para pencinta non violence bahwa justru dalam pemutaran Senyap di UIN-lah tidak ada korban, tidak ada penonton yang terluka, diintimidasi, dipentungi, diteriaki dan tidak ada yang ditangkap, dsb. Kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner itu akan semakin menjadi-jadi kebrutalan serta kebiadabannya ketika berhadapan dengan mereka yang ketakutan dan ragu-ragu. Namun tukang gertak itu ragu-ragu untuk maju selangkahpun ketika berhadapan dengan klas buruh dan rakyat yang sudah mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan dan pertempuran yang akan terjadi.

Langkah-langkah Kedepan

Bagi mereka, kelompok moderat serta intelektual kampus, yang tidak memiliki taruhan apapun dalam berhadap-hadapan dengan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner tentu sangat mudah berputar-putar mencari istilah-istilah indah yang bisa diterima oleh semua orang. Ataupun mencari-cari bentuk perlawanan yang sekedar mengekspresikan diri dalam ruang-ruang yang sudah dibatasi oleh Negara dan kekuatan anti demokrasi. Ingin melawan tapi ragu melancarkan perlawanan tersebut hingga tuntas. Sebuah karakter dari klas menengah yang terombang-ambing antara kekuatan borjuis dan klas buruh.

Tapi bagi klas buruh dan rakyat, bagi kita kaum minoritas, LGBT, rakyat Papua, petani yang seluruh hidup dan masa depannya dipertaruhkan dengan adanya ruang demokrasi tidak bisa terus menerus menerima politik terombang-ambing dari klas menengah. Bagi kita ruang demokrasi harus terus dipertahankan dan diperjuangkan oleh klas buruh dan rakyat sendiri. Karena dengan ruang demokrasi tersebut maka akan lebih mudah bagi klas buruh dan rakyat untuk menghimpun kekuatan untuk menghancurkan kapitalisme. Untuk mempertahankan ruang-ruang demokrasi yang ada maka unit-unit pertahanan diri harus dibangun. Demikian kepeloporan, keteguhan dan ketepatan perspektif dalam perjuangan mempertahankan demokrasi sangat dibutuhkan bagi keberhasilannya. Dan itu semua sudah dibuktikan dengan keberhasilan pemutaran Senyap di UIN.

http://www.arahjuang.com/2015/04/05/berharap-negara-hadir-menonton-senyap-perdebatan-dibelakang-pemutaran-senyap/