Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 17 Februari 2020

Bagian III | PRD: Ode Pemberontakan dan Horor Penghilangan Aktivis

Oleh: Muammar Fikrie - 17 Februari 2020.

Ilustrasi Kasus Penghilangan Aktivis 1998. tirto.id/Lugas

Ceritakanlah ini kepada siapapun sebab itu cerita belum tamat. Wiji Thukul (Solo, 30 Agustus 1991)

"Kalau aku tidak bisa di-pager satu jam setelah pertemuan di Grogol, berarti kondisiku dalam bahaya. Kalau satu jam setelahnya masih kesulitan dihubungi, kabarkan ke kawan-kawan aku hilang."
Pesan itu disampaikan Petrus Bima Anugerah kepada Sereida Tambunan saat mereka berjumpa di sebuah warung makan Padang seberang Departemen Kesehatan, Jakarta Selatan, pada Rabu siang, 1 April 1998.
"Mungkin Bimpet—sapaan Bima—punya firasat buruk,” kata Sereida, suaranya bergetar sebelum melanjutkan, “Kalau saja saya bisa menahannya…”
Sereida mengenang kembali pertemuan itu saat kami mengobrol pada akhir Januari 2020 di rumahnya, bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Dua puluh dua tahun lalu, Bimpet dan Sereida mewakili potret anak muda radikal era 1990-an yang menjalin perkawanan dalam jejaring aktivis penentang Orde Baru. Mereka kawan satu kolektif dalam struktur bawah tanah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Bimpet bertugas sebagai “kurir nasional”, sedangkan Sereida mengurusi “dana dan usaha”.

Pada pertemuan itu Bimpet menyerahkan master Pembebasan, terbitan PRD, untuk digandakan. Setelahnya, Bimpet pamit untuk berjumpa dengan Andi Abdul, salah seorang organiser PRD, antara pukul 12.00-13.00 di Grogol, Jakarta Barat. Sekitar pukul 14.00, Sereida menghubungi pager Bimpet, tetapi tiada sahutan.

Ia kembali mengontak satu jam berselang; tetap tak berbalas. Sereida cemas. Ia mengirim pesan ke pager pusat komando PRD: “Marcell hilang”. ‘Marcell’ adalah nama samaran Bimpet, sebagaimana Sereida punya nama alias ‘Maimunah’; sebagaimana banyak kader PRD lain melakukan penyamaran serupa di tengah rezim rumah kaca Orde Baru ketakutan mempertahankan kekuasaan.

Pada hari-hari panas mengiringi kejatuhan Soeharto, Bimpet bersama Herman Hendrawan, Suyat, dan Wiji Thukul dihilangkan, kemungkinan setelah diculik, antara Februari hingga akhir Mei 1998. Mereka lenyap sampai kini; tanpa diketahui nisan mereka jikapun meninggal. Sementara beberapa jenderal Orde Baru, di antaranya Wiranto dan Prabowo Subianto yang saling bersaing tapi menjadi penyokong rezim saat itu, kini berada di lingkaran pemerintahan Joko Widodo.

Ledakan di Tanah Tinggi 

Lepas magrib, 18 Januari 1998, ledakan bom terdengar dari unit 510 rumah susun Tanah Tinggi di permukiman padat Johar Baru, Jakarta Pusat. Suaranya menggelegar hingga radius 500 meter. Seisi rumah petak terguncang. Atap eternit jebol. Kaca-kaca pecah. Benda-benda berserakan.

Agus “Jabo” Priyono, kader PRD, dijemput aparat kepolisian dari lokasi kejadian perkara. Jabo jadi satu-satunya orang yang diseret ke meja hijau dalam peristiwa ini.

Sejumlah dokumen, buku-buku, dan sebuah laptop disita dari lokasi perkara. Majalah Tempo edisi 17 Mei 1999 menyebut barang-barang sitaan itu memicu spekulasi politik.

Sofjan Wanandi, pengusaha sekaligus pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dan Surya Paloh, pemimpin harian Media Indonesia, sempat diperiksa aparat kepolisian dan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakostranas). Keduanya dituding punya hubungan dengan ledakan di Tanah Tinggi—tudingan yang terbukti tanpa dasar kokoh.

Di mata para petinggi militer Orde Baru, bom Tanah Tinggi adalah titik balik. Ia dianggap ancaman paling serius untuk menggagalkan Sidang Umum MPR pada Maret 1998, yang rencananya hanya mengetok palu untuk Soeharto menjadi presiden ketujuh kalinya. Ledakan bom itu juga jadi dalih untuk melakukan operasi Tim Mawar, satuan tugas dalam Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang menggelar operasi penculikan aktivis 1998.

Sebuah brief berisi nama-nama orang yang harus diamankan beredar di kalangan perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Brief itu bersumber dari penyelidikan atas barang sitaan di Tanah Tinggi. Mayjen Prabowo Subianto, saat itu Komandan Jenderal Kopassus kemudian dipecat dari dinas militer lantaran kasus penculikan aktivis, membenarkan hal itu dalam wawancara dengan Majalah Panji (27 Oktober 1999).
“Saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI juga menerima. Daftar itu sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di Kalangan ABRI sudah jadi pengetahuan umum,” kata Prabowo.
Pada Februari-Maret 1998, horor penculikan, penyekapan, dan penyiksaan menimpa sembilan aktivis: Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang; serta enam kader PRD: Aan Rusdianto, Andi Arief, Faisol Riza, Mugiyanto, Nezar Patria, dan Raharja Waluyo Jati.

Nestapa partai gir bintang ini belum usai. Selain empat kadernya kemudian turut hilang, PRD juga kehilangan seorang simpatisannya, Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang.

Pada 23 Mei 1998, pengamen yang kerap terlibat dalam advokasi kaum miskin kota di Surakarta ini ditemukan tewas di hutan Watu Ploso, Magetan, Jawa Timur. Terdapat luka berlubang di dada, menembus jantung dan paru-paru, pada jasad Gilang.

Suyat Terluka dan Hilang
“Kebetulan Suyat punya kemampuan mengutak-atik mesin jam. Makanya dia diperbantukan di Tanah Tinggi,” kata Agus “Jabo” Priyono.
Perkataan Jabo mengonfirmasi keberadaan Suyat dalam peristiwa Tanah Tinggi. Saya dan Jabo berbincang-bincang pada medio Januari 2020 di Kantor Komite Pimpinan Pusat PRD di Tebet, Jakarta Selatan. Jabo jadi satu-satunya ‘alumnus Tanah Tinggi’ yang masih bertahan di PRD sekaligus menjabat ketua umum partai tersebut.

Di bawah kepemimpinan Jabo, asas PRD sekarang diubah dari “sosial demokrasi kerakyatan” menjadi “Pancasila”. Lantaran peristiwa Tanah Tinggi, Jabo dipenjara selama tujuh bulan. Ia dianggap menyembunyikan benda terlarang.
“Sebelum Soeharto jatuh (Mei 1998) kena tujuh pasal. Setelah Soeharto jatuh pasalnya berubah,” ujar Jabo.
Jabo berkata hanya Suyat yang bergeming kala ledakan terjadi. Padahal delapan kawan di lokasi ledakan sontak berlari. Jabo sempat berlari, tapi memutuskan kembali untuk mengamankan dompetnya yang tertinggal.
Saat kembali ke rumah petak, Jabo melihat Suyat sedang membersihkan luka.
“Suyat kelihatan syok—mungkin bingung—karena ledakan. Dia tak sepenuhnya tahu soal ledakan itu. Saya langsung perintahkan supaya lari,” katanya.
Itu jadi perintah terakhir Jabo kepada Suyat. Mereka turun lewat tangga berbeda. Jabo terjebak kerumunan massa, ditangkap, dan diserahkan ke polisi. Sedangkan Suyat sempat melarikan diri ke beberapa lokasi di Jakarta. Jejaknya sempat dibersihkan ke sebuah “rumah aman” di Jakarta Timur. Suyat diminta bersembunyi sejenak. Namun, saat jaringan kader PRD menjemputnya, ia sudah tidak lagi berada di “rumah aman”.

Kelak diketahui ia ternyata pulang ke Solo. Slamet Sidik, seorang saksi yang melihat peristiwa penculikan Suyat di Solo, menuturkan mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik Universitas Slamet Riyadi angkatan 1995 ini ditangkap saat menginap di rumah seorang famili pada 13 Februari 1998.

Slamet berkata para pelaku menculik Suyat adalah orang-orang “berbadan tinggi, kekar, ada yang berambut gondrong dan cepak, berpakaian gelap, bersepatu seperti ABRI, bersenjata pistol, dan ada pula yang bersenjata laras panjang.”

Kesaksian Slamet terekam dalam laporan Tim Penyelidik Komnas Ham 2005-2006. Slamet menyebut kaki Suyat sedang terluka.

Kekerasan Politik 27 Juli 1996 

PRD lahir beriringan dengan perlawanan rakyat terhadap kediktatoran Soeharto. Embrionya berwujud jejaring aktivis mahasiswa antar-kota. Anak-anak muda berusia 20-an pada dekade terakhir Orde Baru ini meluaskan diskusi berbasis kampus ke titik-titik perlawanan rakyat. Mereka bersolidaritas dalam sengketa lahan Kedung Ombo; mengadvokasi petani di Situbondo; mengambil peran dalam pembebasan Timor Timur; hingga memimpin pemogokan-pemogokan buruh di berbagai kota.

Kelak, persentuhan mahasiswa dan rakyat itu melahirkan sejumlah organisasi yang berafiliasi dengan PRD: Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker), Sarekat Rakyat Djakarta, Sarekat Rakyat Solo, dan Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere (SPRIM).

PRD secara resmi dideklarasikan pada 22 Juli 1996 di Ruang Adam Malik, YLBHI, Jakarta Pusat. Deklarasi itu mengumumkan persalinan “P” pada PRD, dari “persatuan” menjadi “partai”.

Dalam manifestonya, PRD menyebut “tidak ada demokrasi di Indonesia” dan Orde Baru "tidak bisa lagi dipertahankan oleh rakyat Indonesia".
Lima hari setelah deklarasi PRD, kasus 27 Juli 1996 atau “Kerusuhan 27 Juli” alias “Kudatuli” terjadi.

Peristiwa itu dipicu pengambilalihan paksa kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Semula kantor itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri, figur oposisi Orde Baru saat itu. Mimbar bebas digelar selama berhari-hari. Para orator, terutama kader PRD, mendukung Megawati sekaligus mengkritik Soeharto.

Ricuh pecah saat massa bayaran Soerjadi, Ketua Umum PDI hasil Kongres Medan yang direstui pemerintah, menyerbu kantor—menyebabkan 5 orang tewas dan 149 lain luka-luka, menurut laporan Komnas HAM. Rezim Soeharto menuding PRD sebagai "dalang" Kudatuli. Para juru bicara pemerintah mengecap PRD sebagai “setan gundul”, “organisasi tanpa bentuk”, dan “mirip PKI”. Belasan kadernya dijebloskan ke penjara.

Puncaknya, pada September 1996, pemerintah menyatakan PRD dan onderbouw-nya sebagai “organisasi terlarang”. ‘Strategi Bawah’ alias Klandestin demi Pemberontakan Meski sejumlah pemimpin partai ini mendekam di terungku, kader-kader PRD yang tidak tertangkap berusaha menjaga api perlawanan. Mereka membentuk Komite Pimpinan Pusat (KPP) PRD yang bergerak secara klandestin.

Komite itu representasi kepengurusan PRD dari pelbagai kota. Sejumlah nama masuk di dalamnya, misal Andi Arief, Nezar Patria, Petrus Bima Anugerah, dan Raharja Waluyo Jati.

Demi alasan keamanan, kader-kader PRD menggunakan nama samaran macam ‘Amir’, ‘Lucas’, ‘Marcell’, ‘Mirna’, ‘Muhammad Ma’ruf’, ‘Rizal Ampera’, dan ‘Sadeli’. Dari bawah tanah, PRD menyusun tiga agenda utama: Membentuk tim pengacara untuk pembebasan kader yang dibui; penggalangan kampanye internasional; dan membentuk kembali organ-organ perjuangan legal maupun semi-legal.

Salah satu wujud dari agenda itu adalah pembentukan Komite Nasional untuk Perjuangan Demokrasi (KNPD) pada 14 April 1997. Aliansi ini dibentuk sebagai implementasi “strategi atas” alias kerja terbuka PRD sekaligus ikhtiar menyatukan kelompok oposisi. Di organisasi itu, Suyat—yang ditarik dari Surakarta—ditugaskan mengurusi departemen organisasi. Herman Hendrawan, dengan nama alias ‘Sadeli’, ditempatkan sebagai Ketua Departemen Kerjasama, yang memungkinkannya bersentuhan dengan kelompok-kelompok oposisi terutama masa PDI pro-Mega. Wujud intervensi lain lewat fenomena Mega-Bintang jelang Pemilu 1997.

Mula-mula Mega-Bintang merupakan seruan persatuan oposisi antara pendukung Mega dan Partai Persatuan Pembangunan (berlogo bintang) untuk menyaingi Golkar, mesin politik Orde Baru. PRD merespons fenomena itu dengan melengkapi slogannya menjadi “Mega-Bintang-Rakyat”. Para kadernya mendistribusikan selebaran di kantong-kantong perlawanan terhadap Orde Baru. Boikot pemilu menjadi agenda besar PRD pada masa itu.

Aksi-aksi massa juga dilakukan dengan mantel “Aksi Mega-Bintang-Rakyat”. Namun, riak-riak perlawanan menghadapi kebuntuan. Pemerintah melarang atribut Mega-Bintang-Rakyat beredar di masa Pemilu. Alhasil, sebagaimana lazimnya Pemilu era Orde Baru, hajatan demokrasi pura-pura itu berlalu dengan kemenangan Golkar—memperpanjang status quo Soeharto selama 30 tahun. Saat bersamaan hantu krisis ekonomi bergentayangan.

Awal Juli 1997, krisis menghantam Thailand. Dua pekan setelahnya merambat ke Indonesia. Pelan-pelan, rupiah keok di hadapan dolar. Harga-harga barang melonjak. Derita rakyat setinggi leher. Pada momen-momen genting itu, PRD melakukan konsolidasi nasional. Pertemuan pada 30-31 Agustus 1997 itu dihadiri seluruh anggota kolektif Komite Pimpinan Pusat dan perwakilan dari masing-masing Komite Pimpinan Kota.

Ia berlangsung di Hotel Sentral di Jalan Pramuka, Jakarta. Panitia menyewa satu suite room yang dianggap aman, luas, dan bisa menyamarkan. Diskusi-diskusi berjalan di satu kamar hotel yang diisi lebih dari 30 orang.

Lahirlah program “Gulingkan Soeharto dengan Pemberontakan Rakyat”. Kata “pemberontakan,” sebagaimana dijelaskan dalam rilis PRD, lebih dekat dengan pembangkangan atau insureksi ketimbang huru-hara maupun kerusuhan.

PRD menganalisis jalan damai alias parlementer telah macet. Pemilu 1997 yang baru saja berlalu hanya memperpanjang napas kekuasaan Soeharto dan rezim Orde Barunya. Di sisi lain, sentimen anti-kediktatoran sudah meluas. Itu ditandai macam-macam aksi massa berujung kekerasan yang disebut “kerusuhan” oleh rezim Orde Baru, seperti peristiwa “Amarah” di Makassar, “Kudatuli” di Jakarta, dan demonstrasi penolakan pemilu di beberapa kota. PRD pun berikhtiar menjadi pelopor yang hendak mendorong pemberontakan terorganisir sekaligus menghindarkan rakyat dari sentimen bernuansa rasial dan agama.

 “Kalau mampu meningkatkan suhu politik agar SU MPR Maret 1998 nanti kita mudah membuat ledakan pemberontakan massa-rakyat untuk menggulingkan kediktatoran,” satu kutipan materi diskusi Dewan Nasional PRD (Pembebasan, Oktober 1997).

Program “Gulingkan Soeharto dengan Pemberontakan Rakyat” itu juga membutuhkan penyesuaian struktur organisasi. PRD membentuk “struktur komando”, satu hierarki organisasi klandestin yang bersifat sementara. Pengorganisasian massa rakyat secara sektoral bertransformasi menjadi pengorganisasian teritorial, dengan tujuan insureksi.

Dalam struktur ini kewenangan tertinggi dipegang oleh Komando Nasional—berupa kepemimpinan kolektif. Kolektif dikepalai oleh Komando Lapangan Nasional—dipegang oleh Agus “Jabo” Priyono. Struktur ini menerapkan prinsip garis komando ala militer.
“Saat itu lebih banyak instruksi daripada diskusi,” kata Jabo.
PRD juga memutuskan pemusatan kader-kader dari daerah ke Jakarta. Kader-kader ini ditempatkan di lima wilayah utama Jakarta dan tiga wilayah penyangga (Bekasi, Bogor, dan Tangerang); masing-masing dipimpin seorang Komando Wilayah. Mereka menempati polling-polling di kampus-kampus, pabrik-pabrik, dan kampung-kampung atau kelurahan-kelurahan.

Guna memperketat keamanan, alur komunikasi dibuat berjenjang antara Komando Nasional dan Komando Wilayah. Komunikasi terjalin melalui perantara kurir. Di sinilah peran Petrus Bima Anugerah alias Bimpet alias ‘Marcell’ menjadi penting. Peran Bimpet dalam Jaringan Kolektif PRD Bimpet menjadi penanggung jawab gugus tugas kurir atau “kurir nasional”.

Dalam menjalankan tugasnya, Bimpet membawahi kurir-kurir dari masing-masing Komando Wilayah. Tugas utamanya mendistribusikan keputusan dan perintah dari struktur Komando Nasional ke masing-masing Komando Wilayah. Taktik klandestin menuntut ketekunan dan kedisiplinan para kurir. Koordinasi antarkurir sering berlangsung lewat pager dan menggunakan sandi.
“Bersama Bimpet, saya pernah menyusun sandi-sandi untuk komunikasi. Sandi itu diambil dari (setting) kehidupan nyata, misal dunia kampus. Kalau markas (sekretariat) kita sebut sebagai kelas, kalau aparat kita sebut rektor,” kata Vije, eks-kader PRD yang saat itu menjalankan tugas kurir untuk Komando Wilayah Jakarta Pusat. Vije mengenang Bimpet sebagai sosok disiplin,
“Kalau janjian ketemu, telat 10 menit saja, dia sudah bergeser.”
Pertemuan sering berlangsung di tempat-tempat umum seperti halte, terminal, atau stasiun. Selain harus bersiasat mengatur pertemuan, ingatan yang kuat menjadi senjata para kurir. Mereka harus mengingat pesan, kudu hafal nomor-nomor telepon dan pager, plus mesti paham betul rangkaian sandi yang sudah disepakati.

Pada masa itu, PRD mulai menggunakan teknologi internet untuk komunikasi antar-daerah dan kampanye internasional. Perkakasnya sebuah laptop plus modem besar dengan suara berisik. Laptop itu dilengkapi teknologi enkripsi. Bila ingin membukanya perlu dua orang; masing-masing orang punya separuh kata kunci yang dirahasiakan.

Dengan skema itu, dokumen tetap aman, bahkan bila salah seorang pemegang kata kunci tertangkap. Laptop inilah yang kelak disita dalam peristiwa ledakan di Tanah Tinggi. Standar keamanan diterapkan bila ada kader-kader yang akan berjumpa untuk pertama kali—terutama karena banyak kader dari daerah dan belum saling kenal. Yogi Lasimpo, eks-kader PRD dari Palu, Sulawesi Tengah, punya kenangan khusus ihwal perjumpaan pertamanya dengan Bimpet:
“Sekitar akhir 1997, saya diminta jumpa seseorang di Stasiun Tanjung Barat. Orang ini membawa koran Kompas hari sebelumnya. Sedangkan saya membawa Pos Kota hari sebelumnya. Setelah berkenalan, saya tahu orang itu adalah Marcell (Bimpet).”
Setelah pertemuan itu Yogi tergabung dalam jejaring kurir yang dipimpin Bimpet.
“Kami beberapa kali ketemu di bilangan Grogol. Biasanya, Bimpet menyampaikan arahan-arahan dari Komando Nasional. Arahan itu yang kami bawa kepada para organiser,” katanya. 
Saat itu organiser PRD telah menyebar di ibu kota. “Pemberontakan itu dipusatkan di Jakarta dengan fokus pengorganisiran kaum miskin kota dan mahasiswa,” kata Agus “Jabo” Priyono.
Namun, taktik klandestin tak berjalan mulus. Rencana pemberontakan berakhir prematur. Peristiwa ledakan di Tanah Tinggi mendahuluinya. Menurut Jabo, hanya dua bom yang meledak di Tanah Tinggi; belasan lain masih tersimpan dalam kulkas. Ledakan tanpa disengaja ini disebutnya dipicu oleh suhu panas.

Prabowo Subianto berkata kepada majalah Panji bahwa “para aktivis … enggak begitu ahli merakit bom.” Ia menuding mereka merakit 40 bom; 18 disita sementara “22 bom masih beredar di masyarakat.”

Sesudahnya, terjadi horor penculikan aktivis. Tatkala situasi politik memanas, sejumlah kader terbaik PRD ditangkap dan disiksa: enam orang dilepas dengan selamat; empat orang hilang. Meski begitu, analisis PRD menjadi nyata. Soeharto mundur setelah didahului gelombang protes mahasiswa pada Mei 1998.

Kekerasan bertendensi rasial, diduga kuat ada peran militer di dalamnya, merebak di Jakarta, Medan, dan Surakarta. Meski babak belur, struktur komando PRD terus terlibat dalam pengorganisasian dan mobilisasi massa pasca-Soeharto hingga aksi-aksi penolakan terhadap B.J. Habibie menjadi presiden pada 1999, yang dianggap sebagai kroni Orde Baru.

“Kalau insiden Tanah Tinggi tidak terjadi, ceritanya bakal berbeda,” klaim Jabo. Saya balik bertanya, “Apakah itu berarti Suyat, Herman, Bimpet, dan Thukul tidak akan hilang?” Jabo sepintas bergeming. Hanya matanya yang bergerak menatap langit-langit.



Menyatukan Mata Rantai yang Hilang

Andi Abdul alias Bedul bertubuh bongsor dengan kulit cokelat gelap. Ia mengajak saya bertemu di sebuah bangunan kecil di tepian Danau Cikokol, Tangerang, pada satu sore awal Februari 2020. Kami mengobrol selama 25 menit, tapi Abdul hanya memberi izin merekam wawancara selama 2 menit; sisanya ia meminta hak nirwarta. Abdul adalah mata rantai yang hilang dalam peristiwa lenyapnya Petrus Bima Anugerah alias Bimpet.

Kepada saya, Abdul mengaku sempat berjumpa Bimpet di sebuah kantin rumah sakit di bilangan Grogol.
“Saya lupa itu tanggal berapa, tapi waktu itu saya memang ketemu,” katanya.
 Abdul akan menjemput Bimpet ke kolektif PRD Tangerang.
“Kami ngobrol-ngobrol sebentar, enggak lama dia dapat pesan di pager. Dia bilang, ‘gua enggak bisa hari ini’. Akhirnya saya pulang,” kata Abdul. “Kami pisah. Saya pulang ke Tangerang. Dia ke mana … saya tidak tahu.”
Kurun 1997-1998, Abdul tercatat sebagai organiser PRD untuk wilayah Tangerang. Awalnya ia bersentuhan dengan kader-kader PRD lewat jejaring PDI pro-Mega di Tangerang. Di kolektif PRD Tangerang, Abdul sempat beberapa kali bertemu Wiji Thukul dan Bimpet.

Sesudah konsolidasi nasional PRD pada akhir Agustus 1997, selepas bersembunyi di Pontianak dan memakai nama alias ‘Aloysius Sumedi’, Thukul menjadi Komando Wilayah Tangerang. Bimpet juga beberapa kali menyambangi kolektif yang bermarkas di Kebon Jati, Karawaci ini. Semasa itu, di antara kader PRD, Abdul diduga penyusup atau informan. Lukman Hakim, kawan satu kolektif dengan Abdul di Tangerang dan kini menjadi Wakil Ketua PRD, mengakui keberadaan desas-desus itu.

Sekitar awal 1998, Lukman menerima pesan dari Thukul, saat itu dirinya bertugas sebagai kurir, untuk memindahkan polling (markas).
“Perintahnya pindahkan polling tanpa sepengetahuan Abdul, karena dia diduga sebagai informan,” kata Lukman.
Thukul adalah Komando Wilayah Tangerang saat itu dan pesan yang diterimanya berhilir pada Komando Nasional. Peredaran informasi dalam struktur komando telah melalui verifikasi sebelum disampaikan oleh kurir pusat kepada seluruh komando wilayah. Lukman menjalankan perintah, tetapi berlaku skeptis terhadap desas-desus.
“Kalau benar dia informan,” katanya, “Kenapa dia ndak punya aktivitas politik?” Saya minta Abdul menanggapi desas-desus itu.
Ia menjawab pendek sambil menyeringai, “Hanya Allah yang tahu. Saya mau melupakan masa lalu. Pengin jauh dari politik. Sekarang, mau fokus usaha dan mengurus keluarga.”
Benar atau tidak desas-desus itu, faktanya, Bimpet hilang setelah berjumpa Abdul. Vije, yang menggantikan posisi Bimpet sebagai kurir nasional, melempar spekulasi:
“Mungkin dengan menghilangkan Bimpet, kalau perannya diketahui, dianggap bisa merusak rantai komunikasi PRD.”
Tugas kurir tak sekadar menjadi “tukang pos”. Tiap kurir bertugas mengantisipasi potensi ancaman dan bahaya serta menyelamatkan pemimpin-pemimpin partai bawah tanah.

Kebocoran di tingkat kurir dapat membuat seorang pemimpin dalam bahaya. Bimpet sudah lama terdeteksi oleh aparat keamanan. Namanya disebut-sebut oleh para interogator Tim Mawar yang mencecar enam aktivis PRD yang diculik dan disekap di Pusat Komando Taktis Kopassus, Cijantung.

Sebelumnya, Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga angkatan 1993 ini punya catatan penangkapan oleh militer. Sekitar awal Maret 1997, Bimpet ditahan di Kodim Jakarta Selatan selama dua hari karena selebaran Mega-Bintang-Rakyat. Ia dipindahkan ke Polda Metro pada 6 Maret 1997, disangkakan dengan pasal-pasal penghinaan tapi dilepaskan pada pertengahan 1997.

Bimpet pernah pula ditahan aparat saat “aksi lompat pagar kedutaan” dengan aktivis pro-kemerdekaan Timor Timur. Ia masuk radar perburuan aparat sejak Juli 1996 semasa beraktivitas di Jawa Timur. Sekitar akhir 1995 hingga pertengahan 1996, kawasan industri Tandes, Jawa Timur, menjadi konsentrasi pengorganisiran PRD.

Puncaknya pemogokan massal pada 8 Juli 1996, yang berujung penangkapan kader-kader PRD—termasuk tiga orang yang dijebloskan ke penjara: Dita Indah Sari (basis buruh), Coen Husain Pontoh (basis tani), dan Sholeh (basis mahasiswa). Di tengah perburuan aktivis-aktivis PRD di Jawa Timur oleh aparat Kodam Brawijaya, Bimpet ditarik ke Jakarta dan menjadi Ketua Departemen Pendidikan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Kuliahnya juga pindah ke Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara. 



Seniornya di FISIP Unair angkatan 1990, Herman Hendrawan, menjadi “target nomor satu” oleh aparat keamanan Orde Baru.

Pada 29 Juli 1996, Herman berhasil keluar dari Surabaya, menuju Jakarta dan terintegrasi kembali dengan kerja-kerja PRD. Saat itu, demi merespons peristiwa 27 Juli, PRD menggalang kekuatan oposisi dengan kelompok-kelompok PDI pro-Mega lewat pembentukan Komite Nasional untuk Perjuangan Demokrasi (KNPD).

Herman menjabat ketua departemen kerjasama di organisasi itu. Tugas itu menempatkan Herman pada posisi unik. Ia menjadi kader PRD yang tampil terbuka (bersama KNPD) pada fase-fase genting ketika partai beroperasi tertutup (bawah tanah).

Posisi itu memperbesar pengaruh Herman dalam jejaring kelompok PDI pro-Mega; berkarib dengan para tokoh senior PDI pro-Mega termasuk Sutjipto yang kelak menjadi Sekjen PDIP (2000-2005), dan Bambang DH yang pernah menjabat Wali Kota Surabaya (2002-2010). Selagi pemerintahan Soeharto menggelar Sidang Umum MPR pada 12 Maret 1998, Herman melalui KNPD mengadakan konferensi pers menolak hasil Pemilu 1997 di kantor YLBHI, Jakarta Pusat.

Setelahnya, Herman diculik, sebagaimana dialami Raharja Waluyo Jati dan Faisol Riza. Walau tak pernah bersitatap langsung, lantaran disekap dalam sel berbeda, rekan dia yang diculik menuturkan indikasi keberadaan Herman di markas Kopassus, Cijantung. Waluyo Jati berkata pernah diperlihatkan foto polaroid Herman—saksi-saksi lain mengaku sempat difoto polaroid di lokasi tersebut.

Jati dan Faisol pernah mendengar suara Herman menyanyikan lagu “Widuri” dan “Camelia”—lagu yang biasa dinyanyikan Herman.

Wiji Thukul, yang kerap berhubungan dengan Bimpet dalam jejaring kurir PRD, kemungkinan dihilangkan pada akhir Mei 1998 setelah Bimpet hilang pada awal April. Penyair pelo ini menjabat Ketua Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) yang berafiliasi ke PRD sejak awal 1990-an. Ia tercatat sebagai ketua biro budaya dalam kepengurusan PRD (versi 'persatuan').
Thukul sempat membacakan puisi dalam deklarasi PRD pada 22 Juli 1996.

Selepas kekerasan politik 27 Juli, Thukul menjadi salah seorang yang diburu oleh negara polisi-militer Orde Baru. Rumahnya di Solo digerebek aparat, tetapi ia berhasil meloloskan diri. Belakangan Thukul menyeberang ke Pontianak, Kalimantan Barat. Saat PRD bergerak di bawah tanah pasca-27 Juli 1996, Thukul menjadi salah seorang pemimpin kolektif. Namun, lantaran posisinya di Kalimantan, statusnya dibekukan untuk sementara.

Pada pengujung Maret 1997, Thukul meninggalkan Kalimantan menuju Jakarta. Selanjutnya, ia terintegrasi kembali dalam kerja-kerja PRD bawah tanah dan ditempatkan menjadi Komando Wilayah Tangerang.

Kontak terakhir Thukul berupa suara telepon kepada istrinya, Dyah Sujirah atau dipanggil Sipon, pada pertengahan Mei 1998. Solo rusuh, sebagaimana Jakarta. Thukul, yang sangat menyayangi istri dan kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, khawatir atas keadaan keluarganya.

Tim penyelidik Komnas HAM 2005- 2006 menulis nama Wiji Thukul masih dianggap sebagai “ancaman” dalam media briefing Angkatan Darat setelah Soeharto jatuh pada Juni-Juli 1998. Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, dan Suyat dihilangkan saat PRD menerapkan kombinasi strategi-taktik “kerja atas” alias perlawanan terbuka lewat aliansi oposisi macam KNPD, dan “kerja bawah” alias klandestin lewat jaringan kolektif di Jakarta dan wilayah penyangganya.

Hampir 22 tahun berlalu, kasus penghilangan paksa ini tertutup rapat. Desakan agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atau yang setidaknya mengetahui kasus ini, diabaikan oleh negara; dikucilkan pada masa kepemimpinan Megawati, didiamkan di periode Susilo Bambang Yudhoyono, dijanjikan harapan kosong oleh Jokowi. Dalam satu puisinya tahun 1991, Thukul pernah berpesan mengenai tabiat penguasa melenyapkan kehidupan: Ceritakanlah ini kepada siapapun sebab itu cerita belum tamat.
 ____

Laporan ini disusun berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Kontras.
Artikel ini berbasis dokumen laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006 tentang pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa.
Basis materi primer lain adalah dokumen putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999. Materi sekunder adalah wawancara Prabowo Subianto dengan majalah Panji edisi 27 Oktober 1999.
Laporan ini bertumpu pada wawancara dengan sedikitnya 13 narasumber, baik yang bersedia dikutip maupun yang minta hak anonimitas. Laporan ketiga ini bagian dari enam artikel yang kami siapkan untuk dirilis selama pekan-pekan berikutnya.

Reporter: Tim Kolaborasi Tirto
Penulis: Muammar Fikrie
Editor: Fahri Salam

Bimpet hilang pada 1 April 1998; Wiji Thukul pada akhir Mei; keduanya berhubungan dalam kerja kolektif PRD Tangerang.

Bagian II | Kisah Tim Mawar Menculik Para Aktivis 1998

Oleh: Mawa Kresna - 4 Februari 2020

Ilustrasi Ke-13 orang hilang pada peristiwa 1997-1998 di masa terakhir Soeharto. tirto.id/Lugas/source image: Kontras

Berdasarkan kesaksian: 14 orang disekap di Markas Kopassus, tapi hanya 9 orang yang dikembalikan pada 1998.
"Saya itu sebenarnya enggak suka disamakan dengan bapak karena saya memang enggak kenal bapak.” 
Sepotong kalimat itu meluncur dari mulut Fajar Merah saat konferensi pers film dokumenter Nyanyian Akar Rumput pada 9 Januari 2020 di kantor Amnesty International Indonesia.

Fajar adalah putra bungsu Wiji Thukul, aktivis-cum-seniman yang diyakini dihilangkan oleh negara, kemungkinan pada akhir Mei 1998 setelah Presiden Soeharto lengser. Orang-orang sering berkata perawakan Fajar mirip ayahnya. Badan ceking. Rambut ikal. Gigi sedikit tonggos. Ditambah lagi Fajar seniman, sama seperti sang ayah. Bedanya, Fajar seorang musisi, Thukul seorang penyair.

Namun, cara orang melihat persamaan itu yang membuatnya jengah. Bukan karena Fajar membenci sang ayah, tapi ia memang tak punya memori apa pun tentang Thukul yang bisa membuatnya berkata “aku mirip bapak” atau kalimat serupa.

Saat ayahnya hilang, Fajar masih balita; sehingga, ketika tumbuh dewasa, nyaris kosong ingatan tentang sang bapak di kepalanya. Raharja Waluyo Jati, yang duduk di sebelah Fajar, manggut-manggut ketika Fajar bicara. Jati adalah satu dari sembilan aktivis yang diculik menjelang kejatuhan Soeharto. Ia diculik pada 12 Maret 1998 oleh satuan tugas Komando Pasukan Khusus (Kopassus), unit elite khusus Angkatan Darat, bernama Tim Mawar. Sementara beberapa rekannya, termasuk Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat, hilang atau dihilangkan.

Usai konferensi pers, Jati mengajak kami makan di warung Aceh di dekat Stasiun Cikini. Ada beberapa orang yang ikut nongkrong sore itu. Beberapa yang saya kenali, di sebelah kiri saya, ada Nezar Patria, aktivis Partai Rakyat Demokratik yang diculik Tim Mawar pada 13 Maret 1998, kini pemimpin redaksi media berbahasa Inggris The Jakarta Post. Di sebelah Nezar ada Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia; Amirrudin, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan Mugiyanto, yang diculik pada tanggal sama dengan Nezar.

Saya bertanya kepada Jati tentang Petrus Bima Anugerah alias Bimpet. Seberapa penting Bimpet sehingga, mohon maaf, harus dihilangkan?
 "Bimpet ini penting banget. Dia itu kurir nasional. Penghubung komunikasi kami," kata Jati, lalu mencolek Nezar memberi kode agar ikut dalam perbincangan. Nezar membenarkan omongan Jati. [Catatan redaksi: peran Petrus Bima Anugerah dan Herman Hendrawan dibahas dalam artikel terpisah.]

Bimpet diketahui terakhir kali terlihat pada 1 April 1998. Anehnya, ia hilang ketika teman-temannya yang diculik dilepas dari markas Kopassus dan diserahkan ke Polda Metro Jaya. Bimpet sempat tinggal bersama Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria di sebuah unit Rusun Klender, Jakarta Timur. Namun, pada malam teman-temannya diculik, Bimpet tidak di rumah.
“Bimpet ini yang masih kami belum tahu juga, sama kayak Wiji Thukul,” ujar Jati.
Operasi Tim Mawar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menggelar operasi Mantap Brata jelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Operasi ini “langkah preventif” ABRI untuk menjaga “stabilitas nasional.” 

Sejak peristiwa 27 Juli 1996, ketika para preman didukung tentara merampas kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat, ABRI memburu kelompok yang mereka sebut “radikal”, yakni “PRD Bawah Tanah”—istilah terbatas pemerintah saat itu untuk jaringan kolektif Komite Pimpinan Pusat-PRD.

Informasi intelijen di kalangan ABRI: kelompok itu berencana menggagalkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR. [Catatan redaksi: Persaingan para jenderal di masa terakhir kekuasaan Soeharto dibahas dalam artikel terpisah.]

Hal itulah yang membuat Danjen Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto menugaskan secara khusus melalui perintah lisan kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42 di bawah Grup 4/Sandi Yudha Kopassus, untuk menjabat Komandan Satgas Merpati. Tugas tim adalah mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan kelompok radikal.

Atasan Mayor Bambang adalah Komandan Grup 4 Kolonel Chairawan Kadarsyah Nusyirwan. (Bambang Kristiono kini anggota DPR dari Fraksi Gerindra. Chairawan diangkat asisten khusus Menhan Prabowo pada Desember 2019.) Mayor Bambang memanggil Kapten Fauzani Syahril Multhazar, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius Selvanus, dan Kapten Dadang Hendra Yudha untuk menganalisis informasi dan membentuk tim khusus pada pertengahan Juli 1997, menurut putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999. Ada tiga tim yang dibentuk oleh Mayor Bambang: Tim Mawar, Tim Garda Muda, dan Tim Pendukung.

Tim Mawar bertugas mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan dan teror; Tim Garda Muda bertugas menggalang organisasi kelompok muda di daerah tertentu; tim pendukung membantu satuan bawah kendali operasi (BKO) dalam tiap-tiap komando daerah militer.


Bambang memerintahkan Kapten Fauzani memilih para komandan detasemen dan beberapa nama dan bintara anggota Yon-42 untuk terlibat dalam Tim Mawar. Mereka adalah Kapten Untung Budi Harto, Kapten Djaka Budi Utama, Kapten Fauka Noor Farid, Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi. Total, Tim Mawar terdiri atas Komandan Mayor Bambang Kristiono, Wakil Komandan Kapten Fauzani, dan Pa Intel Tim Kapten Nugroho.

Tim dibagi ke dalam dua unit: Unit I dikomandani Kapten Dadang dengan wakilnya Kapten Untung Budi Harto dan anggota Serka Sunaryo dan Sertu Sukadi; Unit II dikomandani Kapten Yulius Selvanus dengan wakilnya Kapten Djaka Budi Utama dan anggota Kapten Fauka dan Serka Sigit.

Dana operasional Tim Mawar, menurut Mayor Bambang dalam persidangan Mahkamah Militer II Jakarta pada 23 Februari 1999, bersumber dari antara lain dana operasional dan bunga tabungan abadi Batalyon 42. [Catatan redaksi: kiprah orang-orang di Tim Mawar dan Kopassus di bawah Danjen Prabowo akan diulas dalam artikel terpisah.]

Rencana dan Operasi Penculikan 

Peristiwa ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998, membuat Tim Mawar mengintensifkan kerjanya. Mereka menyusun rencana penangkapan sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat bom yang tak sengaja meledak tersebut. Mayor Bambang mendapatkan data intelijen yang berisi sembilan nama diprioritaskan untuk ditangkap oleh Tim Mawar.

Mereka adalah Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Faisol Riza, Raharja Waluyo Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Andi Arief.
(Dalam wawancara dengan majalah Panji edisi 27 Oktober 1999, Prabowo berkata penculikan terhadap Pius, Desmond, dan Taslam adalah "kecelakaan" dan "kesalahan." "Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka,” katanya.)

Ia sudah menyiapkan tempat penyekapan sekaligus markas Tim Mawar di Pos Komando Taktis (Poskotis) di Markas Kopassus, Cijatung. Markas itu terdiri dari ruang briefing, ruang interogasi, dan enam sel. Target pertama mereka adalah Desmond, aktivis dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN).

Pada 3 Februari 1998, sekitar pukul 9.30, Kapten Fauzani menginstruksikan Kapten Dadang, Kapten Nugroho, dan Kapten Djaka untuk menculik Desmond. Ketiga kapten itu meluncur dengan Jeep Vitara warna abu-abu ke kantor LBHN di Jalan Cililitan Kecil, Jakarta Timur, kantor sekaligus tempat tinggal Desmond. Setiba di sana, mereka menunggu Desmond keluar. Menjelang siang, Desmond ke luar kantor.
Sekitar pukul 12.00, ia naik mikrolet jurusan Kampung Melayu.

Di tengah jalan, Desmond turun, lalu berganti mikrolet jurusan Senen. Melihat itu, Kapten Dadang turun dari mobil, menyusul Desmond naik mikrolet, duduk di sebelahnya. Desmond turun saat mikrolet tiba di depan kantor Departemen Pertanian. Dadang ikut turun. Begitu sampai di dekat sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Desmond ditodong senjata.
“Jangan bergerak!” Dadang memiting kepala Desmond, lalu mendorongnya ke mobil jip sampai-sampai kacamata Desmond jatuh.
Di dalam mobil, mata Desmond dibebat kain hitam, kedua tangannya diikat ke belakang. Musik mobil disetel dengan suara keras. Kapten Djaka memacu jip ke Poskotis Cijantung.

Sesampainya di Poskotis, Desmond diinterogasi sambil dipukul, ditendang, disetrum, ditelanjangi dan ditenggelamkan ke dalam bak mandi, dibawa ke sel bawah tanah.

Sebelum Tim Mawar Dibentuk 

Pada 26 April 1997 sekitar pukul 20.00, Dedi, Sonny, Surya, dan Yanni Afri—keempatnya simpatisaan PDI pro-Megawati—berada di mal Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka menunggu seorang kawan untuk bersama-sama ke rumah Naryo, pengurus PDI pro-Mega. Tiba-tiba sebuah truk mendatangi mereka dan sekitar sepuluh aparat bersenjata laras panjang menangkap mereka.
"Awas kalau kalian lari!" teriak seorang tentara.
Seorang lain memuntahkan tiga tembakan ke badan aspal. Tanpa perlawanan, mereka digelandang ke dalam truk lalu dibawa ke Kodim Jakarta Utara. Lalu mereka dibawa ke ruang gelap dan dipukuli, kemudian diinterogasi di ruangan berbeda. Surya saat itu mendengar teriakan Yani,
"Tolong, saya tidak niat ngebom." Usai diinterogasi, mereka kembali dikumpulkan dalam satu ruangan. Surya melihat tubuh teman-temannya babak belur.
“Jika kita disiksa terus begini,” kata Yani Afri, "kita semua bisa mati."
Penyiksaan itu berakhir. Setelah menginap semalam di Kodim, sekitar pukul 20:30, mereka dibebaskan. Namun, begitu sampai di depan pintu, seorang anggota Kodim meneriaki Sonny dan Yani.
"Hei, dua orang itu jangan pergi!"
Sementara Dedi dan Surya dibiarkan keluar, Sonny dan Yani ditangkap lagi.

Penyergapan di Rusun Klender 

Sehari setelah penangkapan Raharja Waluyo Jati dan Faisol Riza pada 12 Maret 1998, Kapten Fauzani Syahril Multhazar memerintahkan Kapten Yulius Selvanus, Kapten Djaka Budi Utama, Serka Sunaryo, dan Serka Sigit Sugianto untuk menangkap aktivis Partai Rakyat Demokratik di Rusun Klender unit 7 blok 39 lantai 2, Jakarta Timur.

Para penculik bergegas setelah magrib. Kapten Yulius dan Serka Sunaryo menemui Sutjipto Hadinoto, ketua RT Rusun Klender Blok 39, sementara Kapten Djaka memantau rusun. Begitu melihat lampu di kamar itu menyala, Kapten Djaka memberitahu Kapten Yulius agar segera menyergap.
"Selamat malam, saya Pak RT," kata Kapten Yulius usai mengetuk pintu.
Aan Rusdianto membuka pintu, Kapten Yulius menyalaminya, lalu menarik Aan dan membekuknya, menyerahkan kepada Kapten Djaka. Yulius memasuki kamar, menciduk Nezar Patria yang mengupas jeruk. Keduanya dibawa ke mobil Kijang ke bawah rusun.

Kapten Yulius memerintahkan Kapten Djaka untuk tetap di Rusun Klender, barangkali masih ada orang yang akan datang. Kapten Yulius dan Serka Sunaryo membawa Aan dan Nezar ke Markas Kopassus, Cijantung, tiba sekitar pukul 20.30.

Keduanya diinterogasi oleh Kapten Nugroho Sulistyo Budi dan Kapten Dadang Hendra Yudha. Sementara rekan-rekannya menuju Cijantung, Kapten Djaka ketiban sial di Rusun Klender. Sekitar pukul 20.00, ia berinisiatif memasuki unit yang disewa aktivis PRD itu. Saat itu, rombongan petugas Koramil Duren Sawit sudah datang lebih dulu.

Mugiyanto, berada dalam kamar, ditangkap oleh aparat keamanan bernama Serka Sutamo dan petugas Koramil Duren Sawit. Kapten Djaka, yang salah langkah, ikut ditangkap dan dikira bagian dari penghuni rusun. Kapten Djaka dan Mugiyanto dibawa ke Koramil Duren Sawit. Kepada petugas Koramil, Kapten Djaka mengaku sebagai warga yang tinggal di dekat LP Cipinang dan tengah main ke rumah teman, yang kebetulan dekat dengan unit kontrakan aktivis PRD. Namun, petugas Koramil ragu, sehingga membawa Kapten Djaka dan Mugiyanto ke Kodim 0505 Jakarta Timur.

Kabar penangkapan Kapten Djaka didengar oleh Kapten Yulius Selvanus. Ia dan Kapten Fauzani menjemputnya. Mereka juga mengambil Mugiyanto lantas membawanya ke Poskotis Cijantung. Hampir semua orang yang diculik Tim Mawar mengalami penyiksaan. Diinterogasi dengan dipukul, ditendang, ditelanjangi, disuruh tidur telentang di atas velbed, tangan diborgol, kaki diikat dengan kabel listrik.

Nezar Patria dalam kesaksian kepada tim penyelidik Komnas HAM menggambarkan dia disetrum selama 3-4 jam dengan tongkat listrik ditempel ke kaki, jempol kaki, paha belakang, lama-kelamaan voltasenya semakin tinggi yang ditempel ke betis dan paha sampai-sampai alas velbed bergetar akibat arus listrik itu.

Seseorang yang berkesan menyandang pangkat lebih tinggi menyuruh menghentikan dan meminta interogator tidak menyetrum di bagian dada, demikian pengakuan Nezar. Setelahnya, Nezar dibiarkan selama 3 jam.
"Saya hampir lewat," kata Nezar kepada kami.
Mereka yang Disekap 

Di hari pertama disekap di Cijantung pada 3 Februari 1998, Desmond J. Mahesa bertemu dua orang yang sudah menghilang nyaris setahun. Mereka adalah Yani Afri dan Sonny. Saat itu Yani menempati sel 1 dan Sonny di sel 6, sementara Desmond di sel 4. Kamar sel itu berukuran 2x3 meter persegi. Dindingnya dari jaring besi beton, pintu dari jeruji besi. Di dalam sel ada bak mandi, kakus, dan dipan kayu. Total ada 6 sel yang dibagi dua blok. Pius Lustrilanang menyusul sehari berikutnya, 4 Februari.

Pius, aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), diciduk oleh Tim Mawar di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Operasi penculikannya dipimpin oleh Kapten Dadang Hendra Yudha, Kapten Fauka Noor Farid, dan Serka Sigit Sugianto. Pius dibawa ke Poskotis dan disekap di sel 6, yang sebelumnya ditempati Sonny.
Setelah Pius, menyusul Haryanto Taslam yang diculik pada 8 Maret 1998.

Taslam adalah salah satu aktivis PDI pro-Megawati yang menonjol dan dekat dengan aktivis-aktivis mahasiswa dan pemimpin gerakan massa. Taslam diculik oleh Kapten Fauzani, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius, Kapten Dadang Hendra Yudha, Kapten Djaka Budi Utama, Kapten Fauka Noor Farid, dan Sertu Sukadi. Saat mengendarai Mitsubishi Lancer biru, Taslam dikuntit oleh Kijang biru dan Kijang cokelat yang dikendarai Tim mawar, lalu mobilnya disenggol di Pintu Utama TMII Jakarta Timur. Taslam disekap di sel 4 setelah Desmond dipindahkan.

Penculikan selanjutnya terhadap Faisol Riza dan Raharja Waluyo Jati di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 12 Maret 1998. Mereka diinterogasi secara terpisah dan disiksa. Setelah itu, mereka disekap di sel bawah tanah. Jati di sel 5. Faisal di sel 3. Setelah gelombang penculikan dan penyekapan dari Februari hingga Maret 1998, Tim Mawar bergerak menangkap Andi Arief, ketua umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.

Pada 27 Maret, atas perintah Mayor Bambang Kristiono kepada Kapten Fauzani Syahril Multhazar, mobil Kijang biru dan Kijang cokelat yang dikendarai lima anggota Tim Mawar bergerak dari Jakarta menuju Bandar Lampung ke rumah orangtua Andi Arief. Esoknya, Andi Arief diculik di rumah kakaknya, lalu dibawa ke Jakarta dengan mobil Kijang melalui Pelabuhan Bakauheni. Di dalam mobil, kedua mata Andi Arief ditutup dengan sapu tangan warna gelap.

Setiba di Poskotis Markas Kopassus Cijantung, ia disekap di sel bawah tanah. Kehidupan di sel bawah tanah markas Cijantung nyaris tak pernah sunyi. Penjaga selalu memutar lagu dari tape dengan suara bising. Pada satu kesempatan, tape itu rusak dan penjaga menggantinya dengan siaran radio. Desmond J. Mahesa menandai siaran radio yang biasa diputar dari stasiun Mustang, Pelita Kasih, Remaco, Radio Bisnis, dan Kiss FM.

Saat tak ada siaran, pada tengah malam sampai subuh hari, orang-orang yang disekap dalam sel menjalin komunikasi satu sama lain. Dari percakapan itu mereka mengetahui siapa-siapa saja yang disekap. Mereka juga tahu siapa saja yang menghilang atau sudah meninggalkan sel.



Mereka yang Hilang 


Saat Mugiyanto disekap pada 13 Maret 1998, Yani Afri sudah tidak ada di sel. Sel nomor 2 yang sempat ditempati Yani digantikan oleh Faisol Riza.

Sebelum hilang tanpa jejak hingga sekarang, 22 tahun lalu, Yani Afri meninggalkan cerita tentang orang-orang yang pernah disekap di sel bawah tanah Cijantung. Yani berkata kepada Faisol dan Pius Lustrilanang bahwa ia pernah bertemu dengan Deddy Umar Hamdun dan Noval Alkatiri—keduanya simpatisan Partai Persatuan Pembangunan. Kelahiran 1955, pengusaha Ambon-muslim, suami Eva Arnaz, Deddy pernah diperingatkan sebagai daftar yang akan diambil oleh “aparat baju hijau” karena aktivitas politiknya mendukung Mega-Bintang, menurut laporan penyelidikan Komnas HAM 2006.

Keluarganya pernah bertemu dengan Soesilo Soedarman, saat itu Menkopolhukam (1993-1997), dan diberitahu bahwa “korban masih ada dan dalam pembinaan.” Seorang sumber TNI dari Kopassus berkata Deddy ditahan di Cijantung, lalu dipindah ke Rumah Tahanan Militer Ragunan. Informasi lain: ia sempat ditahan di Rindam Condet dan di belakang TMII. Bersama Deddy dan Noval Alkatiri, ikut hilang juga Ismail, sopir mereka.

Ketiganya menghilang pada hari Pemilu 29 Mei 1997. Andi Arief, saat di sel penyekapan Cijantung, bersaksi pernah diancam akan “di-Deddy Hamdun-kan” jika tidak menjawab pertanyaan interogator dengan benar. Keberadaan Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Sonny, dan Yani Afri setidak-tidaknya menunjukkan penculikan orang sudah dilakukan sebelum Tim Mawar dibentuk.

Poskotis sudah digunakan untuk lokasi penyekapan sebelum Mayor Bambang menyiapkannya sebagai markas interogasi Tim Mawar. Herman Hendrawan juga hilang. Aktvis PRD yang kuliah di FISIP Universitas Airlangga angkatan 1990 ini menjadi target penangkapan sejak 1996.

Pada 29 Juli 1996, Herman pindah dari Surabaya ke Jakarta, berperan menjadi penghubung PRD dan PDI lewat Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD). Teman-temannya berkata Herman dekat dengan Soetjipto Soedjono, politikus gaek Jawa Timur yang kelak memotori PDI Perjuangan. (Soetjipto meninggal pada 24 November 2011.) 

Herman dibawa ke Poskotis Markas Kopassus di Cijantung setelah ditangkap pada 12 Maret 1998. Waluyo Jati dan Faisol Riza di lokasi penyekapan bersaksi mengenali suaranya dari lagu “Widuri” dan “Camelia” yang biasa dinyanyikan Herman. Keberadaan Herman di sel diamini oleh Pius, yang mengaku sempat mengobrol dengan Herman. Andi Arief pernah diberitahu oleh interogator bahwa ada orang bernama Herman. Foto polaroid Herman diperlihatkan interogator ke teman-temannya yang disekap di lokasi yang sama.

Korban-korban lain sebelum dilepas juga difoto. Teman satu lokasi penyekapan pernah diberitahu Herman akan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Sampai sekarang, negara tak pernah menjelaskan ke mana Herman.

Mereka yang Kembali 

Paling tidak ada 14 orang yang pernah disekap di Markas Kopassus Cijantung, tetapi hanya sembilan orang yang kembali dengan selamat. Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Raharja Waluyo Jati, dan Faisol Riza—yang disekap antara 1,5 bulan sampai 2 bulan oleh Tim Mawar—langsung dipulangkan ke kampung halamannya. Desmond diantar para penculiknya ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, dengan mata tertutup kain, diberi tas berisi tiket ke Banjarmasin dan uang Rp800 ribu (pengganti kacamata yang rusak), pada 3 April 1998.

Proses sama dialami Pius Lustrilanang; ia diantar ke Bandara Soetta untuk pulang ke Palembang pada 2 April 1998. Haryanto Taslam mendekam di sel penyekapan selama 40 hari dan dilepaskan pada 17 April 1998. Penculiknya membawa Taslam ke Bandung dengan mobil; di mobil ada dua orang yang mengapitnya dan di depannya seorang duduk di jok sebelah sopir.

Tiba terlalu pagi di Bandara Husein Sastranegara, penculik mengajaknya berputar-putar lebih dulu. Kemudian, sebelum turun di lokasi beberapa ratus meter dari bandara, para penculik mengecek tekanan darahnya, membuka kunci borgol dan penutup matanya, memberinya tiket pesawat Merpati dan uang kemudian menyuruhnya jalan lurus; tak boleh menengok ke belakang.

Taslam sempat berjalan sempoyongan setelah matanya dihantam cahaya, menyetop taksi yang pertama dilihatnya menuju bandara, pulang ke Surabaya.

Penculiknya mengancam tak segan melukai dia dan keluarganya jika Taslam buka mulut; meracuni anak bungsunya yang bisa sewaktu-waktu dijalankan—seminggu, sebulan, setahun kemudian; kapan pun. Katakan saja, ujar penculik kepada Taslam, selama kamu menghilang, biaya hidupmu dari hasil menjual mobil.

Sebelum bersaksi kepada tim penyelidik Komnas HAM pada Desember 2005, Taslam diteror lima kali lewat telepon. (Haryanto Taslam meninggal pada 14 Maret 2015.)

Raharja Waluyo Jati disekap selama 43 hari. Pada 25 April, ia dilepas ke Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, diberi vitamin dan baju ganti. Selama di kereta, Jati diawasi oleh seseorang yang tidak dikenalinya, pulang ke rumah orangtuanya di Jepara. Faisol Riza disekap selama 1,5 bulan dan dilepaskan pada 26 April. Penculik membawa Faisol ke Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, memberikan baju, celana dan sepatu baru, menyuruhnya bersalin cepat selama 10 menit di kamar mandi di bawah ancaman todongan pistol. Ia dikawal oleh seseorang tak dikenalinya, diminta diam selama perjalanan dengan kereta Argo Bromo jurusan Surabaya.

Kemudian, setiba di Stasiun Pasar Turi, Faisol naik taksi ke Terminal Bungurasih, lalu naik bus menuju rumah orangtuanya di Probolinggo. Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, yang disekap selama 3 hari di Cijantung, diserahkan oleh Tim Mawar ke Polda Metro Jaya pada 15 Maret dan baru dibebaskan pada 5 Juni 1998. Andi Arief diserahkan oleh Tim Mawar ke Mabes Polri pada 16 April, diketahui oleh Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim, yang meminta Kapolri Jenderal Dibyo Widodo menerima tahanan.

Pada 24 April, Andi Arief dipindahkan ke Polda Metro Jaya. Keluarga Andi Arief baru mengetahuinya ditahan polisi pada 23 April 1998. Andi Arief dibebaskan pada 14 Juli 1998.



Mereka yang pulang dalam keadaan hidup, 22 tahun kemudian, masih bertanya-tanya tentang nasib kawan-kawan mereka yang hilang.
Di mana Herman Hendrawan?
Di mana Suyat, Petrus Bima Anugerah?
Di mana Wiji Thukul?

Waluyo Jati menolak menyebut kawan-kawannya yang hilang itu dengan sebutan “almarhum.” Faktanya, tidak ada yang tahu nasib mereka.
Apakah masih hidup atau sudah mati?
Jika masih hidup, di mana mereka sekarang?
Jika sudah mati, di mana kuburan mereka?
"Kalau orang punya bapak sudah meninggal, masih bisa ziarah. Saya bingung kalau bapak dibilang sudah mati. Saya bahkan enggak tahu harus ziarah ke mana?” kata Fajar Merah di hadapan orang-orang yang mengenal Wiji Thukul.
___
Laporan ini disusun berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Kontras. Artikel ini berbasis dokumen laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006 tentang pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa. Basis materi primer lain adalah dokumen berita acara pemeriksaan Polda Metro Jaya tentang kasus penculikan aktivis 1998. Juga BAP Pusat Polisi Militer Mabes TNI terhadap para korban penculikan. Dokumen lain adalah putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999. Laporan ini adalah bagian dua dari enam artikel yang kami siapkan untuk dirilis selama pekan-pekan berikutnya.

Reporter: Tim Kolaborasi Tirto
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam
--
Suyat (Solo), Herman Hendrawan (Jakarta), Petrus Bima, dan Wiji Thukul hilang pada 1998.

Bagian I Jokowi, Prabowo, dan Wiranto: Di Mana Mereka yang Hilang?

Oleh: Fahri Salam - 3 Februari 2020

Ilustrasi Jokowi dan Prabowo di MRT (13/7/2019). tirto.id/Lugas/source image: Muchlis Jr/Biro Pers Setpres

Jokowi menghilangkan ke-13 orang hilang untuk kedua kalinya setelah merangkul Prabowo ke dalam pemerintahan.

Seorang pensiunan jenderal bintang empat berkata kepada kami bahwa Presiden Joko Widodo seakan telah “menampar pipi kiri” dia ketika mengangkat Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad yang dipecat pada November 1998, sebagai menteri pertahanan pada 23 Oktober 2019.

Ia bilang gelagat itu telah terlihat sejak “diplomasi nasi goreng” Megawati menjamu Prabowo di Teuku Umar No. 27 Menteng, kawasan perumahan elite di pusat kekuasaan Indonesia, tiga bulan setelah Pemilihan Presiden 2019. Ia berkata telah “pasang badan” demi memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019.

Ia mengaku menenangkan Megawati ketika Ketua Umum PDIP itu panik begitu mendengar ada sebagian purnawirawan mendukung Prabowo pada kampanye Pilpres tahun lalu—polarisasi politik dan militer yang brutal sejak 2014.

Bayangkan, katanya dengan nada getir, “ada orang yang memaki-maki Jokowi sebagai 'antek-Cina', 'PKI', 'anti-Islam', malah dijadikan menteri pertahanan.”

Jokowi tak cuma mengecewakannya, tapi juga membokongi para pemilihnya terutama dari kelompok relawan yang meyakini mantan Wali Kota Solo ini mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya relawan-relawan yang terhubung dalam aktivisme menurunkan Presiden Soeharto, mertua Prabowo, pada Mei 1998.

Pengunduran diri Soeharto, 22 tahun lalu, ditandai kasus penghilangan paksa, di antara peristiwa kekejaman lain, dan Prabowo adalah bagian para perwira tinggi dalam pusaran perubahan kekuasaan itu.

Ada sembilan orang diculik yang kembali dengan selamat, termasuk enam aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang bersaksi tentang pengalamannya disekap dan disiksa, terdokumentasi dengan baik dalam laporan media dan lembaga resmi negara.

Mereka adalah Aan Rusdianto, Andi Arief, Faisol Riza, Mugiyanto, Nezar Patria, dan Raharja Waluyo Jati. Bersama Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, dan Pius Lustrilanang, mereka dibawa ke Pos Komando Taktis Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.

Pelaku penculikan adalah satuan tugas dikenal ‘Tim Mawar’, yang lahir dari Grup 4/Sandi Yudha Kopassus, di bawah kendali sehari-hari Komandan Batalyon Infanteri 42 Mayor Bambang Kristiono (Akmil 1985).

Adapun atasan Bambang adalah Komandan Grup 4 saat itu Kolonel Chairawan Kadarsyah Nusyirwan. (Bambang mengajukan pensiun dini dan kini anggota DPR dari Fraksi Gerindra di Komisi Pertahanan. Chairawan, kini pensiunan jenderal bintang dua, diangkat oleh Menhan Prabowo sebagai asisten khususnya pada Desember 2019.)

Bersama 10 personel lain, dari berpangkat kapten hingga sersan satu, Mayor Bambang lewat Tim Mawar menjalankan operasi pengumpulan informasi serta mendeteksi “tindakan radikal dan ancaman keamanan,” menurut Pengadilan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta yang mengusut anggota Tim Mawar pada 1999.

Pengadilan itu memvonis 11 anggota Tim Mawar bersalah atas tindakan mereka merampas kemerdekaan melalui penangkapan, penahanan, dan penculikan kepada sembilan orang yang telah kembali, tetapi tidak untuk mereka yang hilang. Setidak-tidaknya, dalam kesaksian kepada tim penyelidik Komnas HAM yang digelar 2005-2006, ada empat orang lain yang diduga disekap di markas Kopassus, termasuk Herman Hendrawan, aktivis PRD yang diculik pada 12 Maret 1998.

Dalam gelombang penculikan oleh Tim Mawar yang berhenti terhadap Andi Arief pada akhir Maret 1998, anehnya, teman mereka, Petrus Bimo Anugerah hilang pada 1 April. Suyat juga hilang setelah diculik di Solo pada 13 Februari. Lebih misterius lagi Wiji Thukul yang kemungkinan dihilangkan pada akhir Mei 1998, sesudah Soeharto lengser. Mengapa?

Mengapa jika tujuan akhirnya menangkap Andi Arief, masih ada orang-orang yang dihilangkan? Mengapa ada yang kembali dengan selamat dan ada yang hilang—untuk tidak disebut mati?
Benarkah persaingan para perwira tinggi Angkatan Darat saat itu memengaruhi jalannya operasi? 
Apakah ada operasi di dalam operasi? 

Laporan kolaborasi ini—antara wartawan dan peneliti politik dan militer serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)—berusaha menggali dan menganalisis kembali dokumen-dokumen resmi negara, dokumen primer dan sekunder lain, serta mewawancarai sejumlah narasumber.

Laporan media terakhir yang mengulas secara ekstensif kasus ini adalah edisi khusus Tempo pada pekan kedua Mei 2013, yang menelusuri jejak Wiji Thukul dari 1995-1998.

Made Supriatma, peneliti independen, menulis untuk IndoProgress mengenai Tim Mawar pada Mei 2014. [Catatan redaksi: Made Supriatma termasuk salah satu tim kolaborasi untuk laporan ini.]

Tim Mawar kembali disebut media-media di Jakarta setelah peristiwa kekerasan berujung kematian sembilan orang antara massa pendukung Prabowo dan polisi-polisi Indonesia dalam demonstrasi menentang keputusan KPU memenangkan Jokowi di depan Gedung Bawaslu, Mei 2019.



Lawan dan Kawan: Memilih ‘si Orang Baik’

Pada Pilpres 2014, ruang redaksi media terbelah; sebagian publikasi arus utama menyatakan sikap dukungan terhadap Joko Widodo, secara terang-terangan lewat tajuk editorial maupun malu-malu, yang memandang Gubernur Jakarta itu mewakili harapan segar—yang kini terdengar naif—mampu memutus rantai kebal hukum terhadap para pelanggar HAM.

Ada politik ketakutan menilai Prabowo Subianto bisa kembali ke istana negara ketika sistem politik elektoral Indonesia semakin terpusat dikendalikan oligarki, yang pucuknya masyarakat-masyarakat Indonesia hanya ditawari pilihan terbatas lewat dua kandidat presiden. Jokowi, seorang pengusaha mebel dari Surakarta, saat itu dianggap mewakili rakyat kebanyakan; setidaknya perasaan umum ini tergambar ketika ia mengambil tawaran PDI Perjuangan menuju Jakarta pada 2012.

Sejak itu istilah relawan menjadi lazim dalam nomenklatur politik Indonesia, yang relasinya sangat cair di luar kader-kader partai politik, sebelum digantikan istilah buzzer politik dan banjir hoaks dalam panggung media sosial selama tiga tahun terakhir. Jokowi menyerap harapan relawannya ketika terbuka berkata mengenai kasus penghilangan orang dalam kampanye Pilpres 2014.

Di satu rumah relawan di kawasan Menteng, 9 Juni 2014, Jokowi berkata kasus masa lalu orang hilang dengan motivasi politik “harus ditemukan” oleh negara. 
“Bisa ketemu hidup atau meninggal. Masak 13 orang bisa ndak ketemu tanpa kejelasan?” “Wiji Thukul itu saya sangat kenal baik. Dia orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu,” ujar Jokowi.
Harapan itu ringsek. 

Pada Pilpres 2019 yang berbiaya nyaris Rp25 triliun, dua kandidat masih sama. Polarisasi tambah tajam. Narasi-narasi kampanye negatif, yang berpindah ke kendali para buzzer, masih ada yang memakai isu HAM sampai-sampai kubu Prabowo menanggapinya sebagai “kaset rusak yang diulang”.

Sebagai penggantinya adalah narasi “Pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”—satu pandangan yang mengandung kontradiksi besar. Pandangan ‘minus malum’ ini dipakai buat menghambat kampanye golput yang gencar di media sosial. Memilih ‘si orang baik’ ternyata sama buruknya.

Pada 23 Oktober, tiga hari setelah dilantik, duduk bersila di tangga depan Istana Negara, Jokowi mengumumkan 38 anggota kabinetnya. Prabowo Subianto, memakai batik motif parang dan gurda dominan cokelat-hijau, seketika berdiri dan mengulurkan salam hormat setelah disebut Jokowi sebagai menteri pertahanan.
 “Selamat pagi, Pak,” kata Jokowi selagi Prabowo kembali duduk bersila di anak tangga teratas, satu baris dengan Luhut B. Pandjaitan.
 “Saya kira tugas beliau...,” Jokowi meneruskan, “saya tidak usah menyampaikan. Beliau lebih tahu daripada saya."

Komplikasi Dewan Kehormatan Perwira

Di antara nama menteri yang diumumkan Jokowi, ada nama purnawirawan Jenderal Fachrul Razi, berusia 73 tahun, lulusan Akmil 1970, satu angkatan dengan Luhut Pandjaitan. Razi menjadi ketua Tim Bravo 5, jaringan relawan purnawirawan TNI yang terbentuk sejak 2014 lalu diaktifkan lagi pada 2018, demi mendukung Jokowi. Jokowi mengangkat Razi sebagai menteri agama, pos tidak lazim bagi militer yang biasanya jadi jatah politikus sipil.

Pos militer terakhir yang diisi Razi adalah Wakil Panglima TNI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Jabatan ini sudah lama dibekukan sejalan tuntutan reformasi di tubuh tentara karena selain dianggap tidak efektif juga hanya untuk mengisi hari tua perwira tinggi jelang pensiun. Jokowi mengaktifkannya lagi lewat sebuah peraturan pada Oktober 2019, dianggap sebagai solusi mengatasi surplus jenderal dan kolonel mengingat usia pensiun mereka, dalam UU TNI 2004, bertambah menjadi 58 tahun dari semula 55 tahun.

Dua puluh dua tahun lalu, dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Umum ABRI (1998-1999), Razi termasuk satu dari tujuh letnan jenderal yang menyidang Prabowo Subianto (Akmil 1974). Lewat mekanisme yang tidak lazim bernama Dewan Kehormatan Perwira alias DKP (Razi menjadi wakil ketuanya), sidang itu memutuskan Prabowo “diberhentikan dari dinas keprajuritan.”

Dokumen keputusan DKP pada 21 Agustus 1998 memuat penilaian bahwa Prabowo salah menafsirkan perintah atasannya sehingga, secara lisan dan tertulis, menginstruksikan anak buahnya di Grup 4 Kopassus melakukan “operasi khusus” penculikan terhadap sembilan aktivis. Prabowo tidak melaporkan operasi itu kepada Panglima ABRI, menurut keputusan DKP.

Saat itu Pangab dijabat Jenderal Feisal Tanjung (1993-1998) dan Jenderal Wiranto (1998-1999). Prabowo baru melaporkannya pada awal April 1998 atas desakan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Zacky Anwar Makarim, tulis dokumen. (Feisal Tanjung meninggal pada 18 Februari 2013.) Wiranto membentuk DKP dengan ketuanya Kepala Staf AD Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo (Akmil 1970).

Ia beranggotakan empat jenderal bintang tiga, salah satunya Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1973) dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Teritorial ABRI. (Jabatan ini dihapus sejalan reformasi.) Seorang pensiunan jenderal bintang empat berkata kepada kami bahwa rivalitas antara para perwira tinggi, termasuk antara Wiranto dan Prabowo, di orbit terdalam Soeharto menjelang kejatuhan Orde Baru “tidak bisa dinafikan lagi.”

Kasus penculikan membuat reaksi dunia cukup keras menyoroti institusi pasukan elite TNI, membuat Amerika Serikat, Australia, dan Inggris menarik bantuan pelatihan militernya, ujar dia. Alasan kenapa memakai mekanisme khusus berupa DKP, bukan mahkamah militer tinggi, untuk menyidangkan Prabowo adalah sederhana.
“Prabowo waktu itu dilindungi oleh statusnya sebagai mantu Pak Harto. Sehingga keluarlah keputusan memberhentikan dari militer secara hormat. Itu bahasa halusnya,” katanya.
“Tapi, bagaimanapun, itu adalah pemberhentian karena kasus (penculikan) ini masuknya ke pelanggaran HAM berat,” ia menegaskan.
Dalam kesempatan-kesempatan terbuka sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, yang didirikan bersama adiknya Hashim Djojohadikusumo pada 2008, Prabowo sangat jarang menyinggung peristiwa masa lalu yang terus membayanginya itu. Penjelasan paling terbuka Prabowo selama ini pernah dikemukakannya saat berada di Bangkok pada 1999 ketika bersedia diwawancarai empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari majalah Panji, yang kemudian dirilis dalam edisi 27 Oktober 1999. Prabowo merasa Wiranto seharusnya tahu situasi saat itu.
“Begitu dia jadi Pangab, saya juga laporkan sedang ada operasi intelijen,” katanya. “Perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Dalam DKP saya kemukakan perintah pengamanan itu tidak rahasia. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.”
 “Saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lain juga menerima. Daftar itu sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum.”

“Kita dapat briefing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai, ‘Sudah dapat belum Andi Arief?’ Tiap hari ditanya,” ujar Prabowo.

Linimasa Penculikan dan Kasus Orang Hilang 

Penyelidikan Komnas HAM 2005-2006 tentang kasus penghilangan orang secara paksa (dokumennya setebal 1.075 halaman) menyimpulkan kemungkinan logika operasi Tim Mawar bekerja di bawah struktur komando daerah militer (Kodam), sehingga ditengarai ada praktik “peminjaman” melalui bawah kendali operasi (BKO) di dalam unit-unit lebih kecil dan efektif di lapangan.

Temuan lain adalah Tim Mawar dan unit-unit pendukung lainnya berada di bawah struktur keamanan tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tim Mawar menculik para aktivis secara maraton sejak Februari 1998 setelah peristiwa ledakan di unit 510 rumah susun Tanah Tinggi di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998.

Pada 13 Februari, Suyat—yang kakinya terluka—diculik di lingkungan rumah orangtuanya di Solo, diduga sempat dibawa ke Kandang Menjangan, markas Grup 2 Kopassus. Lalu ada Herman Hendrawan (diculik pada 12 Maret), Petrus Bimo Anugerah (hilang sejak 1 April), dan Wiji Thukul (kemungkinan hilang akhir Mei 1998). Herman, menurut aktivis yang dipulangkan selepas diculik, sempat disekap di Markas Kopassus. Begitu pula Yani Afri, yang berkata “sudah disekap selama sekitar setahun” bersama Sonny, menurut keterangan Faisol Riza.

Yani juga berkata kepada teman satu lokasi penyekapan di Cijantung bahwa ia pernah bersama Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri di lokasi yang sama. Yani dan Sonny, keduanya pendukung PDI pro-Megawati, diambil di kawasan Kelapa Gading pada 26 April 1997 lalu diinterogasi dan ditahan satu malam di Kodim Jakarta Utara. Keduanya sempat dilepas tetapi secepat kemudian ditangkap lagi dan, setahun kemudian, justru berada dalam satu lokasi penyekapan di Cijantung dengan para korban penculikan yang dipulangkan.

Peristiwa serupa dialami Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri, keduanya pengusaha asal Ambon dan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan. Mereka terakhir terlihat di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada hari Pemilu 29 Mei 1997. Bersama mereka, hilang juga Ismail, sopir pribadi keduanya. 

Korban lain yang dikumpulkan Munir Thalib dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) adalah Abdun Nasser, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, dan Yadin Muhidin; keempatnya hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998 di lokasi-lokasi pembakaran di Jakarta dan Tangerang. 
Sandyawan Sumardi, anggota tim gabungan pencari fakta tentang kerusuhan Mei 1998, menerangkan kepada kami bahwa banyak pihak berperan sebagai massa aktif maupun provokator demi mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan dari peristiwa itu.
“Ada keterlibatan dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga ada keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam tubuh ABRI,” demikian temuan tim, mencatat Panglima Komando Operasi Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin “tidak menjalankan tugasnya sebagaimana seharusnya” demi mencegah kerusuhan semakin meluas. (Sjafrie, kini pensiun jenderal bintang tiga, diangkat Menhan Prabowo sebagai asisten khususnya pada Desember 2019.)
Selain ketiga belas orang hilang, ada korban tewas bernama Leonardus Nugroho Iskandar atau Gilang, pengamen jalanan yang vokal dalam demonstrasi anti-rezim militer Soeharto di Solo. Mayat Gilang ditemukan di tengah hutan Magetan pada 23 Mei 1998, dua hari setelah Presiden Soeharto lengser. [Catatan redaksi: Laporan mendetail mengenai operasi penculikan oleh Tim Mawar termuat dalam artikel terpisah berikutnya.]



Korban-korban ini, baik yang kembali maupun yang hilang, berada dalam tegangan dua agenda politik penting di mana Soeharto berupaya mempertahankan kekuasaannya: Pemilu 29 Mei 1997 dan Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998. Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, memerintahkan pada 25 Maret 1996 untuk menggelar Operasi Mantap demi menjaga “stabilitas nasional.”

Pada 27 Juli, massa bayaran Soerjadi dengan bantuan tentara merebut kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jl Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Peristiwa ini dipakai dalih pemerintah bahwa Partai Rakyat Demokratik—disebut Soeharto sebagai “kelompok bermental makar”—sebagai pelakunya.

Perburuan terhadap anggota-anggota PRD dan organisasi terafiliasi dengannya digencarkan lewat instruksi Feisal Tanjung dan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo. Kurun itulah pemimpin legal PRD ditangkapi di sejumlah daerah. Mereka yang selamat bersembunyi, termasuk Wiji Thukul yang menyamar ke Pontianak. PRD menarik kader-kader tersisa mereka ke Jakarta, kelak mengantarkan Herman Hendrawan dan Petrus Bimo Anugerah dari Surabaya serta Suyat dari Solo ke ibu kota.

Nantinya, PRD membentuk organisasi bawah tanah, lewat sejumlah sayap kolektif dan sel-sel komunikasi terputus melalui jaringan kurir mereka, setelah ratusan aktivisnya bertemu di sebuah hotel di Jakarta Pusat pada Agustus 1997. Mereka menyimpulkan partai harus segera meradikalisasi massa—dari mahasiswa sampai petani, dari buruh hingga kaum miskin kota—serta menjalin aliansi dengan para kader parpol oposisi demi secepatnya melengserkan Soeharto. [Catatan redaksi: Persaingan elite politik dan militer serta kiprah ‘PRD bawah tanah’ selama 1997-98 termuat dalam artikel terpisah.]

Memasuki kuartal pertama 1998, institusi ABRI mengganti pucuk pimpinan elite militernya. Wiranto, saat itu jenderal bintang empat, menjadi Panglima ABRI terakhir di masa Orde Baru. Ia diangkat pada Februari 1998. Posisi-posisi strategis lain seperti Danjen Kopassus masih dipegang oleh Prabowo Subianto sebelum dialihkan kepada Mayjen Muchdi Purwopranjono pada 21 Maret 1998. Prabowo naik pangkat sebagai Letjen menjadi Panglima Kostrad.

Pada periode itu Pangdam V Jaya dikendalikan oleh Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. (Dewan Kehormatan Perwira mencopot jabatan Danjen Kopassus Muchdi Pr., tetapi dinas militernya tetap.) Mereka patut dimintai kesaksiannya karena, sesuai garis tanggung jawab komando, mereka seharusnya tahu tetapi memilih menutupi atau mengaburkan peristiwa penghilangan orang, menurut dokumen Komnas HAM. [Catatan redaksi: Periode Prabowo menjadi Danjen Kopassus pada Desember 1995-Maret 1998 dibahas dalam artikel terpisah.]

Tim penyelidik Komnas HAM memanggil 34 saksi dari TNI, tetapi hanya Letjen Yusuf Kartanegara, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Dewan Kehoramatan Perwira, yang bersedia menyambut panggilan itu. (Kartanegara menjadi anggota dewan pertimbangan presiden dalam periode pertama pemerintahan Jokowi.) Komnas HAM mengirim pemanggilan paksa kepada para saksi kunci dari TNI, termasuk Wiranto, Feisal Tanjung, Prabowo Subianto, Sjafrie Samsoeddin, dan Chairawan Nusyirwan, pada 3 Juli 2006, tetapi mereka menolak hadir.

Zoemrotin Susilo, yang berusia 57 tahun saat menjadi salah satu anggota tim penyelidik dan kini berusia 70 tahun, berkata kepada kami bahwa orang-orang yang menolak bersaksi “memilih mengamankan masa depan karier dan politik mereka” dari peristiwa masa lalu tersebut. Tim merampungkan laporan penyelidikannya pada 30 Oktober 2006.



Komitmen yang Menghantui: Reformasi Dikorupsi Sampai 13 tahun, laporan akhir tim penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa tak pernah disentuh oleh negara. Ia melewati dua kali pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama pemerintahan Jokowi.

Pada 28 September 2009, Panitia Khusus Orang Hilang yang dibentuk DPR merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc (sementara tapi mendesak) dan meminta pemerintah serta pihak terkait untuk segera mencari 13 orang yang dinyatakan hilang oleh Komnas HAM.

Jaksa Agung menolak bolak-balik berkas penyelidikan Komnas HAM dengan dalih “tidak lengkap” tetapi tanpa menjelaskan bagian-bagian mana saja yang dianggap kurang, ujar Sriyana, sekretaris tim.
“Tugas Jaksa Agung yang seharusnya menggenapi penyelidikan dengan mekanisme penyidikan mereka, bukan terus-terusan mengembalikan laporan tanpa alasan,” tambah Sriyana, kini bekerja di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kepada kami.
Pada akhir September 2019, protes anak-anak muda bertajuk “Reformasi Dikorupsi” merebak di Jakarta dan kota-kota lain di luar Jawa. Mayoritas mahasiswa dan pelajar ini, berusia antara 16-22 tahun, menyerukan tujuh tuntutan, termasuk mendesak pemerintahan Jokowi menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia.

Sementara demonstrasi mereka dihadapi lewat brutalitas polisi, Jokowi memilih melanjutkan agenda memindahkan ibu kota baru ke Kalimantan, kawasan yang mengalami krisis ekologis, ditaksir menelan anggaran Rp466 triliun di lahan seluas 181 ribu hektare.

Sebelum pelantikan presiden dan kabinet baru, Oktober 2019, Jokowi dan Prabowo bertemu di Istana. Setelah pertemuan, Prabowo terbuka mendukung rencana tersebut. (Dalam laporan Koalisi pada Desember 2019, Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, memiliki lahan konsesi di kawasan ibu kota baru.)

Jokowi menjalankan roda kedua pemerintahannya dengan menggandeng kolega-kolega koalisinya dan merangkul oposisi ke pos-pos menteri strategis. Pemerintahannya kini ditopang oleh nyaris 75 persen kursi koalisi di DPR. Ia ingin agenda utamanya, termasuk percepatan investasi lewat RUU Omnibus Law, bisa cepat disahkan tanpa hambatan bertele-tele di parlemen.

Waktu tak pernah berkhianat. Waktu juga yang menguji komitmen seseorang. Pada periode pertamanya, Jokowi mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam yang, di masa akhir jabatannya, secara keras menghadapi protes anti-rasisme di seluruh Papua, provinsi paling bergolak di Indonesia tapi paling sering dikunjungi Jokowi ketimbang para presiden sebelumnya.

Purnawirawan bintang empat lulusan Akmil 1968 ini mengalami penusukan tak terduga saat kunjungan kerja di Banten, 10 hari menjelang pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin. Jokowi tetap memakai jasa Wiranto sebagai ketua dewan pertimbangan presiden pada 12 Desember 2019.

Sekarang Jokowi mengangkat Prabowo di pos kementerian yang anggarannya terbesar di antara kementerian lain. Pada awal tahun, bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming, ia menyambut Prabowo dan Didit Prabowo di Istana Yogyakarta. Jokowi mengunggah foto mereka di meja makan: "Tamu pertama di tahun 2020."
____


Laporan ini disusun berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Kontras.
Laporan berdasarkan wawancara dengan sejumlah narasumber terkait proses penyelidikan peristiwa, analisis dokumen resmi negara, dokumen-dokumen primer dan sekunder lain, serta pencarian informasi di media massa.
Laporan ini adalah bagian satu dari enam artikel yang kami siapkan untuk dirilis selama pekan-pekan berikutnya.

Reporter: Tim Kolaborasi Tirto
Penulis: Fahri Salam Editor:
Made Supriatma

Jokowi menguburkan kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998.