Test Footer 2

Kamis, 14 Mei 2015

Kamisan, Satu Jalan Menjaga Harapan

, CNN Indonesia | Kamis, 14/05/2015 14:42 WIB 
 
Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. Aksi Kamisan yang ke-371 dan bertepatan kepemimpinan pemerintah baru Joko Widodo, mereka meminta dan menagih janji Jokowi terkait penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat. (Safir Makki) 
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Delapan tahun sudah Ruyati Darwin melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Selama itu pula perempuan 67 tahun itu didiamkan oleh pemerintah. Sebuah penantian yang hingga kini belum juga membuahkan hasil.

Ruyati adalah ibu dari Teten Karyana yang merupakan salah satu korban dalam kerusuhan Mei 1998. Teten diperkirakan meninggal dalam kebakaran Yogya Plaza (kini dibangun lagi dengan nama Mal Citra Klender), Klender, Jakarta Timur, pada 17 tahun silam.

Masih terang dalam ingatan Ruyati hari di saat Teten hilang. Saat itu, usia Teten 32 tahun. Ia anak sulung dari enam bersaudara. Pekerjaannya adalah guru bahasa Inggris, ia tulang punggung keluarga. Tak mengherankan, karena sang ayah baru saja dipecat pada tahun sebelumnya.

"Saksi mata melihat Teten masuk ke dalam mal untuk menyelamatkan seorang bocah yang terjebak dalam kebakaran di lantai dasar mal. Anehnya, dompet Teten ditemukan dalam keadaan utuh, tanpa terbakar," kata Ruyati kepada CNN Indonesia, Kamis (14/5).

Kejanggalan tersebut membuat Ruyati merasa gemas. Apalagi, pemerintah belum mengakui Tragedi Mei 1998 hingga kini. Pemulihan keluarga korban dan pertanggungjawaban pemerintah menjadi perjuangan panjang yang harus dilalui.  
 
Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. Aksi Kamisan yang ke-371 dan bertepatan kepemimpinan pemerintah baru Joko Widodo, mereka meminta dan menagih janji Jokowi terkait penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat. (CNN Indonesia/Safir Makki)  
 
Getol Kamisan bukanlah hal yang sepele bagi Ruyati. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, Ruyati harus merelakan beberapa rupiah yang berarti baginya sebagai biaya transportasi dan makan.

"Pastinya makan biaya. Banyak juga kawan-kawan saya yang berhenti Kamisan karena masalah ekonomi. Namun, saya tetap melakukannya karena menganggap ini panggilan jiwa," katanya.

Setiap Kamisan, Ruyati harus merogoh koceknya untuk mengeluarkan Rp 25 ribu. Jarak dari rumahnya yang berlokasi di Penggilingan, Jakarta Timur ke Istana Negara, Jakarta Pusat juga cukup menyita waktunya.

"Lumayan juga biayanya. Apalagi, saya sekarang hanya usaha kecil-kecilan dan suami juga penghasilannya tidak tetap. Andai Teten masih hidup, pasti dia masih jadi tulang punggung keluarga," kata Ruyati mengenang.

Trauma dan rasa rindu yang mendalam terhadap sang anak membuat Ruyati menitikkan air matanya ketika ia mengingat Teten. Mal Citra Klender menjadi tempat yang ia benci untuk didatangi. 
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150514144226-12-53272/kamisan-satu-jalan-menjaga-harapan/

0 komentar:

Posting Komentar