Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 19 Februari 2014

SOYANG [Opereta Anak-anak]

oleh: Hersri Setiawan

“SOYANG”
“folklore” teater anak desa
satire sosial “human trafficking” masa kini

Pengantar

Dalam Surat Budaya 6, “Tentang Lekra – apa dan bagaimana”, ketika saya menyinggung tentang hubungan yang tidak terpisahkan antara seni dan kehidupan, antara “bahasa seni” dan “bahasa perjuangan hidup”, saya ajukan sebagai contoh permainan teatral anak-anak, “Soyang”. Barangkali karena alasan itulah (alm) Buyung Saleh, alias Prof. Saleh Puradisastra, memberi padanan arti untuk kata ‘folklore’ dalam kata Sunda ‘kabinangkitan rakyat’.
Menurut hemat saya “Soyang”, permainan teatral anak-anak tani di desa-desa di Jawa ini, termasuk dalam apa yang disebut sebagai ‘kabinangkitan rakyat’ itu. Ia bukan sekedar kisah, adat, perilaku, kepercayaan rakyat yang dilestarikan secara lisan. Ia merupakan suatu ‘kabinangkitan’, dari mana rakyat bisa mencari dan menemukan acuan nilai-nilai hidup.

          Permainan teatral anak-anak perempuan tani ini saya turunkan sekarang,  sekaligus sebagai pasemon untuk rangkaian kisah-kisah “human trafficking”, khususnya “women trafficking, yang marak – dan bahkan mengalami “booming” – di sepanjang masa rezim Orba dan Orba-ba Esbeye -Boediono sekarang ini. Ekspor TKI dan TKW! Ekspor Pahlawan Devisa! (HidupPahlawan Devisa!)  Sebutan apa pun hendak diberikan oleh rezim kepada “kegiatan ekonomi” ini, tapi bagi saya tak lain dan tak bukan adalah perdagangan budak di jaman modern. Tak ubahnya seperti pemerintah kolonial dahulu mengirim budak-budak dari Jawa ke New Caledonia, Afrika Selatan, Ceylon atau Srilangka dan penjuru dunia yang lain. Ketika calo-calo pencari tenaga kerja atau “kuli kontrak” malang-melintang di desa-desa, terkadang dengan cara menculik dan dilarikan dengan “mobil hitam”. “Montor Duyung” adalah hantu di siangbolong yang lebih menakutkan ketimbang “gendruwo” atau kuntilanak di malam hari.  
  
Sinopsis
“Soyang” dimainkan oleh sekelompok anak perempuan dan laki-laki, di sebuah halaman pada petang hari, ketika bulan purnama sedang berkembang. Dua orang anak yang paling besar dari mereka bermain sebagai pemain utama protagonis dan antagonis; yang seorang berperan sebagai  janda tanimiskin, dan yang lain berperan sebagai janda tanikaya atau tuan-tanah.
Pada suatu petang Janda Tanimiskin itu datang ke rumah Janda Tanikaya dengan membawa sekian banyak anak-anaknya, laki-laki dan perempuan. Maksud kedatangan si EmakJanda  untuk menggadaikan anak-anaknya itu kepada si Ibu Janda. Bulan berganti bulan tahun berganti tahun, sekian lama kemudian, si Emak Janda miskin datang kembali  hendak menebus kembali anak-anaknya. Tapi ditolak oleh si penerima gadai.
Adegan ini dilukiskan dalam permainan teatral yang lain "Ula Banyu" (Ular Air), jadi-jadian dari si Janda Tanimiskin, yang berhadap-hadapan dengan seorang Raksasi, jadi-jadian dari si Janda Tanikaya. Ketika permainan berakhir tidak semua anak-anaknya berhasil  dibebaskan,  tapi terkadang bahkan si Emak sendiri pun mati dimangsa Raksasi yang mengamuk, menerkam ke kiri dan ke kanan.


SOYANG
opereta anak-anak tani di bawah terang purnama

          "Soyang" salah satu bentuk folklore
          Sayang, permainan dan lagu "Soyang", seperti juga banyak dolanan anak-anak di bawah terang bulan di desa lainnya, sekarang pasti tidak pernah lagi kita saksikan dan dengar. Barangkali anak-anak jaman sekarang malah sudah tidak lagi tahu, apakah itu "soyang" dan dolanan serta lagu seperti apakah itu! Jangankan anak-anak, bahkan "orang-orang tua" sebaya saya sekalipun!
Mudah-mudahan jika mereka itu tidak lagi sempat menonton atau memainkan "Soyang", sambil meresapi keindahan malam desa di bawah sinar bulan, adalah karena tersebab oleh kesibukan mereka belajar atau bekerja. Bukan karena, bagi anak-anak, kepekaan gendang telinga mereka yang sudah menjadi tumpul oleh suara-suara "kemajuan jaman"; dan, bagi orang-orang tua, oleh karena kepekaan hati nurani mereka tidak tergetar lagi oleh satire desa yang lembut padahal tajam.
          Di atas sudah saya sebutkan, bahwa dolanan anak-anak bernama "Soyang" ini, seperti semua dolanan-dolanan lainnya, termasuk salah satu yang disebut dalam satu rangkuman istilah “folklore”. Di dalam semua folklore "tersembunyi" segala sisi pernyataan pergulatan hidup masyarakat. Ada di sana pernyataan keindahan dan seni, kiat dan ilmu, pandangan hidup dan kebijaksanaan. Orang bisa belajar dari legenda dan babad, tapi juga dari folklore dalam bentuk pernyataannya yang bagaimanapun.
          Dalam buku kumpulan dolanan anak-anak yang pernah terbit di jaman pemerintahan Bala Tentera Dai Nippon di Jawa, yaitu oleh "Djawa Gunseikanbu Djakarta, 2603" (tahun Sumera untuk 1943), lagu dolanan anak-anak ini diterbitkan di bawah nama "Sonyang". Begitu juga penamaan yang terdapat dalam buku himpunan dolanan anak-anak oleh Pak Ar, nama pedengan dari seorang tokoh pendidik Arintoko, di Yogyakarta  dalam awal tahun 50-an.
Perbedaan nama "soyang" dan "sonyang" tidak saya utamakan, karena mengingat kesamaannya baik di dalam bentuk maupun di dalam isi pesan dolanan ini. Perihal inilah yang buat saya lebih patut diutamakan. Bahkan juga apakah arti kata "soyang" atau "sonyang" itu! Beberapa kamus kata-kata Jawa yang saya buka (Th. Pigeaud, W.J.S. Poerwadarminta, P. Jansz, dan juga Hans Herrfurth dan S. Prawiroatmodjo), semua tidak mempunyai lema kata ini. Kata yang ada, dan dekat dengannya, ialah "sonya", yang berarti "sunyi" atau "suwung", dan "somyang" atau "sumyung", yang berarti sebaliknya: "gaduh".
Saya tidak hendak mendesakkan tafsir tentang hubungan atau perubahan kata-kata tersebut, antara yang satu dan yang lain. Sementara itu dalam banyak lagu dolanan anak-anak Jawa memang sering kita menjumpai kata-kata yang "tak bermakna", selain terkadang semata-mata sebagai semacam "sampiran" bunyi dan irama. Sebagai contoh, dalam lagu dolanan yang lain, misalnya "Sar-sur Kulonan", apa itu arti kata "sar-sur"? Tentu saja bisa kita tafsir dengan jalan kérata-basa atau jarwa dhosok atau volksetymologie: "sar-sur" ialah kata jadian dari kata berulang yang dimodifikasikan (dwilingga salin-swara) "sasar-susur", yang berasal dari "(ke)sasar" karena "(ke) susu(r)", salah arah atau salah maksud karena tergesa-gesa. Kata lain lagi, misalnya dalam lagu dolanan "Ris-irisan pandhan". Di sana ada kata "madu jalé, lé, lé, lé, manuk podhang … dst". Arti kata "madu" jelas, "manuk" ialah "burung", "podhang" ialah kepodang, sejenis burung. Tapi apa itu arti "jalé"? Dalam "sluku-sluku bathok", misalnya, ada kata "bathoké éla-élo". Tempurungnya "éla-élo", apa itu artinya? Begitulah dan banyak lagi semacamnya.

          Syair dan lagu "Soyang"
          Dolanan teatral bocah bernama "Soyang" ini didukung oleh sejumlah tak terbatas pemain anak-anak. Tapi syarat yang tidak boleh tidak ada, yaitu adanya dua anak perempuan – seperti sudah saya sebut di atas. Dua anak inilah pemain-pemain utama lakon: protagonis dan antagonis. Anak yang satu, sebutlah Pemain I, yang memerankan tokoh perempuan desa yang kaya duduk di tempat ketinggian, misalnya pada undakan atau baturan rumah. Tentunya ini untuk melukiskan, bahwa ia seorang perempuan terpandang di desa. Anak perempuan yang satu lagi, sebutlah Pemain II, memerankan tokoh perempuan tani yang miskin, berdiri di depan Pemain I, seakan-akan di antara mereka berdua dipisahkan oleh pintu rumah yang tertutup. Di belakang Pemain II ini berdiri sekian banyak anak-anak, yang memang memainkan peranan anak-anak, berderet-deret membentuk semacam antrian panjang ke belakang.
          Mereka, Pemain II dan anak-anaknya itu, menyanyikan bersama-sama sambil melangkah maju-mundur di depan Pemain I. Di bawah ini saya tuliskan syair lagu "Soyang". Adapun nada-nada lagunya saya tulis berdasar notasi gending Pak Ar dalam pélog, yang dengan berbekal harmonika-mulut saya sesuaikan dengan nada-nada Barat (atau "doremifasol" atau "solfasilami", kata orang). Terjemahan syair dan keterangan tentangnya menyusul di bawah:

          0      1     .     3     .     .     1     3
                  So - yang               so-yang
          4     5     4     3     4     5     4     3     .
             ponja   pan - ji   'dul   se-ma-rang
          3     3     1     .            
          ya-ya    bu
          3     1     3
          ya-ya    na
          4     5     5     4     5     3     0     4     5     5     4     5     3
          ma- ----nuk---   in -  dra        ma-    ----nuk---      in-dra
          3     3     4     5     .      4     5     1     3
          kawan    a-tus             kawan   da - sa
          3     3     3     1
          é - wa    é  - wu
          3     3      1     3     ,     0     //
          é - wa  jengglèng

Nyanyian bersama Ibu dan anak-anaknya ini disahut oleh Pemain I:

          0     4     5     .     4     5     3     .     0     4     5     .     4     5     3
               Sin - ten------       ni-ku                sin - ten--------      ni-ku,
          3     3     4     5     4     5     1     3
dhodhok   dhodhok   lawang   kori?

Pemain II menjawab:

          0     4     5     .     3     5     4     .     0     4     5     .     3     5     4
              Ing - gih-------      ku-la                ing - gih------      ku-la,
          1     1     4     3     3     1     1     7     .     0     //
          kèngkèna-né    kanjeng   ra-ma
         
          Nyanyian silih berganti berhenti sementara, digantikan dengan dialog panjang antara Pemain I dan Pemain II, sepanjang-panjang ketangkasan dua Pemain itu menyusun konflik-konflik kisah. (Sekedar sebagai contoh isi dialog pada adegan ini akan saya kemukakan di bawah). Sesudah dialog panjang berakhir, Pemain II pulang tanpa diikuti anak-anaknya.
          Pergelaran berhenti sebentar.
          Yang terlihat memang terjadi hiaat. Kekosongan. Tidak ada suara nyanyian. Tidak ada gerak-gerik permainan. Anak-anak berhenti bermain, berubah ke suasana canda dan gurau, kritik-mengritik tentang cara menyanyi atau bermain, sambil mengipas-kipas diri dari peluh yang membasahi badan.
          Tapi hiaat itu, disedari atau tidak, ternyata merupakan kekosongan dramatik. Di balik kediamannya puncak lakon segera akan dimasuki. Ketika permainan dimulai lagi, nyanyian bersama lagu dengan kata-kata di atas berulang kembali. Tapi kemudian disusul dengan gugatan Ibu,
Pemain II:

0     4     5     .      4     5     3     .     0     4     5     .     4     5     3
               bo - ten -------     tri-ma                bo - ten -------    tri - ma
          3     3     4     5     4     5     1     3     0     //
          a - nakku    di - si - ya    si   - ya …

                   tidak terima, tidak terima
                   anakku diperlakukan buruk

          Dua kalimat lagu di atas dapat diulang-ulang sekehendak Pemain II, dengan baris yang kedua diubah-ubah, bergantung pada kreativitas dia menyusun, misalnya:

          boten trima boten trima
          anak lanang dibebarang
          anak wédok dicecenthok

                   tidak terima, tidak terima
                   anak lelakiku dianggap barang
                   anak perempuanku diperhina 

          Di atas sudah diutarakan tentang arti kata "soyang" atau "sonyang" yang tidak jelas. Begitu juga kata-kata "yaya bu" dan "yaya na". Bisa jadi ini memang sekedar sampiran bunyi dan lagu. Tapi boleh jadi memang kata-kata yang mengandung arti, yaitu: "yaya [i]bu" dan "yaya [ré]na". Kata "yaya" atau "yayah", ialah kata Kawi untuk "ayah", dan "ibu" atau "réna" ialah kata Kawi untuk "ibu" atau "istri". Bahasa Kawi mengenal kata majemuk "yayah réna" yang berarti "ayah ibu". Barangkali adanya kata-kata itu di dalam syair, yang justru di sana pula ditempatkannya, menjadi semacam ungkapan kata-kata sesambat seseorang ketika menghadapi malapetaka atau penderitaan.

Kata "ponja-panji", yang terkadang berganti dengan "jatiwangi" atau "batik wangi", jelas penyebut nama tempat, mengingat kata-kata berikutnya yang berbunyi "[ki]dul Semarang" atau "selatan Semarang". Dolanan "Soyang" atau "Sonyang", dengan demikian, lahir sesudah sebuah tempat bernama "Semarang" telah lahir. Ini tidak menjadi soal, mengingat bahwa Semarang memang sudah dikenal pada masa para wali (akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16).
Kata "éwa éwu" yang  di tempat lain "éwa éwo", mungkin juga kata yang mengandung arti "[ma]èwu-èwu" yaitu "beribu-ribu" atau menunjuk pada jumlah [entah apa] yang ribuan banyaknya. Adapun "jengglèng" ialah sepatah kata onomatopea yang melukiskan bunyi kekerasan yang saling berbenturan.

          Terjemahan syair dolanan ini sebagai berikut:

                   Soyang Soyang
                   Ponjapanji selatan Semarang
                   yaya bu yaya na
                   Burung dewata burung dewata
                   Empat ratus empat puluh
                   ribuan ribuan
                   jengglèng!

          Jalannya dolanan dan lakon         
          Bersamaan dengan gema suara paduan nyanyian melagukan kata "jengglèng", barisan "ular" yang berkepala Pemain II itu berhenti beberapa langkah di depan Pemain I. Lalu disusul dialog dalam nyanyian antara Pemain I dan Pemain II, semuanya masih berdiri, seakan-akan pintu rumah masih tertutup. Pemain I di dalam rumah duduk dengan anggun. Pemain II dan anak-anaknya berdiri di depan pintu, dengan wajah-wajah cemas menanti apa yang akan terjadi.
Pemain I menyahut bertanya dalam nyanyian:

          Siapa itu siapa itu
          Yang mengetuk-ketuk daun pintuku?

Pemain II menjawab:

          Inilah sahaya inilah sahaya
          suruhan ayah anak-anak sah'ya

Pemain I menyahut, dalam nyanyian, dengan nada-nada sama seperti nyanyian Pemain II, ganti-berganti:

                   Mbok nggih mlebet, mbok nggih mlebet
                   lawang kori sampun menga
          Silakan masuk, silakan masuk
          pintu rumah sudah dibuka

Pemain II

                   Boten ajeng mlebet, boten ajeng mlebet
                   Yèn boten kalih sampéyan
          Tidak hendak masuk, tidak hendak masuk
          Jika tidak bersama Anda         
         
          Setiap dialog perbantahan ini berakhir, anak-anak menyahut dengan senggakan:

éwa-èwu éwo jengglèng,
dan disusul teriakan tanpa lagu:
Kakang Génjung Sélandana!

          Lalu Pemain I berdiri, seolah-olah hendak membawa tamu-tamunya masuk rumah. Pemain I duduk kembali, tetap di tempat ketinggian. Pemain II di depannya dengan sekian banyak anak di belakangnya masih tetap berdiri. Kembali dialog perbantahan terdengar dalam nyanyian dengan nada-nada lagu yang sama:

Pemain I:

                   Mbok nggih lenggah, mbok nggih lenggah
                   klasa pasir 'pun gumelar
          Silakan duduk, silakan duduk
          Tikar halus sudah tergelar

Pemain II:
                   Boten ajeng linggih, boten ajeng linggih
                   Yèn boten kalih sampéyan
          Tidak hendak duduk, tidak hendak duduk
          Jika tidak bersama Anda

Senggakan Anak-Anak menyahut, seperti di atas.

Pemain I:
                   Mbok nggih nggantèn, mbok nggih nggantèn
                   apu gambir 'mpun cumawis
          Silakan makan sirih, silakan makan sirih
          kapur gambir telah tersedia

Pemain II:
                   Boten ajeng nggantèn, boten ajeng nggantèn
                   Yèn boten … dst.

          Demikianlah dialog perbantahan bisa diteruskan, selama dua pemain utama itu masih bisa menemukan kata untuk saling disilang-selisih dan diperbenturkan, hingga akhirnya disudahi bunyi "jengglèng", suara senggakan keras sekian banyak anak-anak itu. Sesudah perbantahan dalam nyanyian selesai, dialog diteruskan tanpa lagu.
Isi pembicaraan dialog lugas ini tentu saja Pemain I menanya Pemain II, siapa dia sejatinya dan apa maksud kedatangannya dengan membawa sekian banyak anak. Dari jawaban Pemain II kita mendengar, bahwa dia seorang petani miskin dengan banyak anak. Suami Pemain II, ayah anak-anak itu, menyuruhnya untuk membawa anak-anak mereka dan menggadaikan mereka pada Pemain I. Sebelum Pemain I menyatakan kesediaan menerima gadai, ia menanyakan nama masing-masing anak. 
Pemain II menyebut nama-nama mereka, semuanya terdiri dari nama-nama perkakas kerja, yang anak perempuan nama-nama peralatan dapur dan rumahtangga, misalnya Irus, Siwur, Luweng dan sebagainya; dan yang anak laki-laki nama-nama alat-alat berladang dan sawah, misalnya Bapang, Garu, Gejig dan sebagainya.
Lalu dialog diteruskan,
          Pemain I: "Kamu rela, kalau anak-anakmu kukasih makan satu kali satu hari, dengan sekepal nasi jagung dan seteguk air minum?"
          Pemain II: "Terserah Anda saja!"
Berkata begitu ia lalu berdiri, dan meninggalkan anak-anaknya yang sudah tergadai. Pemain I berdiri. Dengan suara galak dipanggilnya anak-anak itu seorang demi seorang, diberitahukannya tugas kewajibannya sesuai dengan nama masing-masing. Selesai memberikan perintah bekerja pada semua anak gadai itu, suara paduan lagu "Soyang" kembali mengalun. Sampai pada suara "jengglèng" dan nyanyian berhenti, Pemain II datang kembali.
Dialog dalam nyanyian berulang, tapi kalimat
inggih kula, inggih kula
kèngkènané kanjeng rama
          diubah menjadi:
inggih kula, inggih kula
ajeng nebus anak kula!
          inilah aku, inilah aku
hendak menebus anak-anakku!

Pemain I tidak mengijinkan anak-anaknya diambil Pemain II. Anak-anak itu, ketika mendengar suara emaknya yang datang untuk mengentas nasib mereka sebagai anak tergadai, serentak berdiri dan berlari di belakang Pemain II. Berturut-turut, yang di belakang memegangi pinggang yang di depannya, semua mencari perlindungan dari emaknya. Si Emak, Pemain II, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, melindungi mereka itu.
Dialog perbantahan tanpa dinyanyikan berlangsung lagi.
Pemain I yang marah, menjadi berubah watak. Seperti dewi Raksasi Batari Durga kelaparan ia minta agar Pemain II menyerahkan anaknya satu demi satu untuk dimangsanya. Ia melompat dan menerjang untuk bisa menerkam salah seorang anak. Menghindari sergapan raksasi itu, Pemain II dan anak-anaknya meliuk ke kiri dan ke kanan, seperti gerakan ular air. Raksasi berhadapan dengan Naga! Bukan nyanyian bersama "Soyang" yang merdu yang terdengar sekarang, tapi sorak-sorai gegap gempita:

"Ha-é  ula banyu                         
dalan gedhé woté lunyu …!"
terj.:   "Hore ular air
jalan besar titian licin …!"

Barangsiapa terlepas dari pegangan, berarti ia harus menjadi mangsa raksasi. Secara jujur ia harus berpindah pihak, tidak lagi berdiri di belakang Emak dan saudara-saudaranya, tapi berdiri di belakang Raksasi.
Demikianlah "Soyang" berakhir. Terkadang sebelum si Raksasi berhasil mendapat mangsa sama sekali, oleh karena semua pemain sudah menjadi kelelahan.
Berbeda dengan "Soyang" yang teatral dramatik, bagian akhir permainan ini menjadi murni sebuah dolanan di bawah terang bulan. Ada kalanya, atau bahkan yang banyak terjadi, bagian ini dimainkan terpisah. Bukan sebagai fragmen "Soyang", tapi mendapat sebutannya sendiri: "Ha-é Ula Banyu".
*
Demikianlah opereta "Soyang" atau "Sonyang".
Teks yang pernah saya tulis lebih 50 tahun lalu ini dua kali saya tulis ulang.(*)  Mudah-mudahan bisa mengusik pemerhati folklore dan dolanan anak-anak di bawah purnama, untuk menggali dan menghimpunnya sebelum punah dilanda arus jaman. Karena banyak di antara ‘kabinangkitan rakyat’ itu yang "menyembunyikan" impian kehidupan dan suara desa yang teredam. Apalagi, khusus untuk “Soyang”, saya menemukan isi satire yang terkandung dalam folklore dolanan anak ini.*** 

(*) Tulisan ini pertama kali terbit dalam majalah Zaman Baru, 15 Januari 1960 No.1, tiga kali ditulis ulang yaitu pada 28-9-2002, 24-6-2011 dan 15-2-2014.

Kockengen, Nederland, 28 September 2002
Tangerang, Indonesia, 24 Juni 2011 – 24 April 2013

Jumat, 14 Februari 2014

Mendiskusikan Tan Malaka Tanpa Mendiskusikan Bolshevisme

Bumi Rakyat 1917 | 13 Februari 2014
Lebih dari seratus orang membanjiri peluncuran dan diskusi bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi indonesia (TMGKRI) pada Rabu, 12 Februari 2014. Ruang kelas Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB) di Malang itu tak lagi cukup untuk menampung para peserta. Meskipun kursi kuliah telah dilipat, disingkirkan, dan para peserta duduk lesehan agar bisa memberi lebih banyak ruang, tetap saja jumlah peserta membludak hingga keluar pintu dan menyisakan belasan orang yang tidak bisa masuk ruangan. Ini menunjukkan bahwa ketertarikan terhadap Tan Malaka dan perannya dalam sejarah terus tumbuh besar meskipun sebelumnya terjadi insiden pembubaran diskusi serupa di Perpustakaan CO2 Surabaya oleh aparat dan FPI.

Harry A Poeze memberikan presentasi mengenai Tan Malaka di FIB, UB.
Harry A. Poeze, penulis buku tersebut hadir sebagai pembicara utama dan membahas jilid ke-4 TMGKRI yang baru selesai diterjemahkan Hersri Setiawan itu. Selama enam puluh menit lebih Poeze mengupas perjalanan hidup Tan Malaka, mulai dari kelahirannya, latar belakang, masa menempuh studi di Belanda, pecahnya Revolusi Oktober dan ketertarikan Tan Malaka terhadap Komunisme, kembalinya ke Indonesia, persentuhan dengan ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia) dan Sarekat Islam (SI), perannya dalam PKI dan Sekolah Rakyat, Pemberontakan 1926, masa pelarian, hingga kembali ke Indonesia serta perseteruannya dengan kelompok Stalinis dan berakhirnya nyawanya di tangan pasukan pemerintah negara yang kemerdekaannya turut ia perjuangkan sejak lama. Menutup penyampaian diskusinya, Poeze menambahkan bahwa penggalian makam dan tes DNA semakin membuktikan kebenaran keberadaan jenazah Tan Malaka.
Sayangnya penyampaian dan pembahasan Poeze dalam diskusi tentang Tan Malaka dan revolusi Indonesia itu lebih berat pada analisis historis dan kurang menitikberatkan (kalau tidak bisa dibilang tanpa) analisis ekonomi politik. Bisri, seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dari Surabaya, melontarkan pernyataan mengapa Tan Malaka menentang pemberontakan 1926 yang dicetuskan oleh kelompok Prambanan. Menjawab itu, Poeze menyatakan bahwa Tan Malaka menganggap bahwa pemberontakan itu prematur dan akan jadi blunder yang menghancurkan PKI dan gerakan buruh di Indonesia. Selanjutnya Poeze menjelaskan posisi Tan Malaka saat itu menjabat sebagai wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk wilayah Timur Jauh dan khususnya Asia Tenggara dengan hak veto. Ditambahkannya pula dimana proses komunikasi antara Tan Malaka, para pimpinan PKI grup Prambanan, dan Moskow yang berjalan tidak disiplin. Keputusan dan rekomendasi Tan Malaka tidak digubris dan diteruskan oleh Alimin, para pimpinan PKI grup Prambanan bersikeras meneruskan pemberontakan meskipun restu dari Moskow juga tidak diberikan. Akhirnya sebagaimana yang diprediksi Tan Malaka, pemberontakan tersebut ditindas dengan mudah oleh rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tak ada yang salah dari penyampaian Poeze di atas. Sayangnya tanpa disertai analisis teori Ekonomi Politik dan teori Marxis tentu tidak akan lengkap. Orang awam dengan mudah akan merespon, “Namanya juga berjuang, ya, pasti ada resiko menang atau kalah, yang penting dijalankan terlebih dahulu.”
Ada baiknya kita mengutip perkataan Lenin yang ia sampaikan dalam Pidato mengenai Pertanyaan-Pertanyaan Agraria. Lenin mengatakan bahwa syarat pertama bagi revolusi adalah strata penguasa berada dalam krisis dan tidak mampu terus berkuasa dengan cara yang lama. Tahun 1926 sudah lama meninggalkan krisis ekonomi yang muncul pasca Perang Dunia I tepatnya tahun 1917. Dunia, khususnya negara-negara Imperialis barat, termasuk Belanda sudah berhasil dalam melewati krisis dan mengonsolidasikan ulang kapitalisme. Sementara itu Uni Soviet mengalami keterisolasia akibat gagalnya revolusi-revolusi di Eropa, terutama revolusi di Jerman yang diharapkan bisa membantu ketertinggalan industri di Rusia dan menjebol isolasi. Apalagi pada tahun 1923, revolusi buruh di Tiongkok yang pecah dengan pemogokan-pemogokan serta insureksi buruh di Shanghai dan Hongkong malah berakhir dengan kegagalan tragis akibat politik Komintern yang salah. Saat itu kebijakan Komintern mengalami degenerasi dengan memakai formula teori dua tahap Menshevik dimana kaum buruh Tiongkok dipaksa membatasi revolusi mereka pada tahapan pertama atau tahapan demokratis nasional serta menyerahkan senjata pada Kuomintang sebagai pihak yang dicap borjuis nasional progresif. Akibatnya kaum buruh Tiongkok dan generasi komunis disana banyak yang meregang nyawa dibantai oleh Chiang kai Sek, sang pimpinan Kuomintang.
Syarat kedua revolusi menurut Lenin adalah pemeraman di lapisan tengah masyarakat yang berayun antara revolusi dan kontra revolusi. Massa rakyat di Indonesia (saat itu masih disebut Hindia Belanda) berada dalam kondisi stagnan dan malah menderita kemunduran. Banyak pemogokan dipukul balik dan dikalahkan akibat kemampuan kapitalisme Belanda yang sudah stabil dan menguat.
Syarat ketiga, yaitu buruh-buruh perlu siap berjuang dan berkorban untuk mengubah masyarakat. Syarat ini yang merupakan faktor penting sama sekali tidak terpenuhi di Indonesia. Jangankan kelas buruh secara keseluruhan, keanggotaan buruh di PKI pun saat itu sangatlah kecil. Bahkan mayoritas anggota PKI adalah kaum tani dan borjuasi kecil. Benarlah pandangan Tan Malaka bahwa rencana pemberontakan kelompok Prambanan tidak lebih dari tindakan avonturir, suatu putsch, aktivitas Blanquisme yang melangkahi massa khususnya massa buruh.
Dalam suatu peperangan, seorang Jenderal yang baik harus paham kekuatan sendiri, paham kekuatan musuh, dan paham kapan harus maju menyerang atau kapan perlu mundur dengan teratur untuk menghindari kehancuran total sembari mempertahankan diri dan menyusun kekuatan untuk kembali menyerang balik kelak di kemudian hari.
Pertanyaan lain yang seharusnya bisa dibahas dengan lebih menyeluruh adalah pertanyaan mengenai hubungan Tan Malaka dan Soekarno, tentang kedekatan dan perseteruan antara kedua belah pihak. Poeze hanya menjawab kurang lebih bahwa diantara mereka ada perbedaan besar yaitu politik diplomasi di pihak Soekarno-Hatta-Sjahrir-Amir dan politik perjuangan di pihak lain. Sebenarnya banyak fakta yang bisa dielaborasi lebih jauh. Mulai dari janji Soekarno pada sekutu tanggal 12 Oktober 1945 yang akan mengembalikan semua aset asing (berbeda jauh dengan politik Soekarno pada akhir 50an dan awal 60an), penangkapan semena-mena para pimpinan Persatuan Perjuangan (PP) termasuk Tan Malaka dengan restu Soekarno. Ditambah lagi program minimum PP yang perumusannya banyak dipengaruhi oleh Tan Malaka butir-butirnya sangatlah identik dengan Bolshevisme misalkan butir ke 3 yang berbunyi Lasjkar Ra’jat dimana penjelasannya kurang lebih berbunyi dipersenjatainya rakyat pekerja di Indonesia sesuai sektor kerjanya masing-masing, suatu definisi yang menyerupai laskar buruh atau garda/tentara merah pada Revolusi Oktober dan perang melawan kontrarevolusi di Uni Soviet. Kemudian butir ke-6 dan ke-7 berbunyi “Mensita dan menjelenggarakan pertanian (kebon)” dan “Mensita dan menjelenggarakan perindoestrian (pabrik, bengkel, tambang, dll.)” merupakan tuntutan/program yang sangat progresif saat itu.

Yohana Ilyasa, salah satu peserta bedah buku sekaligus pengelola Toko Buku Buruh Membaca, melontarkan mengenai Tan Malaka dan titik temunya dengan gagasan-gagasan Trotsky
Yohana Ilyasa, penanya dari Toko Buku Buruh Membaca, kemudian melontarkan pertanyaan bagaimana hubungan Tan Malaka dengan gagasan-gagasan Trotskyisme, mengingat pandangan Tan Malaka yang internasionalis, ingin mendorong revolusi sosial dan sosialisme secara internasional, bertolakbelakang dengan teori Sosialisme di Satu Negeri yang dirumuskan Stalin. Terhadap ini sekali lagi Poeze lebih menekankan pada analisis historis. Bagaimana Trotsky diusir dari Rusia, semua pihak yang mengkritik Stalin dicap sebagai Trotskyis, penggunaan Trotskyis sebagai cap peyoratif kepada Tan Malaka yang menentang pemberontakan 1926, dan bagaimana Tan Malaka menolak konfrontasi langsung dengan Stalinisme di lapangan teori sambil menghindar dan menggunakan buku-buku dari Rusia yang anti-Trotskyisme untuk menepis tudingan Trotskyis yang dilekatkan pada dirinya. Poeze menutup jawabannya dengan mengatakan bahwa Tan Malaka bukan dan tidak pernah mengaku sebagai seorang Trotskyis.
Hal ini merupakan suatu hal yang agak aneh bilamana kita tidak hanya menangkap pernyataan Poeze namun juga menelusuri tulisan-tulisan Poeze baik dari empat jilid TMGKRI maupun buku biografi Tan Malaka pra 1945. Dalam jilid pertama TMGKRI misalnya Poeze menulis bahwa saat menghadapi perdebatan dengan Wikana dan Aidit, khususnya saat Aidit menanyakan mengenai program pembangunan lima tahun Stalin, Tan Malaka menjawab bahwa rencana itu merupakan rencana Trotsky yang dicuri Stalin. Bagaimana Tan Malaka bisa tahu hal ini kalau ia tidak mengikuti perseteruan antara Stalin yang saat itu berpihak pada Bukharin yang mendukung pertumbuhan ekonomi kura-kura dan mempertahankan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) dengan Trotsky dan para pendukungnya yang menuntut perlunya melakukan industrialisasi di Rusia melalui pembangunan lima tahun dan disertai program kolektivisasi sukarela? Apalagi menurut buku biografi Tan Malaka yang juga ditulis Poeze namun rentang waktunya pra-1945 menyebutkan bahwa pembukaan sekolah rakyat dan kongres PKI disertai pemasangan potret Lenin dan Trotsky.
Bisa jadi Poeze memandang bahwa Tan Malaka lebih berpegang pada teori Bolshevisme dan bukannya Trotskyisme. Ini dengan garis bawah bahwa hingga kemenangan revolusi buruh di Rusia, posisi Lenin dan Trotsky tidak jauh berbeda. Hal ini bisa dilihat dari teori Lenin yang dituangkan dalam Tesis April dan teori Trotsky di Revolusi Permanen, yang sampai pada kesimpulan yang sama bahwa revolusi di Rusia sebagai negara dengan industri terbelakang tidak hanya berhenti ke tahapan demokratis nasional namun diteruskan ke revolusi sosial serta mengambil alih kekuasaan negara melalui penggulingan demokrasi borjuis parlementer dan penyerahan kekuasaan ke soviet (Dewan-Dewan Pekerja). Masalah keterbelakangan industri di Rusia bisa ditolong dengan membantu revolusi-revolusi di negara industri maju,  khususnya Jerman yang saat itu berada dalam prospek tinggi revolusi sosial, yang bilamana menang akan membantu negara buruh dengan industri terbelakang.
Bisa jadi Poeze memandang bahwa Trotskyisme, sebagai suatu aliran Marxis, di sisi lain lebih banyak diformulasikan dalam analisisnya terhadap Uni Soviet (pasca kegagalan revolusi-revolusi di Eropa dan keterisolasiannya serta penguasaannya oleh kaum birokrasi) yang merupakan Negara Buruh yang terdegenerasi. Sementara Tan Malaka dalam pernyataan-pernyataannya masih mengacu ke Uni Soviet sebagai negara sosialis (tanpa analisis lebih lanjut). Kemudian juga taktik entrisme ke partai buruh serta taktik front persatuan juga sangatlah berbeda dengan pandangan dan kebijakan yang diambil Tan Malaka pasca proklamasi. Persatuan Perjuangan pun secara esensial sangatlah berbeda dengan teori Front Persatuan atau United Front yang dianut Lenin dan Trotsky. Sayangnya mengenai benar tidakkah pertimbangan ini yang dipakai Poeze sejauh ini hanyalah asumsi penulis belaka.
Memang berbeda dengan Max Lane seorang peneliti yang juga banyak menulis tentang revolusi Indonesia dan juga sekaligus seorang Marxis, sampai sekarang Poeze tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang Marxis atau bukan. Namun perannya dalam melakukan penelitian, menggali bukti, menghimpun dokumen, serta menulis sejarah tentang Revolusi Indonesia tak bisa dipungkiri sangatlah besar. Apalagi kegiatan demikian sudah dilakukannya semenjak tahun 1980 dimana kekuasaan rezim fasis Orde Baru pimpinan Soeharto berdiri dengan kokoh dan memberangus semua hal yang (dianggap) berhubungan dengan Marxisme dan perjuangan kelas. Apabila di masa depan kelak bisa diadakan pendiskusian dengan Harry A. Poeze dengan partisipasi pembicara dari kaum Marxis di Indonesia yang tidak hanya bisa memberikan pemaparan melalui perspektif Marxisme namun juga menyampaikan relevansi teori Tan Malaka dengan perjuangan sosialisme saat ini, tentu akan bisa memberikan sumbangsih tidak hanya dalam bentuk pengetahuan sejarah namun juga warisan untuk perjuangan kelas buruh demi menumbangkan kapitalisme dan imperialisme.
Sumber http://bumirakyat.wordpress.com/2014/02/13/mendiskusikan-tan-malaka-tanpa-mendiskusikan-bolshevisme/