Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 20 September 2016

Pidato Eni Lestari Pada Sesi Pembukaan KTT PBB Tentang Perpindahan Massal Pengungsi dan Migran

 
Pidato Eni Lestari Andayani Adi
Ketua International Migrant’s Alliance (IMA)

Pada Sesi Pembukaan KTT PBB tentang Perpindahan Massal Pengungsi dan Migran
19 September 2016, Kantor Pusat PBB, New York.

Yang mulia, Sekretaris Jenderal PBB, Ketua Sidang Umum, dan Tamu dari berbagai negeri.

Saya merasa terhormat berdiri di hadapan Anda hari ini atas nama 244 juta migran di seluruh dunia. Setelah bertahun-tahun tidak punya suara dan tak dipandang, kami - para migran – akhirnya diterima disini untuk berbicara mewakili diri kami.

Kami adalah orang-orang yang telah ditolak oleh masa depan, hak dan mimpi yang pernah kami bayangkan. Ketika masih kecil, saya bermimpi mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.

Tetapi krisis yang semakin memburuk berdampak pada keluarga saya di Indonesia dan jutaan rakyat miskin, dimana kami dihadapkan tiap harinya dengan kenyataan pengangguran, kurangnya kesempatan pendidikan, lemahnya pelayanan sosial, kehilangan tanah dan kemiskinan yang semakin mendalam.

Seperti yang dialami banyak orang, kami tidak punya pilihan selain bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga. Supaya saya bisa memberi makanan, membayar utang orang tua dan memasukkan saudara saya ke sekolah.

Namun realitas migrasi berbicara sebaliknya. Bagi sebagian besar dari kami, janji masa depan yang lebih baik adalah dusta. Kami terjebak dalam jeratan hutang, diperdagangkan atau dijebak dalam perbudakan, hak-hak dasar kami diingkari, rentan akan kekerasan, banyak yang hilang bahkan mati.

Impian kami telah berubah menjadi mimpi buruk. Mimpi buruk yang disebabkan oleh sebuah sistem yang menciptakan profit bagi mereka yang berbisnis migrasi dan memperbolehkan perusahaan-perusahaan terus memangkas upah.

Kami berharap adanya perlindungan dan pelayanan, tetapi kami justru dibiarkan sendiri menghadapi penderitaan. Kami sendirian di dalam sebuah sistem yang tidak menghargai hak dan martabat migran, tidak mengakui kami sebagai pekerja dan manusia– tapi hanya tenaga kerja murah atau barang dagangan.

Kerentanan kami dieksploitasi. Namun kebijakan migrasi justru memperkuat ketidakberadaan kami. Kami dianggap sebagai ancaman keamanan. Akan tetapi, kami ditransformasi menjadi sebuah industri yang melahirkan milyaran remitansi, yang oleh beberapa pihak dimanfaatkan sebagai kesempatan pembangunan.

Dalam pengalaman kami, tidak peduli seberapa banyak kami berkorban, migrasi tidak menjamin pembangunan yang memungkinkan kami untuk pulang dengan kehidupan layak. Tidak peduli seberapa keras kami bekerja, kami tidak pernah diakui sebagai pekerja dan manusia yang bermartabat dan setara.

Apakah kami ingin menjadi rentan? Tidak. Kami ingin dilihat dan didengar; tidak dimarjinalkan dan dikecualikan. Kami ingin ada penghormatan pada kemanusiaan kami. Migran di berbagai belahan dunia secara kolektif berjuang dan berorganisasi untuk membuat mimpi kami menjadi kenyataan.

Saya berbicara di depan anda hari ini dengan pesan yang jelas. Jangan bicara tentang kami tanpa kami. Kami punya jawaban dan kami telah menyuarakannya. Dengarkan dan bicaralah dengan kami tentang migrasi, pembangunan dan hak asasi manusia. Konvensi internasional yang didesain untuk melindungi kami telah diratifikasi. Tetapi itu hanya sebatas di atas kertas dan bukan dalam bentuk tindakan.

Anda minta kami mengirimkan uang tapi yang kami inginkan adalah supaya Anda berkomitmen – untuk keadilan, untuk pembangunan yang tidak menghancurkan keluarga kami dan untuk sebuah masa depan yang mengandalkan kekuatan rakyatnya, bukan untuk melanjutkan ekspor dan eksploitasi tenaga kerja kami.

Dalam dua tahun ke depan, Anda ditarget untuk mengesahkan kesepakatan bernama global compact untuk kami. Bingkailah berdasarkan hak dan pastikan pelaksanaannya akan mengurangi penggusuran atau migrasi paksa, menyelesaikan konflik dan akar kemiskinan.

Mari bekerja untuk mewujudkan dunia tanpa kerentanan, ketidakamanan atau tak dipandang. Sebagai rakyat, sebagai pekerja, sebagai perempuan, sebagai migran – kami siap untuk mewujudkannya. Bekerjalah bersama kami.

Terima kasih.   


http://www.seruni.org/2016/09/pidato-eni-lestari-andayani-adi-ketua.html

Senin, 19 September 2016

Obrolan Gus Dur dan Nietzsche seputar Tuhan

Febri Hijroh Mukhlis | 19 Sep 2016

Cak Hijroh
 
Pertemuan dua orang filosof, Gus Dur dan Nietzsche bukan kebetulan, namun memang diagendakan. Agenda pertemuan keduanya dibuat oleh sekelompok mahasiswa. Keduanya didatangkan dalam ruang diskusi. Pertemuan dua sosok legendaris ini tidak dalam bentuk fisik namun pertemuan dua gagasan.

Pertemuan ini saya buat sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Diskusi di luar kelas dengan mengundang gagasan Gus Dur dan Nietzsche. Keduanya sosok yang sama-sama misterius. Gus Dur yang dianggap “gila” dan sosok Nietzsche yang benar-benar gila di akhir hidupnya.

Perbedaan latar belakang dari keduanya bisa digambarkan seperti ini: 

Gus Dur jelas hidup di lingkungan pesantren. Ia cucu dari K.H. Hasyim Asy’ari, Sang Kyai sosok guru bangsa. Juga Gus Dur, bapak bangsa yang merawat keragaman dan menjaga toleransi. Gus Dur dianggap nyleneh, aneh, bahkan seorang wali.

Gus Dur selalu hadir dalam pembelaan kalangan minoritas. Ketika ada diskriminasi minoritas, Gus Dur berdiri paling depan membelanya. Ia sosok yang mengajarkan pentingnya beragama yang santun, ramah, dan tidak suka marah-marah. Bahkan ungkapan-ungkapan Gus Dur masih hidup hingga sekarang.

Lalu, siapakah Nietzsche? Ia sosok yang lahir dari keluarga yang juga taat beragama. Di Jerman, kakeknya petinggi Gereja Lutheran. Ayahnya pendeta di Rocken. Ibunya juga berasal dari latar belakang keluarga pendeta. Jadi Nietzsche termasuk sosok yang taat beragama di awal-awal hidupnya.

Nietzsche belajar banyak hal, filsafat, filologi, etika, dan juga teologi. Namun teologi kemudian ditinggalkan karena kepercayannya memudar. Kepercayaannya memudar karena nilai-nilai teologi menjadi absolut dan tidak bisa dipugar lagi. Dari sini Nietzsche kemudian dianggap sebagai atheis.

Jika Gus Dur dianggap gila. Maka Nietzsche benar-benar gila. Nietzsche menderita sakit jiwa pada tahun 1889 dan meninggal pada Agustus 1900. Sama halnya dengan Gus Dur, gagasan-gagasan Nietzsche mengejutkan kajian filsafat modern. Bahkan pemikirannya masih dikenal hingga sekarang.


Tuhan Sudah Mati dan Tidak Perlu Dibela

Kata-kata Nietzsche yang paling menarik perhatian adalah “Tuhan telah mati”. Berawal dari ungkapan ini Nietzsche dianggap seorang ateis sejati. Ia melawan segala nilai ketuhanan-absolut yang menjadi penjara bagi kebebasan nilai-nilai duniawi.

Nietzsche memunculkan ungkapan tersebut karena melihat banyaknya doktrin-doktrin atau ajaran agama menjadi absolut-mutlak. Ajaran-ajaran ketuhanan justru menjadi akibat hilangnya nilai-nilai baru yang ada. Menurutnya, manusia harus terbebas dari nilai-nilai absolut yang mampu menjamin dirinya.

Ungkapan Nietzsche menegaskan bahwa manusia harus mampu menciptakan nilai-nilai yang baru. Nilai-nilai yang lama, bahkan absolut, akan runtuh dan melahirkan nilai-nilai yang baru. Nietzsche menyebutnya dengan nihilisme radikal. Dunia akan terus berubah, dan perubahan akan melahirkan perkembangan.

Gagasan Gus Dur tentang Tuhan juga menarik perhatian. Ketika Gus Dur dianggap ‘gila’, justru itu kebenaran yang tidak bisa dipahami semua orang. Kata-kata Gus Dur yang populer dan menyedot banyak perhatian, salah satunya ialah “Tuhan Tidak Perlu Dibela.” Jangan sampai Anda gagal paham soal kata-kata Gus Dur ini.

Gus Dur menjelaskan melalui ungkapan al-Hujwiri, “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘ia menyulitkan’ kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikatnya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”

Gus Dur ingin menjelaskan bahwa Tuhan tidak bisa dirumuskan dengan bahasa manusia. Ia besar, kuasa, dan tidak perlu pembelaan. Apapun yang dilakukan manusia, ciptaan-Nya, tidak akan mengubah apapun, ia tetap Tuhan. Oleh karena itu, Gus Dur menegaskan, “Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela.”

Merumuskan Tuhan sama halnya menciptakannya. Padahal ialah Sang Pencipta. Jika Tuhan dirumuskan atas persepsi manusia, merepresentasikan kekerasan, perusakan, maka tampak kejam sekali Tuhannya. Lain halnya jika Tuhan direpresentasikan sebagai sosok yang adil, bijak, ramah, maka Tuhannya pasti menciptakan kerukunan dan perdamaian. Seperti apakah Tuhan-mu?


Lantas, Siapa yang Patut Dibela dan Diperjuangkan?

Bagi Nietzsche, Tuhan telah mati. Nilai-nilai spiritualitas-ilahiah telah runtuh digantikan nilai-nilai yang baru. Nilai-nilai yang baru itu adalah kemanusiaan, kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang. Begitu seterusnya, nilai-nilai senantiasa berubah, termasuk nilai-nilai spiritualitas.

Nietzsche menolak nilai yang absolut, apalagi nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai yang absolut telah mati berganti nilai-nilai baru yang lebih hidup. Apalagi, selain pengetahuan dan juga peradaban. Belajar dari Nietzsche, bahwa kehidupan terus berubah, ada nilai-nilai yang lebih patut diperjuangkan.
Berjuang untuk kemanusiaan. Membebaskan dari segala bentuk penindasan. Berjuang melawan intimidasi dan kekerasan atas nama agama, ras, tradisi atau lainnya. Berjuang membentuk peradaban yang toleran. Berjuang melawan korupsi. Berjuang melakukan perubahan.

Gus Dur, membela yang sebenarnya dibela oleh Tuhan. Membela kaum lemah. Membela kaum minoritas. Membela kebajikan. Membela kepentingan manusia. Gus Dur mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan bukan untuk Tuhan, tapi untuk manusia dan semesta.

Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan tidak memerlukan apa-apa dari kita. Tuhan melihat manusia yang paling baik adalah mereka yang paling beriman dan bertakwa. Mereka adalah yang menebarkan kebaikan, kebajikan, keadilan, toleransi, dan menjaga kerukunan. Tidak ada ceritanya Tuhan membela kekerasan dan perusakan, apalagi atas nama diri-Nya.

Berjuanglah dan bela-lah nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, pengetahuan, dan juga keragaman. Atas nama kebaikan dan peradaban.
 

http://www.qureta.com/post/obrolan-gus-dur-dan-nietzsche-seputar-tuhan

Jumat, 16 September 2016

Usaha Memutus Tali Solidaritas

16 September, 2016 

Kolumnis: Zen RS*

Kecurigaan Ahok terhadap "Romo" Sandyawan menggemakan kembali politik massa mengambang. Seperti diberitakan Viva (14/9), Ahok menuding Sandyawan Sumardi menghambat upaya penggusuran warga Bukit Diri yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Advokasi yang dilakukan Sandyawan terhadap warga yang akan digusur, dengan mengajukan class action terhadap Pemerintah Provinsi DKI dan menawarkan konsep alternatif penataan bantaran kali, dicurigai Ahok sebagai "mau main klaim". Selain menyeret asal-usul Sandyawan sebagai "bekas Romo", Ahok juga membawa-bawa domisili Sandyawan sebagai warga Kampung Pulo, bukan warga Bukit Duri.

Pernyataan Ahok ini segendang-sepenarian dengan pendukung Ahok yang, salah satunya, menuduh orang-orang yang menolak penggusuran sebagai orang yang "hidup dari proyek kemiskinan". Tuduhan "menghambat pembangunan" atau "menjual kemiskinan", bersama istilah "provokator", bukan kosa kata yang baru dalam sejarah politik Indonesia. Cap macam itu sangat lazim dipakai di era Orde Baru dan amat biasa ditempelkan ke jidat siapa saja yang dianggap berseberangan dengan agenda-agenda negara.

Entah apa pula maksudnya Ahok membawa-bawa latar belakang Sandyawan sebagai bekas Romo dan bukan warga Bukit Duri. Namun rasa-rasanya, upaya Ahok menyeret-nyeret latar belakang Sandyawan ini segendang-sepenarian dengan polah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang beberapa kali bertanya asal-usul ("Anda orang mana? Anda dari mana?") kepada orang-orang yang mempersoalkan keberpihakan Ganjar kepada proyek pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng.

Mudah menebak ke mana pertanyaan itu hendak dibawa: delegitimasi para penentang karena bukan korban langsung sebuah kebijakan. Kira-kira begini nalarnya: karena Anda bukan warga Bukit Duri, tidak usah sok-sokan membela korban penggusuran, karena Anda bukan warga Kendeng tidak perlu sok heroik berpihak kepada para petani.

Nalar macam itu bukan hanya dipakai oleh Ahok atau Ganjar melainkan lazim dipakai oleh, terutama, aparat negara saat berhadapan dengan "orang-orang luar" yang masuk ke arena konflik. Saya pernah diusir aparat desa saat menemani warga yang memprotes galian pasir di sebuah kecamatan di Cirebon. Kawan-kawan yang sering terjun ke wilayah konflik saya kira sudah kenyang dengan nalar macam itu.

Ini sudah menjadi semacam modus operandi untuk memutus jejaring solidaritas lintas wilayah, lintas golongan, bahkan lintas kelas. Tidak lain dan tidak bukan untuk mengisolir warga yang sedang menentang kebijakan pemerintah dari dunia luar. Warga dikondisikan untuk menjadi "cupet", agar membayangkan bahwa persoalan yang sedang mereka hadapi adalah persoalan yang terpisah dari dunia, tak berkait dengan agenda-agenda besar yang melampaui geografi kampungnya sendiri.

Secara bersamaan, warga dirancang agar tidak berpikir bahwa persoalan yang mereka hadapi juga dihadapi oleh warga-warga yang lain di tempat yang berbeda. Nalar macam itu menghendaki warga berada dalam posisi sendirian, memikul beban dan persoalan secara mandiri, untuk memastikan warga tidak mendapatkan dukungan dari "orang luar". Dengan sendirinya, jika siasat macam ini berhasil, warga akan benar-benar merasa sunyi, merasa sepi, untuk kemudian frustrasi dan akhirnya menyerah.

Bayangkanlah efek moral yang dirasakan warga kala didatangi warga dari tempat yang jauh, yang sama-sama menghadapi persoalan dengan negara. Menyaksikan bagaimana seorang warga mengisahkan cerita sukses tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan olehnya dan tetangga-tetangganya kepada warga di tempat berbeda yang sedang terjepit oleh penetrasi negara/korporasi selalu menjadi momen yang berharga. Solidaritas muncul dengan organik, perasaan senasib menyeruak dengan meyakinkan, dan keberanian serta semangat pun mencuat kembali.

Nalar bahwa "orang luar tidak boleh ikut campur" ini juga mengandaikan bahwa warga pada dasarnya tidak pernah bermasalah dengan agenda-agenda negara. Warga dibayangkan sebagai makhluk-makhluk naif yang secara alami selalu menerima niat baik negara dengan tulus. Sehingga jika ada warga yang berserikat untuk menolak agenda-agenda negara, hal itu sudah pasti bukan tindakan yang alamiah.

Gema "negara organik", atau "negara integralistik" ala Soepomo, pun tercium keras. Secara singkat bisa dikatakan bahwa negara organik membayangkan bahwa tidak ada ketegangan antara negara dan rakyat. Keduanya adalah manunggal. Rakyat dan pemimpin itu tidak terpisah-pisahkan. Negara-bangsa dibayangkan sebagai sebuah keluarga besar, dengan pemimpin sebagai bapak dan rakyat sebagai anak-anaknya. Tidak pada tempatnya mencurigai sang bapak hendak mencederai anak-anaknya. Segala yang dilakukan sang bapak, jika pun dirasa merugikan, semuanya untuk kebaikan anak-anaknya.

Dalam jawabannya untuk Hatta yang mengusulkan hak-hak warga negara dijamin oleh Undang-Undang Dasar di sidang PPKI, Soepomo mengatakan: "Tuan Hatta bertanya bagaimana haknya orang seorang untuk bersidang jikalau dilanggar oleh pemerintah. Pertanyaan ini berdasar atas kecurigaan kepada pemerintah yang dalam menyelenggarakan kepentingan negara dianggap selalu menentang kepentingan orang seseorang. Dengan lain perkataan pernyataan Tuan Hatta timbul dari sikap individualisme, yang kami tolak."

Konsep negara organik macam itu diterjemahkan Ali Moertopo pada 1972, melalui tulisan berjudul 'Dasar-Dasar Pemahaman tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun', ke dalam siasat "politik massa mengambang". Siasat ini pada dasarnya adalah sebentuk depolitisasi warga, menjauhkan warga dari diskursus politik. Dalam bentuk yang konkrit, politik hanya boleh sampai di tingkat Kabupaten/Kotamadya, tidak boleh masuk hingga level kecamatan apalagi tingkat desa. Jika pun hendak berpolitik, hanya boleh melalui saluran resmi yaitu lewat dua partai (PPP-PDI) dan Golkar.

Mudah ditebak siasat ini hanya menguntungkan Golkar. Dibandingkan PPP dan PDI, hanya Golkar yang infrastruktur politiknya dapat menjangkau hingga pelosok-pelosok desa. Melalui aparat birokrasi dan organisasi-organisasi turunannya (dari PGRI, Korpri, Dharma Wanita, PKK, hingga pemerintah desa yang diawasi oleh Koramil, Polsek dan Babinsa), Golkar akan dengan mudah menancapkan kepentingan politiknya dengan demikian intens.

Moertopo mendasarkan argumentasinya kepada mendesaknya agenda-agenda pembangunan yang tidak boleh diganggu oleh kancah perjuangan politik partai dan golongan. Dalam kalimatnya Moertopo: "...sudah selayaknya bila rakyat, yang sebagian besar terdiri atas rakyat di pedesaan, dialihkan perhatiannya dari masalah sempit dan diarahkan kepada usaha pembangunan nasional, antara lain melalui pembangunan masyarakat desanya masing-masing."

Dari situlah genealogi istilah "provokator" masuk ke dalam kosa kata politik Indonesia. Dibayangkan bahwa orang-orang luar, semacam Sandyawan Sumardi atau siapa pun itu, sebagai biang kerok munculnya inisiatif perlawanan warga. Tanpa orang luar, warga yang dianggap masih bodoh, kurang berpendidikan, tidak rasional, mustahil punya keberanian atau punya inisiatif menentang agenda-agenda negara. Orang-orang luar, entah atas nama advokasi atau pendampingan atau solidaritas atau apa pun, dianggap sebagai intervensi nurture terhadap nature, yang merongrong kedamaian dan ketenteraman, sebab pandangan bahwa desa manut kepada negara adalah hal yang alami, sudah dari sononye, sudah dengan sendirinya.

Jika orang seperti Sandyawan Sumardi, yang rekam jejak keberpihakannya merentang dari peristiwa Waduk Kedung Ombo dan kasus Mei 1998 hingga penggusuran di Bukit Duri, pernah dituduh “komunis” oleh Orde Baru, hal itu adalah konsekuensi logis dari usaha masif melakukan depolitisasi rakyat di akar rumput, di desa-desa, maupun di wilayah urban. Tuduhan “komunis” kepada orang seperti Sandyawan Sumardi di masa Orde Baru dulu menjelaskan satu hal penting: pengakuan negara Orde Baru bahwa (hanya) PKI yang memang paling getol melakukan praktik-praktik politik hingga ke pelosok-pelosok desa.

Padahal ya tidak begitu juga. Sebelum Orde Baru, sangat biasa partai-partai melakukan penggalangan massa, memberikan pendidikan politik, hingga level terkecil masyarakat. Kendati PKI yang memang paling menonjol melakukan “politik turba”, namun partai-partai lain juga sangat bergairah mendatangi massa rakyat. Tidak heran jika di masa itu, rakyat yang buta huruf sekali pun, kendati hanya seorang petani atau tukang becak, bisa memiliki sense of politic yang kuat.

Para politisi, kepala daerah, para jenderal atau menteri dan presiden yang masih berpikir bahwa penolakan warga terhadap agenda-agenda negara sebagai tindakan yang tidak alamiah, menyimpang, dan mengganggu ketertiban bukan hanya ketinggalan zaman atau gagap membaca perubahan mas(s)a tapi juga masih merasa dirinya sebagai “bapak” yang serba-berhak menilai dan memutuskan apa yang terbaik bagi rakyat yang terus dianggap sebagai (kek)anak-anak(an).

Orde Baru, apa boleh bikin, memang sudah telanjur menyelinap hingga ke urat-urat. 

Zen RS, Pendiri & editor http://www.panditfootball.com 
Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Iwan Nurdin: Reforma Agraria Sejati itu Pelaksanaan UUPA 1960

Iwan Nurdin [Foto: Majalah Gempur, 2013] 
 
Apa yang harus dilakukan oleh  pemerintah jika hendak menjalankan reforma agraria?

Banyak. Namun yang harus dipastikan bahwa pembaruan agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah mestilah dibawah kerangka hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Kerangka hukum ini tentu saja harus diikuti dengan itikad untuk memegang teguh lima prinsip dasar melatar belakangi kelahiran UUPA yaitu: Pertama, pembaruan hukum agraria agraria kolonial menuju hukum agraria nasional; Kedua,  yang menjamin kepastian hukum; Ketiga,  Penghapusan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; Ketiga, mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah; kelima sebagai wujud implementasi atas pasal 33 UUD 1945.

Apa sesungguhnya Pembaruan Agraria itu?

Pengertian Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya. Hal ini dalam UUPA terangkum dalam pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17.

Inti dari pembaruan agraria adalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Jadi pembaruan agraria adalah landreform plus.

Apa persisnya tujuan dari agenda Pembaruan Agraria?

Tujuan pembaruan agraria menurut UUPA adalah penciptaan keadilan sosial, peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan bangsa yang terangkum dalam Pembukaan UUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi negara dalam Pasal 33 UUD 1945.

Selama ini, akibat tidak dijalankannya Pembaruan Agraria dan dipetieskannya UUPA telah menyebabkan semakin mendalamnya ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria khususnya tanah, maraknya konflik agraria dan kerusakan lingkungan. Maraknya konflik graria yang merebak selama ini adalah tanda dari perlu dilaksanakannya pembaruan agraria.

Jadi, Pembaruan  Agraria yang dimaksudkan oleh pemerintah selain untuk menata ulang struktur kepemilikan, penguasaan sumber-sumber agraria sehingga dapat menjawab ketimpangan agraria juga untuk menuntaskan konflik agraria yang selama ini timbul. Konflik agraria juga dapat terjadi dalam proses pelaksanaan pembaruan agraria apabila prasyarat pendukungnya tidak disiapkan secara matang.

Bagaimana prasyarat utama agar agenda ini berhasil?

Dari berbagai literature dan pengalaman, kita bisa menyimpulkan bahwa prasyarat utama tersebut adalah, kemauan dan dukungan politik yang kuat dari pemerintah, data agraria yang akurat, serta organisasi tani yang kuat serta terpisahnya elit bisnis dan elit politik dalam menjalankan Pembaruan Agraria.
Dengan melihat prasyarat ini maka peran negara sangat penting bahkan tidak tergantikan, sementara pelaksanaan pembaruan agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat maka tujuan-tujuan dari Pembaruan Agraria tidak akan tercapai dan bahkan mengalami kegagalan.
Pengalaman pelaksanaan pembaruan agraria di sejumlah negara Asia (seperti: China, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan), Afrika dan Amerika Latin, menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila pembaruan agraria mau berhasil, yakni : (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain Rencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintahan Lokal, dan (10) Keterlibatan penuh Organisasi Petani.

Bagaimana sisi teknisnya pelaksanaanya?

Untuk menjalankan Pembaruan Agraria diperlukan sebuah badan pelaksana atau komite yang bertugas menjalankan Pembaruan Agraria. Komite tersebut adalah sebuah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA).
KNPA ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas utamanya adalah untuk: (i) Merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) Mengkordinasikan departemen-departemen terkait dan badan-badan pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan pembaruan agraria; (iii) Melaksanakan penataan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya; dan (iv) Menangani konflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu,  maupun konflik-konflik agraria yang mungkin muncul akibat pelaksanaan pembaruan agraria.

Komisi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) adalah sebuah badan adhoc yang bekerja hanya dalam jangka waktu pelaksanaan Pembaruan Agraria. Keanggotaanya komite ini wajib merepresentasikan unsur pemerintahan, unsur serikat petani, NGO, dan pakar yang sejak awal concern dalam perjuangan dan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria.
Dengan demikian, KNPA merumuskan desain rencana pelaksanaan hingga evaluasi Pembaruan Agraria. Desain rencana pelaksanaan itu sekurang-kurangnya memuat (1). Sistem pendataan objek dan subjek Pembaruan Agraria, (2). Data peruntukan tanah, (3) Desain redistribusi tanah dalam skema rumah tangga pertanian, kolektive/komunal masyarakat, koperasi produksi dan atau usaha bersama pertanian oleh masyarakat, (4). Desain larangan dan sanksi bagi penerima tanah yang menelantarkan tanah dan menjual tanah, (5) sanksi berat bagi pemalsu objek dan subjek Pembaruan Agraria, (6). Desain keterlibatan dan peran para pihak dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria (7). Desain dukungan akses infrastruktur dan keuangan setelah distribusi.

Untuk memudahkan KNPA mendata objek-objek Pembaruan Agraria, KNPA menjalankan tugas berdasarkan sistem administrasi agraria yang nasional yang lintas sektoral, lintas regional  sehingga identifikasi atas objek dan subjek Pembaruan Agraria akan dapat lebih mudah dilakukan. Dengan mengacu kepada UUPA maka objek-objek pembaruan agraria sebagian besar adalah tanah negara yang dikuasai oleh pihak perkebunan, tanah negara yang dikuasai oleh Kehutanan khususnya industri kehutanan dan tanah kelebihan maksimum, tanah absentee (pertambangan, perikanan, peternakan dll).
Pembaruan Agraria mestilah dibiayai oleh APBN/D pemerintah bersama DPR berkewajiban mengalokasikan anggaran untuk Pembiayaan Pembaruan Agraria secara proporsional. Pembiayaan seluruh komponen dari Pembaruan Agraria haruslah berasal dari sumber dana yang bukan berasal dari Hutang Luar Negeri dan atau bantuan pendanaan lain dari pihak manapun yang mengikat dan dapat menyebabkan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria menjadi tidak tercapai.

Lembaga ini mengkoordinasikan dukungan departemen-departemen dan lembaga pemerintah non departemen di pemerintahan yang terkait dengan tujuan Pembaruan Agraria. KNPA juga bertugas melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang pengetahuan dasar Pembaruan Agraria khususnya mengenai tujuan, agenda, strategi dan pelaksanaan Pembaruan Agraria sehingga dapat mobilisasi dukungan dari rakyat. Dalam tahap pelaksanaan KNPA berhak merekrut dan mendidik para sukarelawan KNPA tentang tata cara pelaksanaan Pembaruan Agraria di tingkat wilayah.

Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota berkewajiban membantu melaksanakan sepenuhnya program pembaruan agraria nasional ini sesuai dengan pasal 14 UUPA 1960. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah juga berkewajiban menghapus segala Peraturan Daerah yang dapat menghalang-halangi dan menghambat pelaksanaan Pembaruan Agraria. Pemerintah Daerah berkewajiban menjaga hasil-hasil Pembaruan Agraria sehingga dapat lebih maju dan berkembang, yang secara nyata tercermin dalam program dan anggaran Pemerintah Daerah.

Bagaimana Seharusnya Keterlibatan Organisasi Rakyat?

Keterlibatan penuh Organisasi Rakyat sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Pembaruan Agraria adalah syarat utama keberhasilan pelaksanaan Pembaruan Agraria. Keterlibatan ini dimulai dari level nasional hingga level lokal.
Keterlibatan ini untuk menjamin kepastian bahwa subjek utama penerima tanah dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria adalah petani miskin, buruh tani tanpa pembedaan laki-laki dan perempuan. Keterlibatan organisasi tani juga untuk memastikan bahwa serikat petani ataupun koperasi serikat petani bersama-sama pemerintah berkewajiban memajukan taraf produksi dan teknologi produksi di lapangan agraria secara bersama-sama sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

http://www.kpa.or.id/news/blog/iwan-nurdin-reforma-agraria-sejati-itu-pelaksanaan-uupa-1960/

Kamis, 15 September 2016

Jangan Lelah pada Kebenaran


Untuk Cak Munir (1965-2004) yang dibunuh, tapi tak pernah mati dan tak akan berhenti dan diingat dari September ke September


Pendahuluan

Dalam sebuah edisi khususnya tahun 2014, majalah Tempo menerbitkan laporan mengenai temuan fakta dan bukti terbaru kasus pembunuhan aktivis perjuangan hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.[1] Dalam opininya, majalah tersebut menyatakan bahwa atas nama keadilan dan kemanusiaan pemerintah Indonesia harus meneruskan pengungkapan pembunuhan aktivis tersebut. Akan tetapi seperti kita ketahui, sejumlah proses hukum lewat pengadilan telah dijalani dan terdakwa pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, juga telah dijatuhi hukuman pidana penjara. Tempo memandang pengungkapan kembali kasus ini akan menunjukkan aktor-aktor lain pembunuh Munir, khususnya aktor intelektual. Yang menarik, dalam salah satu wawancara Tempo, Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan jenderal yang senantiasa dikaitkan dengan pembunuhan Munir, berkata bahwa kasus ini sudah selesai karena hukum sudah memutuskan. “Kalau tak percaya kepada hukum, lalu kita berpegang pada apa lagi?”.[2] Majalah Tempo bahkan mendesak supaya kasus pembunuhan Munir ini dibuka oleh pengadilan HAM. Padahal keadilan dan hukum sudah ditegakkan secara prosedural, seperti yang ditegaskan oleh Hendropriyono. Apa alasan yang dapat mendasari pengungkapan kasus Munir, selain nama keadilan yang kerap diusung oleh para aktivis, lawyer, jurnalis, dan juga politikus kita?

Bahasa Latin punya adagium yang sangat pas untuk menggambarkan semangat dari usaha penelusuran ulang kasus Munir di atas, yakni “Fiat iustitia, et pereat mundus”. Terjemahan adagium itu dalam bahasa Indonesia kira-kira begini: tegakkan keadilan meskipun dunia ini hancur. Mula-mula kita akan bertolak dari adagium ini merenungkan apakah sesungguhnya hakikat dasar dari goyangan timbangan keadilan dan ayunan pedang hukum sehingga keduanya menjadi harga mati? Kasus Munir yang diulas oleh Majalah Tempo edisi khusus di atas akan menjadi studi kasus pada refleksi ini karena kasus ini memunculkan perdebatan soal manakah yang benar. Siapakah yang sesungguhnya membunuh Munir? Apa motif pembunuhannya yang sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan tentang kebenaran. Maka, di samping keadilan dan kemanusiaan, satu hal yang juga penting untuk dikaji di sini adalah kebenaran.

Namun yang akan dibahas di sini bukanlah perihal pencarian fakta empiris, melainkan refleksi tentang arti kebenaran secara filosofis. 10 tahun setelah meninggalnya Munir, misteri masih bertebaran dan kita gelisah akan apa yang sebenarnya ada di balik kasus ini. Konspirasi politik? Dendam pribadi? Tulisan ini tidak akan mengupas hal-hal seperti itu. Tulisan ini akan mencoba menemukan tempat kebenaran di tengah pusaran politik yang penuh tabrakan kepentingan. Laporan majalah Tempo memperlihatkan betapa kepentingan negara, persepakatan politik praktis, dan maksud-maksud pribadi seseorang saling bercampur aduk sedemikian sehingga kebenaran kasus ini sendiri menjadi kabur. Pisau analisis yang akan dipakai di sini bersumber dari teks seorang pemikir filsafat politik, Hannah Arendt (1906-1975). Teks tersebut berjudul “Truth and Politics”.[3]

Sebagai pisau analisis, gagasan Arendt di sini bukan berarti menjadi instrumen belaka dan tak berharga pada dirinya sendiri. Sedari awal Arendt sudah mengungkapkan bahwa apa yang ia hadirkan dalam teks tersebut adalah refleksi atas hal yang sudah biasa dan tidak spesial.[4] Kebenaran dalam konteks politik yang direfleksikan oleh Arendt merupakan hal yang sudah diterima begitu saja. Orang mungkin lebih tertarik dengan persoalan administrasi keadilan dan penegakkan hukum formal daripada merenungkan arti kebenaran dalam politik. Arendt menyebut kecenderungan itu kelihatannya masuk akal, sebagaimana ungkapan Latin untuk menegakkan keadilan biarpun langit runtuh menimpa kita. Tapi, Arendt mengubah sedikit saja ungkapan tersebut dengan meletakkan kosa kata kebenaran sehingga menciptakan adagium “Fiat veritas, et pereat mundus”.[5] Dari yang tampak biasa, refleksi Arendt ini menjadi tak biasa.

Dengan menggeser sedikit saja kecenderungan kita, penegakkan kebenaran rupanya lebih masuk akal dalam rangka menjernihkan kekeruhan politik, kendati kita mesti musnah. Berdasarkan gagasan Arendt ini, pengungkapan kasus Munir seharusnya tidak hanya bersandar pada administrasi keadilan dan penyelesaian secara yuridis, melainkan bergerak menembus tabir gelap politik yang menutupi kebenarannya. Tulisan ini berpendapat bahwa kebenaran merupakan hakikat dasar dari keadilan dan hukum yang berada pada suatu tatanan politik. Berhadapan dengan pernyataan dari Hendropriyono di atas, tulisan ini memandang bahwa kita mesti berpegang pada kebenaran dan kebenaran sendiri tidak tereduksi habis di dalam hukum. Lantas, siapa yang mesti mengejar kebenaran tersebut dan apa dasarnya? Berdasarkan gagasan Arendt, tulisan ini akan menekankan peran institusi pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan.

Untuk mendukung pendapat di atas, kita dihadapkan pada pertanyaan: apa yang membuat kebenaran menjadi bernilai dalam politik? Dari Arendt kita akan belajar bahwa keutamaan politik juga membutuhkan kejujuran (truthfulness). 
Dengan kata lain, kebenaran itu penting dalam politik karena mendorong politik yang lebih terbuka dan representatif. Namun sejauh apa kebenaran menjadi penting dalam politik? Pemikir etika asal Inggris, Bernard Williams (1929-2003), menjawab pertanyaan ini dalam kaitannya dengan situasi masyarakat di mana batas yang benar dan yang salah sudah sedemikian kabur akibat pendustaan diri (self-deception), terutama yang direproduksi oleh media pada sistem masyarakat itu sendiri.[6] Di sinilah letak urgensi sikap ketakberkepentingan (disinterested) dan program pendidikan tinggi sebagai, meminjam istilah Williams, “metode penelusuran serta pentransmisian” kebenaran dalam politik. Maka tulisan ini akan mendiskusikan pula masalah kejujuran dalam politik dengan bertolak pada pertanyaan mengapa kebenaran itu penting dalam politik. Di bagian akhir, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa dalam gerakan perjuangan mengungkap kasus Munir, di samping kejujuran, dibutuhkan pula keberanian sebagai pangkal kebenaran kita. Sebab dalam hal ini, dengan mengadaptasi pernyataan Cak Munir, janganlah kita lelah pada kebenaran.[7]


Hubungan Konfliktual Kebenaran dengan Politik

Arendt memulai analisisnya terhadap hubungan kebenaran dan politik dengan dua pokok penegasan.[8] Pokok pertama yakni bahwa hubungan kebenaran dengan politik merupakan hubungan yang buruk. Arendt melontarkan serangkaian pertanyaan tentang mengapa hubungan keduanya tidaklah selaras. Kebenaran berdiri di satu sisi dan politik di sisi lain lantas keduanya saling menjatuhkan dan melemahkan arti dan nilai masing-masing. Keduanya bagai air dan minyak yang tertuang sekaligus di dalam gelas kehidupan manusia. Pokok kedua, bahwa kejujuran tidak dianggap sebagai keutamaan politis. Politik sedari awal sudah terkait erat dengan kebohongan, senantiasa memperkosa kebenaran, dan tidak ada urusannya sama sekali dengan kejujuran. Bukankah demikian pula kita mempersepsi praktik politik di sekitar kita? Arendt menunjukkan bahwa hubungan kebenaran dengan politik merupakan hubungan yang konfliktual.

Kisah tak mengenakan ini ternyata terlacak jauh ke belakang masa peradaban manusia. Sebuah kisah yang berusia tua dan penuh komplikasi di mana arti kebenaran itu sendiri berevolusi, mulai dari kebenaran sebagai standar perilaku manusia menurut Plato sampai kebenaran sebagai aksioma matematis menurut Thomas Hobbes.[9] Meski berbeda, kedua arti kebenaran tersebut bentrok dengan kekuasaan politik. Baik kebenaran ideal Plato maupun kebenaran aksiomatis Hobbes merupakan hasil pikiran manusia yang berupaya melewati batas-batas pengetahuan pada umumnya. Kebenaran dalam arti tersebut sulit diterima oleh kebanyakan orang biasa dan bahkan bergesekan dengan kekuasaan. Pada versi kebenaran Plato, si pengungkap kebenaran berada dalam ancaman untuk dihabisi nyawanya ketika ia berusaha membebaskan rekan-rekannya dari ilusi dan tipuan, sedangkan pada versi Hobbes, kebenaran sangat rentan untuk ditindas oleh dominasi apabila suatu aksioma bertentangan dengan hak atau kepentingan yang dominan.[10] Hubungan konfliktual itu makin kompleks ketika di masa modern berlaku pembedaan antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual. Analisis Arendt dalam teks “Truth and Politics” bertolak dari pembedaan ini untuk kemudian menunjukkan betapa rentannya kebenaran faktual, dibandingkan kebenaran rasional, terhadap pengaruh kekuasaan politik.

Arendt menyatakan bahwa “kendati kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara politis adalah faktual, konflik antara kebenaran dan politik pertama kali ditemukan dan diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran rasional.”[11] Berdasarkan pandangan Arendt, oposisi kebenaran dengan politik dapat digambarkan sebagai berikut:


gbr-1

Arendt berangkat dari pembedaan antara kebenaran rasional dan faktual. 
Baginya, konflik kebenaran dengan politik pada mulanya adalah konflik antara bidang kebenaran rasional dan bidang kekuasaan politik, atau yang Arendt sebut sebagai “dua jalan kehidupan yang saling bertentangan secara diametris”.[12] Ini adalah konflik asali dari kebenaran versus politik, sebagaimana terlihat pada oposisi A (Alfa) pada skema 1 di atas. Secara historis, konflik asali sudah dimulai sejak Parmenides dan Plato di mana kebenaran (rasional) yang dinyatakan oleh filsuf berlawanan dengan opini dari para warga masyarakat, dan opinilah yang membangun kekuasaan politik. Pelacakan Arendt terhadap asal-usul konflik ini juga memperlihatkan bahwa ciri pertentangan diametris kebenaran dengan politik masih ditemukan pada masa awal modernitas hingga abad ke-19. Perhatikan, antara lain, Hobbes yang mempertentangkan dua fakultas pikiran, yakni penalaran ketat yang didasarkan pada prinsip kebenaran dan kefasihan bersilat lidah yang didasarkan pada opini, hasrat, dan kepentingan.[13] Di masa modern, orang seperti James Madison kurang lebih juga menyatakan hal sama. Kebenaran rasional merujuk pada singularitas sebuah pikiran sedangkan opini ditentukan oleh ketergantungan dengan banyaknya jumlah yang sama-sama mencetuskannya.[14]

Akan tetapi dalam pandangan Arendt, bila kita bicara situasi kehidupan saat ini, yang lebih panas membara bukanlah konflik kebenaran rasional menurut oposisi A pada skema di atas, melainkan konflik kebenaran faktual dengan politik berdasarkan oposisi Ω (Omega). Alasannya, pertama, karena terhapusnya oposisi A pada skema 1 di atas.[15] Kedua, karena kebenaran faktual mengkait secara langsung dengan politik daripada kebenaran rasional. “Apa yang dipertaruhkan di sini adalah realitas faktual itu sendiri, dan memang ini adalah masalah politis yang pertama-tama.”[16] Di sini, Arendt justru bermaksud memperlihatkan betapa malangnya nasib kebenaran faktual apabila dibandingkan dengan kebenaran filosofis-rasional, terutama dalam keadaan di mana pasar mereproduksi opini secara massal. Baik kebenaran faktual maupun kebenaran filosofis terancam jatuh menjadi kebenaran pasar. Namun saat kebenaran filosofis dapat mengubah kodratnya menjadi opini di dalam pasar, kebenaran faktual tetaplah merupakan kebenaran faktual, kendati berhimpitan erat dengan opini. Sebab, demikian Arendt, kebenaran faktual selalu terkait dengan orang lain dan berbagai peristiwa yang melibatkan banyak orang. Ia pun bergantung pada testimoni dan kesaksian.[17] Dengan kata lain, bicara kebenaran faktual berarti bicara tentang fakta telanjang yang bagaimanapun juga berbeda dari opini, termasuk dari data mentah yang terberi, yang sudah diterima begitu saja (given), dan yang dibentuk seturut perjalanan sejarah. Fakta telanjang adalah fakta yang bersifat umum, diketahui publik tapi kerap ditutupi seolah-olah itu bukanlah fakta.[18]

Dari kemalangan nasib kebenaran faktual tersebut, Arendt memperlihatkan kekuasaan politik yang menekan kebenaran faktual. Maka kita dapat belajar bahwa kebenaran faktual memiliki kualitas yang lebih politis dari pada kebenaran rasional karena ia bersentuhan langsung dengan realitas beserta berbagai sikap penolakan terhadap fakta di dalamnya. Apabila kita kembali ke kasus Munir, keadilan dan kemanusiaan yang seringkali digembar-gemborkan untuk mengungkap kebenaran lebih bersifat anti-politis karena keduanya mudah sekali jatuh menjadi opini yang direproduksi dan dimanipulasi secara massal, terutama lewat media. Singkatnya, keadilan dan kemanusiaan itu menjadi jargon belaka. Pengungkapan kasus Munir mesti melalui saluran pencarian kebenaran faktual, yakni kebenaran yang nyata-nyata terjadi alias fakta umum tapi yang lepas dari hiruk-pikuk opini pasar dan data mentah. “Rumus” pengungkapan kebenaran tersebut kira-kira begini:

gbr-2

Namun rumus di atas tidak menuntaskan masalah hubungan konfliktual kebenaran dengan politik. Skema 1 menunjukkan bahwa kebenaran faktual beroposisi dengan kebohongan berencana. Persis pada oposisi Ω inilah Arendt ingin menunjukkan bahwa kebenaran faktual perlu ditempatkan di dalam bingkai kekuasaan politik; sebuah bingkai di mana lawan sejati dari kebenaran faktual adalah kebohongan yang diorganisir oleh aktor-aktor penguasa tertentu. Artinya, kita perlu memakai sudut pandang politik untuk lebih memahami kebenaran faktual. Pertanyaan Arendt di sini adalah: apakah kekuasaan politik dapat dan harus diperiksa tidak hanya oleh sebuah konstitusi, atau sebuah deklarasi hak, atau pembagian kekuasaan, melainkan oleh sesuatu yang berada di luar wilayah politik itu sendiri?[19]

Elaborasi atas hubungan konfliktual kebenaran dengan politik menurut Arendt memberi kita wawasan berharga, yakni tentang kebenaran seperti apa yang mesti diungkap dalam kasus di mana kekuasaan politik bersifat represif. 
Jawabannya adalah kebenaran faktual. Dan kebenaran faktual inilah yang mesti menjadi pegangan dalam pengungkapan kasus Munir. Lantas, politik seperti apa yang dapat mendukung pengungkapan kebenaran faktual tersebut? Bukankah politik itu sedemikian kotor, sempit, dan penuh kepentingan penguasa sehingga justru melihat kebenaran sebagai sesuatu yang berkarakter despotik, yakni kebenaran sebagai sesuatu yang mendominasi?[20]


munir-2

Ada dan berlipat ganda. Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)


A Test of Our Truth

Pertanyaan terakhir di atas merupakan semacam titik balik dari telaah atas kebenaran menjadi telaah atas politik di dalam hubungan konfliktual kebenaran dengan politik. Sebelumnya kita sudah melihat bahwa kebenaran yang mesti diungkap adalah kebenaran faktual. Tapi kebenaran faktual itu jelas tidak berada di ruang yang hampa udara. Ia bergelut di dalam pertarungan opini pasar dan di tengah distrubusi data mentah. Ia mesti berhadapan dengan kekuasaan. Maka menjadi penting untuk memaknai politik seperti apa yang kiranya mendukung kebenaran faktual. Pada kasus Munir, kita melihat betapa politik sejumlah elit dan alat negara menampilkan wajahnya yang sangat beraneka, dari wajah empati sampai wajah kecurigaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu menyebut kasus ini sebagai “a test of our history”; sebuah ujian yang dinilai gagal dilewati oleh pemerintahannya.[21] 
Pada konteks bahasan di sini, upaya pemaknaan politik seperti apa yang mendukung kebenaran faktual tak kurang merupakan “a test of our truth”.
Arendt sendiri menjelaskan pemaknaan politik di atas dalam rangka menegaskan betapa kebenaran faktual sangat mudah dilemahkan. Bagi Arendt politik yang tepat bagi pengungkapan kebenaran faktual adalah politik representatif, yakni politik yang mampu memperluas pikiran kita sehingga kita dapat melihat dunia dari sejumlah perspektif yang berbeda.[22] Namun proses representasi tersebut tidak begitu saja diterapkan seperti pada sikap empati atau dalam menghitung suara-suara individu, melainkan dengan cara:
“Menghadirkan lebih banyak posisi orang-orang lain dalam pikiranku sementara aku mempertimbangkan isu yang ada, dan dengan lebih baik aku dapat mengimajinasikan bagaimana aku akan merasa dan berpikir jika aku berada dalam kedudukan mereka, akan lebih kuat kapasitasku untuk pemikiran representatif dan lebih valid-lah kesimpulan-kesimpulanku, opiniku.” [23]
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Arendt membela kedudukan opini yang proses pembentukannya membutuhkan imajinasi, sikap ketidakberkepentingan, dan bebas dari kepentingan diri sendiri.[24] Tetapi hal ini tidak perlu diartikan sebagai pernyataan Arendt yang menolak kebenaran. Sebab, Arendt menyatakan bahwa fakta pada kebenaran faktual dan opini itu sebenarnya saling berhimpitan. “Jika opini-opini tidak didasarkan pada informasi yang tepat dan akses yang bebas kepada semua fakta-fakta yang relevan, maka opini-opini tersebut hampir tidak dapat mengklaim validitas apa pun.”[25] Yang penting di sini adalah fakta pada kebenaran faktual dan opini tersebut dapat diperdebatkan dan didialogkan dalam ruang publik secara argumentatif. Di samping itu, nilai-nilai dari opini seperti imajinasi, sikap ketakberkepentingan, dan bebas dari kepentingan diri sendiri dibutuhkan untuk mewujudkan politik representatif yang mendukung kebenaran faktual.

Kendati telah didukung dengan pemaknaan politik representatif, masih terdapat rintangan sulit bagi kebenaran faktual untuk mengekspresikan dirinya dalam kehidupan publik. Hal ini dikarenakan oleh nasib pengungkapan kebenaran faktual yang sedemikian mudahnya disingkirkan. Berkebalikan dengan pengungkap kebenaran filosofis, pengungkap kebenaran faktual tidak mungkin untuk melakukan semacam persuasi. Ia mau tidak mau akan melanggar aturan atau kaidah tertentu yang berlaku dalam kehidupan politik. Konsekuensi praktis ini terjadi karena apa yang dapat dilihat dengan mata dari upaya pengungkapan kebenaran faktual bukannya kebenaran akan apa yang diungkapkan, bukan pula kejujuran, melainkan keberanian dan kekukuhan yang sulit disangkal.[26] Maka ujian bagi kebenaran kita tidak cukup berhenti sampai di pemaknaan politik representatif. Arendt menunjukkan aspek lain yang mesti dipenuhi untuk melewati ujian tersebut, yakni kejujuran.

Ketika politik representatif dirasa masih belum cukup untuk mengakomodasi kebenaran faktual, kita mesti kembali kepada nilai kebenaran itu sendiri. Inilah yang ditawarkan oleh Arendt saat ia menegaskan bahwa musuh bebuyutan kebenaran faktual yang sesungguhnya adalah kebohongan berencana.[27] Maka perhatian perlu kita curahkan kembali ke skema 1 di atas, tepatnya pada oposisi Ω. Lantas pertanyaannya kini: apa yang membuat kebenaran faktual itu penting dalam politik?

Arendt setidak-tidaknya menunjukkan dua hal yang membuat kebenaran itu penting dalam politik. Yang pertama adalah kejujuran. Kebohongan berencana dilakukan sebagai upaya memanipulasi fakta dan opini. Di sini, kejujuran menjadi sangat penting karena dengan kejujuran pengungkapan kebenaran faktual dapat menciptakan suatu tindakan yang kemudian akan menggonggongi politik yang manipulatif. Yang kedua adalah fenomena maraknya upaya manipulasi yang dilakukan oleh media dan negara. Arendt mengatakan bahwa manipulasi fakta dan opini tampak jelas dalam pencitraan, penulisan ulang sejarah, dan kebijakan pemerintah.[28]

Kalau begitu, mengapa kejujuran itu penting dalam politik? Arendt tampaknya tak mengantisipasi pertanyaan ini. Ia hanya menekankan bahwa kejujuran itu penting demi politik representatif. 29 tahun setelah teks “Truth and Politics” terbit, Bernard Williams dalam teksnya “Truth, Politics, and Self-Deception” memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut. Salah satu gagasan pokok Williams adalah tiga atau empat macam argumen bagi kejujuran di dalam politik.[29] Dari telaah Williams, kita melihat bagaimana politik membutuhkan kejujuran karena dalam sistem administrasi modern, yang didukung berbagai institusi komunikasi dan edukasi, bidang politik hampir tak bisa dibedakan dari bidang hiburan (entertainment).[30] Lebih parah lagi, politik tersebut dibangun oleh konspirasi antara pendusta dan yang didustai sehingga terjadilah pendustaan diri kolektif. Akibatnya, politik yang ditampilkan oleh media menjadi ambigu antara hiburan atau penelusuran kebenaran.[31] Maka, kejujuran menjadi penting untuk menjernihkan kekacauan seperti itu.
Ujian kebenaran di sini ternyata membutuhkan kejujuran, di samping politik representatif. Lebih lanjut, Arendt mengemukakan keberadaan dua aspek penting lainnya bagi kelulusan ujian kebenaran kita. Aspek pertama adalah peran institusi pendidikan tinggi sebagai lembaga yang memprogram pencarian kebenaran dengan berasaskan pada kejujuran dan keterbukaan pada publik. 
Arendt mengambil Akademi yang didirikan Plato sebagai figur lembaga pendidikan tinggi yang berdiri di luar kekuasaan politik. “Tingkat kesempatan bagi kebenaran untuk muncul di publik sangat besar dengan eksistensi tempat semacam itu dan dengan organisasi cendikiawan yang independen, dan semesetinya tak berkepentingan, yang terkait dengan tempat itu.”[32] Aspek kedua adalah suatu prasyarat supaya kebenaran faktual dapat memunculkan dirinya, khususnya lewat program penelitian dan pengajaran di pendidikan tinggi, yakni sikap mengambil jarak dari wilayah politik. Sikap ketakberkepentingan ini sendiri mensyaratkan imparsialitas serta kebebasan dari kepentingan diri dalam pikiran maupun pembuatan keputusan.[33]

Perealisasian dua aspek ini menjadi urgen di tengah kondisi yang digambarkan Williams, yakni saat kodrat media tidaklah cocok dengan penemuan dan penyaluran kebenaran.[34] Hal ini muncul dari melorotnya metode penemuan dan penyaluran tersebut menjadi sekadar reproduksi penampilan-penampilan di dalam media massa. Ilustrasi tentang masyarakat Orwellian dari Michael Lynch kiranya dapat menggambarkan konsekuensi dari kondisi ketiadaan nilai kebenaran dalam kehidupan sosial tersebut. Masyarakat Orwellian dapat dibayangkan sebagai sejumlah orang yang masing-masingnya meyakini bahwa apa yang benar adalah apa yang ditentukan oleh yang berkuasa, atau yang disebut “Otoritas”.[35] Apa yang tidak dimiliki oleh masyarakat Orwellian adalah sikap kritis terhadap Otoritas yang kemudian dapat memunculkan ketidaksepakatan bahwa ada yang salah dengan perkataan atau kebijakan Otoritas. Dengan ilustrasi ini, Lynch memperlihatkan dimensi sosial dari nilai normatif kebenaran, yakni membuka kemungkinan untuk memberi koreksi meski hal tersebut berlawanan dengan kekuasaan politik.[36] Program pendidikan tinggi dan sikap ketakberkepentingan merupakan dua contoh konkret dari tindakan kritis dan korektif tersebut. Titik pijak hal ini jelas berada di luar status quo politik.

Keberadaan aspek kejujuran dan ketakberkepentingan ini jangan dimengerti sebagai ketidakmandirian kebenaran faktual untuk memunculkan diri dalam politik. Aspek-aspek tersebut adalah bagian dari kebenaran faktual. Sesungguhnya kebenaran faktual itu lebih superior daripada kekuasaan berkat kekukuhannya yang tak dapat disangkal (stubbornness). Oleh sebab itu, kebenaran faktual lebih kurang bersifat temporer daripada sifat kekuasaan yang senantiasa berubah-ubah tergantung pada tujuan-tujuan tertentu.[37]

Dengan sedikit saja mengubah paradigma kasus Munir dari “a test of our history” menjadi “a test of our truth”, pengungkapan kasus Munir dituntut untuk mengakomodasi kebenaran faktual berdasarkan politik “perluasan pikiran”. 
Maka, perdebatan secara argumentatif dalam ruang diskursus yang terbuka mesti tetap dipelihara. Kejujuran menjadi dasar dalam proses tersebut. Ada pun perwujudannya secara konkret dalam kehidupan sosial dinyalakan oleh kerja riset dan interpretasi para cendikiawan pendidikan tinggi terhadap kebenaran faktual. Mereka ini bersikap kritis terhadap upaya manipulasi fakta dengan berjarak dari kantong-kantong kekuasaan politik. Kekukuhan kebenaran faktual juga menjadi modal berharga bagi kebernilaiannya dalam beradu dengan kekuasaan politik. Paradigma seperti ini agaknya berguna untuk menerobos jalan buntu pemunculan kebenaran faktual yang dikekang oleh manipulasi sejumlah elit politik. Pada kasus Munir, hal ini menyuarakan nilai kebenaran sebagai pegangan dalam upaya pengungkapannya.


Penutup

Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa mengatakan bahwa politik membutuhkan kebenaran. Kebenaran faktual-r2lah yang menjadi pegangan bagi politik dalam rangka memperluas sudut pandang pemahamannya. Politik yang representatif ini menaruh perhatian serius pada peristiwa atau fakta yang partikular, lalu mendiskusikannya secara kritis dan terbuka sehingga akhirnya dapat memunculkan signifikansi peristiwa tersebut pada tataran yang universal.[38] Oleh sebab itu pula, politik yang berlandaskan kebenaran akan mengacu pada nilai kejujuran, ketulusan, dan akurasi. Politik yang demikian tentu merupakan politik yang paling tidak realistis bagi kalangan para pendusta yang senang berkonspirasi satu sama lain. Kebenaran merupakan tapal batas dari praktik perilaku politik seperti itu.[39]

Oleh karena itu, kebenaran pun membutuhkan politik. Kebenaran tersebut harus dapat melakukan konstatasi di dalam kehidupan sosial dan menjadi aparatus pengkoreksi kekuasaan yang tirani. Namun, secara paradoksal, upaya tersebut dilakukan dari luar sistem politik. Imparsialitas ini merupakan syarat bagi pengungkapan kebenaran faktual. Menurut Arendt, inilah akar dari objektivitas yang juga berlaku dalam dunia ilmu pengetahuan.[40] Barangkali demikianlah sisi lain hubungan politik dengan kebenaran, yakni hubungan yang saling membina. Titik seimbang keduanya terwujud berkat kekukuhan kebenaran faktual. Dalam sosok Munir, sifat itu tampil dalam rupa keberaniannya memperjuangkan HAM. Kebenaran memang sepaket dengan keberanian.[41]
Repotnya, kasus Munir tampak masih dipahami melulu secara legal-yuridis. Padahal sebagaimana posisi tulisan ini, kebenaran justru merupakan hakikat dasar dari hukum. Kebenaran itu masih perlu digali lebih lanjut sambil mengerti perimbangan hubungan antara politik dan kebenaran tadi. Usman Hamid, misalnya, sangat getol menderet sekian nama elit politik yang dianggapnya dapat mengungkap kembali kasus Munir, tentunya dengan nama Joko Widodo di urutan nomor satu.[42] 
Hal ini terkesan seperti memaksa maling untuk mengakui bahwa dirinya adalah maling di wilayah kekuasaan para maling itu sendiri. Dalam arti tertentu, pernyataan Hamid ini senapas dengan pernyataan Hendropriyono yang melulu mengacu pada standar-standar universal dari hukum. Keduanya seperti gambar yang berbeda dari satu mata koin yang sama, yang jatuh di ruangan gelap, dan hanya meninggalkan bunyi teka-teki berdencing-dencing. Bahwa pemrosesan hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Munir adalah keharusan untuk dijalani merupakan satu hal, tapi bahwa upaya pengungkapan kasus tersebut memang menampilkan kebenaran secara benderang adalah hal yang lain.

Arti kebenaran yang telah kita kaji mendesak bidang pendidikan tinggi sebagai agen pengungkap kebenaran. Perguruan tinggi di Indonesia semestinya dapat memenuhi peran ini untuk memunculkan kebenaran di ruang publik. Perguruan-perguruan antara lain dapat melakukan riset secara ilmiah, kolektif, dan koordinatif terhadap fakta-fakta pelanggaran HAM seperti kasus Munir sehingga nilai kebenaran itu terus-menerus direfleksikan dan dirawat. 
Dengan tetap membuka perdebatan dan diskusi kritis kasus Munir, perguruan tinggi justru menghidupi kehidupan politik. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Hendropriyono, dan juga pernyataan Hamid di atas, yang sama-sama menunggalkan pengungkapan kasus Munir ke dalam jalur administrasi peradilan. Bila halnya demikian, maka kebenaran, seperti kata Arendt, menjadi anti politis.

***

Tanius Sebastian, kader dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Kepustakaan:
Arendt, Hannah. “Truth and Politics.” Dalam Truth. Engagements Across Philosophical Traditions, edited by José Medina and David Wood. Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005, hlm. 295-314.
d’Entreves, Maurizio Passerin. “Hannah Arendt.” http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp. Diakses pada 6 Desember 2014.
Hidayat, Bagja., et al. “Bukti Baru Pembunuhan Munir. Liputan Khusus.” Majalah Tempo Edisi Khusus (8-14 Desember 2014):42-119.
Lynch, Michael P. True to Life. Why Truth Matters. Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2006.
Williams, Bernard. “Truth, Politics, and Self-Deception.” Social Research 63 (Fall 1996): 603-617.

—————–
[1] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Fakta Baru Pembunuhan Munir”, 8-14 Desember 2014.
[2] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Abdullah Makhmud Hendropriyono: Saya Bukan Intel Kemarin Sore”, hlm. 68.
[3][3] Hannah Arendt, “Truth and Politics” dalam José Medina and David Wood (eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 295-314.
[4]The subject of these reflections is a commonplace.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[5] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[6] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception.”, Social Research 63 (Fall 1996): 603-617.
[7] Majalah Tempo mengutip pernyataan Munir yang memang getol memprotes kedegilan penguasa yang suka menggunakan kekerasan bagi rakyatnya. Majalah Tempo menyerukan supaya kejahatan pembunuhan Munir harus diungkap dan tidak boleh terulang. “Sebab, kita, mengutip Munir pada suatu kesempatan, ‘Sudah lelah dengan kekerasan’”. Majalah Tempo Edisi Khusus, “Kami Sudah Lelah dengan Kekerasan”, hlm.45.
[8]No one has ever doubted that truth and politics are on rather bad terms with each other, and no one, as far as I know, has ever counted truthfulness among the political virtues.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 295.
[9] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.
[10] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 296.
[11] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 297.
[12] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.
[13] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 298.
[14] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299.
[15]In the world we live in, the last traces of this ancient antagonism between the philosopher’s truth and the opinions in the market place have disappeared. Neither the truth of revealed religion, which the political thinkers of the seventeenth century still treated as a major nuisance, nor the truth of the philosopher, disclosed to man in solitude, interferes any longer with the affairs of the world.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 299-300.
[16] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.
[17] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 301.
[18]The facts I have in mind are publicly known, and yet the same public that knows them can successfully, and often spontaneously, taboo their public discussion and treat them as though they were what they are not – namely secrets.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 300.
[19] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.
[20] Hal ini sejalan dengan apa yang digagas oleh Michel Foucault dalam pernyataannya bahwa kebenaran sudah merupakan bentuk kekuasaan. Bdk. Michel Foucault, “The Discourse on Language and ‘Truth and Power’”, dalam José Medina and David Wood (eds.), Truth. Engagements Across Philosophical Traditions (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hlm. 334-335.
[21] Majalah Tempo Edisi Khusus, “Bukti Baru Pembunuhan Munir”, hlm.31.
[22] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”, http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#ActPowSpaApp, diakses pada 6 Desember 2014. Ini merupakan gagasan tentang “perluasan pikiran” (enlarged mentality) yang diadaptasi oleh Arendt dari kritik ketiga Immanuel Kant dalam karyanya Critique of Judgement. Arendt menyatakan kritik ketiga ini memuat filsafat politik Kant meskipun Kant sendiri tak menyadari implikasi moral dan politik dari ajarannya ini. d’Entreves mengomentari bahwa adaptasi Arendt atas kritik ketiga Kant ini merupakan bagian dari teori Arendt tentang keputusan (judgement). Menurut d’Entreves, Arendt meyakini kritik keputusan estetis Kant dari bagian pertama dari Critique of Judgement telah mengkaitkan konsep keputusan dengan kemampuan politis tertentu, yakni kemampuan untuk memperlakukan peristiwa yang partikular menurut partikularitasnya, lalu memaknainya sebagai eksemplar sejarah.
[23] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303. Konsep “perluasan pikiran” yang berkorelasi dengan dua fakultas keputusan politik (imajinasi dan akal sehat yang berlaku umum (sensus communis) serta diukur menurut standar dapat tidaknya keputusan dikomunikasikan) menjadi prinsip bagi keputusan dan tindakan manusia. Hal ini memperlihatkan ide gambaran manusia yang terlibat (actor) sekaligus yang menyaksikan (spectator). Lihat lebih lanjut: Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”.
[24] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 303.
[25] Maurizio Passerin d’Entreves, “Hannah Arendt”.
[26] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.
[27] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 306.
[28] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 307.
[29] Williams menerangkan hubungan kejujuran dengan politik dan menyusun tiga argumen tentang pentingnya kejujuran di dalam politik, yakni (1) argumen anti-tiran; (2) argumen menurut demokrasi; (3) argumen liberal, yang dibagi menjadi dua(3a) versi minimal dan (3b) versi pengembangan diri. Williams memandang argumen (3a) menekankan “kebebasan dari” atau yang menurutnya bisa disebut dengan kebebasan negatif, sedangkan argumen (3b) lebih kepada “kebebasan untuk”. Menurutnya, argumen (3b) ini lebih mengarah pada nilai kebenaran yang sejati. Lebih lanjut lihat: Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, Social Research 63 (Fall 1996), hlm. 603-617.
[30] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 613-614.
[31] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 615. Arendt sebenarnya memiliki keprihatinan yang sama. Hal ini bisa kita lihat dari pendapatnya bahwa penggantian total dan konsisten kebenaran faktual dengan kebohongan akan menghancurkan kategori atau batas antara mana yang benar dan yang salah. Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 309.
[32] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 311.
[33] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 312.
[34] Bernard Williams, “Truth, Politics, and Self-Deception”, hlm. 614.
[35] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters (Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2006), hlm. 161-162.
[36] Michael P. Lynch, True to Life. Why Truth Matters, hlm. 162.
[37] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 310. Hal ini menegaskan bahwa sifat kukuh yang tak dapat disangkal erat berdampingan, bahkan saru dengan sifat berani dari pengungkapan kebenaran faktual. Lihat catatan kaki nomor 26.
[38] Hal ini dimungkinkan oleh keputusan reflektif yang berasal ajaran kritik ketiga Kant. Menurut teori keputusan reflektif, prinsip, aturan, atau hukum yang universal tidak mendeterminasi peristiwa yang partikular. Artinya, peristiwa tersebut tetap terbuka untuk diperdebatkan dan didiskusikan menurut kapasitas “perluasan pikiran”. Maka, kebenaran faktual pun bersifat politis.
[39]Conceptually, we may call truth what we cannot change; metaphorically, it is the ground on which we stand and the sky that stretches above us.” Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 313.
[40] Hannah Arendt, “Truth and Politics”, hlm. 313.
[41] Fitri Nganthi Wani, “Buat Suci dan Kedua Anaknya”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus, hlm. 119.
[42] Usman Hamid, “Jokowi dan Kasus Munir”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus, hlm. 118.