Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 30 Juni 2015

IPT 65; Diantara Kepungan 4 Kelompok

30 Juni 2015 | Oleh. Aan Anshori[1]
 
Selasa 16 Juni lalu, saya diundang KONTRAS Surabaya menghadiri sebuah diskusi terbatas seputar Peristiwa 1965. Jika dihitung, sudah 50 tahun tragedi yang menewaskan ratusan ribu tertuduh PKI ini berlalu. Hampir semuanya dieksekusi tanpa melibatkan pengadilan. Lima kali ganti presiden tidak juga mampu menuntaskan persoalan ini secara bermartabat.

Kalau hendak disederhanakan, pertanyaan pendek menyangkut Peristiwa ini adalah apakah Tragedi paling kelam dan memalukan dalam sejarah modern Indonesia ini hendak diselesaikan atau dilupakan saja. Jika opsi pertama diamini, pertanyaan lanjutan telah menanti; dituntaskan melalui mekanisme hukum, atau cukup diselesaikan secara adat, misalnya memakai ritual potong kerbau atau bancakan jajan pasar. Problemnya selalu berputar-putar di dua pertanyaan tersebut.

Kabar terakhir, Pemerintahan Jokowi telah membentuk sebuah tim yang ditugasi menyelesaikan 6 kasus pelanggaran HAM berat selama ini, termasuk Peristiwa 65. Dengan berbagai argument, kemungkinan besar ritual potong kerbau akan dipilih untuk menyelesaikan Peristiwa tersebut. Apakah ini memuaskan? Kita tentu bisa berdebat. Namun jika mau fair, Jokowi harusnya dengan rendah hati menemui para Korban atau keluarganya, menanyai dan berdialog dengan mereka menyangkut apa yang mereka kehendaki, sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden Gus Dur.

Harus diakui, pengungkapan Peristiwa ini memang membuat banyak orang merasa sangat rikuh. Situasinya mirip seperti korban perkosaan berjamaah yang menuntut keadilan agar peristiwa itu diungkap. Sang Korban sadar jika pelakunya berserak; dari tukang tambal ban hingga komandan, dari preman hingga tokoh agama. Motif perkosaannya pun variatif. Ada yang sejak awal berencana menodai korban, namun tidak sedikit yang sekedar ikut-ikutan. Bahkan, banyak yang mengaku terpaksa ikut memerkosa karena takut diperkosa-balik jika tidak mau memerkosa. Jargon-heroiknya kala itu, ‘memerkosa atau diperkosa!

Salah Paham IPT 1965

Kembali ke acaranya KONTRAS. Diskusi sore itu terfokus pada rencana perhelatan International People’s Tribunal 65 (IPT) di Den Haag Oktober mendatang. IPT ini semacam sidang mahkamah rakyat internasional untuk “memeriksa dan mengadili” siapa yang bersalah dalam Peristiwa 65. Akan tetapi, bukankah Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma yang mengatur soal Pengadilan Pidana Internasional? Betul. Justru karena hal itu ‘persidangan’ ini dibuat. Tujuan utamanya, untuk memecah kebuntuan hukum dan memberikan political pressure bagi pemerintah Indonesia, agar segera menuntaskan Peristiwa ini. Bagi yang aktif berkecimpung di dunia advokasi, tentu sangat memahami signifikansi stategi shaming and naming dalam memperjuangkan sebuah kasus.

Rencana IPT 1965 ini sempat jadi pembahasan serius di organisasi dimana saya menjadi pengurus dan mempunyai kartu anggota. Mungkin karena tidak mendapat informasi memadai mengenai IPT 1965, tidak sedikit elite organisasi saya yang memilih resisten. Mereka mempersepsi tribunal ini tidak hanya akan ‘mendakwa’ para leluhur yang memang terlibat aksi kekerasan 1965. Namun lebih jauh, IPT juga akan menyeret organisasi saya ke kursi pesakitan.

Minimnya informasi tentang IPT 65 pada gilirannya mendorong organisasi saya merespon terlalu jauh’. Dalam berbagai forum, selalu dikumandangkan bahwa IPT ini akan mendakwa para kiai, selain pemerintah. Kumandang ini pada sekian menit berubah menjadi ajakan berjihad manakala dikunci dengan satu kalimat heroik, ‘Apakah kita, sebagai santri, rela kiai kita –yang telah berkorban membela Negara dan kehormatan umat islam korban 1948- dipermalukan seperti itu oleh antek-antek PKI?!.

Kesalahpahaman tentang IPT masih saya temukan, setidaknya dari paparan mas Mun’im Dz -saat beliau menjadi pembicara –bersama Gus Sholah- dalam bedah Buku Benturan NU-PKI, Kamis 7 Mei 2015. Waktu itu saya hadir –meski tidak sampai selesai- bersama ratusan santri dan mahasiswa dari BEM se-Jawa Timur di Gedung Yusuf Hasyim Tebuireng.

Yang saya tahu, IPT 65 akan mendakwa state-actor (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu. Panel ‘hakim’ nantinya akan memeriksa sejauh mana peran mereka berdasarkan bukti dan kesaksian yang dikumpulkan oleh prosecutor. IPT 1965 -sepanjang yang saya tahu- tidak akan menyeret dan menjadikan leluhur, tetua dan organisasi saya sebagai bagian dari Terdakwa. Jika salah satu sumber utama IPT, asumsi saya, adalah warisan penyelidikan pro yustisia Komnas HAM 2012 lalu, maka setidaknya ada 3 pihak dalam militer yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertama, komandan pembuat kebijakan, yakni Pangkopkamtib periode 1965 hingga 1969, dan Pangkopkamtib periode 19 September 1969 sampai setidaknya akhir 1978. Kedua, Komandan yang memiliki kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya, yakni para Penganda dan/atau Pangdam periode 1965 hingga 1969, dan periode 1969 sampai akhir 1978. Ketiga, individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan.[2]

Empat Faksi

Dalam dinamikanya, terdapat 4 faksi besar di organisasi saya dalam menyikapi Peristiwa 65. Faksi pertama adalah kelompok antirekonsiliasi. Mereka setidaknya mempunyai beberapa pandangan. Pertama, PKI adalah satu-satunya dalang G30S. PKI dan pengikutnya harus terus dibelenggu dan diawasi gerakannya, termasuk juga keturunannya. Bahkan kelompok ini tidak merasa diskriminasi terhadap Korban merupakan hal penting untuk dibicarakan. apa yang Korban alami merupakan balasan setimpal atas perilaku mereka selama ini, terutama saat pecah Peristiwa Madiun 1948. Berbagai  analisis/tafsir historis – seperti yang dikemukakan Anderson, McVey, Wertheim, Robinson, Cribb, dll- yang menunjukkan adanya kemungkinan dalang lain harus ditolak.

Kedua, pelaku (militer – sipil) telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan NKRI dan umat Islam waktu itu, yang bahkan mereka (pelaku) seharusnya mendapatkan penghargaan karena membela Negara. Oleh karenanya pelaku tidak perlu meminta maaf. 

Ketiga, mengkampanyekan antikebangkitan PKI merupakan tugas suci yang harus digelorakan terus menerus.

Keempat, sejarah tidak perlu diluruskan karena dianggap sudah benar. Membincang ulang peristiwa 1965-66 dianggap membangkitkan memori lama yang bisa berujung pertumpahan darah lagi. Kelompok ini juga menuding para-pihak yang membantu Korban 65 sebagai bagian dari kospirasi yang digerakkan oleh luar negeri untuk menghancurkan Indonesia dan Islam. 
Para-pihak ini dianalogikan sebagai si Penebang kayu dalam cerita Penebang Kayu dan Serigala.[3]

Kelompok kedua adalah pro-rekonsiliasi yang didalamnya terdapat 3 faksi; konservatif, moderat dan progresif. Faksi rekonsiliasi-konservatif meneguhkan keyakinannya pada hal-hal berikut.  

Pertama, menyesalkan terjadinya Peristiwa 1965, namun demikian masih meyakini PKI mengkhianati negara, dan sebagai satu-satunya dalang Peristiwa G30S. Sejarah tidak perlu diluruskan. Upaya hukum bagi pelaku tidak perlu dilakukan. Begitu juga dengan berbagai regulasi antikomunis; tidak perlu dicabut.

Kedua, Peristiwa 65-66 perlu dipahami sebagai konflik horizontal yang menempatkan PKI dan masyarakat sipil sebagai korban, oleh karenanya TIDAK PERLU DIBAHAS LAGI karena hanya akan membawa bangsa ini melangkah mundur. 

Ketiga, Negara tidak perlu minta maaf. Meski demikian jika PKI berkehendak minta maaf, organisasi saya –menurut faksi ini- siap memaafkan.  

Keempat, mempercayai rekonsiliasi di level akar rumput telah berjalan secara alami, dan tidak perlu diselebrasi karena justru akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi rekonsiliasi itu sendiri. Prinsipnya, silence will heal. Kelima, upaya menggaungkan kembali Peristiwa 1965 dengan mencitrakan PKI seolah sebagai Korban merupakan bentuk provokasi[4] dan upaya mengadu domba, yang oleh karenanya perlu dilawan.

Faksi rekonsiliasi-moderat meyakini bahwa; 

1) masalah utama Peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan underbouw-nya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Organisasi saya dan PKI merupakan korban keadaan. Non-state-actors tidak dapat menghindar dari instruksi tentara. Opsi yang tersedia adalah membunuh (PKI) atau dibunuh (karena dianggap PKI). 
Mereka harus saling memaafkan. Meskipun keterlibatan PKI sangat jelas dalam Peristiwa G30S NAMUN mereka bukan satu-satunya dalang. Sejarah G30S perlu diluruskan berbasis fakta persidangan dan memberikan kesempatan masyarakat  untuk menilainya sendiri. 

2) Negara perlu meminta maaf kepada Korban BUKAN kepada PKI. 

3) Proses rekonsiliasi harus terus dilakukan bertumpu pada ketulusan, kejujuran, keterbukaan, dan mensyaratkan luruhnya prasangka, serta dibincang secara terbuka dengan melibatkan semua pihak. Pada titik ini, Negara harus merehabilitasi para Korban dan memastikan tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. 

4) Konstitusi memberikan jaminan hak kemerdekaan berpikir dan menyatakan pikiran. Oleh karenanya, Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dianggap tidak lagi compatible saat ini, meski pencabutannya perlu menuggu momen yang tepat. Namun demikian kelompok ini masih keberatan PKI berlaga kembali dalam kancah politik nasional. Keberatan ini juga berlaku terhadap munculnya partai baru yang akan melakukan cara-cara sebagaimana PKI, dan 

(5) penyelesaian secara hukum -dengan mendakwa state-apparatus saat itu- akan sia-sia, sebab banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia. Upaya ini dianggap tidak sebanding dengan kegaduhan politik yang justru akan menimbulkan gelombang-balik menghantam para Korban.

Sedangkan yang terakhir adalah Faksi rekonsiliasi-progresif. Kelompok ini dengan sadar mengakui keterlibatan militer dan organisasi saya. Oleh karenanya, kelompok ini secara terbuka mengakui kesalahan, meminta maaf dan ikut terlibat aktif menyuarakan keadilan bagi korban, sembari terus menggalang rekonsiliasi dengan semua pihak. Lebih jauh, bagi kelompok ini, jika Peristiwa G30S dibuka kembali maka akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia.

Banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Oleh karena itu biarlah pengadilan yang akan menentukan mana yang benar[5]. Pun, regulasi yang masih bersifat diskriminatif menyangkut Peristiwa ini perlu dicabut, tidak terkecuali TAP MPRS XXV/1966 MPRS. Kelompok ini berpandangan konstitusi tidak melarang ideologi apa pun. 

Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak (para pemeluknya)[6]. Proses perumusan Tap MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan jikapun ia secara politik bersalah[7]. Secara tajam, kelompok ini menuding TAP MPRS tersebut dibuat oleh “seseorang yang tengah berendam dalam nafsu (kekuasaan), dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri.”[8]

Keluar dari Kepungan

Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan menyangkut Peristiwa 65 merupakan hal lumrah, sepanjang tidak digunakan untuk membungkam yang lain, apalgi menghalangi siapapun menuntut apa yang menjadi haknya. Mencermati 4 peta kelompok di atas, sangat jelas IPT menghadapi tantangan serius dari kubu antirekonsiliasi, rekonsiliasi-konservatif, dan faksi rekonsiliasi-moderat. Ketiganya berpandangan IPT merupakan upaya lancang yang tidak hanya akan menambah kekacauan situasi yang sudah ‘kondusif’, namun juga secara nyata berintensi membangunkan macan tidur. Saya mebayangkan terdapat dua pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan oleh IPT 65. 

Pertama, meminimalisasi kesalahpahaman dengan kelompok-kelompok kontra-IPT 65, terutama tiga kelompok tersebut di atas. Kedua, meyakinkan mereka bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial merupakan masa depan terjadinya rekonsiliasi yang sebenarnya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ketiga faksi ini bisa menerima gagasan IPT yang secara fundamental telah ditolak ketiganya sejak awal? Saya berpandangan terdapat celah yang bisa mempersatukan Korban 65 dengan-setidaknya dua dari tiga faksi tersebut (rekonsiliasi-moderat dan konservatif), yakni dengan cara terus menggali apa yang disebut ‘keduanya adalah korban’.

Begini, saya kerap mendengar dari banyak pihak di internal organisasi saya bahwa para pelaku (sipil) pembantaian juga merasa menjadi korban keadaan. Mungkin perasaan ini dianggap mengada-ada dan terkesan apologetis. Namun jika mau ditelisik lebih jauh, kita tentu bisa memahami kondisi ini, setidaknya melalui jargon ‘ membunuh atau dibunuh’. Jargon ini merupakan mantra sakti yang sangat terkenal untuk mengeskalasi pembantaian, setidaknya dalam kurun Oktober-Januari 1966 di Jawa Timur.

Temuan saya, mantra tersebut digunakan militer memaksa organisasi-organisasi kontra PKI melalui dua jalur. Pertama, memprovokasi organisasi-organisasi tersebut agar “membunuh (PKI), atau (jika tidak membunuh, mereka yang akan) dibunuh (oleh PKI)’.[9] Kedua, mengintimidasi mereka dengan mengintrodusir pemahaman bahwa “(mereka harus) membunuh (PKI) atau (mereka akan) dibunuh (karena dianggap PKI).[10]

Beban psikologis ini perlu diapreasi dan didialogkan secara bersama, agar prasangka semakin terkikis, dan rekonsiliasi pun menjadi sesuatu yang lebih konkrit serta bertenaga. Ujungnya, penyatuan ini akan bergerak mendorong negara memenuhi keadilan yang telah lama raib secara lebih bermartabat, yakni meminta negara secara konkrit bertindak menyangkut tiga hal; mengungkap kejujuran sejarah 1965, menghentikan impunitas pelaku (militer) melalui upaya hukum, dan memberikan reparasi bagi Korban.

Harus disadari sejak awal, upaya ke arah sana bukanlah hal mudah. Kekuatan-kekuatan antirekonsiliasi akan terus bergerak memadamkan ikhtiar mulia tersebut, dengan dukungan faksi garis-keras di militer dan kelompok Islam radikal-kanan. Mereka bertiga akan menggunakan segala cara agar faksi rekonsiliasi -baik konservatif maupun moderat- tidak menyeberang ke kubu progresif. Dalam upaya berebut pengaruh ini, jujur saya katakan, tiga kelompok tadi bisa dikatakan relatif berhasil mengkarantina faksi konservatif dan moderat agar tetap resisten terhadap gagasan IPT. Bahkan saat ini, mereka telah mulai meransek ke faksi progresif, pelan-pelan melucuti pendukungnya agar tidak lagi setia terhadap tiga tuntutan tersebut

Semakin kelompok rekonsiliasi-progresif memilih absen memperkuat komunikasi dengan 3 kelompok lain, maka peluang meraih dukungan akan semakin mengecil. Lantas, bagaimana cara membangun komunikasi dengan para elite di organisasi yang masih berciri feodal? Mudah. Kuncinya adalah silaturahmi, dalam rangka menjelaskan persoalan secara utuh, tanpa pretensi untuk saling menjatuhkan. Memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam menggalang dukungan banyak pihak, diperlukan juga kekukuhan pendirian, serta keberimbangan dalam ngemong para pihak yang terlibat, Gus Dur -saya kira- merupakan contoh kecil dari sedikit yang bisa dijadikan marja’. Dalam pemerintahannya yang begitu cepat berlalu, dia telah meletakkan model dasar -ideal- dalam membangun kerangka kerja pembelaan Kasus 65 -dari perspektif pemimpin formal (presiden) yang berasal dari organisasi yang tangannya dianggap berlumuran darah.

Misalnya, dia kukuh bersetia pada kemanusiaan dan keadilan; mengakui kesalahan organisatorik dan mendukung upaya keadilan bagi siapa saja yang merasa jadi Korban. Terhadap TAP MPRS XXV/1966, Gus Dur menganggap regulasi tersebut layaknya slilit regulatif yang harus dicungkil. Pendirian tersebut tidak lantas menyurutkan langkah Gus Dur mengkomunikasikan gagasannya ke banyak pihak, termasuk kepada elit organisasinya sendiri, meski tidak banyak mendapat dukungan. Posisinya yang kurang menguntungkan tersebut nampak semakin ‘terpuruk’ tatkala -di lain pihak- dirinya mendapat cibiran keras dari Pram terkait permintaan maafnya, juga pada saat beberapa korban 65 malah justru menuntutnya ke pengadilan – bersama dengan para mantan presiden lainnya. Sikap Gus Dur? Dia tidak patah arang. Dua kali dia mengunjungi rumah Pram –dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI- untuk mencairkan kebekuan. Gus Dur juga meresmikan sebuah panti jompo yang dihuni oleh penyintas 65, dan memberikan kata pengantar pada bukunya Ribka Tjiptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI.

Saya melihat IPT 1965 merupakan upaya meneruskan apa yang dulu belum sempat diselesaikan oleh Gus Dur, terutama untuk menguji klaim kebenaran masing-masing pihak atas Peristiwa 65, melalui mekanisme hukum yang fair dan transparan. Yang saya heran, kenapa Gus Dur begitu percaya diri mendukung pengungkapan Peristiwa ini melalui ranah hukum –padahal semua tahu organisasinya ikut terlibat aktif, terutama di Jawa Timur? Bukankah secara politik langkah ini mengesankan ia tengah menyerahkan leher organisasinya untuk ditebas?

Saya menduga, terdapat dua kemungkinan kenapa Gus Dur memilih laku tersebut. Pertama, sangat mungkin dia tengah mempraktekkan apa yang pernah ia katakan, ‘melanggar hak hukum seseorang karena ia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup menjadi seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan bahwa apa yang salah adalah salah dan apa yang benar adalah benar, terlepas dari kita menyukainya atau tidak.” Kedua, barangkali Gus Dur meyakini jika mekanisme hukum justru akan membuktikan bahwa organisasinya memang dalam kategori korban. Lebih jauh, sangat terbuka kemungkinan dia tengah mempercayai bahwa rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika ada kepastian hukum, yang secara simultan disusuli dengan pemaafan kolektif, pengungkapan kebenaran sejarah, penghentian diskriminasi, dan pemberian reparasi bagi korban. Wallohu a’lam.

Jombang, 11 Ramadhan 2015.

Refrensi :
[1] Nahdliyin, No. Kartanu. 13.120612.0288.02
[2] Pernyataan Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966 tertanggal 23 Juli 2012
[3] Kisah Penebang Kayu dan Serigala bisa dibaca dalam tulisan Yusuf H berjudul Kenapa Kita Menentang Komunis, dimuat Republika 29 April 2000.
[4] Secara spesifik, kelompok ini keberatan dengan apa yang mereka sebut sebagai dramatisasi jumlah korban Pembantaian 1965-66. Menurut Mas Munim Dz, jumlah korban kurang dari 20.000 orang. Para pembela PKI dianggap memainkan statistik jumlah korban untuk mengglorifikasi kepentingan mereka.
[5] Rabu, 15 Maret 2000, Terhadap Korban G30S/PKI Gus Dur: Sejak Dulu Sudah Minta Maaf, Jakarta, Kompas
[6] Gus Dur menyatakan hal tersebut sebagaimana di harian Kompas, 5 April 2000.
[7] Kompas, 22 April 2000
[8] Kompas, 1 April 2000.
[9] Upaya adu domba-domba dengan model provokasi ini –misalnya- sangat tampat tersirat dari testimoni alm. Pak Ud, Killing Communists. Dalam beberapa paragraf akhir tulisan tersebut, Pak Ud menceritakan militer selalu menyodorkan daftar nama kiai yang katanya akan menjadi target ‘penculikan’ PKI. Pak Ud pada akhirnya meragukan list tersebut benar dibuat PKI.  Dia menutup testimoninya dengan kalimat, ‘there are two possibilities: one is that PKI was trying to confront its political enemies. But now I’m not sure whether the level of awareness among PKI members could really have been that high”, lihat McGlynn. John H, Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incident & Images, 2007. Testimoni tentang daftar yang seolah-olah dibuat PKI – namun sebenarnya dibuat oleh militer untuk memojokkan PKI, juga diceritakan oleh Gus Sholah (Salahuddin Wahid) dalam tulisannya PKI dan Rekonsiliasi, Republika, Kamis 6 Nopember 2003.
[10] Dalam tulisannya, Gus Sholah menceritakan ada orang yang dipaksa menjadi eksekutor tertuduh-PKI, Jalan Mendaki Rekonsiliasi, Situs NUOnlline, 2 Oktober 2006. Penjelasan yang sama juga saya dengar dari beliau beberapa kali saat membincang persoalan ini, salah satunya pada 13 Januari 2015 di Tebuireng


http://kontrassurabaya.org/diskursus/ipt-65-diantara-kepungan-4-kelompok/

Senin, 15 Juni 2015

Walikota Palu Meminta Maaf Kepada Korban Peristiwa 1965-66

by webmaster · June 15, 2015

Illustrasi korban Peristiwa 1965 di Palu

Permintaan maaf Walikota Palu, Rusdy Mastura kepada korban kasus pembunuhan massal Peristiwa 1965 – 66, mengejutkan banyak orang. Keberaniannya untuk menentukan keberpihakan, adalah langkah yang sangat berarti. Dia bertekad untuk mengubah paradigma masyarakat, terutama di kota Palu agar sadar HAM. Memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi korban dan memberi beasiswa atau pendidikan gratis kepada anak-cucu mereka.

Tak berhenti pada maaf

Dengan rendah hati walikota Palu, H Rusdy Mastura menyampaikan permintaan maaf kepada korban kasus pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang ada di kota Palu Sulawesi Tengah. Penyampaian permintaan maaf tersebut, diungkapkannya dihadapan ratusan keluarga korban dalam acara seminar hasil penelitian dan ferivikasi korban peristiwa 1965/1966 di kota Palu pada Selasa (19/5) di ruang auditorium kantor walikota Palu.

Permintaan maaf yang disampaikan langsung walikota Palu, H Rusdy Mastura ini sudah berulangkali disampaikannya dalam setiap kesempatan baik di depan forum pertemuan soal Hak Asasi Manusia pada skala daerah maupun secara nasional. Dihadapan ratusan keluarga korban kasus pembunuhan massal, Walikota Palu Rusdi Mastura bertindak atas nama pribadi dan Pemerintah Kota Palu. Rusdy Mastura menceritakan kisahnya sewaktu remaja mengaku aktif sebagai anggota Pramuka itu menuturkan, ketika Gerakan 30 September 1965 pecah, banyak orang yang dituduh terlibat ditangkap oleh tentara.

Walikota Palu berkeinginan kuat agar peristiwa kelam itu tidak terjadi lagi. Dia bertekad untuk mengubah paradigma masyarakat, terutama di kota Palu agar sadar HAM. Menurutnya, permintaan maaf terhadap para korban pelanggaran HAM berat menjadi salah satu upaya untuk memberi penyadaran tentang HAM kepada masyarakat.

Walau sudah meminta maaf, urainya, persoalan belum selesai. Dia mengatakan akan membentuk program rehabilitasi dan rekonsiliasi untuk para korban. Atas dasar itu Rusdi mengajak semua pihak membantu pemerintah Kota Palu menyusun program tersebut seperti Wantimpres, para korban dan lembaga masyarakat sipil yang fokus terhadap isu HAM seperti Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) Sulteng dan KontraS. Rusdi berharap Palu menjadi kota yang sadar HAM.

“Saya mau masyarakat menyadari pentingnya HAM,” tegas Walikota Palu ini dihadapan wartawan New York Times tersebut. Walikota Palu, H Rusdy Mastura menyadari keputusannya meminta maaf bukannya tanpa hambatan. Soalnya ada kelompok masyarakat lain yang menentang keputusannya itu. Namun Rusdy mengatakan tidak terlalu merisaukan kelompok tersebut.

Menurut Rusdy, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah bagaimana memenuhi hak korban. Rusdi berjanji akan memberikan kesehatan gratis bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Untuk anak-anak korban ia berjanji akan memberi beasiswa atau pendidikan gratis.

Data korban

Hasil penelitan dan verifikasi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) peristiwa tahun 1965/1966 di Kota Palu mencapai 768 nama yang tersebar di 8 kecamatan. Ke-768 nama korban itu berasal dari data awal sebanyak 500 nama dan data tambahan sebanyak 268 nama. Demikian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu merilisnya.

Laporan korban pelanggaran HAM yang dirilis itu adalah hasil penelitian dan verifikasi yang dilakukan oleh Tim Peneliti yang terdri dari Moh. Syafari Firdaus, M. Isnaeni Muhidin, Iksan, dan Iwan Lapasere. Penelitian itu juga dibantu oleh contributor yakni Nurlaela Lamasitudju (SKP-HAM Sulteng) dan Jefriyanto (SKP-HAM Sulteng) serta didukung oleh pembaca kritis seperti Tahmidi Lasahido (Sosiolog), Wilman Lumangino (Sejarahwan), Kamala Chandrakirana (KKPK), Dodi Yuniar (AJAR).

Laporan dalam bentuk ringkasan eksekutif itu juga mengulas tentang bagaimana Peristiwa 1965/1966 secara spesifik di Palu. Peristiwa itu menurut laporan itu diawali dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30S) di Jakarta yang berimbas nyaris merata di seluruh Indonesia tak terkecuali Kota Palu.

Gelombang protes dan demonstrasi yang menuntut pembubaran dan “pembersihan” Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta elemen-elemennya terjadi juga di Kota Palu. Protes dan demonstrasi ini berlangsung dari Oktober 1965 sampai Februari 1966, yang disusul dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap para anggota partai, anggota-anggota ormas yang berafiliasi dengan PKI, serta mereka yang dianggap sebagai simpatisannya.

4 Gelombang penangkapan

Ada empat gelombang penangkapan dan penahanan yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya, yaitu penangkapan dan penahanan gelombang pertama terjadi di akhir 1965. Sasaran penangkapan dan penahanan gelombang pertama ini adalah para pimpinan PKI dan pimpinan organisasi-organisasi pendukungnya.

Gelombang kedua terjadi tahun 1966 dan 1967. Penangkapan dan penahanan gelombang kedua ini masih menyasar anggota PKI dan anggota organisasi pendukungnya. Gelombang penangkapan dan penahanan ketiga terjadi tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1969 sampai tahun 1970. Kali ini, yang menjadi sasaran adalah anggota militer dari kesatuan Brawijaya yang tergabung dalam Batalyon 711 Raksatama, Palu, dengan tuduhan mereka adalah bagian dari PKI. Selain alasan itu, tidak terkuak alasan yang jelas atas penangkapan dan penahanan terhadap para anggota militer tersebut. Sebagian dari mereka justru ada yang baru pulang dari tugas operasi pembebasan Irian Barat.

Gelombang penangkapan dan penahanan keempat terjadi tahun 1975, yang didasari oleh isu “Gerakan PKI Gaya Baru” yang berkembang di Sulawesi Tengah. Penangkapan dan penahanan terhadap mereka yang dituduh “PKI Gaya Baru” ini tidak lagi menyasar para anggota PKI atau aktivis dari ormas-ormas pendukungnya. Mereka yang ditangkap dan ditahan adalah putra-putra daerah yang sebagian besar adalah aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia). Mereka yang ditangkap kemudian dipenjarakan dari ormas-ormas pendukungnya. Mereka yang ditangkap dan ditahan adalah putra-putra daerah yang sebagian besar adalah aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia). Mereka yang ditangkap kemudian dipenjarakan di Palu dan Manado.

16 Bentuk pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM kategori berat yang terjadi di Kota Palu selama rentang waktu tahun 1965/1966 ketika aksi penumpasan PKI yang dikenal dengan Gerakan 30 September mencakup 16 bentuk. Itu terungkap dari hasi penelitian dan verifikasi korban pelanggaran HAM yang diseminarkan di Auditorium Kantor Walikota Palu, Selasa (19/5/2015).

Penelitian yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari empat orang itu masing-masing Moh. Syafari Firdaus, M. Isnaeni Muhidin, Iksam dan Iwan Lapasere itu merinci ke-16 bentuk pelanggaran HAM itu, yaitu; kerja paksa; wajib lapor; penyiksaan; penangkapan sewenang-wenang; penahanan sewenang-wenang; pengambilan dan pemutusan sumber penghidupan; perilaku kejam dan tidak manusiawi; pemerasan; pencurian/penjarahan/perampokan barang milik; pengadilan yang tidak adil; pembiaran yang mengakibatkan kematian; penghilangan paksa; kekerasan seksual; pembakaran dan pengrusakan rumah dan barang milik; usaha eksekusi; dan perkosaan.

Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan sewenang-wenang merupakan jenis pelanggaran yang paling banyak ditemukan. Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan itu sama sekali tidak didasari dengan kejelasan kesalahan. Satu-satunya alasan hanya bahwa program landreform di Kota Palu (Sulteng) belum berjalan, tidak sebagaimana di Jawa.

13 Orang ke Pengadilan

Dari sekitar 768 nama yang terverifikasi sebagai korban Tahanan Politik di Palu, hanya sekitar 13 orrang yang diproses di persidangan. Mereka ini adalah orang-orang yang tergolong ke dalam Tapol Golongan A, yang dipandang sebagai para pemimpin dan petinggi PKI di Sulawesi Tengah. Proses persidangannya sendiri berlangsung pada tahun 1975, kurang-lebih 10 tahun setelah mereka menjalani masa tahanan. Mereka yang diadili ini semuanya diputus bersalah dan mendapat hukuman penjara antara 14 sampai 20 tahun.

Penelitian itu boleh dikata cukup representative, karena selain mengandalkan metodologi social, juga didampingi oleh empat orang pembaca kritis yakni Tahmidi Lasahido (Sosiolog), Wilman Lumangino (Sejarahwan), Kamala Chandrakirana (KKPK), dan Dodi Yuniar (AJAR). Tak hanya itu, dua orang juga terlibat sebagai contributor, yakni Nurlaela Lamasitudju (SKP-HAM Sulteng) dan Jefriyanto (SKP-HAM Sulteng).

Bertindak sebagai enumerator dalam penelitian dan verifikasi itu adalah Asman Yodjodolo, Asriana, Azwa,r Darusman, Dedi, Eman, Fildayani, Gagarisman, Iman, Korta Desmayanto, Lekman, Netty Kalengkongan, Niki Priatmi, Nurdian, Pangestu Murwandani, Ulfah, Ummu Qalsum, Yansen Kundimang Yufardin. (afd)

Sumber: Koran Pedoman Palu – Sulteng
http://1965tribunal.org/id/walikota-palu-meminta-maaf-kepada-korban-peristiwa-1965-66/

Senin, 08 Juni 2015

Selamat Ulang Tahun, Jenderal Jagal Besar!

DELAPAN Juni ini, Soeharto berulangtahun. Seandainya saja dia tidak mati delapan tahun silam, usianya sekarang 94 tahun. Hidupnya sangat panjang di dunia ini: 86 tahun. Dia mencapai umur di atas rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia segenerasinya.

Sepuluh tahun terakhir hidupnya dia habiskan dengan sakit-sakitan di kompleks rumahnya di Jl. Cendana, Menteng. Hidup yang sepi dan penuh penyakit. Sehari-hari dia hanya ditemani oleh Suweden, pembantunya yang setia. Dia jelas menyaksikan anak-anak dan keluarga yang dilindunginya selama dia berkuasa berjatuhan. Bahkan anak kesayangannya masuk penjara karena tindak kriminal berat, yakni membunuh seorang hakim agung.

Namun, Soeharto sendiri berhasil mengelak dari semua upaya hukum atas dirinya. Dia memang hendak dibidik atas penyelewengan-penyelewengan ekonomi yang dia lakukan. Tidak ada yang mau memperkarakan dia untuk urusan pembunuhan dan pembantaian yang dia lakukan berulangkali selama 32 tahun ia berkuasa.

Sesungguhnya, tidak ada penguasa sesudahnya yang secara serius mau memenjarakannya. Mereka semua berhutang padanya.
Soeharto adalah sebuah pribadi yang enigmatic. Dia tidak banyak bicara. Dia menutup dirinya seolah-olah sebuah misteri. Dia jelas bukan pribadi yang flamboyan. Juga bukan orang yang bisa bersilat lidah dengan penuh emosi, namun kemudian tertawa lepas bersama lawannya berdebat.

Baginya, ditakuti jauh lebih baik ketimbang dicintai. Hanya ketakutan yang akan membangkitkan hormat dan rasa segan. Saya tidak yakin dia membaca Machiavelli. Tapi persis di sini letak soalnya, Soeharto adalah pengamal setia Machiavelli. Setia hingga ke bulu-bulunya, bahkan.

Di hari ulang tahunnya ini, ada baiknya kita mengingat-ingat kekuasaan Soeharto. Bukan dengan tujuan untuk meromantisasi tetapi untuk mendalami mengapa kita, sebagai bangsa, berhadapan dengan masalah-masalah besar yang sangat sulit penyelesaiannya. Soeharto ada pada titik pusat banyak masalah itu.
***
Majalah POP adalah majalah hiburan yang pernah terbit di Jakarta. Pada edisi bulan Oktober 1974, majalah ini menurunkan satu artikel berjudul “Teka-teki Seputar Silsilah Suharto.” Di dalamnya dinyatakan bahwa Soeharto adalah anak haram dari Raden Rio Padmodipuro, keturunan Sultan Hamengku Buwono II.

Artikel itu membikin Soeharto murka. Majalah POP segera dibredel. Pemimpin redaksinya Rey Hanintyo, dijebloskan ke penjara. Kabarnya, Soeharto masih akan sangat marah jika masalah soal silsilahnya itu disinggung. Dia percaya bahwa dia memang ditakdirkan untuk menjadi penguasa. Dia menolak dihubungkan dengan darah aristokrasi lama yang kekuasaannya sedang memudar. Dia percaya dirinya di atas aristokrasi itu.

Soeharto lahir pada 8 Juni 1921, di desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Gerakan nasionalis sudah ada sebelum dia lahir. Tahun 1908, gerakan Boedi Oetomo lahir di Yogyakarta. Empat tahun kemudian, muncul Sarekat Islam dan gerakan Muhammadiyah. Secara kebetulan, Partai Komunis Indonesia (PKI) lahir sebulan sebelum Soeharto.

Soeharto baru berusia lima tahun ketika PKI melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Jawa dan di Sumatera Barat. Usianya sembilan tahun ketika Soekarno diadili di Bandung karena aktivitasnya sebagai nasionalis. Soekarno mengucapkan pidato pembelaan yang berapi-api yang diberi judul Indonesia Menggugat. Ketika organisasi pemuda berkumpul mengucapkan Sumpah Pemuda, Soeharto baru berusia tujuh tahun.

Masa kecilnya dihabiskan di Godean. Namun karena persoalan keluarga, dia dipindahkan oleh ayahnya ke Wuryantoro, Wonogiri. Di situlah dia bersekolah di Schakel School yang kemudian dilanjutkannya dengan Sekolah Rakyat di Yogyakarta. Dia sempat masuk ke sekolah setingkat SMP yang dikelola Muhammadiyah namun tidak diselesaikannya.

Karena tidak bersekolah, dia bekerja. Hanya sebentar dia menjadi pegawai Bank Desa. Kemudian ada pekerjaan yang lebih menarik perhatiannya, yakni menjadi tentara. Tanggal 1 Juni 1940, dia resmi menjalani pendidikan tentara kolonial Belanda, KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan tamat dengan pangkat Kopral. Dia sempat menjalani pendidikan lanjutan dan pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Namun tentara Jepang keburu mendarat. Karir dan pengabdiannya pada tentara kolonial pun tamat.

Karir militernya justru moncer pada jaman Jepang. Soeharto berhasil masuk tentara PETA (Pembela Tanah Air). Karirnya beranjak dari komandan peleton dan kemudian komandan kompi (Chudancho). Kedudukan ini membawanya ke posisi elit militer di Republik yang baru merdeka. Saat perang kemerdekaan, Soeharto sudah menjadi komandan brigade.

Dia ditugaskan untuk memimpin berbagai operasi militer di luar Jawa. Namun, tidak ada operasi militer Soeharto yang lebih kontroversial ketimbang serangan umum 1 Maret untuk menduduki Yogyakarta yang dikuasai Belanda.

Dia mengklaim bahwa inisiatif serangan itu berasal dari dirinya. Tujuannya adalah menunjukkan pada dunia bahwa Republik masih ada. Di kemudian hari, dia bahkan memerintahkan agar serangan itu difilmkan. Namun setelah Soeharto jatuh, klaim inisiatif tersebut dipertanyakan, karena Sultan Hamengku Buwono IX rupanya lebih berperan dalam serangan umum itu.
Soeharto memainkan peran sebagai komandan militer lebih seperti warlord ketimbang komandan militer profesional. Karena keuangan negara yang tipis, dia mendudukkan diri sebagai patron (bapak) untuk anak-anak buahnya. Dia mencarikan dana untuk keperluan anak buahnya – mulai dari seragam, makanan tambahan, biaya kesehatan, membeli peluru dan persenjataan ringan, bahkan bantuan ongkos kawin. Dana-dana ini didapat lewat kongkalikong dengan pengusaha-pengusaha. Mereka mendapat perlindungan menjalankan bisnis illegalnya, terutama penyelundupan, dan sebagai imbalannya mereka ‘menyumbang’ dana ke komandan militer. Ini praktek umum dalam militer Indonesia saat itu. Dalam tingkat tertentu, ‘kebudayaan’ komandan sebagai patron tersebut masih lestari hingga kini.

Namun tak selamanya peran Soeharto sebagai patron mulus. Tahun 1959, dia dipecat sebagai Pangdam Diponegoro oleh Jenderal Nasution. Dia ketahuan meminta uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Dia hampir diadili di pengadilan militer namun kemudian diputuskan untuk mengirimnya ‘belajar’ ke SSKAD (kini Seskoad).
***
Soeharto selalu bernasib baik. Ketika menjadi Mayor Jendral, dia sudah menganggap karirnya mati. Dia, yang tidak termasuk orang-orangnya Nasution atau Ahmad Yani, dua pemimpin militer berpengaruh saat itu, tidak memiliki cantolan kuat ke atas.

Keberuntungan muncul saat Soeharto menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Ketika dia menjabat, terjadi kudeta gagal oleh kelompok perwira muda yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Yani dan enam jendral pimpinan AD terbunuh. Nasution berhasil meloloskan diri namun tidak punya kendali atas pasukan.

Selebihnya kita tahu dari sejarah. Soeharto mengambil alih situasi. Dengan cepat dia memberangus gerakan itu. Dia tahu persis siapa-siapa yang berada dalam gerakan itu. Sebagian besar adalah bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro. Mereka bukan orang asing untuknya. Dia hadir pada saat Letkol Untung, pemimpin gerakan ini, menikah. Dia datang pada saat Kol. Latief menyunatkan anaknya.

Yang lebih spektakuler muncul beberapa hari kemudian. Entah ide dari siapa, Soeharto dengan genial memakai media untuk memberangus gerakan dan sekaligus menghantam lawan politik tentara, yakni PKI. Sudah hampir satu dekade, TNI dan PKI bentrok di banyak daerah memperebutkan tanah-tanah perkebunan yang dinasionalisasi. PKI mendukung aksi-aksi buruh dan petani; militer mengamankan modal yang dikuasainya karena nasionalisasi.

Pengangkatan mayat para jendral dipublikasikan secara maksimal lewat satu-satunya media milik Angkatan Darat. Dalam gambar yang bisa kita lihat sekarang, tampak wajah Soeharto yang santai dan dingin mengawasi jalannya pengangkatan mayat itu.

Soeharto dengan seragam loreng berkacamata sambil memegang tongkat komando

Pembingkaian bahwa kekejaman pembunuhan para jendral itu dilakukan oleh PKI dengan segera mengalir ke arus bawah. Pembantaian terjadi dimana-mana. Pembantaian itu banyak yang dilakukan oleh rakyat namun dengan dukungan TNI-AD. Di banyak tempat, pembantaian tidak terjadi hingga kedatangan pasukan RPKAD pimpinan Kol. Sarwo Edhie Wibowo, mertua presiden SBY.
***
Pembantaian ini memakan korban sekitar hampir satu juta jiwa. Puluhan juta lainnya dihukum dengan dihilangkan hak-haknya, distigmatisasi dalam kehidupan sosial politik, serta dipersulit aksesnya terhadap pelayanan kesejahteraan oleh negara. Semua kebijakan yang diterapkan kemudian – seperti Litsus (penelitian khusus) dan ‘bersih lingkungan’ – sesungguhnya ditujukan kepada oposisi terhadap kekuasaan Soeharto.

Awal tahun 1990, saya bertemu Ali Sadikin di kantornya di Ratu Plaza. Kantor ini juga berfungsi sebagai markas Petisi 50, yaitu kumpulan 50 orang elit militer purnawirawan dan sipil yang rajin mengkritik Soeharto. Bang Ali, sapaan akrabnya, menunjukkan pada saya ‘kematian perdata’ yang dialami anggota Petisi 50. Padahal mereka hanya 50 orang dan tidak mengorganisasi apapun. Mereka hanya menyampaikan kritik.

“Kamu lihat Hoegeng?,” sergah Bang Ali kepada saya merujuk pada Jendral Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri. “Hoegeng bahkan tidak punya uang untuk sekedar memperbaiki giginya karena digencet sama Harto!” katanya. Memang semua akses ekonomi untuk anggota Petisi 50 ditutup. Itulah kematian perdata mereka.
Soeharto bisa memelihara dendamnya sangat lama dan membalasnya dengan sangat mematikan.
***
Apakah sesungguhnya kunci sukses dari Soeharto sehingga bisa berkuasa selama 32 tahun? Banyak orang akan menunjuk susunan kekuasaan ‘Tritunggal Mahakudus’ Orde Baru: Militer, Birokrasi, dan Golkar. Tidak sepenuhnya salah.

Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah ketrampilan Soeharto melakukan ‘micro-management’ atas kekuasaannya. Dia berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat dari semua intrik kekuasaan. Sikap diamnya membuat langkahnya sulit ditebak. Sementara, dia sangat teliti mengawasi para sekondannya, terutama dalam hal: siapa melakukan apa.
Saya kira Soeharto tidak pernah melihat dirinya sebagai seorang presiden dalam pengertian pemerintahan modern. Dia memandang dirinya sebagai seorang raja.

Di kalangan militer Indonesia ada istilah KISS – Ke Istana Sendiri-sendiri. Artinya, setiap orang datang ke istana melaporkan saingannya. Soeharto biasanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk, seolah mengiyakan namun sesungguhnya dia mengamati semua tindak-tanduk mereka.

Manajemen seperti ini seringkali dipakainya untuk menangani krisis. Soeharto mengadu Ali Moertopo dengan Soemitro pada Peristiwa Malari 1973. Pada awal 1990-an, Ketika Benny Moerdani dianggap tidak loyal, khususnya dalam soal suksesi, dia memasang Soedharmono sebagai saingannya.

Namun, toh dia gagal ketika memainkan kartu yang sama terhadap menantunya, Prabowo Subianto dan pengawal setianya Wiranto di tahun 1998. Ada pendapat bahwa taruhan tahun 1998 terlalu tinggi dan melibatkan orang-orang yang justru hendak dia lindungi, yakni keluarganya sendiri.
***
“Piye isih enak jamanku toh?” demikianlah slogan dalam poster dan meme di media sosial yang sekarang ini dihembus-hembuskan oleh pendukung Soeharto. Seolah-olah di zaman kekuasaannya semua serba murah. Benarkah Indonesia lebih sejahtera di jaman Soeharto?

Sebagai seorang yang berkuasa mutlak, Soeharto dengan pintar memberikan portofolio ekonomi kepada kaum teknokrat. Merekalah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga dan negara-negara asing untuk menjalankan kebijakan ekonomi Indonesia.

Sementara ekonomi dibuka untuk modal asing dan modal dalam negeri (yang sebagian besar diisi oleh kroni-kroninya), Soeharto menuruti saran lembaga seperti World Bank untuk melakukan investasi bidang kesejahteraaan.

Sesungguhnya rejim otoriter atau totaliter dimanapun di seluruh dunia pertama-tama harus mencukupi kebutuhan rakyatnya. Penindasan tidak bisa berdiri sendiri. Mereka yang ditindas harus dicukupi kebutuhan pokoknya. Kombinasi antara penindasan dan pemenuhan kebutuhan pokok akan melahirkan massa-rakyat yang jinak.

Tentu selain pemenuhan kebutuhan pokok, Soeharto juga membentuk rejim yang luar biasa efektif untuk membunuh dan menciptakan efek atas pembunuhan itu. Soeharto sangat handal ‘menormalisasi’ pembunuhan. Seperti tampak dalam pembunuhan misterius (yang dikenal dengan istilah yang teramat sinis, ‘Petrus’). Hampir sepuluh ribu orang terbunuh, mayatnya dibuang di tempat umum sebagai ‘shock therapy.’ Kaum komunis ‘normal’ dibunuh karena mereka berkhianat kepada negara (padahal tidak ada kaitan antara PKI sebagai partai dengan G30S) dan karena Komunis dianggap tidak percaya Tuhan. Normalisasi kekerasan itu tetap hidup dengan sentosa hingga sekarang.

Demikian pula invasi Indonesia ke Timor Leste yang berakibat musnahnya sepertiga penduduk negeri itu. Soeharto menormalkannya dengan merekayasa ‘integrasi Timor Timur’ seraya menggelapkan fakta-fakta korban invasi. Hingga kini invasi dan pendudukan itu mengundang kenangan pahit untuk orang Indonesia. Bukan karena kekejaman dan keganasan invasi tersebut (ini yang tidak pernah disesali sedikit pun karena dianggap ‘normal’), namun karena akhirnya rakyat Timor Leste memilih merdeka. Ketimbang merasa bersalah karena menginvasi negara tetangga yang kecil, kebanyakan orang Indonesia memilih mempercayai teori konspirasi bahwa Timor-Timur lepas karena tipudaya Australia yang didukung Amerika.

Hal yang sama terjadi dengan Papua. Tidak banyak orang ingat bahwa konsesi pertama yang diberikan Soeharto ketika dia menjadi presiden adalah kepada Freeport McMoran. Hingga kini, tetap terpelihara kesan publik Indonesia bahwa negara dikadali oleh Amerika. Hampir tidak ada orang yang menghubungkan Freeport dengan bangsa Papua sebagai pemilik lahan yang dikuras habis-habisan itu.
***
Kini Soeharto sudah beristirahat di mausoleumnya yang mewah yang dinamakan ‘Astana Giribangun’. Kompleks pemakaman yang dibikin mirip dengan makam raja-raja Jawa Mataram itu. Tentu sejuklah dia berada di dekapan cungkup makam pualamnya.

Selamat ulang tahun, Jagal Besar! Kami tidak akan lupa!***

Sabtu, 06 Juni 2015

Walikota Palu Janji Penuhi Hak Keluarga Korban Pembunuhan Massal 65


rusdy mastura minta maaf
Walikota Palu Rusdy Mastura saat menyampaikan permohonan maafnya kepada korban dan keluarga korban 65 dalam acara seminar hasil penelitian dan verifikasi korban 65 di auditorium kantor Walikota Palu, 19 Mei 2015.


Solidaritas.net, Kota Palu– Meski sudah berlalu selama 50 tahun, peristiwa pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 pastinya akan terus membekas di benak para korban dan keluarganya hingga saat ini.

Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika Pemerintah Indonesia menyampaikan permintaan maafnya kepada para korban dan keluarganya dalam kasus tersebut atas luka lama itu.
Hal itulah yang dilakukan oleh Walikota Palu, Rusdy Mastura di hadapan ratusan keluarga korban peristiwa tersebut dalam sebuah acara di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Bahkan, tak hanya menyampaikan permintaan maaf, Rusdy juga berjanji akan memenuhi hak-hak para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu tersebut, termasuk dengan memberikan kesehatan dan pendidikan gratis bagi mereka.
“Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah bagaimana memenuhi hak korban,” ungkap Rusdy dalam kesempatan tersebut, seperti dikutip oleh Solidaritas.net dari situs Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulteng,  skp-ham.org, Jumat (5/6/2015).
Ternyata upaya tersebut tak hanya dilakukan Rusdy sampai di situ saja. Pada tahun 2013 lalu, bahkan dia telah menerbitkan Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah. Peraturan yang memuat 17 pasal itu memerintahkan setiap SKPD untuk meneliti dan dan memverifikasi para korban peristiwa 1965. Hasil kerja SKPD itulah yang akan dijadikan landasan pemenuhan hak-hak korban.

Rusdy sendiri sebenarnya sudah berulang kali menyampaikan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965, dalam setiap kesempatan di depan forum pertemuan soal HAM baik skala daerah maupun secara nasional. Menurut catatan SKP HAM Sulteng, pertama kali dia secara resmi mengajukan permintaan maafnya kepada korban peristiwa 1965 pada tanggal 24 Maret 2012. Kemudian, yang terakhir tanggal 19 Mei 2015 lalu di Kantor Walikota Palu.

Dalam pertemuan di Ruang Auditorium itu, Rusdy juga menceritakan kisahnya sewaktu remaja, ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi. Menurutnya, saat itu banyak orang yang dituduh terlibat, lalu ditangkap oleh tentara. Suatu ketika, Rusdy yang saat itu aktif sebagai anggota Pramuka, bersama teman-temannya diperintah tentara menjaga para tahanan. Di saat itulah, dia menyaksikan kekerasan terhadap para tahanan yang menjadi korban itu.

Oleh karena itu, Rusdy memiliki keinginan yang sangat kuat, agar peristiwa kelam itu tidak terjadi lagi. Dia pun bertekad untuk mengubah paradigma masyarakat, terutama di Palu, agar sadar dengan HAM. Menurut Rusdy, permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat tersebut menjadi salah satu upaya untuk memberikan penyadaran tentang HAM kepada masyarakat, sehingga Palu pun ke depannya bisa menjadi kota yang sadar HAM.
“Saya mau masyarakat menyadari pentingnya HAM,” harapnya di hadapan keluarga korban.
Dia pun berencana akan membentuk program rehabilitasi dan rekonsiliasi untuk para korban peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Rusdy mengajak semua pihak bisa ikut terlibat untuk membantu Pemerintah Kota Palu dalam menyusun program tersebut, mulai dari keluarga korban hingga lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap isu HAM, seperti SKP HAM Sulteng dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Kamis, 04 Juni 2015

Kisah Aktivis HAM Umumkan Temuan Kuburan Massal Korban 1965 ke Masyarakat

Kamis, 4 Juni 2015 | 06:17 WIB 

Sejumlah keluarga dari eks korban 1965 menaburkan bunga di atas liang lahat. Mereka juga melantunkan doa untuk para jenazah yang telah terkubur tersebut.
KOMPAS.com/NAZAR NURDIN

SEMARANG, KOMPAS.com – Butuh waktu sekitar delapan bulan bagi aktivis hak asasi manusia Kota Semarang melakukan sosialisasi mengenai penemuan kuburan massal korban kekerasan Tragedi 1965. Setelah perjuangan itu, makam para korban akhirnya bisa dikenalkan secara lebih santun ke masyarakat.

Koordinator Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia, Yunantyo Adi S mengatakan, perjalanan untuk menggali data para korban yang terkubur dalam dua liang lahat sejak Oktober 2014 lalu. Setelah menemukan makam, para aktivis lantas mencoba jalur resmi berupa perizinan.
Pada Senin (1/6/2015) lalu, tepat di hari Pancasila, liang lahat mereka diberi nisan. Sebagian korban yang telah diketahui identitasnya diberi nama. Sebagian lain diberi nama “lain-lain.”

“Kira-kira 7,5 bulan prosesnya. Semua izin dicoba secara terbuka, daripada jalan diam-diam. Sembari itu, kami laporkan temuan ini ke ke Komnas Hak Asasi Manusia pada Otober 2014 lalu,” ujar Yunantyo, Rabu (3/6/2015).

Dia berujar bahwa perjuangan menemukan itu adalah misi kemanusiaan, sejarah dan kebudayaan. Para aktivis juga tidak melihat siapa mereka yang menjadi korban. Mereka sepakat tidak dapat membenarkan adanya orang yang dieksekusi di luar putusan pengadilan, tanpa tahu kesalahannya.
Sebelum penemuan, makam tersebut sudah dikeramatkan warga sekitar dukuh Plumbon, Keluarahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Warga, sambung Yunantyo, tidak berpikir untuk pemberian nisan, maupun doa bersama.

“Kami ingin sekali agar momentum ini bisa jadi ajang perdamaian sejarah atas luka di masa lalu. Jumat-Minggu kami bersama warga kerja bakti. Sambutan masyarakat sangat baik,” ujarnya.

Karena makam berada di hutan produksi milik Perhutani, pihaknya tidak bisa membangun begitu saja. Tak lama setelah melapor ke Komnas HAM, ia juga menyurati Perhutani untuk minta izin pemasangan nisan. Tindakan baik itu ternyata direstui Perhutani dengan mengeluarkan surat pada tanggal 30 April 2015 lalu. Para aktivis HAM juga diizinkan untuk memasang paving di lokasi sekitar makam seluas 5 x 10 meter.

“Ini bisa ajang rekonsiliasi. Jika dulu keluarga datang diam-diam, sekarang mereka tidak perlu takut berziarah. Ini jadi pelajaran sejarah, agar peristiwa tak terulang. Kami ingin agar generasi sekarang bisa menyelesaikan persoalan secara baik, secara adat Jawa,” ujar Yunantyo.

Sebelum ditemukan, makam kerap didatangi warga untuk hal mistis. Banyak warga yang meminta nomor “togel” di makam tersebut. Agar hal tersebut hilang, pihaknya sepakat mengusulkan agar ada penghormatan kepada para korban yang telah terkubur tersebut.

“Makam ini sudah muncul dalam diskusi kampus-kampus. Kami pikir diskusi saja tidak cukup, kalau tidak ada aksi. Makanya, kami ingn agar nantinya jenazah bisa dimakamkan ulang. Biarlah orang yang dibunuh ini punya hak mati, bisa diperlakukan dengan baik,” tutur pria yang kerap disapa Yas ini.

Penulis: Kontributor Semarang, Nazar Nurdin Editor : Bayu Galih  


http://regional.kompas.com/read/2015/06/04/06170061/Kisah.Aktivis.HAM.Umumkan.Temuan.Kuburan.Massal.Korban.1965.ke.Masyarakat?utm_source=news&utm_medium=bp&utm_campaign=related&

Senin, 01 Juni 2015

Kecil di Digul Muda di Buru

Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun penahanan di Pulau Buru.  
Oleh: Bonnie Triyana
 
RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam. Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya. “Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.

Lelaki itu adalah Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah menghalanginya untuk beraktivitas. Tri melek teknologi. Dia tak gagap menggunakan komputer dan akrab dengan internet. Sampai hari ini dia aktif sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi pengalaman hidupnya di berbagai mailing list. Semangatnya tak pernah pudar. “Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.

Senyumnya selalu mengembang saat bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Boven Digul, Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27 Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah Merah, Digul. Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.

Kamp Boven Digul dibangun oleh pemerintah kolonial pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI yang terlibat pemberontakan 1926. Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial memindahkan 1.308 lebih mereka yang terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang ditahan di sana antara lain Ali Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, tokoh PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten.
Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan sebagai tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan Sjahrir.

Menurut Bung Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980) waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua. “Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta. Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih untuk tak bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena menerima jatah makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam bentuk 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limun minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig” yang bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.

Sementara golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang sejak datang kali pertama ke Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan penguasa setempat. Bahkan mereka menolak untuk membersihkan pekarangan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka tak mau membangun rumah atau pun kampung sendiri dan memilih untuk tinggal di satu barak yang telah disediakan.

“Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken” – menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi, kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.

Tri dan orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan masuk ke dalam golongan naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan memutuskan untuk jadi “daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan Bung hatta, upah yang diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per hari. Tri kecil dan kawan sebayanya sering bermain mengunjungi rumah Bung Hatta untuk belajar bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir dan kerapkali mendapatkan cokelat darinya.

“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri. Hatta dan Sjahrir tak lama berada di Digul. Mereka datang pada Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda Neira pada November 1935.

Para tahanan politik Digul selalu merayakan peringatan pemberontakan PKI setiap 12 November. Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan kawan sebayanya saat itu menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Dua Belas November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”. “Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.

“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana. Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yag menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”

Lukman yang dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh PKI dan dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman. Seperti Tri, Lukman pun turut ke Digul beserta kedua orang tuanya. Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam perlawanan terhadap Belanda di tahun 1926. Setelah insiden perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah Tinggi, daerah pembuangan buat golongan “die hard”. Sedangkan BS yang dimaksud Tri kemungkinan besar adalah Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang Sjahrir Bung Hatta menyebutnya Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia menulisnya dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan dianggap telah tunduk pada pemerintah.

Ketika Jepang datang, Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan. Sebagian tahanan politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat di mana pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya. Pada 1942 Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang, Tri bersaudara diboyong terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya. “Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya  

Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.

Pada 1944 Tri ikut pelatihan militer dan lulus sebagai perwira yang bertugas di Kalimantan Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri melarikan diri bersama puluhan anak buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian kalah perang. Indonesia merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.

Tri kemudian bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank. Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji dan tunjangan yang mencukupi hidupnya. “Kemapanan” itu hanya berlangsung beberapa saat saja, sampai kemudian, pada suatu hari di bulan Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang pernah tinggal bersama di Tanah Merah beberapa tahun sebelumnya. Sembari bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih hidup sebagai pegawai bank. “Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu.

“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan. Setelah pertemuan itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia memilih untuk bergabung dengan tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI .

Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di pavilyun kontrakan milik Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari bilik kontrakan itu pula Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan partai yang sempat luluh lantak setelah peristiwa Madiun 1948. Tri yang alumnus Universitas Waseda, Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai redaksi saya kerjakan semua.”

Pada masa-masa awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya mengelola penerbitan berkala. Untuk mencetak perlu izin dari kementrian penerangan berupa Surat Izin Pembelian Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar untuk mencetak secara resmi. “Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri. Budiardjo adalah suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965 meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak azasi manusia.

Seiring waktu kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto dan Lukman mulai mengadakan pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun berpindah dari Gang Kernolong 4 yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX No. 18, Jakarta Pusat. Tri mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh dari tempatnya beraktivitas. Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan menawari Njoto untuk tinggal bersamanya. “Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.

Tri punya kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951 kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula ketika segerombolan orang tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu kantor polisi di Tanjung Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari sebelum kejadian, Tri mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah. “Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia. “Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum.

Aidit juga lepas dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di bilangan Tanjung Priok untuk beberapa waktu lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu Aidit melarikan diri ke luar negeri. Razia tersebut menjadi salah satu rintangan berat yang dihadapi oleh mereka di saat merintis kembali kekuatan partai yang sempat terserak.

Dalam kolomnya di Majalah TEMPO edisi khusus Aidit, 1 Oktober 2007, sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit beserta Njoto dan MH Lukman mengambilalih kepemimpinan partai. “Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU.

Tri masih tetap aktif mengelola penerbitan dan sukarela berkegiatan di partai yang telah memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya 81. Tapi dia tak pernah sengaja mendaftar jadi anggota PKI. “Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul. Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum. “Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya.

Pada 1962 Tri berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Waseda, salah satu universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun itu juga dia berangkat ke Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya yang tetap tinggal di Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S 1965 meletus. Ribuan pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri, Njoto, pun hilang tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai studi pada 1967, Tri memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak padanya.

Salah seorang kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI Digul, telah pulang ke Indonesia. Polisi pun segera menangkapnya. Setelah penangkapan itu siksaan demi siksaan diterimanya. Tri dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dengan lecutan ikan pari dan bogem mentah sampai babak belur. Tak hanya itu, interogator yang terdiri dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD dan seorang interogator sipil menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri. Siksaan itu masih harus ditambah lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung jempol kakinya.

Setiap kali dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia mengakuinya. “Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,” tutur Tri mengisahkan penyiksaannya. Jawaban itu ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri tak sadarkan diri.

Belakangan, saat Tri berada di pulau Buru, tahu kalau interogator sipil itu adalah tokoh organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan PKI. “Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya

Pada 1971 Tri ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di Unit 14. “Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.

Tri dibebaskan pada 20 Desember 1977. Setibanya di Jakarta dia mendapatkan kabar kalau istrinya telah menikah lagi dan memperoleh seorang anak dari perkawinan itu. “Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya. Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih tinggal di rumah salah satu kerabatnya.

Dia tak ingin menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah, Tri keliling Menteng, menjajakan keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu hari di jalan Pekalongan seorang perempuan memanggilnya dan meminta Tri mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya rumah datang ke rumah dan turun dari mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang baru diasah dan bergumam dalam bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil asahan Tri. “Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.

Pertemuan itu pun membawa kemujuran buat Tri. Dia diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang ternyata bekerja untuk stasiun televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan sebagai penerjemah dan kemudian dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter NHK. Lepas dari NHK, Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus bahasa Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya yang sempat bersuamikan orang lain.
 
Kini Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku manusia dalam sejarah membuat Tri Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun yang menyebabkan hidupnya menderita. “Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.

http://historia.id/persona/kecil-di-digul-muda-di-buru