Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 28 Juli 2016

MAHALNYA HARGA SEBUAH KESEMPATAN: SEBUAH CATATAN DI BALIK PROSES ADVOKASI TERPIDANA MATI

KontraS·28 Juli 2016

 
 
Kamis, 28 Juli 2016.
Saya Putri Kanesia, Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
 
Tanggal 9 Mei 2016 malam, saya melihat pemberitaan media di salah satu televisi swasta tentang pemindahan terpidana mati Pujo Lestari, Agus Hadi, dan Suryanto (lazim disebut sebagai Trio Batam) dari Lapas Batam ke Nusakambangan, Cilacap.
Sontak saya langsung mencari nomor kontak Penasihat Hukum mereka dan berusaha untuk menanyakan kebenaran informasi pemindahan tersebut, namun sayangnya sang Penasihat Hukum justru tidak mengetahui hal tersebut. 
 
Pada bulan yang sama, kami di KontraS mengajukan surat permohonan untuk bertemu para terpidana mati yang disebutkan di atas kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan namun tidak mendapatkan respon hingga hari ini. Bulan Juni 2016, menantu Agus Hadi bernama Eriyanto mengontak KontraS untuk meminta bantuan KontraS dalam mengadvokasi kasus Ayah mertuanya. Dari Eriyanto pula, akhirnya kami mendapatkan info bahwa Pujo Lestari, Agus Hadi, dan Suryanto sempat ditempatkan di sel isolasi Lapas Batu begitu tiba dari Batam sehingga masih belum bisa ditemui.
 
Tak lama berselang, Pujo Lestari dan Agus Hadi mengirimkan surat kepada pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk meminta pihak KontraS datang menemui mereka di Nusakambangan. Pihak keluarga juga mengirimkan berkas Peninjauan Kembali (PK) yang pernah diajukan Penasihat Hukum namun ditolak oleh Mahkamah Agung. 
 
Beberapa hari sebelum kabar para terpidana mati dimasukan ke Sel Isolasi, sempat ada pembicaraan antara Pujo Lestari dan Agus Hadi dengan saya. Keduanya mengutarakan bahwa itu merupakan komunikasi yang pertama sekaligus terakhir sebelum mereka masuk sel isolasi. 
 
Dalam komunikasi tersebut, mereka sempat menanyakan apakah ada kesempatan bagi mereka mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk ketiga kali, karena mereka minim pengetahuan mengenai hal-hal terkait hukum. Saya mencoba menjelaskan bahwa sebetulnya agak sulit untuk hal tersebut direalisasikan mengingat mereka sudah dua kali mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan Penasihat Hukum yang terdahulu. Pujo menghela nafas. Saya tahu Pujo pasti kecewa dengan penjelasan saya tapi saya tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan yang sebenarnya. Namun kemudian saya sampaikan bahwa opsi grasi masih mungkin dilakukan karena mereka belum pernah mengajukan sebelumnya dan dengan pertimbangan bahwa grasi adalah upaya terakhir yang merupakan sebuah hak terpidana untuk menempuhnya. Saat itu saya juga dengar Pujo mencoba menjelaskan pembicaraan saya dengan Agus Hadi. Pujo menghela nafas lagi sebelum mengatakan bahwa mereka masih ragu untuk memilih opsi grasi mengingat selama ini Jokowi selalu menolak permohonan grasi untuk terpidana kasus narkoba. 
 
Sebelum komunikasi ditutup, Pujo Lestari memohon dengan sangat pada saya dan segenap tim KontraS untuk bisa bicara dengan media dan publik luas tentang anggapan bahwa mereka adalah bandar narkoba. Label itu sangat menyakitkan karena sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa. Pujo Lestari menyampaikan:
“Saya ini hanya orang kecil, mbak. Tidak mengerti apa-apa soal narkoba. Saya cuma Anak Buah Kapal yang dititipkan barang yang mana saya juga enggak tahu isinya apa. Saya juga tidak menyangka bahwa barang titipan itu adalah barang haram yang menyebabkan saya harus mendekam di penjara. Demi Tuhan, mbak. Saya bukan bandar. Tolong saya, mbak.”
Saya tidak sanggup berkata apa-apa lagi selain hanya bilang: "Saya dan teman-teman KontraS akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga bapak tetap sehat dan kuat."
 
Detik-detik menjelang hari ini, Pujo Lestari dan Agus Hadi meminta KontraS untuk datang menemui mereka untuk terakhir kalinya. Namun, pihak Kejaksaan melarang karena pada hari ini, Kamis 28 Juli 2016 Kejaksaan hanya mengizinkan keluarga inti saja untuk masuk, dengan alasan harus bergantian dengan keluarga terpidana mati lainnya. Meski pihak dari KontraS (identitas harus saya rahasiakan) sudah membawa Surat Kuasa dari pihak keluarga namun tetap dipersulit dengan alasan harus ada Kartu Advokat (padahal tidak ada aturan jika mengunjungi narapidana harus bawa Kartu Advokat, apalagi sudah ada surat kuasa), dan lagi pula, ini merupakan permintaan terakhir terpidana mati. Sangat disesalkan mengapa hingga menjelang pelaksanaan eksekusi ini, masih saja kami yang ingin bertemu dengan terpidana mati untuk terakhir kalinya dipersulit. 
Teman sejawat dari KontraS akhirnya menitipkan pesan kepada Kendy (anak tertua Agus Hadi) dan Yuliana (anak Agus Hadi yang tengah hamil) untuk meminta maaf karena kami gagal memenuhi permintaan terakhirnya untuk bertemu Pujo Lestari dan Agus Hadi. Kami tetap meminta Pujo dan Agus Hadi terus berdoa agar ada keajaiban atas kasusnya. 
 
Sore harinya, kedua anak Agus Hadi menemui kawan saya dari KontraS setelah keluar dari Lapas Batu Nusakambangan, Cilacap. Kendy mengatakan
"Bapak titip pesan tadi, Bapak mohon untuk diberi kesempatan. Bapak juga minta pakaian baru."
Pembicaraan kemudian terhenti karena Kendy menangis. Teman saya pun segera menghubungi saya dan meminta saya untuk berbicara dengan Kendy. Sambil berusaha tegar, saya mencoba menguatkan hati Kendy dan memintanya tetap kuat. Saya juga kuatir dengan kondisi psikis Yuliana yang dalam keadaan hamil namun hanya memiliki satu kali kesempatan saja untuk bertemu Bapaknya.
 
Saya tahu perkataan saya ini tidak banyak membantu karena Kendy harus menerima kenyataan Ayahnya akan dieksekusi nanti malam. Segala upaya yang dilakukan tampaknya tetap tidak mengubah keputusan Jaksa Agung untuk tetap mengeksekusi mati Pujo Lestari, Agus Hadi dan 12 orang terpidana mati lainnya.
Pernyataan-pernyataan Jaksa Agung sebelumnya di media yang mengatakan bahwa "Tidak akan mengeksekusi mati terpidana mati yang masih memiliki upaya hukum tersisa seperti PK dan Grasi," bagi saya semua itu hanya omong kosong saja. Jangankan mempertimbangkan PK dan Grasi, memberi kesempatan untuk melakukan PK atau Grasi saja tidak. Sungguh mahal memang harga sebuah KESEMPATAN!
 
https://www.facebook.com/notes/kontras/mahalnya-harga-sebuah-kesempatan-sebuah-catatan-di-balik-proses-advokasi-terpida/1037620829608031

Cerita Busuk dari seorang Bandit | Batalkan eksekusi mati pak Jokowi !

 Freddy Budiman. Foto: jpnn
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)
Ditengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukin karena upaya keadilan. 

Hukum yang seharusnya bisa bekerja secra komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). 

Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.


Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.


Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.


Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.


Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”


Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:


“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”


Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”


Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?”


Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu temukan oleh jaringan saya di lapangan.


Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. 

Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”

Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin dimana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.


Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur, ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 Miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”


Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.


Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini? Lalu freddy menjawab:


“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”


Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.


Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.


Haris Azhar (2016).


***

https://www.facebook.com/nursyahbani.katjasungkana/posts/10209793833392195 

_____

Kiriman: Herlambang P. Wiratraman


KETEGASAN PEMERINTAH, BUKAN SOAL HUKUMAN MATI

Yang Terhormat
Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo 


Kami dari Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, meminta anda untuk kembali mempertimbangkan eksekusi hukuman mati Jilid III yang akan dilangsungkan dalam hitungan jam malam ini. 

Pertimbangkanlah, satu nyawa sangatlah berarti. Utamanya, untuk memberikan makna serta pembelajaran penting membuka tabir penegakan hukum di tanah air. 
Nyali keberanian dan ketegasan, bukan soal mengeksekusi nyawa seseorang, melainkan sejauh mana anda sebagai Presiden berani membongkar dan membersihkan institusi-institusi penegakan hukum dalam jajaran anda, bersikap profesional dan lebih bertanggung jawab. 
Kisah TKI yang terjebak dalam mafia peredaran narkoba, atau kesaksian Freedy terkait keterlibatan institusi negara, barangkali telah anda abaikan hari ini. Namun, kami akan mencatat dalam sejarah penegakan hukum Indonesia, bahwa apakah hukum dan penegakannya kian melegitimasi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di republik tercinta ini.
Hanya anda yang bisa mengubah sejarah ini. 

Hormat kami, 

Surabaya, 28 Juli 2016

Dr. Herlambang P. Wiratraman, SH., MA.
Koordinator Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia, dan
Ketua Pusat Studi Hukum dan HAM FH UNAIR


Bersama mendukung Menolak Hukuman Mati,
1. Muktiono, M.Phil (Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Universitas Brawijaya)
2. Eko Riyadi, M.H. (PUSHAM UII)
3. Manunggal K. Wardaya, L.LM. (FH Unsoed)
4. Dian Nuswantari, M.A. (PUSHAM UBAYA)
5. Dr. Rosnida Sari (UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)
6. Dr. Zainal Arifin Mochtar (FH UGM Yogyakarta)
7. Dr. HS Tisnanta, SH.MH. (PKKP-HAM FH UNILA)
8. Dr. Patricia Rinwigati, SH, MIL (Sentra HAM FH UI)
9. Hadi Rahmat Purnama, SH., LL.M. (Sentra HAM FHUI)
10. I Wayan Titib Sulaksana, S.H., MS (FH UNAIR)

Jumat, 22 Juli 2016

RIP PRD

Ragil Nugroho

Tak perlu memoncongkan moncong dan bersungut-sungut.
 
SEBAIKNYA dimulai dari ini: ’30 tahun, delapan bulan, dan duapuluh dua hari kekuasaan Orde baru’—dengan lantang diucapkan Budiman Sudjatmiko, tepat 22 Juli, 16 tahun yang lalu. Itu kemudian dikenal sebagai Manisfeto Partai. Semacam prasasti berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD).


Daniel Dhakidae, dalam buku babonnya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menulis dengan nada pujian pembuka Manifesto itu: ‘Dari mana semuanya dihitung tidak penting, namun, membilang hari demi hari…menunjukkan intensitas penghayatan yang menakjubkan.’ 
Yang pasti, menurut Dhakidae, ada lompatan politik dalam Manifesto: menyatakan ekspansi ke Timor Timur sebagai penjajahan, menuntut dicabutnya Dwi Fungsi ABRI, dan kebangkrutan sistem ekonomi, politik serta budaya. Semua dinyatakan ketika Soeharto lagi buas-buasnya.

Sejak Manifesto dibacakan, PRD mengumumkan secara terbuka perlawanan terhadap Orba. Tak pelak, 27 Juli 1996 — lima hari setelah deklarasi — PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan. Pengejaran dan pemenjaraan dimulai. Partai bergerak di bawah tanah.

Tahun 1996-1998, PRD bisa melawan dogma kaum ultra kiri. Ia bersandar pada Kaum Miskin Perkotaan (KMK)—bukan pada kelas proletar—untuk mencacah kediktatoran Orba. Bisa pula dicatat Mega Bintang Rakyat (MBR) sebagai strategi taktik yang jitu. Orang-orang mulai berbondong-bondong membangkang.

Pada periode itu, usaha PRD melawan dogmatisme memang keras. Sepertinya PRD sadar, baik fundamentalisme kanan maupun kiri sama saja: Tak melahirkan pengetahuan baru. Hanya sibuk memamahbiak isi kitab suci. Kalaupun ada hasilnya – menjadi sekte Jubah Merah: Semuanya harus seragam sebagaimana Rusia zaman Lenin, termasuk titik komanya. Kalau tak sama maka murtad – halal darahnya karena ia Stalinis yang suka mengutak-atik ajaran Lenin dan ugal-ugalan.

Agar tak tegang, ada lelucon tentang dogma:
Bruder William datang dari Inggris ke suatu biara kaya di Italia untuk sebuah tugas yang tak ringan: melakukan penyelidikan terhadap rahib Fransiskan yang dianggap melakukan bid’ah. Tentu tak mudah. Ketika kerja hendak dimulai, William justru menemukan kasus lain yang lebih menarik minatnya: pembunuhan ganjil di dalam biara.

Begitulah novel Umberto Eco, The Name of the Rose, mengudar kisahnya. Pembunuhan itu mengikuti petunjuk Kitab Wahyu: hujan es, darah, air, sepertiga bagian langit, dan kalajengking. Petunjuk jelas, tapi William tak terkecoh. Ia berkesimpulan: ketujuh orang itu mati setelah membaca sebuah buku. Biangkeladinya ternyata Jorge—rahib tua yang buta itu.
Buku apa itu? Buku tentang tertawa.

Bagi Jorge, tertawa menyebabkan dogma menjadi lelucon, tak sakral lagi. Ajaran Ilahi adalah kebenaran mutlak: tak bisa dikurangi dan ditambah. Baginya, tawa membuat keimanan tak bulat lagi. Jorge kemudian berubah wujud menjadi kaum ultra kiri.

Tapi begini. Waktu tak pernah mandeg. Batara Kala telah berkali-kali menelan matahari dan rembulan.

Prestasi PRD pada masa lalu bisa saja dibanggakan. Tak mengherankan dalam setiap peringatan lahirnya PRD, testimoni dengan puji-puja dan romantsime ala ABG membludak dari bibir mantan anggota maupun yang masih anggota PRD. Bahkan tak jarang ada yang melinangkan air mata ketika masa-masa indah dikenang. Dulu kita—kata ini menjadi idola untuk mengenang masa kejayaan itu.

Boleh juga takjub. Kader-kader PRD ada yang menjadi anggota dewan, staf khusus Presiden, jubir menteri, petinggi LSM, jurnalis andal, ideolog serikat buruh, pembela paling gigih petani tembakau, pimpinan parpol di daerah-daerah, dan lain sebagainya. Jadi tak perlu heran—dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang bisa direngkuh kader PRD—muncul adagium: Satukan Yang Sama, Jadikan Perbedaan Sebagai Kekayaan Kita; persis dengan Bhineka Tunggal Ika di zaman twitter.
Baiklah….

Ramalan PRD dalam Manifesto terbukti benar: Orba runtuh, Timor-Timur merdeka, dan Dwi Fungsi ABRI dipreteli. Semua orang akan mengakuinya. Analisa PRD memang jitu. Siapa bisa membantah?

Kini, semua itu telah lewat. Sudah 16 tahun sejak Manifesto dibacakan:
Sekarang Ketua Umum PRD menjadi salah satu pengurus pusat Partai Gerindra. Semuanya sudah tahu siapa pemilik Gerindra. Tak perlu disebutkan yang diperbuat Prabowo di masa lalu. Yang masih mempunyai ingatan waras tentu bisa mencatat apa yang dilakukannya terhadap aktivis PRD. Lantas apa yang tersisa dari PRD?

Mungkin semua itu bisa dipahami: Ini politik, Bung!
Tapi, bolehkah diajukan tanya: politik macam apa yang sedang dilakoni?
Dalam politik Kiri, bergabung dengan musuh sudah biasa. Bukankah Stalin bergandengan tangan dengan Sekutu—dedengkot kapitalisme—untuk menghadang Hitler yang fasis pada Perang Dunia II? Tapi, sekali lagi: politik macam apa yang sedang dilakoni PRD dengan berpeluk erat dengan seorang jenderal yang telah menghilangkan kader-kadernya?

Bukankah Mao satu barisan dengan Chiang Kai-Shek menghadang Jepang? Pun, bukankah Amir Syarifudin menerima uang dari Belanda untuk biaya gerakan bawah tanah melawan Jepang? Tapi perlu diulangi: politik macam apa yang sedang dilakoni PRD dengan mendukung jenderal yang telah membuat ibu kehilangan anaknya, istri menjadi janda, dan anak kehilangan bapaknya?

Agar tak terlalu linglung, mari kita menengok ke Durna. Politik merupakan arena perang. Baratayuda contoh perang yang ideal. Segalanya bisa dilakukan.
Durna tak terkalahkan dalam perang saudara itu. Pandawa tak berani menghadapi Sang Guru. Kresna tampil menyusun muslihat. Bima diperintahkan membunuh gajah yang mempunyai nama sama dengan putra Durna: Aswatana. Pura-pura mensyukuri kematian itu, Pandawa beteriak girang: ‘Aswatana mati! Aswatana mati!’

Durna setengah percaya setengah tidak mendengar teriakan itu. Ia berpaling pada Yudhistira. Ia yakin Yudhistira selalu jujur. Digiring paksa oleh Kresna, Yudhistira dengan berat hati berdusta. Durna lunglai. Saat seperti itu Drestajumena menebas lehernya. Durna menemui ajal.

Supaya tak murung, anggap saja langkah PRD mendukung Jenderal Penculik merupakan muslihat Kresna membunuh Durna. Bisa juga langkah terpaksa Yudhistira demi Sosialisme.

Bukankah tak salah?

Sekarang semuanya tergantung sentuhan. Mendukung Jenderal Penculik bila diberi sentuhan nasionalisme, bisa berarti satu barisan menghadang gempuran neoliberalisme. Pun, Jenderal Penculik bila diberi sentuhan Venezuela bisa berubah menjadi Hugo Chavez, sentuhan Kuba menjelma Castro atau Che, dan sentuhan a la Cina muksa jadi Mao.

Ada baiknya kita berhenti pada kisah ini saja: PRD telah berubah menjadi Panji Tengkorak yang sedang menyeret-nyeret peti mati sembari menggandeng dengan mesra tangan Jenderal Penculik. Dan, dalam peti mati itu terbaring: Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul dan Bimo Petrus.
Rest In Peace PRD: 22 Juli 2012!

***

Lereng Merapi, 19.07.2012

http://indoprogress.com/2012/07/rip-prd/?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork

Jumat, 01 Juli 2016

Pengembaraan Cerita Panji

Oleh: Idha Saraswati* | 1 Juli 2016

 Tpeng Panji Asmorobangun yang dipamerkan Tempo Doeloe Malang (Koleksi Foto: Dwi Cahyono/ ppanji.org)

Dibandingkan kisah Mahabharata maupun Ramayana, cerita Panji boleh jadi kurang dikenal masyarakat. Namun, sejumlah bentuk kesenian yang saat ini masih eksis ternyata mengambil inspirasi dari cerita Panji.

Jejak cerita Panji itu bisa dilihat di relief candi, pementasan wayang, hingga dongeng anak-anak suku Jawa, seperti Ande-ande Lumut, Timun Mas dan Keong Mas. Di sejumlah wilayah di Yogyakarta, saat ini masih ada ritual adat untuk menyampaikan rasa syukur maupun menolak malapetaka yang alurnya mengambil inspirasi dari cerita Panji. Meski begitu, tak semua pelaku seni maupun ritual tersebut memahami benang merah yang menghubungkan aktivitas mereka dengan cerita Panji.

Tak sekadar eksis, Lydia Kieven, peneliti budaya Panji dari Jerman, bahkan melihat gejala kebangkitan budaya Panji dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. “Sepertinya sejak 2014 semakin banyak orang bicara tentang Panji,” katanya, saat berbicara dalam diskusi bersama para pelaku budaya Panji di Yogyakarta, Sabtu (25/6) di Joglo Bebana, Bantul.

Lydia menyebut rencana dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) untuk mendaftarkan Cerita Panji ke UNESCO, organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, sebagai warisan memori dunia (memory of the world) menjadi salah satu penanda kebangkitan itu. Dalam upaya memuluskan pendaftaran itu, sejumlah pihak yang selama ini punya perhatian ke budaya Panji menyiapkan berbagai kegiatan mulai dari menggelar seminar, pementasan hingga pendokumentasian. 
Ini terutama dilakukan oleh para pegiat dan pemerhati cerita Panji di Provinsi Jawa Timur. Di luar itu, sejumlah pemerintah daerah di Jawa Timur kini giat mengangkat budaya Panji sebagai ikon budaya dan pariwisata setempat.

Budaya Panji bisa didefinisikan sebagai beragam bentuk ekspresi seni yang menggunakan cerita Panji sebagai isinya. Dalam bukunya “Memahami Budaya Panji”, Henri Nurcahyo menyebut bahwa dalam pemahaman umum, cerita Panji berkisar pada kisah percintaan Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati atau Panji Kudawenengpati, putra mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, puteri Raja Panjalu. Bersatunya kedua tokoh sentral dalam cerita tersebut menjadi lambang penyatuan dua kerajaan, sekaligus penyelamatan dua kerajaan itu dari ancaman kehancuran. Dalam perkembangannya kemudian, ada banyak varian cerita Panji dengan alur cerita yang mirip.

Cerita Panji dikenal sebagai cerita yang berkembang di luar istana, dan diperkirakan muncul sebelum era Kerajaan Majapahit. Tak jelas siapa penulisnya. Selain itu, belum ada kesepakatan soal kapan tepatnya kisah ini bermula. Namun, cerita ini dipandang mencapai puncak perkembangannya di era Majapahit.

Dalam buku terbitan 2015 itu, Henri menyebut bahwa cerita Panji disajikan dalam beragam bentuk pertunjukan rakyat, misalnya wayang topeng di Malang, wayang beber di Pacitan, wayang gedog di Kediri, reog di Ponorogo, dan sebagainya. Cerita Panji juga muncul di relief candi, seni rupa, sastra lisan dan sastra tulis.

Lydia mengaku pertama kali menemukan cerita Panji yang terukir sebagai relief candi di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, pada 1996 silam. Itu menjadi titik mula pencariannya terhadap cerita Panji. Selama meneliti, ia menemukan relief yang diduga mengandung cerita Panji di sekitar 20 candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Relief candi-candi di Jawa Tengah itu menunjukkan jejak pengembaraan cerita Panji ke wilayah yang lebih luas. Faktanya hari ini, cerita Panji dikenal tidak hanya di Jawa Timur, melainkan juga di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera hingga ke negara tetangga seperti Thailand, Vietnam hingga Kamboja.

Lydia menyebut teori yang menjelaskan soal pengaruh Kerajaan Majapahit terhadap penyebaran cerita Panji ke Asia Tenggara. Namun, belakangan ia meragukan teori tersebut. Di Thailand, Myanmar, maupun Kamboja, cerita Panji menjadi populer setelah abad ke 18. Salah satu raja di Thailand juga pernah mengarang cerita berdasarkan naskah Panji dari Jawa.
 “Ada orang Thailand yang menulis tesis soal hubungan Thailand dan Jawa. Raja Thailand sangat menghormati Raja Jawa, makanya dia ambil cerita dari Jawa. Tapi saya tidak tahu apakah itu terjadi di era Majapahit atau setelahnya,” terangnya.

Cerita Panji di negara tetangga biasa disebut sebagai cerita Inau, yang diperkirakan berasal dari nama Inu Kertapati, tokoh sentral dalam Cerita Panji. Pada 2012 silam, ada festival Inau se-Asia Tenggara yang digelar di Thailand.

Setelah 20 tahun melakukan penelitian, Lydia mengaku senang sekaligus was-was melihat kebangkitan cerita Panji saat ini. Ia senang karena dengan semakin dibicarakan, cerita Panji akan makin populer sehingga makin banyak orang yang ingin tahu cerita ini. Namun, ia mengingatkan agar upaya mengangkat cerita Panji tidak melupakan nilai filosofis dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. “Jangan sampai ini nanti hanya menjadi tontonan saja. Edukasi sangat penting,” ujarnya.

Lydia juga mengingatkan pentingnya upaya mengembangkan cerita Panji dengan melibatkan generasi muda. Jika cerita Panji sebelumnya telah menginspirasi berbagai bentuk seni pertunjukan, maka berbagai media yang saat ini ada juga bisa digunakan. Itu bisa berupa film hingga komik.

Kalanari Theatre Movement, kelompok teater kontemporer di Yogyakarta, adalah salah satu kelompok yang mencoba menggali inspirasi dari cerita Panji. Ibed Surgana Yuga dari Kalanari menuturkan, ia dan rekan-rekannya terbiasa bergerak di wilayah seni kontemporer. Mereka ingin belajar tradisi dan memulainya dengan mempelajari cerita Panji.

Ketika pertama kali menelusuri cerita tersebut, Ibed mengaku kehilangan jejak. Ia dan teman-temannya seperti menemukan cerita yang berhamburan. Pertemuan dengan Lydia Kieven membuat mereka menemukan arah. Pada 2012 mereka mementaskan “Topeng Ruwat” di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Pentas ini menggali nilai ruwatan yang terkandung dalam kisah Panji dan kebudayaan topeng yang ada di Jawa, Indramayu dan Bali.

Lalu pada 2013 Kalanari mementaskan “Panji Ambara Pasir”. Pertunjukan teater ini berkisah tentang migrasi kebudayaan yang berangkat dari studi tentang keberadaan cerita Panji yang lahir di Jawa dan kemudian berkembang ke Asia Tenggara.

Rudy Wiratama, mahasiswa Pengkajian Seni Pertunjukkan UGM yang pernah meneliti perkembangan cerita Panji di Jawa Tengah dan DIY juga melihat gejala kebangkitan cerita Panji. Di satu sisi, menurutnya saat ini jumlah dalang yang memainkan wayang gedog menurun drastis. Ini antara lain dipicu kurang populernya cerita Panji dibanding kisah Ramayana dan Mahabharata, sehingga secara ekonomi memainkan wayang gedog tak lagi menjanjikan. 
Meski begitu, ia melihat ketertarikan generasi dalang muda saat ini terhadap cerita Panji tengah bangkit.

Seperti Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji yang hidup mengembara sebelum saling menemukan satu sama lain, cerita ini pun mengembara dan terus berkembang.
_____
Idha Saraswati, Pencinta seni dan budaya. Bisa dihubungi di jatisaras@gmail.com atau juga di @idhasaras, kadang-kadang menulis di jatisaras.wordpress.com.

http://serunai.co/pratayang/2016/07/01/pengembaraan-cerita-panji/