Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 30 Agustus 2015

Saskia Wieringa: The Crocodile Hole Sebuah Narasi Mencari Keadilan

30/8/2015

Dok. Jurnal Perempuan

Saskia Wieringa adalah seorang antropolog dan profesor di fakultas Social and Behavioural Sciences Universiteit Van Amsterdam, Belanda. Ia juga mengajar studi gender dan seksualitas di berbagai perguruan tinggi, baik di Belanda dan luar negeri. Dia telah terlibat dalam membangun studi gender di universitas di berbagai negara. Saskia Wieringa telah melakukan penelitian hubungan gender, kebijakan seksual, dan hubungan lesbian di Indonesia, Jepang dan Afrika Selatan. Ia fokus dalam kegiatan pengajaran, penelitian dan konsultasi di bidang hak asasi manusia, seksualitas dan budaya, hubungan lesbian lintas budaya, epistemologi dan metodologi feminis, seksologi dan HIV/AIDS. 

Ia telah menerbitkan banyak buku tentang politik seksual di Indonesia, pemberdayaan perempuan dan hubungan sesama jenis perempuan secara global. Pada tahun 2014 ia menerbitkan buku berjudul Heteronormativity, Passionate Aesthetics and symbolic subversion in Asia. Eastbourne: Sussex Academic Publishers. Dia telah menerbitkan lebih dari 30 buku non fiksi, kebanyakan isu yang diangkat soal gender dan seksualitas. Selain menerbitkan buku, ia juga telah menerbitkan novel. Novel keduanya yang baru saja diterbitkan oleh  YJP Press pada bulan Agustus 2015 berjudul The Crocodile Hole.Publikasinya yang lain diantaranya “Discursive Contestations On Female Masculinity And Intersex In Indonesia”,  dalam Sharyn Davies & Linda Bennett,  Sexuality in post-Reformasi Indonesia, diterbitkan Routledge: 2014; “Sexual politics as a justification for mass murder in The Act Of Killing”, dalam Critical Asian Studies, Vol. 46 nr 1, 2014, pp. 195-200; “Symbolic subversion”, dalam TSQ transgender Studies Quarterly, vol. 1 nrs 1-2, May 2014, pp. 210-213; “Persisting silence:  Sexual Slander, Mass Murder and The Act Of Killing”, dalam Asian Journal of Women’s Studies. Vol. 20 no. 3, 2014, pp. 50-77. Pada tahun 2011 “Sexual slander and the 1965/66 mass killings in Indonesia: political and methodological considerations” dalam  Journal of Contemporary Asia, pp.  544-565, mendapatkan penghargaan sebagai Best Paper of the JCAS.

Saskia Wieringa juga aktif didalam perjuangan gerakan perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada tahun 2009 ia pernah menjabat sebagai  Sekretaris Dewan Kartini Asia Network for women’s and Gender Studies. Pada 6 Juli 2012 ia diundang sebagai pembicara dan membawakan materi mengenai The imagined community: nation building and sexual politics in Asia, dalam acara Open Forum on Asian Feminism and Transnational ActivityEWHA women's university, Seoul. Saat ini Saskia menjadi koordinator peneliti Internasional People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), sebuah pengadilan rakyat internasional bagi peristiwa 1965 yang diinisiasi oleh para aktivis Hak asasi Manusia (HAM). Pengadilan Rakyat Internasional ini akan dilaksanakan pada November 2015 di Den Haag, Belanda. IPT 1965 juga dimaksudkan untuk mengonsolidasikan semua bahan-bahan penelitian. Baik penelitian pro justitia yang dilakukan Komnas HAM  maupun  penyelidikan para peneliti, seperti Robert Cribb yang pertama kali menyebutkan jumlah korban pembantaian sebesar 500.000 orang,  juga penelitian-penelitian awal (1971) yang dilakukan oleh  Ben Anderson dan Ruth Mc Vey yang memberikan analisis awal tentang peristiwa 1965. Bahan-bahan ini nantinya akan menjadi laporan lengkap dan terkonsolidasi tentang peristiwa genosida dan kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi setelah percobaan kudeta sekelompok perwira militer yang gagal dan menyebabkan terbunuhnya 6 jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat. Bahan-bahan itu sudah mencapai 1500 halaman lebih dan sebagian sudah dituliskan kembali oleh Saskia Wieringa sebagai koordinator peneliti IPT 1965 (dalam “Nursyahbani Katjasungkana: IPT 1965, Kekerasan Seksual dan Upaya Memberikan Suara Pada Korban” oleh Anita Dhewy, Jurnal Perempuan Ed. 86 hal: 180).

 
The Crocodile Hole: Narasi Fiksi bukan Fiktif

The Crocodile Hole adalah sebuah novel yang didasarkan dari disertasi Saskia Wieringa. Novel ini bercerita tentang peristiwa tahun 1965, fitnah seksual terhadap organisasi perempuan terbesar pada masa itu, Gerwani. Selain itu tahun 1965 juga menyisakan sejarah terburuk Indonesia tentang genosida yang dilakukan bangsa sendiri terhadap rakyatnya. Saskia Wieringa melalui novel ini membungkus fakta kisah tersebut dalam nuansa fiksi, dengan harapan masyarakat Indonesia dapat membacanya dengan luwes. Fakta-fakta itu sebelumnya telah ia dokumentasikan juga dalam bentuk naskah akademik berupa buku, jurnal hingga film. Menurutnya, tesis, buku, hingga film yang telah ia buat tentang peristiwa 1965 belum cukup untuk memberikan keadilan dan kebenaran belum terungkap juga di Indonesia. Sehingga ia membuat novel ini sebagai salah satu cara advokasi, selain karena kegemarannya menulis novel. Novel ini juga terkait erat dengan program IPT 1965 yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Joost Cote dalam pengantarnya untuk novel ini mengatakan bahwa seringkali fakta dapat lebih kuat daripada fiksi. Tetapi “fakta” yang dilaporkan mengenai peristiwa Lubang Buaya di tempat latihan militer angkatan udara pada malam 30 september 1965 adalah fakta yang fiktif; dan hal luar biasa tersebut memberikan pengalaman fisik dan eksistensial yang mengerikan bagi jutaan rakyat Indonesia setiap malam pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya. Seperti beberapa potongan fiksi yang dramatis, gambaran fantastis yang dibuat oleh kata-kata (kebohongan) memperoleh realitas fisiknya melalui ilustrasi, patung dan representasi sinema yang menghantui sekolah, kota dan media cetak sepanjang Orde Baru.Sama banyaknya dengan ragam kekejaman dalam persitiwa tersebut, analisis dan diskusi mengenai zaman orde baru telah banyak dimunculkan melalui naskah-naskah akademik, namun kengerian atas kekerasan tersebut hanya dapat dibayangkan, untuk menjadikan hal tersebut sebagai rasa atas pengalaman sendiri hanya mungkin dengan melakukan pendekatan terhadap realitas melalui fiksi.

Dalam sebuah kesempatan wawancara Jurnal Perempuan dengan Saskia Wieringa, ia mengatakan bahwa menulis adalah sebuah aktivitas yang sudah melekat pada dirinya, ia senang menulis, bukan hanya naskah akademik namun ia juga senang menulis novel. Dalam proses menulis novel ia mengungkapkan bahwa ada sesuatu hal yang jauh berbeda dari menulis naskah akademik, ada tantangan tersendiri. Lebih jauh dia mengatakan bahwa dalam menulis novel dia bisa menciptakan suasana-suasana, latar-latar, dan tokoh-tokoh, novel adalah proses kreatif yang jauh berbeda dengan disertasinya. Kegemarannya untuk meneliti membawa ia kepada misteri bawah tanah tentang fitnah Gerwani yang harus ia pecahkan. Ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa seperti detektif ketika meneliti sesuatu. Penelitiannya terhadap Gerwani pada akhirnya menelurkan sebuah disertasi yang didokumentasikan dalam buku yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, sementara The Crocodile Hole adalah sebuah novel yang didasarkan dari disertasi Saskia Wieringa tersebut. Dalam novel The Crocodile Hole Saskia menerangkan bahwa ia juga menciptakan tokoh-tokoh fiksi seperti tokoh jurnalis Tommy dan Tante Sri yang merupakan fantasinya. Tokoh-tokoh tersebut sengaja yang ia ciptakan karena banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa ia ketahui secara jelas. Seperti kecurigaannya terhadap keterlibatan tokoh agama yang dekat dengan Soeharto untuk memunculkan ide fitnah seksual terhadap Gerwani.


Disertasi: Sebuah Perjalanan Panjang Mencari Kebenaran

Saskia Wieringa adalah seorang aktivis feminis sosialis. Dalam wawancara ia juga menceritakan tentang perjalanan panjang sebuah perjuangan, bukan hanya perjuangan untuk mendapatkan gelar akademik PhD, namun juga perjalanan panjang membongkar ketidakadilan. Pada tahun 1977 hingga 1978 Saskia melakukan riset dan aktif membantu persoalan buruh-buruh batik di Solo, hasil risetnya ia berikan kepada LSM lokal agar bisa dijadikan rekomendasi untuk memberikan bantuan terhadap buruh-buruh tersebut. Atas kegiatannya tersebut nama Saskia mulai didengar oleh masyarakat, khususnya aktivis perempuan pada saat itu. Saskia juga mengatakan bahwa pada tahun 1977-1978 ketika ia ingin melakukan kerjasama dengan LSM lokal ternyata tidak ada yang bersedia. Ia juga mengetahui bahwa sebelumnya, Ibu-ibu GERWANI juga pernah membantu persoalan buruh-buruh perempuan. Saskia juga membuat film dari hasil risetnya tersebut, film tersebut telah diputar di Belanda, namun di Indonesia dilarang diputar sehingga ia harus menyembunyikan film tersebut. Gairah gerakan perempuan yang hilang tersebut membuat Saskia bertanya-tanya apa yang telah terjadi dan bagaimana mungkin gerakan perempuan begitu lemah pada tahun 1980. Setelah itu namanya mulai dikenal di Indonesia.

Lebih jauh Saskia bercerita ketika tahun 1981 saat rezim Orde Baru berkuasa, ia sedang mencari topik penelitian mengenai gerakan perempuan di Indonesia. Hal itu didasari atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tentang melemahnya gerakan perempuan. Dalam perjalanannya ia sempat merasa ragu karena tentu akan sulit untuk bertemu dengan ibu-ibu Gerwani karena sebagian dari mereka masih di penjara, menjadi tahanan kota, dan masih harus wajib lapor. Suatu hari di Guest (house?) Saskia ada seorang ibu tua yang datang dan mengenalkan diri, namanya adalah Sujinah. Ibu Sujinah sengaja menemuinya karena telah mendengar nama Saskia, seorang peneliti dan aktivis perempuan dari Belanda. Setelah itu Ibu Sujinah mulai bercerita panjang mengenai apa yang terjadi dan kebohongan yang difitnahkan kepada Gerwani. Pada saat itu ternyata Saskia masih belum menyangka tentang adanya fitnah tersebut, karena Gerwani sendiri masih tidak tahu persis bagaimana dan siapa yang menyebarkan fitnah tersebut, setelah bertemu dan mendapat keterangan dari Ibu Sulami. 

Kemudian dalam pertemuan selanjutnya Saskia dengan Gerwani, Ibu Sulami mengatakan padanya bahwa mereka juga tidak tahu pasti tentang fitnah tersebut. Ibu Sulami mengatakan bahwa ada gadis-gadis (yang bukan anggota Gerwani) dari Pemuda Rakyat yang datang dan bercerita kepada mereka tentang tarian telanjang yang dituduhkan kepada mereka sehingga mereka dianggap sebagai pelacur. Gerwani adalah organisasi perempuan Indonesia yang berjuang untuk hak-hak perempuan . Ibu Sulami kemudian menawarkan pada dirinya untuk meneliti hal tersebut dan akan membantu dengan memberikan nama-nama dan nomor telepon ibu-ibu Gerwani di kota. Menurut mereka tidak memungkinkan bagi Saskia ke desa dan kampung-kampung, karena kulitnya yang putih akan menimbulkan kecurigaan. 

Pada pertemuan selanjutnya antara Saskia dengan ibu-ibu Gerwani, ia menyetujui untuk melakukan penelitian mengenani gerakan perempuan Indonesia dan membahas kesepakatan tentang hasil penelitian terhadap Gerwani nantinya. Setelah persetujuan tersebut ia dan ibu-ibu Gerwani merundingkan beberapa hal yang peru disepakati lebih lanjut, mengingat penelitian ini akan berisiko terhadap dirinya dan juga ibu-ibu Gerwani dikemudian hari. Ia mengusulkan agar Ibu Sulami dan Ibu Sujinah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan orang-orang yang ia wawancarai, kemudian ia akan bertanggung jawab terhadap analisis dan naskah akademik dari hasil riset tersebut. Ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah orang PKI, ia juga bukan seorang komunis, sehingga ia akan menuliskan sebenar-benarnya apa yang terjadi dan menulis berdasarkan analisis akademisnya dengan jujur.  

Kesepakatan atas penelitian tersebut telah dirundingkan, mulailah Saskia melakukan riset dengan melakukan studi literatur, dokumen sejarah, dan wawancara. Saskia bercerita bahwa ia harus melakukan wawancara di dalam ruangan tertutup, di gereja-gereja,  di hotel-hotel, bahkan di taksi agar tidak terlihat sedang bersama mereka, karena para saksi terbut masih diawasi oleh kepala desa, ketua RT, dan intel pemerintah. Saksi tersebut tdak boleh bertemu dengan peneliti apalagi bercerita mengenai pengalaman kekerasan yang dihadapinya di penjara. Namun pada akhirnya penelitian Saskia diketahui oleh intel pemerintah, dan langsung pemerintah Indonesia mendaftarhitamkan dirinya sehingga ia tidak boleh masuk ke Indonesia. Naskah akademik penelitiannya telah selesai, namun ia belum bisa menerima gelar S3 karena ia harus mendapatkan persetujuan dari narasumbernya. Pada tahun 1994, 15 tahun kemudian, akhirnya Saskia dapat kembali ke Indonesia. Ia bersembunyi di rumah kecil dan selama 3 minggu narasumbernya membaca, mengecek dan mengoreksi naskah tersebut. Ada beberapa yang harus dihilangkan seperti nama orang, alamat rumah, dan nama kota-kota, karena mereka bisa dibunuh atau dipenjarakan lagi jika intel mengetahuinya. Setelah itu, pada tahun 1995 ia bisa mendapatkan gelar PhD-nya. 

Saskia menyadari sejak awal bahwa penelitian S3-nya itu tentu bukan penelitian yang biasa, itu akan mengubah hidupnya. Baginya itu adalah sebuah cerita bawah tanah yang besar, sejarah yang penting, dan bukan suatu topik yang bisa ia drop kemudian pindah ke topik lainnya, ini adalah sebuah perjuangan yang kontinu. Disertasi tersebut didokumentasikan menjadi sebuah buku dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Pada terbitan pertama buku tersebut beberapa fakta-fakta peristiwa 1965 dihilangkan sesuai permintaan informan. Baru pada terbitan yang kedua ia bisa menyebutkan semua nama-nama kota, alamat, dengan lebih jelas karena terbit setelah reformasi. Menurutnya, tidak banyak yang diubah karena hanya sekitar 8 nama yang harus dihilangkan. Setelah pengecekan naskah tersebut, Ibu Sulami mengiriminya surat yang berbunyi, “Saskia aku sangat senang hati karena aku tahu sekarang kita sudah tidak bisa dibohongi lagi, kebenaran sudah ada, dan aku bisa mati dengan tenang, naskah mu adalah golden ringdalam hidup saya, jika aku mati maka aku tidak hidup sia-sia”. Baginya sebagai seorang peneliti, itu adalah hal yang paling indah untuk didengar, bahwa penelitiannya dapat bermanfaat bagi orang lain. 

Ada banyak kesulitan dalam meneliti hal ini, Saskia bercerita kembali. Ia menjelaskan bahwa pada awal penelitiannya dia harus mengetahui tentang Gerwani lebih dalam, bentuk organisasinya, dan gerakan-gerakannya. Pada saat ia mewawancarai narasumber, kisah mengenai penjara dan penyiksaan selalu muncul. Mereka sangat sulit untuk mengatakan apa yang mereka lakukan sebelum itu, karena di dalam penjara mereka disiksa dan didoktrin bahwa apa yang telah mereka lakukan (memperjuangkan hak-hak perempuan) adalah sesuatu kejahatan. Cerita-cerita itu sesungguhnya tidak cukup untuk membongkar apa yang terjadi jauh sebelum itu. Sehingga Saskia juga banyak melakukan penelitian terhadap arsip sejarah. Ia menemukan bahwa sebenarnya sebelum tahun 1965 ibu-ibu tersebut bangga menjadi Gerwani, bangga bisa membantu perempuan lain yang diperkosa, dipukul suami, dan buta huruf. Mereka, ibu-ibu Gerwani hancur setelah 15-20 tahun dipenjara, jiwa dan tubuh mereka hancur. Hal tersulit lainnya adalah ketika ia mendengar penyiksaan yang begitu kejam terhadap mereka. Kemudian ia juga harus melakukan penelitian terhadap organisasi perempuan katolik, Perwari, Dharma Wanita, yang kesemuanya menyatakan bahwa Gerwani jahat. Hal itu sangat sulit baginya.  

Penelitian ini menurutnya sangat berbahaya pada zaman itu. Setiap 3 bulan sekali ia harus pergi dari Indonesia sebab intel sudah mencurigai aktivitasnya bersama ibu-ibu Gerwani. Ibu-ibu Gerwani mengatakan jangan datang lagi, sangat berbahaya karena intel sudah tahu, dll. Saskia sangat sadar akan hal itu, bahwa penelitiannya sangat berbahaya. Menurutnya orang Indonesia tidak bisa melakukan penelitian itu dan orang asing bisa jadi akan hilang tanpa jejak (dibunuh) oleh kekejaman Orde Baru. Pada zaman itu Saskia berpendapat bahwa belum memungkinkan untuk orang Indonesia meneliti hal itu, karena pasti akan ditolak di universitas dan tidak punya karier. Pada waktu itu Saskia bercerita bahwa untuk melakukan riset, peneliti harus memiliki visa penelitian. Univeristas Leiden sangat khawatir karena penelitiannya akan berpengaruh pada semua peneliti Belanda jika ingin dilanjutkan. Namun baginya, sumpah academic freedom adalah yang terpenting dan universitas harus menjamin itu, jangan sampai universitas sendiri yang menyingkirkan peneliti-peneliti karena mereka takut. Soal Indonesia, Saskia mengerti karena ada tekanan dari pemerintah pada saat itu, namun di Belanda, universitas tidak boleh takut dan menyulitkan kariernya.

Ia melanjutkan ceritanya tentang penelitiannya di Padang. Pada saat itu ia diberikan alamat dari seseorang di Jakarta untuk menemui seorang pastur yang mungkin dapat memberikan petunjuk untuk bertemu narasumber lainnya. Ketika sampai di Gereja tersebut, munculah seorang pastur muda, dan setelah berbicang lebih jauh tentang tujuannya datang, ternyata pastur yang ia cari telah pindah, padahal ia sudah bercerita banyak. Lalu pastur muda yang tidak tahu persoalan tersebut menghubungi temannya (dari militer) yang dia rasa tahu banyak tentang Gerwani untuk datang ke gereja. Seketika rombongan tentara datang dengan senjata lengkap, hal itu membuat Saskia sedikit takut. Ketika kepala pasukan tersebut melihatnya, ia pun berkata “Mengapa Belanda mengirim peneliti muda yang bodoh ini? Siapa yang berani-berani mencari tahu tentang Gerwani, jika ingin tahu tentang mereka mari ikut kami, kami yang urus semua program kerja dan pidato-pidato mereka”. Tentu mendengar pernyataan tersebut, bagi Saskia langkah terbaik yang harus diambil adalah lari, Saskia melanjutkan ceritanya sambil tertawa. Setelah kejadian itu, ia berpikir untuk juga meneliti sejauh mana peran militer dalam gerakan perempuan pada zaman itu. 

 
IPT 1965: Mengembalikan Keadilan Pada Pemiliknya

Mengenai keselarasan advokasi antara novel dan IPT 1965, Saskia mengatakan bahwa keuntungan penjualan novel ini akan langsung masuk ke kas IPT 1965, begitu juga penjualan novel The Crocodile Hole yang berbahasa Belanda. Selain itu, ia juga merasa bahwa buku ini harus beredar di masyarakat karena mereka wajib mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dan dengan bentuk novel tentu akan lebih mudah dibaca dibandingkan dalam bentuk laporan penelitian. Dari segi konten, ia juga  menjelaskan bahwa masyarakat luas harus tahu bagaimana mungkin fitnah dan kekejaman bisa terjadi atau dalam istilah Saskia disebutnya sebagai “tetangga membunuh tetangga”. Kejadian di Kupang misalnya, orang PKI dan gereja dulu pernah bekerjasama, namun setelah 1965 pemuda gereja dan militer masuk ke desa-desa dengan cerita bohong tentang kejadian di Lubang Buaya. Masyarakat setempat sebenarnya tidak tahu sama sekali tentang hal itu sebelumnya, yang diketahui adalah PKI organisasi yang modern karena mereka aktif memberikan bantuan ke desa-desa dan memiliki daftar penerima bantuan versi PKI. Kemudian ada seorang ibu anggota Gerwani dituduh ikut menari telanjang. Lebih kejamnya lagi ada perempuan yang memberikan kursus membaca bagi kelompok buta huruf diberikan label Gerwani dalam konotasi negatif, kemudian dia dipenjaradan diperkosa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Menurut Saskia ada propaganda militer tehadap Gerwani dan PKI yaitu mereka dituduh ateis dan anti Pancasila. Saskia menjelaskan bahwa PKI tidak anti dengan Pancasila, PKI mengutamakan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila selanjutnya juga mereka ikuti. Kita juga tahu bahwa mereka ikut andil mendorong dan membantu Soekarno memperjuangkan Pancasila. Golongan fundamentalis dan tentara terus menerus mengatakan PKI anti Pancasila, kemudian dibentuk sebuah framing terhadap PKI. Di Kupang anggota PKI ada yang ikut ke gereja dan di Jawa timur orang NU dan PKI ada yang sama-sama “Abangan”. Pada tahun 1921 ada juga kiai yang ikut bersama-sama berjuang dalam pemberontakan PKI yang anti kolonial. Sebelumnya PKI dan kiai-kiai bisa bekerjasama, namun di tahun 69-an mereka saling memusuhi hingga pada tingkat politik nasional. 

Lebih jauh, Saskia mengatakan, jika orang Indonesia tidak bisa belajar apa sebenarnya PKI, maka orang Indonesia tidak akan bisa mengerti sejarah Indonesia seutuhnya. “Tetangga membunuh tetangga” seperti apa yang dikatakannya sebelumnya adalah sebuah propaganda. Hingga kini propaganda masih tetap ada karena FPI meneriakkan tentang PKI baru. Baginya tidak ada PKI baru, yang ada hanya korban tragedi 1965. FPI masih meneriakkan “hancurkan dan bunuh PKI”. Mereka para korban sudah tua, sakit, dan miskin, mereka hanya ingin hidup tenang dimasa tuanya. Saskia masih tidak menyangka bagaimana mungkin kebencian yang begitu besar masih mengakar selama ini. Fitnah yang diciptakan Soeharto tentang G30S/PKI yang hingga kini kita belum tahu siapa dalangnya. Memang saat itu Aidit ikut, tapi Soeharto dan Omar Dani juga ada dalam benang merah penculikan jenderal tersebut. Memang PKI adalah partai besar pada saat itu, namun PKI tidak mempunyai senjata, bagaimana mungkin bisa memberontak kepada tentara yang bersenjata lengkap dan kuat. Kebenarannya adalah peristiwa G30S/PKI merupakan skenario besar penculikan dan pembunuhan jenderal, fitnah PKI sebagai dalang, dan pemberangusan PKI seluruhnya. Sekitar 2 hingga 3 juta orang dibunuh. Saskia mengatakan bahwa memang Aidit yang melakukan pembunuhan terhadap jenderal harus diadili, tapi bagaimana dengan 3 juta orang yang dibunuh tanpa tahu apa-apa. Mereka hanya ikut partai yang pada saat itu sangat umum dan publik, tidak ada pelarangan atas PKI sebelumnya, mereka sah. Pelarangan terhadap PKI terjadi pada tanggal 12 Maret, satu hari setelah Supersemar dikeluarkan. Hingga kini, didalam kurikulum sekolah terus-menerus diceritakan bahwa PKI dan Gerwani jahat. Padahal Gerwani tidak jahat, mereka organisasi yang membantu kesejahteraan masyarakat bawah, ibu-ibu miskin. 

Ketika ia melakukan kajian arsip, ia menemukan surat dari India yang berisi tentang kekaguman terhadap Gerwani atas gerakan dan sumbangsih mereka terhadap masyarakat. Dunia internasional tentu melihat anggota Gerwani bisa jalan kaki ke desa-desa dan bertemu dengan ibu-ibu untuk menanyakan serta memberikan solusi atas persoalan yang tengah dihadapi, seperti kemiskinan janda-janda. Gerwani dan Pemuda Rakyat bekerjasama membangun rumah, membangun TK Melati yang kemudian semuanya diambil alih oleh Aisyiyah pasca 1965. Program kerja PKK juga mencontoh dari aktivitas Gerwani. Bagi Gerwani kalau mau membangun desa, kegiatan yang harus dijalankan adalah hal yang praktis sehingga bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Gerwani juga memberikan pelajaran memasak sekaligus dengan pengetahuan akan gizi makanan. Selain itu, mereka juga memberikan pelajaran sosial-ekonomi, seperti analisis mengapa harga beras bisa mahal, sehingga mereka mengerti mengenai harga pasar.

Saat proses penelitian, Saskia juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan Dharma Wanita dan PKK. Mereka memberikan pelajaran memasak juga kepada ibu-ibu namun tidak diiringi dengan pengetahun gizi, mereka memberikan cara agar tampilan masakan menjadi cantik saja. Pengetahun sosial-ekonomi dan bantuan terhadap perempuan miskin juga tidak ada. Sama halnya dengan Bhayangkari yang pada awalnya adalah organisasi Polwan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Setelah 1965 Bhayangkari bukan organisasi Polwan lagi namun diisi oleh istri-istri pejabat Polri. Sehingga Bhayangkari membentuk organisasi yang hierarkis, mecontoh hierarki fujinkai dari Jepang. Mereka adalah ibu-ibu yang suaminya berada di suatu jabatan tertentu. Jadi ibu-ibu  cerdas dan giat tidak bisa berada di posisi puncak hanya karena suami mereka tidak memiliki jabatan tinggi. Saskia mengungkapkan bahwa hal itu dapat kita pahami ketika kita belajar sejarah dengan baik. 

Gerakan perempuan di tahun 90-an cukup banyak memunculkan nama-nama organisasi, seperti kalyanamitra dan LBH Apik misalnya. Mereka harus berkerja keras dan sangat hati-hati karena fakta feminis mempunyai stigma besar, stigma Gerwani. Misalnya Nursyahbani Katjasungkana (Koordinator LBH APIK), sering dipanggil atau disebut-sebut sebagai “Gerwani baru”, tentu stigma tersebut masih mengakar. Kemudian Contoh lain yaitu ketika setelah tahun 1998 Saskia dan Ibu Sulami hadir dalam acara pembentukan Koalisi Perempuan Indonesia, disana untuk pertama kalinya ia membuka cerita tentang Lubang Buaya. Ibu-ibu Aisyiyah langsung keluar ruangan karena tidak ingin mendengar cerita tersebut. Ada juga diantara tamu yang bingung, dan bertanya-tanya, mengapa bisa perempuan Indonesia dibohongi begitu lama. Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu Saskia menerangkan dengan bukti-bukti yang bisa dirasionalitaskan. Ia menawarkan untuk memberikan mereka fotokopi hasil autopsi yang ditandatangani oleh Soeharto dimana hasil autopsi tersebut jelas menerangkan bahwa penis jenderal tidak dipotong. Jenderal-jenderal tersebut meninggal karena luka tembakan dan luka akibat pukulan. Tidak ada penyiletan di mata, jika memang mata jenderal rusak itu dikarenakan pembusukan selama 3 hari di Lubang Buaya. Hasil autopsi tersebut diambil dari rumah sakit tentara dan tidak palsu. Kemudian Saskia melanjutkan, jika ibu-ibu belum percaya, mereka bisa mengunjungi museum Pancasila Sakti, disana ada seragam para Jenderal yang asli dan bisa dilihat bercak darah di bagian tubuh yang tertembak.  Bercak darah tersebut tidak ditemukan dibagian kemaluan, jika memang penis jenderal dimutilasi tentu akan menimbulkan tanda yang sangat jelas di pakaian jenderal. Selain itu juga terdapat foto-foto saat pengangkatan jenazah dan terlihat bahwa tidak ada proses mutilasi. 

Bukan hanya perempuan-perempuan tersebut yang tidak percaya dan masih mengatakan Gerwani jahat. Saskia menceritakan pengalamannya lebih jauh ketika ia di Amsterdam dan bertemu mahasiswa Indonesia dalam acara seminar “The Act of Killing” yang dibawakannya. Mahasiswa S3 tersebut masih mengatakatan Gerwani jahat dan yang terjadi di Lubang Buaya adalah kebenaran, dan itu adalah pernyataan yang diucapkan oleh seorang yang berpendidikan sekalipun. Itu membuktikan bahwa sampai sekarang kebenaran belum terbongkar. Warisan orde baru mempunyai pengaruh sangat besar karena orang-orang dididik untuk memikirkan diri sendiri, tidak memikirkan keadilan sosial, hanya memikirkan harta sehingga terus-menerus korupsi. Sebelum 1965 masyarakat masih memikirkan kesejahteraan sosial. Orde baru telah mewariskan kebodohan yang mengukur segala sesuatu dengan harta bukan dengan intelektualitas. Pemikiran liberal masih dianggap bahaya sehingga universitas tertindas. Di dunia internasional kualitas perguruan tinggi Indonesia sangat rendah, karena orang cerdas tidak dihargai.

Indonesia harus mencari kebenaran. IPT 1965 nantinya akan membuka dialog di dalam masyarakat mengenai persitiwa 1965, apa yang terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Proses yang sama juga terjadi di Afrika Selatan dan Jerman. IPT 1965 ingin mengadvokasi mereka yang tidak bersalah, Orba yang salah. Masyarakat yang tidak belajar sejarahnya sendiri tidak akan bisa maju. Saskia mengatakan bahwa ia sebagai warga dunia mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan agar genosida tidak terjadi lagi, hal ini juga merupakan kewajiban negara. Indonesia adalah negara Islam terbesar sehingga harus bisa menjadi contoh bagi negara lain bahwa hak asasi manusia bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai agama. Tanpa menciptakan dunia yang lebih adil tidak akan terwujud kemakmuran, sehingga keadilan perlu diperjuangkan, itulah janji Saskia pada Ibu Sulami dan Ibu Sujinah. 

Di akhir wawancara Saskia dan Jurnal Perempuan, Saskia mengatakan tentu akan ada novel yang ia akan tulis kembali. Ia akan menuliskan apa yang terjadi di IPT, kemudian novel tentang kuburan massal di kebun raya Purwodadi Jawa Timur. Ia sudah mulai menulis, namun tugasnya sebagai organisator IPT masih cukup berat. Sejauh ini Saskia mengatakan masih sangat senang menulis novel. (Andi Misbahul Pratiwi)


http://www.jurnalperempuan.org/berita/saskia-wieiringa-the-crocodile-hole-sebuah-narasi-mencari-keadilan

Jumat, 28 Agustus 2015

Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia

Tim ahli ekonomi Presiden Soeharto. Kiri-kanan, atas: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Soemitro Djojohadikusumo, Radius Prawiro. Kiri-kanan, bawah: Mohammad Sadli, Emil Salim, Frans Seda, dan Subroto. 

Minggu, 23 Agustus 2015

Setelah Kemerdekaan Tak Ada Lagi

|  Khalid Syaifullah 

SUDAH saatnya mendekatkan kata ‘merdeka’ dengan ‘nasi’ dan ‘tai’. Sebab seperti yang lalu-lalu, peringatan hari proklamasi memang tak lebih dari 1×24 jam. Sisanya hanya gumpalan tai, yang harus disiram bersih-bersih agar baunya segera hilang. Ibarat seorang bocah kecil yang memakan nasi, dicerna di lambung selama kurang dari 24 jam, berujung di usus besar dan keluar melewati anus berupa tai. Setelah bunyi ‘pluk’, maka lekasan disiram. Kalau tidak, urusan bisa runyam.

Pembaca mungkin merasa kaget, aneh dan jijik. Jangan kaget, sebab perumpaan di atas sudah pernah dilontarkan oleh penyair ‘pelo’ kita, Wiji Thukul. Di sebuah kampung di Solo, pada Agustus 1982, ia membaca puisi singkatnya yang berjudul ‘Kemerdekaan’.

Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai’.

Begitu isinya. Jangan jijik, karena Wiji mengucapkannya dengan ‘kurang ajar’. Katanya, ‘Saya lihat orang betul-betul menikmati kekurangajaran saya. Saya mendengar komentar dari mereka, ‘Ya wis, ra apa-apa. Pisan-pisan lurah ya digawe bingung.’ Juga jangan aneh, karena nyatanya, makna merdeka yang terhubung dengan nasi dan tai sejatinya sungguh dekat dengan tubuh manusia.
Puisi singkat nan spontan yang dibacakan oleh Wiji ini anehnya masih sangat relevan dan aktual sekali dengan realitas kekinian. Khususon perayaan 17 Agustus ‘45, puisi Wiji mendapatkan konteksnya. Puisi yang, kata Afrizal Malna, berasal dari ‘mata-pertama’ ini mencerminkan batang-tubuh biografis lingkungan kelas tertindas dalam menerjemahkan realitas sosial di sekelilingnya. Kita tahu, kenyataan ekonomi politik kala puisi dadakan ini tercipta sungguh sesak dengan kebijakan pro-kapital yang mau tak mau mesti melokalisasi segenap aktivitas politik rakyat menjadi aktivitas simbolik semata. Misalnya, kalangan Islam yang berpolitik, digeser dan direbahkan ke ruang-ruang mesjid menjadi sebatas Islam ritual.

Begitu pula peringatan hari proklamasi.
Di zaman Orde Lama, pidato-pidato Bung Karno saat HUT RI sangat menggelegar bahkan ke mancanegara. Ribuan sampai jutaan buruh memadati Istora Senayan hanya untuk mendengar khotbahnya yang mahsyur itu. Makanya, kita masih bisa meresapi dan menghayati tiap-tiap pesan dan ajaran yang disampaikan beliau sampai sekarang. Waktu itu, Sang Pemimpin Besar Revolusi berkobar-kobar menyerukan pentingnya bangsa Indonesia meneruskan cita-cita revolusi sebagai bangsa yang mandiri secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian kebangsaan.

Namun, paska tragedi ‘65, Indonesia sekonyong-konyong menyandarkan diri ke atas pundak lembaga donor internasional sembari melenyapkan jutaan kader dan simpatisan ‘kiri’ yang dicap sebagai anjing-anjing perusuh.

Sekadar menyegarkan ingatan, Bung Karno dalam pidato Nawaksara menyebutkan tiga pihak sebagai dalang persitiwa G30S. Yakni, segelintir elit pimpinan PKI yang keblinger, antek-antek nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Pendapat ini kemudian diafirmasi oleh Asvi Warman Adam sebagai jawaban yang tepat sekaligus komprehensif; ia menyebutkan kekeblingeran PKI dengan menunjuk peran Syam Kamaruzzaman; keterlibatan CIA, Inggris maupun Australia; serta mengacu beberapa anggota Cakrabirawa yang melakukan gerakan pada malam itu. Bung Karno tidak serampangan menuduh salah satu kelompok ataupun suatu badan organisasi―entah Angkatan Darat maupun PKI. Dengan kata lain, perisitiwa ini sarat dengan permainan asing dan elit dalam negeri, serta pimpinan partai yang sembrono.

Namun, jawaban ini seolah-olah ditenggelamkan oleh propaganda Orde Baru yang terus-menerus melabeli G30S dengan ‘/PKI’. Hal ini ditengarai para sejawaran dalam dan luar negeri sebagai ‘jaminan’ modal asing menancapkan kuku imperialisnya di tanah air.

Persitiwa sekaliber ‘65 menjadi tahap penting sejarah bangsa yang mempertontonkan Indonesia kecebur dalam liang lahat ketergantungan politik, ekonomi dan kebudayaan. Aneh bin ajaibnya, bukannya bangkit dari liang lahat, rezim pimpinan ‘Jendral Senyum’ itu malah menikmati liang lahatnya―pun, sembari membredel orang-orang yang sekadar ingin menegur dengan cap bigot-bigot subversif.

Ah, sungguh ironis. Sebuah kredo menyatakan, ‘hidup itu seperti diperkosa, kalau tak kuat melawan, ya nikmati saja’. Alih-alih melawan, justru di awal episode kekuasaannya, Orde Baru betul-betul menikmati ‘mas kawin’ Barat yang jumlahnya jutaan dollar.

Maka jangan heran, momentum peringatan proklamasi dijadikan semata-mata perayaan suci yang telah ‘disucikan’ dari karakter revolusionernya. Tak ada lagi khotbah menggelegar. Tak ada lagi jutaan massa berduyun-duyun memadati Senayan. Tak ada lagi transfer of spirit dari pemimpin kepada massa rakyat. Yang ada adalah peninaboboan, pensterilan, pemutihan, pensimbolisasian, peminggiran, dan segenap-genap saudaranya.

Begitupun transisi rezim-rezim setelahnya. Walau ada kemajuan teknologi yang mutakhir, toh substansinya tetap sama. Perayaan kemerdekaan hanya simbol. Simbolnya ada di batang pohon pinang, balapan karung, memindahkan belut ke dalam botol, dan sebagainya―yang sebetulnya hanya warisan penjajah yang dipakai untuk olok-olokan mereka terhadap pribumi. Juga tak ketinggalan, simbol tersebut bersemayam di dalam layar gadget yang harganya selangit.

Kalau sudah begini, momentum hari kemerdekaan hanyalah bak sepiring nasi yang dimakan jadi tai. Setelah itu, disiram segera agar baunya hilang sama sekali. Kalau perlu, disemprot pakai parfum bermerk mahal yang dibeli di toko-toko franchise Amerika. Sehingga bau tai berubah wewangian agar hidung menjadi normal seperti sedia kala. Setelah itu, kembali melakukan aktivitas seperti sebagaimana biasanya―ditindas, dieksploitasi, dialienasi, dibodohi, dan segenap-genap teman karibnya.***

http://indoprogress.com/2015/08/setelah-kemerdekaan-tak-ada-lagi/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29

Selasa, 18 Agustus 2015

Impunity in Indonesia: 50 years of injustice

August 18, 2015 | by Martha Meijer

Severe and massive human rights violations have occurred in Indonesia, with a peak in the years 1965-1966, but also in many years after that. Those responsible for the thousands of killings, torture, disappearances and forced labour have never been prosecuted or punished. This impunity in Indonesia is a continuing suffering for the victims and their relatives, and a threat to the rule of law, because it facilitates perpetrators to feel above the law and it may strengthen possible perpetrators in carrying out their abuses. This paper analyses the opportunities to break the cycle of impunity based on existing legal mechanisms – both Indonesian and international. It points to possibilities to realize the rights to the truth, to justice and rehabilitation, in the context of the initiative of the International People’s Tribunal 1965 (IPT) which was started in 2014, in an effort to come to terms with the events of 1965 and the years after.

In 1965 an alleged human rights violations have taken place. None of these violations have been prosecuted; on the contrary, victims and survivors have been subject to intimidation and discrimination until today. Perpetrators are being held in high esteem or are still considered heroes.

The internationally agreed concept of impunity offers opportunities to start a process to deal with the past. Still, the initiative has to come from within Indonesia. In 2014 and 2015 the documentary films “The Act of Killing” and “The Look of Silence” broke the taboo around the 1965 human rights violations.

Legal instruments can now be used to try and cope with the accumulation of emotions and fears within Indonesian society. Therefore the analysis of legal and internationally agreed ways to approach the struggle against impunity is a tool to start a discussion about the violations, the victims and the perpetrators, the reasons for impunity and the consequences.

This paper tries to present an analysis of international and Indonesian legal mechanisms in support of the struggle against impunity, considers possible obstacles and ways to address these and draws conclusions that hopefully can contribute to the effort by the International People’s Tribunal 1965 in dealing with the past.

http://1965tribunal.org/impunity-in-indonesia-50-years-of-injustice/ 

JALAN INDONESIA



Menuju Penyelesaian atas Pelanggaran HAM masa Lalu Demi Masa Depan Bangsa 
Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama berlandaskan Konstitusi 

PENGANTAR 

___________

Dokumen ini dimaksudkan sebagai urun rembug dari masyarakat sipil dalam upaya membangun “Jalan Indonesia” menuju penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran berat HAM masa lalu. Gagasan yang diajukan berupa sebuah kerangka dasar bagi penyelesaian yang bersifat menyeluruh dan efektif, dan dikembangkan dengan asumsi bahwa “Jalan Indonesia” adalah jalan yang panjang yang dibangun dan digunakan oleh berbagai pihak dengan latar belakang dan posisi yang berbeda-beda.
Gagasan ini muncul dari pengalaman jatuh-bangun selama bertahun-tahun dalam mendorong pertanggungjawaban negara dan mendukung pemulihan korban.

Gagasan tentang kerangka dasar bagi “Jalan Indonesia” merupakan hasil pembelajaran oleh para korban dan penyintas yang terus berjuang untuk pemenuhan hak-haknya beserta para pekerja kemanusiaan dan pegiat HAM. Peluang untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman diciptakan bersama melalui sebuah forum yang disebut Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Saat ini KKPK beranggotakan 50 organisasi yang berbasis di Aceh hingga Papua dan bekerja di akar rumput, dalam ruangan-ruangan resmi para pembuat kebijakan serta di hadapan meja hijau.

Dokumen ini, yang terbit dalam rangka dirgahayu Republik Indonesia yang ke-70, dimulai dengan rujukan pada Konstitusi Indonesi, UUD Negara RI 1945, yang menyatakan niat kemerdekaan bangsa (Bagian A). Bagian ini akan diikuti dengan catatan tentang momentum politik di Indonesia saat ini (Bagian B) yang memunculkan harapan baru bagi penyelesaian yang berkeadilan atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu. Gagasan KKPK tentang kerangka dasar bagi “Jalan Indonesia” akan dipaparkan pada bagian ketiga (Bagian C) dari dokumen ini. Pada bagian terakhir (Bagian D), KKPK memberikan informasi singkat tentang langkah-langkah yang sudah berjalan dan membuahkan hasil selama ini guna mengingatkan bahwa “Jalan Indonesia” sudah dirintis sejak lama.






A.  NIAT KEMERDEKAAN
___________________

Tujuhpuluh tahun yang lalu, bangsa Indonesia menegakkan haknya atas kemerdekaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Pembukaan UUD Negara RI 1945 adalah sebuah catatan sejarah tentang nilai-nilai universal yang telah memberi keyakinan pada para pendiri bangsa untuk menyatakan Indonesia sebagai bagian yang berdaulat dari komunitas dunia. Negaar bangsa Indonesia tidak hanya dibayangkan sebagai anggota pasif dalam pergaulan antar bangsa-bangsa, tetapi berperan aktif untuk “melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Nilai-nilai universal “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” yang dinyatakan sebagai alasan keberadaan bangsa Indonesia telah dilembagakan sebagai dasar negara, melalui Pancasila, dan kemudian dijabarkan secara lebih rinci dalam Konstitusi RI hasil amandemen pasca reformasi. Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk serta Bab XA tentang Hak Azasi Manusia menegaskan bahwa penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tersebut tidak hanya berlaku bagi bangsa-bangsa, sebagaimana semangat awal pada tahun 1945, tetapi secara tegas dijamin bagi setiap orang per orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai manusia.

Langkah Pemerintah pasca reformasi untuk meratifikasi hampir semua konvensi internasional tentang hak-hak asasi manusia (kecuali Konvensi tentang Perlindungan terhadap Penghilangan Paksa) telah memperkuat infrastruktur hukum untuk menerapkan jaminan-jaminan konstitusional tentang hak-hak asasi manusia dan merupakan perwujudan nyata dari komitmen yang dinyatakan pada alinea-alinea pembuka landasan negara, UUD Negara RI 1945, untuk ikut malaksanakan ketertiban dunia.

Tahun ini, 70 tahun sejak kemerdekaan, Indonesia juga memperingati 50 tahun terjadinya peristiwa traumatik yang menggetarkan seluruh tanah air –dan manca negara- pada tahun 1955-56. Catatan-catatan sejarah oleh saksi dan peneliti menceritakan tentang pembunuhan dalam skala masif, pemenjaraan ribuan orang tanpa proses pengadilan, serta penyiksaan serta perlakuan tidak manusiawi dalam berbagai bentuknya. Tindakan-tindakan ini secara tegas dilarang dalam Konstitusi RI dan mengingkari integritas Indonesia sebagai negaar hukum. Menurut hukum HAM Internasional, tindakan-tindakan tersebut masuk dalam kategori “pelanggaran berat” dan bisa ditetapkan secara hukum sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Peristiwa 1965-66, yang rampung pada tahun 2012, belum ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Kejaksaan Agung RI hingga kini.

Tanpa ada penyikapan yang tegas dari Negara dalam kerangka pertanggungjawaban atas terjadinya pelanggaran-pelanggaran berat HAM dalam peristiwa 1965-66, para korban dari peristiwa ini terus dihantui oleh stigma dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” yang merupakan nilai dasar kebangsaan Indonesia telah luput dari gapaian mereka selama 50 tahun, kendati kemerdekaan RI sudah berusia 70 tahun.

Tidak adanya sanksi hukum terhadap pelaku-pelaku pelanggaran berat HAM 50 tahun yang lalu telah membukakan pintu sebesar-besarnya bagi munculnya siklus impunitas atas pelanggaran-pelanggaran selanjutnya dalam sistem kekuasaan rejim Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun. Prinsip “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” yang berlaku sama bagi semua orang, dan yang merupakan esensi dari nilai kemerdekaan RI, hingga kini, belum juga terpenuhi bagi para korban kasus-kasus pelanggaran berat HAM lainnya yang terjadi dalam berbagai konteks di seluruh penjuru Nusantara.

Sesungguhnya, 15 tahun yang lalu, pada tanggal 18 Agustus 2000, Majelis Permusyawaratan RI (MPR-RI) telah menyatakan kebulatan tekad bangsa untuk menghadapi dan menangani secara lugas berbagai pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam perjalanan bangsa.
Ketetapan Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional memberikan pengakuan yang lugas bahwa “perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal sebagai akibat dari ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya penegakan hukum, serta praktek korupsi, kolusi dan nepotisme” (lihat Menimbang poin c, penekanan ditambahkan). Dokumen kebijakan nasional ini selanjutnya menegaskan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan sebagai berikut:

Arah kebijakan untuk mengadakan rekonsiliasi dalam usaha memantapkan persatuan dan kesatuan nasional ...menegakkan supremasi hukum dan menyelesaikan berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia (Bab IV, poin 4)

Menugaskan kepada pemerintah untuk ...menegakkan kebenaran dengan mengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau... dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa (Bab V, poin 3)

UUD Negara RI 1945 hasil amandemen pasca reformasi membukakan jalan bagi adanya langkah-langkah khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dalam kerangka nilai-nilai “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” bagi para korban, yaitu atas dasar Pasal 28 H Ayat 2 yang berbunyi:

Setiap orang berhakmendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manffat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.  

UUD Negara RI 1945, sebagai Konstitusi Indonesia, merupakan landasan hukum negara yang mendasari bangunan peraturan perundangan nasional yang dibuat melalui proses politik. Di luar itu, Konstitusi RI juga merupakan perwujudan dari kontrak sosial antar warga bangsa tentang nilai-nilai dan aturan main yang dijunjung bersama dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga, dimana pun ia berada, dalam jajaran pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat, di pucuk kekuasaan nasional maupun di akar rumput, punya peran dan tanggungjawab untuk menjalankan nilai-nilai dan aturan main sebagai amanat konstitusi.     

____
 Disusun oleh: Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran [KKPK]
18 Agustus 2015