Test Footer 2

Senin, 08 Januari 2018

Ngomong-ngomong, apa itu pekerja ‘prekariat’?

Januari 8, 2018 5.13pm WIB


Demo di Hari Buruh tanggal 1 May 2015 di Jakarta. Shutterstock

Di Indonesia, ada istilah baru perburuhan yang mulai sering dipakai, yaitu “prekariat”. Meski istilahnya baru, tapi apakah gejalanya baru? Dan apakah istilah baru ini bisa mengantarkan para buruh pada pemahaman kondisinya secara lebih lengkap, dan akhirnya mendorong gerakan politik buruh yang lebih baik? Atau yang lebih jauh lagi, apakah ia dapat menjadi kritik efektif terhadap sistem neoliberal?
Istilah prekariat biasanya merujuk pada pekerja kontrak dan alih-daya (outsourcing) di sektor manufaktur, dan juga pekerja dengan kontrak tidak jelas di kalangan pekerja kreatif. Praktik magang (internship), kerja paruh waktu (part-time) dan kerja lepas (freelance) di kedua sektor ini juga turut memperpanas diskusi seputar prekariat di kalangan aktivis perburuhan Indonesia.
Secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya. Prekariat merupakan istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya The Precariat: the New Dangerous Class. Ia adalah paduan dari precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan.
Prekariat terbentuk melalui proses yang disebut-sebut prekarisasi (perentanan). Sumber perentanan yang utama adalah sistem kerja kontrak dan sistem alih-daya, yang ditengarai Standing sebagai suatu proyek globalisasi neoliberal dari penguasa dan pemodal. Dengan kedua sistem ini, nasib pekerja akan selalu rentan karena pekerjaannya bisa diputus kapan pun seturut suasana hati sang majikan.
Referensi utama lainnya dalam perbincangan mengenai prekariat merujuk pada Judith Butler. Sekali pun tidak berbicara mengenai prekariat sebagai suatu kelompok pekerja, Butler adalah salah satu yang pertama membahas persoalan kondisi prekaritas atau kerentanan (precarity).
Sedikit berbeda dari Standing, bagi Butler kerentanan tercipta karena kekuasaan istimewa negara, dalam kasus Butler adalah Amerika Serikat, yang mampu menunda seluruh hukum dan norma atas dasar kegentingan. Seperti saat rezim Presiden George W. Bush yang sewenang-wenang menangkapi tersangka teroris dan memasukkannya ke kamp Guantanámo tanpa melalui proses peradilan. Di hadapan negara yang sedang (dan selalu) mempraktikkan kekuasaan dalam kegentingan ini, seluruh kehidupan adalah rentan tersakiti.
Di Indonesia, sayangnya teks ini kurang dirujuk saat membicarakan konsep prekaritas. Padahal, poin penting Butler di sini akan sangat berguna bagi diagnosis: bahwa sumber utama prekaritas adalah pada kemampuan penguasa untuk menangguhkan norma dan hukum, dan membuat pengecualian akan tindakan-tindakannya secara sewenang-wenang seraya menggunakan gagasan-gagasan universal sebagai justifikasinya (keamanan nasional, kemaslahatan bangsa, atau kebaikan bersama).
Misalkan, seperti isu yang sudah kita kenal di tanah air, atas nama meningkatkan pembangunan daerah, maka menjadi sah untuk mengeluarkan izin membangun pabrik dengan konsekuensi merusak alam, menyerobot sawah petani, dan memaksa petani menjadi buruh pabrik.
Prekaritas Butler di sini memiliki nuansa eksistensial yang cenderung lebih “menubuh” (rasa sakit, rasa takut, eksekusi, salah tangkap, pembunuhan) ketimbang Standing. Dengan kekuasaan yang luar biasa, maka negara dan pemilik modal dapat benar-benar melakukan apa saja, termasuk langkah-langkah yang di luar hukum.
Kita familier dengan penculikan aktivis, intimidasi aktivis, pengerahan preman untuk mengancam (jika bukan membunuh) petani yang menentang proyek-proyek tambang, pembungkaman dan kriminalisasi jurnalis kritis, mengalihkan perhatian publik melalui kontrol pemberitaan, pemberangusan dan pemutusan hubungan kerja sepihak para aktivis serikat buruh. Di hadapan ini semua, jelas kita semua menjadi prekariat.
Pandangan ini bisa jadi, apabila dipadukan, dapat memberi gambaran lebih lengkap mengenai kondisi mayoritas pekerja di Indonesia dan dunia saat ini yang dikategorikan sebagai prekariat. Setidaknya demikian menurut penalaran umum.

Prekariat: gejala baru di Indonesia?

Sayangnya, semakin lama saya meneliti fenomena prekariat ini, semakin saya merasa penggunaan istilah “prekariat” ini bermasalah, baik secara teoritis (kekuatan penjelas), secara metodologis (kekuatan mengungkapkan data dan fakta), maupun secara politis (kekuatan menginspirasi gerakan terhadapnya). Di sini saya coba tunjukkan permasalahannya dan solusi yang bisa saya tawarkan.
Pertama, secara teoritis, mengatakan bahwa prekariat adalah kondisi kita semua, para pekerja, saat ini jelas adalah suatu ungkapan yang dapat dipertanyakan: apakah dulu, sebelum rezim pasar tenaga kerja fleksibel (kontrak dan alih-daya) lantas tidak ada prekariat?
Kita yang mengikuti gagasan ini seakan lupa bahwa di dalam sistem negara berdaulat yang percaya bahwa mekanisme pasar adalah yang hakiki, maka seluruh umat manusia—pekerja, maupun bukan pekerja—adalah prekariat.
Kita seakan lupa bahwa ada prekariat-prekariat yang lebih “senior” seperti pelaut diperbudakpekerja rumah tangga (PRT) yang disiksa, dan TKI/TKW yang dianiaya. Bedanya, para senior kita ini tidak punya kemewahan untuk mengeluhkan kondisinya, bahkan menamainya dengan istilah “prekariat”.

Oke, kita prekariat. Lantas apa?

Gambaran nir-dialektis ini berimplikasi pada imajinasi politik. Anjuran yang diberikan Standing atau Butler, atau aktivis buruh Indonesia yang menggunakan istilah prekariat pada umumnya, seperti menyatukan suara untuk menuntut pemerintah, membangun kolektivitas (serikat dan koperasi), menggunakan seruan normatif (bahwa negara harus hadir; perusahaan harus memberi kepastian kerja) seakan terlepas dari teorisasi mereka sendiri mengenai prekariat.
Masalahnya, anjuran-anjuran ini tidak valid secara metodologis. Bagaimana mungkin ada agensi sama sekali (menuntut pemerintah, berserikat, menuntut hal normatif) saat dikatakan bahwa kekuasaan negara dan pemodal adalah dominan dan hegemonik, dan bahwa prekarisasi bisa saja dilakukan kapan pun di luar hukum dan tidak demokratis? Padahal, jelas-jelas prekarisasi adalah instrumen kekuasaan untuk menaklukkan para pekerja.
Apabila tidak berdasar secara teoritis, apa lagi dasar pijakannya kalau bukan pada moralisme kemanusiaan universal, bahwa pekerja memiliki hak-hak yang konon dijamin undang-undang dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB? Jika memang demikian, apa bedanya gerakan politik ini dengan moralisme universal para neoliberal?

Prekaritas yang membahagiakan

Moralisme ini membawa kita ke pelekatan stigma buruk pada prekarisasi, dan akhirnya menjauhkan kita dari makna lain dari prekaritas yang lebih “membahagiakan” dan lebih berpotensi progresif bagi upaya mengubah keadaan. Lantas bagaimana itu prekaritas yang berpotensi progresif ini?
Pertama-tama, mengikuti anjuran filsuf Michael Hardt dan Antonio Negri, kita harus jelas dulu bahwa sesungguhnya, prekaritas adalah sisi lain dari kreativitas. Prekaritas juga adalah potensi kreatif. Tanpa ada “perentanan” identitas, pengetahuan, ideologi, tradisi dan praktik lama yang kaku, maka tidak akan ada kreasi-kreasi baru dan nilai-nilai yang baru.
Kedua, sebenarnya, tujuan utama prekarisasi neoliberal adalah mengarahkan, mengkooptasi, dan mengapropriasi (merebut) kreativitas ini demi kepentingan akumulasi profit dan kekuasaan para penguasa dan pemodal. Dengan merentankan kondisi kehidupan dan penghidupan, para pekerja dipaksa untuk bertindak kreatif (mencari kerja sampingan, mengatur jadwal sehari-hari, mengembangkan diri, membangun jejaring sosial, improvisasi keterampilan). Tapi tindakan kreatif pekerja ini hasilnya dipetik bukan oleh pekerja itu sendiri, melainkan oleh para majikannya.
Sehingga, ketiga, apabila akan ada suatu upaya baru dalam mengorganisasikan tindakan-tindakan kreatif para prekariat keluar dari upaya memperkaya diri sang majikan, maka di situlah potensi progresif dari prekaritas bisa diaktualkan. Sayangnya, untuk poin ini kita masih belum menemukan model yang berhasil sehingga upaya eksperimentasi di titik ini menjadi sangat mendesak dilakukan.
Untuk ini, saya akan usulkan suatu perumusan awal untuk merehabilitasi istilah “prekariat” yang sudah terlanjur kerap dipakai para aktivis buruh dan intelektual. Dan untuk mereka yang awam dari aktivisme perburuhan, dan yang karenanya istilah ini masih sesuatu yang baru, perumusan yang akan ditawarkan dapat memberi pemahaman awal yang bisa lebih menyeluruh dan memiliki daya untuk mendorong imajinasi dan langkah perubahan.
Sumber: The Conversation 

0 komentar:

Posting Komentar