Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 08 September 2017

Ini Catatan Lengkap Penjemput Jenazah Munir di Bandara Schipol

Senin, 08 Sep 2014 11:31 WIB | Pebriansyah Ariefana 


Munir, HAM

KBR, Jakarta - Sri Rusminingtyas sangat terkejut begitu mengetahui sahabatnya, Munir Said Thalib tewas di pesawat dari Jakarta menuju Belanda. Semula, ia berencana melepas rindu dengan sang sahabat setelah lama tak bertemu.

Sepuluh tahun sudah kasus pembunuhan Munir berlalu tanpa kejelasan siapa pembunuhnya. PortalKBR menurunkan sejumlah tulisan sebagai untuk mengingatkan kita bersama: pembunuh Munir belum ditemukan. 
KBR, Jakarta - Sri Rusminingtyas sangat terkejut begitu mengetahui sahabatnya, Munir Said Thalib tewas di pesawat dari Jakarta menuju Belanda. Semula, ia berencana melepas rindu dengan sang sahabat setelah lama tak bertemu. Nyatanya, Sri hanya bisa bertemu dengan jenazah Munir di Bandara Schiphol, Amsterdam.

Munir tewas terbunuh 7 September 2004. Aktivis HAM itu tewas diracun saat terbang ke Belanda menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA 974 tujuan Amsterdam. Di Belanda, Munir ingin meneruskan kuliah S2 bidang Hukum Humaniter di Universitas Utrecht.

Sri tahu Munir akan ke Belanda dari Poengky Indarti, yang sekarang adalah Direktur Eksekutif Imparsial, sekaligus sahabat dekat Munir di Jakarta. Dia 'ngotot' ingin menjemput Munir di Schiphol, sekaligus ingin memberikan cetakan foto pernikahannya bersama Leo Fontijne, suaminya yang seorang Belanda.

Sri adalah orang yang pertama kali melihat dan mengurusi jenazah Munir di Bandara Schiphol. Bahkan berkat Sri pula, jenazah Munir langsung diotopsi begitu sampai bandara. Dari situ diketahui kalau Munir mati diracun arsenic. Institut Forensik Belanda menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah melakukan otopsi. 

Butuh waktu 5 tahun untuk Sri bisa menuliskan ceritanya secara runut dalam sebuah tulisan singkat. September 2009, Sri menuliskan detil peristiwa sampai percakapan terakhirnya dengan Munir. Catatan itu lantas disimpan oleh Imparsial. 

Berikut cerita lengkap saat-saat Sri menjemput jenazah Munir di Schiphol:
TERIMAKASIH MUNIR, ENGKAU SUDAH MEMBERIKAN LEBIH DARI CUKUP KEPADA BANGSA
KAMIS, 9 SEPTEMBER 2004
Tuna bread itu sudah tidak ada di atas kulkas. Mungkin Leo sudah membuangnya. Tuna bread yang seharusnya dimakan oleh Munir tapi dia tidak sempat memakannya karena dia sudah meninggal saat aku temui di Schiphol…….
Kilas balik…..

JUMAT, 3 SEPTEMBER 2004
Aku dapat informasi dari Poengky kalau Munir akan tiba di Belanda tanggal 7 September. Poengky bilang: “Aku titip Munir yo mbak….tenan lho (bener lho), aku titip dia. Kalau ada apa-apa tolong dibantu ya…” “Yo…jangan khawatir……..”

SENIN, 6 SEPTEMBER 2004 
Pagi hari:
Aku telpon Munir di HPnya (0811990568):  “Cak sampeyan kuwi jan-jané sido opo ora sesuk nang Londo, kok ora ono kabare (Cak, anda ini jadi nggak besok ke Belanda kok nggak ada kabarnya)”

“O….sido…sido….. (O…jadi….jadi….)”

“Terus sidane numpak opo? KLM opo Garuda? (Terus jadinya naik apa? KLM atau Garuda?)”

“Aku sidane numpak Garuda…..(aku jadinya naik Garuda)”

“Nek ngono, aku mbok di-sms, nomor penerbangane, terus jam piro mendarat nang Schiphol….(kalau gitu mbok aku di-sms, nomor penerbangannya dan jam berapa mendarat di Schiphol)”

“Iyo engko tak sms yo…..(Iya, nanti aku sms)”

“Oh yo, ojo lali ijazah ku lho yo……(Oh ya, jangan lupa lho ya ijazahku)” Aku memang titip ijazahku yang ketinggalan di Indonesia supaya dibawa Munir ke Belanda.

“Ora lali aku, wis tak cepakke nang tas….(Aku nggak lupa, sudah aku siapkan di tas)”

“Maturnuwun ya Cak. Sampai ketemu ya…..ati-ati” 

Sekarang aku berpikir kenapa waktu itu (bahkan jauh-jauh hari sebelumnya), Poengky betul-betul pengin memastikan bahwa aku akan menjaga Munir, kenapa dia sampai titip Munir ke aku. Kalau dipikir-pikir, Munir adalah orang yang sangat independent. Blebar-bleber terbang ke luar negeri sendirian, nggak pake acara dijemput segala. Selain itu network dia di Eropa (bahkan juga di Amerika, Australia dan negara-negara lain di dunia ini) jauh lebih banyak daripada aku yang jarang kemana-mana. Lha kok sekarang aku malah dititipi seseorang yang jauh lebih mandiri daripada aku. 

Catatan: ketika aku ketemu Poengky lagi setelah Munir meninggal, Poengky cerita kalau Munir malah ngetawain aku di depan Poengky karena aku akan menjemput dia. Munir bilang ke Poengky:

“Mbak Sri kuwi wis dadi wong Londo ta? Kok ndadak methuk aku barang nang Schiphol…..” (Mbak Sri itu sudah jadi orang Belanda to? Kok pake jemput aku segala di Schiphol…..)

“Pokoke sampeyan kudu dijemput sama mbak Sri. Sampeyan wis tak titipke mbak Sri……Ora usah kakehan omong…..” (Pokoknya kamu harus dijemput mbak Sri. Kamu sudah aku titipkan mbak Sri……ngga usah banyak bicara….).

Munir menganggap itu lucu. Dia cerita kalau dia pernah cuma dikasih peta dan karcis oleh organizer dan berdasarkan peta tersebut dia bisa kemana-mana sendirian, nggak perlu diantar jemput segala waktu dia harus ke Eropa. Lha kok sekarang dia harus dijemput segala. Tapi Poengky tetap ngotot kalau Munir harus aku jemput di Schiphol. Aneh juga kalau dipikir kan? Mungkin ini semua sudah diatur Tuhan. 

Setelah selesai ngomong di telpon dengan Munir, aku kemudian turun ke ruang bawah karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Beberapa menit kemudian HPku yang aku letakkan di kamar atas berbunyi. Aku heran, biasanya kalau aku sedang di bawah, aku nggak dengar kalau HPku berbunyi. Maklum HPku tipe ME 45 ini kalau bunyi sangat pelan, jadi sering sekali aku nggak tahu kalau dapat sms. Tapi heran, kenapa pada saat itu aku bisa mendengar bunyi HPku? Apakah Tuhan ingin memastikan bahwa aku menerima pesan Munir? 

Aku kemudian naik ke atas dan membaca sms yang ditulis oleh Munir. Sayang HPku ilang, jadi pesan terakhir Munir tersebut ikut hilang. Isinya adalah bahwa dia akan naik Garuda dan mendarat di Schiphol hari Selasa tanggal 7 September 2004. Dia juga tulis arrival time nya. 

SENIN, 6 SEPTEMBER 2004 

Malam hari:
Leo dan aku melihat foto-foto pernikahan kami yang sudah di-upload oleh Leo di komputer. Salah satu yang kami lihat adalah foto kami bersama Munir sekeluarga beserta teman-teman Kontras yang waktu itu datang ke pernikahan kami. Kebetulan kami menikah bulan Juni tahun yang sama, jadi ingatan kami masih segar dengan kehadiran teman-teman pada waktu pernikahan kami. 

Aku cerita sama Leo kalau Munir adalah seorang human rights activist yang hebat. Aku ceritakan perjuangannya, aku ceritakan sisi manusiawinya Munir seorang manusia dengan kelebihan dan kelemahannya, tapi yang jelas bagiku dia orang yang berani berjuang melawan tindak kekerasan, membela yang lemah, berani untuk berteriak bagi mereka yang voiceless…..

Leo sebetulnya belum begitu mengenal teman-temanku. Banyak yang dia temui pada saat pernikahan kami termasuk Munir. Dari foto tersebut Leo bisa mengamati Munir dengan seksama. 

Aku usul sama Leo, bagaimana kalau nanti sudah di Utrecht (karena dia mau ngambil Masters nya di Utrecht), sekali-sekali kami tengok atau undang dia ke rumah kami mungkin untuk lunch atau dinner. Sokur-sokur kalau dia mau nginep di rumah kami. Leo bilang: 
“That’s a good idea……”

Bagi kami, Munir tidak saja seorang teman tapi juga asset bangsa sehingga harus dijaga. 

SELASA, 7 SEPTEMBER 2004

Pagi-pagi kami sudah bangun. Leo berjanji mengantarkan aku ke Rotterdam Centraal station supaya aku bisa naik kereta dari sana ke Schiphol airport. Sebelum berangkat, aku memanggang baguette dulu untuk aku bawa ke Schiphol. Bagguette itu kemudian aku isi dengan tuna. Aku pikir mendingan bawa sarapan dari rumah daripada beli di Schiphol mahal, selain itu kalau terlalu pagi belum tentu ada toko yang menjual makanan di Schiphol.

Aku bikin 4 tuna bread. Waktu itu aku berpikir, aku akan makan 2 biji dan sisanya akan aku berikan kepada Munir. Siapa tahu Munir males sarapan di pesawat, jadi lumayanlah untuk ngganjel perut sebelum dia meneruskan perjalanan ke tempat tujuan. Kalau dia nggak mau, ya tak emploke (ya aku makan/embat saja…).

Belum jam 6 pagi kami sudah berangkat ke Rotterdam Centraal Station. Leo nge-drop aku di samping stasiun. Dari sana aku beli karcis. Pada waktu itu aku sempat berpikir lebih baik beli tiket pp karena lebih murah. Tapi kemudian aku membatalkan niatku (dan ternyata kalaupun aku akhirnya beli karcis pp juga percuma saja. Baca ceritaku selanjutnya). Akhirnya aku beli karcis sekali jalan. Pikiranku waktu itu adalah siapa tahu aku harus mengantar Munir ke Utrecht atau ke Almere tempat Munir menginap. Baru setelah urusan Munir beres, aku akan langsung pulang dari kota tersebut bukan dari Schiphol. 

Setelah dapat karcis, aku naik ke atas (peron terletak di lantai atas). Waktu itu sudah September, jadi walaupun sudah lebih dari jam 6 pagi tapi masih gelap. Sudah gitu udara sudah mulai dingin. Aku makan tuna bread karena perutku sudah mulai lapar, mungkin karena udara dingin. Aku tetap saja menggigil karena udara dingin. Dalam hati aku bilang:

“Nanti kalau aku ketemu Munir aku akan bilang: “nek ora sampeyan, aku emoh methuk. Lha uadem bianget jé…..” (kalau nggak kamu, aku nggak mau jemput. Lha dingin sekali….”

Saking dinginnya, aku turun ke bawah lagi karena aku pikir nunggu di bawah lebih nyaman terhindar dari rasa dingin yang menusuk. Sambil melihat orang lalu lalang, aku menyeruput teh hangat yang aku bawa. Lumayan buat menghangatkan badan. Setelah beberapa lama aku naik ke atas lagi menuju peron. Kereta datang dan aku langsung lompat masuk kereta. 

Sampai di Schiphol masih terlalu pagi. Pesawat Garuda yang aku tunggu masih belum mendarat. Aku selalu melihat perkembangan pendaratan pesawat di screen. Lebih baik aku ke toilet dulu. Selesai dari toilet, aku lihat di screen kalau Garuda sudah mendarat. Untunglah, artinya aku nggak menunggu terlalu lama. 

Aku tunggu Munir di arrival gate. Waktu itu aku membayangkan dia keluar ndorong trolly sambil cengar-cengir. Kalau nanti dia keluar, aku akan tanya kabarnya, sudah sarapan belum, kalau belum akan kuberikan tuna bread yang aku bawa untuk dia. 

Tunggu….tunggu….tunggu….belum juga keluar penumpang dari Garuda. Aku pikir, mungkin masih jalan ke imigrasi, terus antri di imigrasi, terus ambil bagasi dan sebagainya. Tapi herannya kenapa tak satupun penumpang Garuda keluar. Tapi aku sabar menunggu. Mungkin antrian di imigrasi panjang sekali…..

Tiba-tiba ada pengumuman dalam bahasa Belanda yang menyebutkan kata “Munir”. Aku pikir bodoh banget, wong Munir saja belum keluar kok sudah disuruh ke information centre. Waktu itu Bahasa Belandaku masih belepotan (sekarangpun masih), jadi aku nggak tahu apa yang sebetulnya diumumkan. Ternyata pengumamnya berbunyi: bagi siapa yang menjemput Munir, harap menghubungi Information desk. 

Setelah lama sekali menunggu barulah keluar satu dua penumpang dari Garuda. Aku yakin itu dari Garuda karena mereka orang Indonesia. Tapi kemudian ada jeda lagi yang sangat lama, baru keluar lagi penumpang. Tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata Poengky menelepon HPku. 

“Mbak Sri sampeyan nang endi?” (Mbak Sri, kamu dimana?)

“Lha yo nang Schiphol….” (Lho ya di Schiphol)

“Ngapain?”

“Lho piye to, jarene kon methuk Munir….” (Lho gimana to, katanya disuruh jemput Munir).

Mungkin Poengky waktu itu dalam keadaan bingung, jadi tanpa sadar dia tanya sesuatu yang nggak masuk akal.

“Nang Schiphol e nang endi?” (Di Schiphol nya di sebelah mana?)

“Nang ngarep arrival gate…..” (Di depan arrival gate)

“Wis ketemu Munir?” (Sudah ketemu Munir?)

“Yo durung, aku isih nunggu Munir metu soko gerbang…” (ya belum, aku masih nunggu Munir keluar dari gerbang)

“Di sini kami dapat informasi. Mungkin rumor, jaré né (katanya) Munir meninggal di pesawat….”

Aku nggak percaya berita itu.

“Mosok ah. Mungkin ming (cuma) rumor wae (saja)”

“Tulung golekno informasi yo…..” (tolong carikan informasi ya…)

“OK, mengko tak nggolek informasi. Mau yo ono pengumuman nyebut Munir, tapi ora jelas pengumumane opo” (OK, nanti aku cari informasi. Tadi juga ada pengumuman nyebut nama Munir, tapi ngga jelas isi pengumumannya apa)

Aku tetap tunggu lagi Munir di depan pintu gerbang tersebut. Makin banyak orang yang keluar dari sana. Tapi tidak satupun aku melihat Munir. Ada pengumuman lagi dalam bahasa Inggris yang menyebutkan kata Munir, tapi aku nggak gitu memperhatikan pengumumannya karena aku masih berharap Munir keluar dari gerbang bersama trolly nya. Aku tidak percaya dengan rumor, aku masih yakin Munir tidak meninggal. Akhirnya ada rombongan crew pesawat Garuda yang keluar, aku samperin mereka. 

Aku bilang: “Saya menjemput Munir. Tadi saya dapat informasi kalau Munir meninggal. Apakah informasi tersebut betul?”

Seorang crew (pramugari) menjawab: “Betul memang Munir meninggal, tetapi untuk berita resminya silahkan hubungi Garuda….”

Aku mulai panik tapi masih berusaha menahan tangis. Aku lari mencari information desk. Aku bilang sama mbak di information desk kalau aku penjemput Munir dan aku mendapat informasi kalau Munir meninggal di pesawat. Dimana kantor Garuda. Dia menjawab:

“Please ask three gentlemen standing outside….”

Aku clingukan mencari 3 gentlemen yang disebut dia. Kok nggak ada. Gimana sih, wong aku cuma mau nanya dimana kantor Garuda malah disuruh nanya orang lain. 

Tapi kemudian ada 3 orang laki-laki yang menghampiriku. Satu orang berpakaian pake jas dan 2 orang lagi berpakaian baju seragam polisi warna biru. Yang pake jas hitam tanya aku. Aku kemudian tahu nama blio adalah Wim van Brookhoven dari Luchthaven pastoraat. 

“Kamu menjemput Munir?” Aku mengiyakan. 

“Apakah kamu keluarganya?”

“No….”

“Are you his relative?”

“No….”

“Siapa kamu? Apa hubunganmu dengan Munir?”

“Aku temannya. Aku berjanji untuk menjemput dia di sini. Aku dapat informasi katanya Munir meninggal. Apakah betul?”

Dia mengiyakan. Aku lepas kontrol, aku sudah tidak bisa menahan tangisku. Dia memelukku dan menenangkanku. Mereka kemudian mengajakku ke atas, ke kantornya. Di ruangan tersebut, aku diberi minum. Aku berusaha menenangkan diri. Aku masih tetap tidak percaya kalau Munir meninggal. Rasanya seperti disambar geledek.

Setelah aku tenang, mereka mewawancaraiku. Polisi meminta aku memperlihatkan kartu identitasku. Aku perlihatkan passportku. Alhamdulillah aku waktu itu membawa passport karena verblijfsvergunning (stay permit) ku masih belum jadi. Leo memang mengingatkanku untuk bawa passport siapa tahu berguna. Ternyata betul berguna. 

Mereka tanya siapa Munir, darimana aku kenal Munir, apakah Munir memiliki masalah kesehatan, apakah Munir mempunyai musuh dsb. Nampaknya itu adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diutarakan dalam kasus-kasus kematian di pesawat. 

Aku ceritakan siapa Munir, bagaimana aku mengenal dia, dan sebagainya. Aku juga ceritakan bagaimana berkali-kali Munir memperoleh teror pembunuhan (karena Munir juga pernah cerita itu padaku). Aku menceritakan Munir memperoleh terror bom yang dipasang di halaman rumah orang tuanya di Malang. 

Polisi pada waktu itu ingin menegaskan:

“Jadi menurutmu, kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya?”

“Kemungkinan itu ada mengingat sepak terjangnya”

Setelah wawancara selesai. Aku dipersilahkan untuk menghubungi siapa saja yang ingin aku hubungi menggunakan telpon mereka. Aku hubungi Poengky dan mengabarkan apa yang aku ketahui. Kami kemudian saling bertelpon-telponan untuk saling mengetahui perkembangan.

Aku lihat polisi yang berbaju biru juga menelpon, ngga tahu nelpon siapa. Tapi yang jelas dia beberapa kali menyebut nama Munir. 
Tiba-tiba Leo menelepon di HPku. Dia waktu itu telpon dari kantornya. 

“Kamu dimana? Di Utrecht ya?” Leo membayangkan aku mengantar Munir ke Utrecht. 

“Aku masih di Schiphol. Munir meninggal dunia……” kataku lemah. Tangisku meledak lagi. Leo kaget luar biasa. 

“OK, aku segera ke Schiphol. Tunggu aku disana….”

Selama menunggu Leo, aku masih terus menerus berhubungan dengan Jakarta. 

Aku masih belum diijinkan untuk melihat jenazah Munir di Mortuarium. Meneer Wim van Brookhoven mengatakan lebih baik menunggu Leo supaya bisa bersama-sama ke mortuarium. 

Setelah Leo datang, kami akhirnya bersama-sama ke mortuarium. Disana sudah menunuggu 2 orang detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee (http://en.wikipedia.org/wiki/Royal_Marechaussee). Jadi ternyata, polisi berbaju biru yang kami temui sebelumnya menyerahkan kasus ini ke Marechussee karena dianggap kasus penting. Kematian Munir dianggap cukup mencurigakan. 

Kedua detektif tersebut memeriksa identitas kami. 

Salah satu detektif meminta kami untuk mengidentifikasi jenazah. Apa betul itu memang Munir. Tapi dia bilang sama aku: “Tapi yang boleh masuk ruangan duluan adalah suamimu, bukan kamu….”

Aku langsung protes. “Kenapa? Aku kan malah temannya Munir……”

“Karena kamu temannya Munir, maka kamu sebaiknya masuk setelah suamimu. Kalau kamu masuk duluan, dikhawatirkan kamu nanti akan histeris. Jadi biarkan suamimu dulu yang mengidentifikasi jenazah tersebut….”

Akhirnya kami setuju. Leo masuk duluan. Aku menunggu beberapa lama. Setelah itu aku baru dipersilahkan masuk ruangan. 

Aku masih ingat sekali apa yang terjadi pada waktu itu. Aku memasuki ruangan. Jenazah ada di sebelah kiriku. Aku tidak mau menengok ke arah jenazah tersebut karena aku masih tidak mau kalau yang terbaring itu adalah Munir. Pada detik itupun hatiku masih menolak kalau Munir sudah meninggal. 

Jenazah ada di sebelah kiriku. Aku memandang ke depan ke arah Leo. Aku menatap mata Leo dan aku masih berharap Leo menggeleng. Tapi ternyata Leo mengangguk. Aku langsung menengok ke kiri, dan betul yang terbaring kaku di tempat tidur itu adalah Munir yang sudah tak bernyawa. Langsung meledaklah tangisku. Diantara tangisku, aku bilang:

“Muuuniiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…..kamu kok ninggalin aku. Kita kan sudah janji akan ketemu ………..kok sekarang kamu malah pergi……….”

Leo memeluk aku dengan erat. Dia berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh. Kami berdiri memandangi jenazahnya yang diam membisu. Untuk menenangkan diri, aku berdoa dan berdoa. Masih terbayang apa yang dia katakan, masih terbayang perjuangannya, masih terbayang dia sekeluarga menghadiri pernikahan kami. 

Ketika aku sudah mulai tenang, kedua detektif itu mewawancarai kami berdua. Kami menceritakan apa yang kami ketahui tentang Munir. Setelah mendengar cerita kami, kedua detektif tersebut bermaksud untuk mengadakan pemeriksaan selanjutnya yaitu autopsy. Mereka betul-betul ingin tahu apakah kematian Munir terjadi secara wajar atau tidak. Mereka akan meminta ijin kepada pihak keluarga. 

Sebagai catatan: Menurut hukum Belanda, otopsi tetap akan dilanjutkan walaupun keluarga tidak setuju. Dasarnya sangat sederhana yaitu bagaimana kalau keluarga yang terlibat. Tapi dalam kasus Munir ini, keluarga dan organisasi justru mendukung adanya otopsi. 

Para detektif tersebut meyakinkan kami bahwa tidak boleh seorangpun akses terhadap jenazah Munir dan barang-barang yang dibawa Munir termasuk dokumen-dokumen yang ada di kopernya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa akses ke situ.

Pada hari itu juga kami sudah memperoleh kepastian juga bahwa Suciwati, Poengky, Usman Hamid, dan Ucok serta saudara Munir sudah memperoleh tiket dan akan tiba di Schiphol tanggal 9 September 2004 untuk menjemput jenazah. Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven mengatur bagaimana kita semua bisa bertemu. Kami semua bersiap-siap menerima kedatangan mereka. 

KAMIS, 9 SEPTEMBER 2004

Jam 3 pagi Leo dan aku berangkat dari rumah ke Schiphol. Tiba di Schiphol jam 4 pagi, sesuai dengan waktu yang kami sepakati. Selain Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven, di sana juga ada wakil dari ICCO, lembaga yang memberi beasiswa kepada Munir. 

Kebetulan kami masih memiliki foto pernikahan kami yang sebetulnya mau aku berikan kepada Munir. Foto tersebut cukup besar ukurannya (mungkin sebesar kertas folio). Dalam foto itu ada gambar Munir, Suci, Poengky dan Usman atau orang-orang yang akan menjemput jenazah Munir. Kami perlihatkan foto tersebut kepada Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven supaya mereka tahu siapa yang akan mereka jemput. 

Kami kemudian diajak mereka untuk memasuki ruang tunggu di Schiphol setelah melalui berbagai macam pintu pemeriksaan. Kami tiba di ruang tunggu. Ruang dimana semua penumpang KLM akan menjejakkan kaki begitu mereka keluar dari belalai pesawat. Pihak Marechaussee meminta aku untuk menunggu di depan pintu agar ketika yang kami tunggu sudah kelihatan, mereka harus digiring untuk tidak keluar ruangan. 

Sesuai dengan rencana, kami bisa menggiring teman-teman tersebut untuk masuk ke ruang tunggu. Dari situ kemudian kami digiring ke mortuarium untuk melihat jenazah Munir. Bisa dibayangkan bagaimana suasanya. Ledakan tangis, doa, kesedihan mewarnai suasana waktu itu. 

Setelah selesai dari mortuarium, kami kemudian digiring ke tempat lain. Kemudian tejadilah wawancara marathon sampai berjam-jam. Beberapa dari teman-teman ini diwawancarai satu per satu oleh pihak Marechaussee untuk kepentingan penyidikan 

Tanggal 10 September ternyata teman-teman sudah bisa membawa jenazah ke tanah air. Tapi perjalanan belum berakhir. Masih banyak sekali yang harus dilakukan baik di sini maupun di tanah air. Kami memperoleh informasi kalau hasil otopsi menunjukkan bahwa Munir teracuni arsenik. Tidak mungkin kan Munir dengan sengaja menelan arsenik. Pasti ada pihak yang mau membunuh Munir. 

Tidak saja di Indonesia, kasus ini juga disorot oleh media Belanda beberapa kali. Koran, televisi, radio memberitakan kasus Munir. Bahkan issue ini juga diangkat oleh parlemen Belanda. 

Sudah 5 tahun Munir tiada, tapi kasus ini belum terselesaikan. Keadilan akan terus diperjuangkan. Aku cuma berpikir kalau kasus Munir yang sudah sampai di tingkat internasional saja tidak terselesaikan, bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Kita berharap keadilan akan datang. 

Menurut informasi yang aku terima, death on board di Schiphol sekitar 200 orang per tahun. Tidak semua ditindak lanjuti seperti kasus Munir karena tidak semua kematian dicurigai sebagai kematian yang tidak wajar. Mungkin saja memang karena sakit.
 
Ada satu hal yang ada di benakku setelah mengalami kejadian ini yaitu bahwa tangan Tuhan tidak bisa dilawan.Kalau toh Munir harus meninggal dengan cara dibunuh, Allah tidak akan membiarkan dia meninggal begitu saja tanpa ada suatu tindak lanjut. Kalau seandainya waktu itu Poengky tidak memintaku untuk menjemput Munir, aku yakin jenazah akan langsung diserahkan kepada KBRI dan dipulangkan ke Indonesia tanpa adanya suatu otopsi. Tapi Tuhan berkata lain, aku harus menjemput dia di Schiphol. Aku waktu itu berkata sama Tuhan:

“Ya Allah, kalau seandainya Engkau mengutusku untuk melakukan sesuatu, kenapa Engkau memberikan tugas yang begitu mengagetkan seperti ini. Tapi mungkin memang inilah jalan yang harus aku lalui……Terimakasih ya Allah, Engkau percayakan tugas penjemputan ini kepadaku, tapi berikanlah juga kekuatan untuk menerima ujian ini. Amin……” 

EPILOG:

Aku dan Leo memandangi foto pernikahan kami. Munir, doa kami selalu bersamamu. Semoga engkau sudah tenang beristirahat di sana. Semoga Allah menerimamu. Terimakasih Munir, engkau sudah memberikan lebih dari cukup kepada bangsa Indonesia terutama kepada mereka yang lemah dan tak berdaya melawan kekerasan. Semoga kita semua bisa meneruskan perjuanganmu melawan tirani ketidak adilan. 

Terimakasih Munir, engkau sudah menghadiri pernikahan kami. It means a lot to us.

Krimpen aan den Ijssel, 6 September 2009

Salam hangat selalu dari kami,

Sri Rusminingtyas dan Leo Fontijne

Sumber KBR

Senin, 04 September 2017

Rohingya

Jum'at 04 Agustus 2017 WIB

1. Dari Rooinga Menjadi Rohingya

Orang yang pertama memperkenalkan istilah Rohingya kepada dunia adalah sejarawan Inggris. Dibantah sejarawan Burma.


Litografi Arrakan karya Wouter Schouten tahun 1676. Orang-orang Rohingya adalah suku bangsa asli di Arakan (sekarang wilayah Burma, sering juga disebut Rakhine). 

Foto

Sebuah perahu tak bermesin terombang-ambing di perairan Acheh akhir Februari 2013. Menyangka perahu itu kosong, Jamaludin, seorang nelayan, menghampiri. Sontak dia kaget ketika menjumpai ratusan orang Rohinya, tua-muda, lelaki-perempuan, berada di dalam perahu. Bersama teman-temannya, dia menarik perahu itu ke Kuala Idi.

Peristiwa di Acheh bukanlah yang pertama. Beberapa tahun terakhir, wilayah perairan Indonesia kerap menjadi tempat berlabuh orang-orang Rohingya, kelompok manusia yang disebut “kaum paling terlupakan di dunia” oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.

Di Burma (Myanmar), negara yang orang-orang ini diami turun-temurun, mereka bukan hanya tak diakui sebagai warga negara, tapi juga mengalami penganiayan dan pengusiran. Tak sedikit yang kehilangan nyawa. Beberapa di antaranya terpaksa melanglangbuana ke negara-negara terdekat dengan perahu-perahu seadanya sehingga kerap disebut sebagai “manusia perahu”. 

Namun, tak satu pun negara yang memberikan suaka.

Banyak yang meyakini orang-orang Rohingya adalah suku bangsa asli di Arakan (sekarang wilayah Burma, sering juga disebut Rakhine). Tapi tak sedikit pula yang menyangkalnya. Identitas orang-orang Rohinya inilah yang jadi pangkal persoalan.

Orang yang mula-mula memperkenalkan istilah Rohingya kepada dunia adalah sejarawan Inggris, Francis Buchanan-Hamilton. Dalam laporan berjudul A Comparative Vocabulary of Some of the Languages Spoken in the Burma Empire, terbit pada 1799, Buchanan-Hamilton mengatakan: “Saya akan menambahkan tiga bahasa lagi yang digunakan di imperium Burma yang tampaknya berasal dari bahasa etnis Hindu. Bahasa pertama digunakan oleh umat Islam, yang sudah lama tinggal di Arakan, dan yang menyebut diri mereka Rooinga, atau suku asli Arakan.”

Istilah “Rooinga” kemudian berubah jadi Rohingya.

Namun, para sejarawan Burma membantahnya. Salah satunya Aye Chan, sejarawan dari Universitas Kanda. Dia bahkan dengan lantang berkata, pengakuan orang-orang Rohingya sebagai masyarakat asli Burma adalah kesalahan. Menurutnya, istilah Rohingya baru dikenal dalam sejarah setelah era kemerdekaan.

“Istilah ‘Rohingya’ mulai digunakan pada 1950-an oleh orang-orang terdidik Bengali yang menempati wilayah perbatasan Mayu dan tak dapat ditemukan dalam sumber sejarah manapun sebelumnya,” tulis Chan dalam sebuah buletin yang diterbitkan universitasnya pada 2005.

Sekalipun para ahli enggan mengakui keberadaannya, faktanya istilah Rohingya kini dipakai untuk menyebut orang-orang Muslim di Burma yang mengalami pengusiran.

2. Penghuni Tanah Arakan

Akar sejarah perseteruan antara etnis Burma yang Budha dengan Muslim Rohingya.

Lukisan Kota Mrauk U karya Wouter Schouten, 1663. Kota utama di Kerajaan Arakan ini dibangun oleh Raja Narameikhla.

Cikal-bakal kelompok Rohingya terlacak pada awal abad ke-15. Pada 1404, pasukan dari Ava, ibukota kerajaan Burma kala itu, menyerang kerajaan Arakan yang membuat Raja Narameikhla mengungsi ke negeri Bengali (kini Bangladesh). Dua puluh empat tahun kemudian, bersama bala bantuan dari Sultan Bengali, dia kembali untuk merebut Arakan.

Menurut Wilhem Klein dalam Burma, The Golden, selama di Bengali, Narameikhla belajar matematika, ilmu pengetahuan alam, dan Islam di kota Gaur. Ketika kembali menjadi penguasa Arakan, pengaruh Islam yang didapatkannya di pengasingan begitu terasa. Dia mengubah namanya menjadi Solaiman Shah. Dia juga membangun masjid, mendirikan pengadilan yang memadukan budaya Budha dan Islam, serta mendirikan sebuah kota bernama Mrauk U yang akan menjadi kota terpenting di wilayah itu. Pengaruh Islam tetap bersemayam dalam diri setiap penguasa Arakan, kendati Arakan tetaplah kerajaan Budha yang merdeka.

Pada 1784, Bodawphaya, raja Burma dari Dinasti Konbaung, mengerahkan tentara untuk menginvasi wilayah Arakan. Ribuan orang tewas dan ditawan. “Setidaknya 20.000 tawanan termasuk simpatisan Muslim, seniman, dan ilmuwan digelandang menuju pusat Burma melintasi bukit Arakan. Ratusan di antaranya tewas selama di perjalanan,” tulis sejarawan Inggris G. E. Harvey dalam Outline of Burmese History.

Pemerintahan Arakan jatuh. Dimulailah perseteruan antara etnis Burma dan orang-orang Arakan, terutama penganut Islam, yang berlarut-larut hingga kini. Kekuasaan Inggris, yang menginvasi Burma dalam apa yang dikenal sebagai Perang Anglo-Burma I pada 1823, tak menyurutkan perseteruan itu.

Selama memerintah Arakan, Inggris mendatangkan orang-orang Muslim yang sebelumnya terusir ke Chittagong, Bengali, karena membutuhkan tenaga kerja di lahan-lahan pertanian serta membangun infrastruktur.

Kebijakan ini, menurut Apipudin, dosen sejarah Universitas Indonesia, menyemai bibit-bibit kecemburuan pada orang-orang asli Burma. 
“Tapi kecemburuan yang tumbuh menjadi kebencian itu dibiarkan, kalau tidak bisa dikatakan didukung, oleh pemerintah rezim militer. Seringkali setiap kali terjadi pengusiran, perampasan harta benda, pembakaran, maupun pembantaian, pemerintah tak pernah menindak kelompok yang menyerang,” ujarnya.

Pada 1942, Jepang menginvasi Burma. Penduduk Burma mengambil kesempatan ini untuk memprovokasi penganut Budha di Arakan. Terjadilah kerusuhan yang menewaskan sekitar 100.000 Muslim dan ratusan ribu lainnya melarikan diri ke Bengali. Di bawah kekuasaaan Jepang, umat Budha menjadi mayoritas di Arakan. Kerusuhan ini membagi wilayah Arakan menjadi dua bagian: selatan dihuni penganut Budha, utara dihuni orang-orang Muslim Rohingnya.

Inggris, yang terdesak ke Arakan utara, menjalin hubungan dengan orang-orang Rohingya. Ketika Inggris menyusun rencana perang gerilya dengan sandi “V Force” pada April 1943, dengan tujuan merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Jepang, orang-orang Rohingya ikut dilatih sebagai calon tentara. Tentara Arakan yang tergabung dalam “V Force” berperan penting dalam upaya Inggris merebut kembali Arakan pada 1945.

Merasa andil dalam memenangkan Inggris, orang-orang Rohingya menuntut imbalan berupa kemerdekaan di sebuah wilayah bernama Maungdaw di Arakan. Permintaan ini dikabulkan. Para pengungsi Rohingya, yang terusir ke Bengali dalam kerusuhan tahun 1942, akhirnya kembali ke kampungnya. 
Untuk mengamankan kekuasaan, mereka tak memberikan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang Budha; suatu keadaan yang memperdalam sentimen kebencian.

Sebagai hasil dari Konferensi London, kekuasaan Inggris akhirnya diserahkan kepada Burma pada 4 Januari 1948. Tanggal ini kemudian dijadikan hari kemerdekaan Burma.

Sayangnya, pasca kemerdekaan, keberadaan orang-orang Rohingya justru tak diakui. Dalam draf konstitusi Burma yang baru disusun, mereka tak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas. Konsekuensinya, mereka tak berhak mendapatkan hak-hak minoritas seperti kuota di parlemen dan perlindungan hukum.

Perlakuan ini memicu kembali perlawanan orang-orang Rohingya. Banyak di antara mereka bergabung dalam gerakan Mujahidin yang dipimpin Jafar Kawal. Gerakan ini ditandingi Burma Teritorial Force (BTF) yang dibentuk Jenderal Ne Win. Ribuan Muslim dan rumah mereka dimusnahkan pasukan Jenderal Ne Win.

Salah satu keberhasilan gerakan Mujahidin adalah memaksa pemerintah Burma memberikan distrik otonom yang terdiri dari Maungdaw, Rathedaung, dan Buthidaung pada 1950. Wilayah ini nantinya dikenal sebagai Mayu Frontier.

3. Rohingya yang Kian Tersingkir

Di daratan mereka diusir, di lautan mereka diabaikan. Orang-orang
Rohingya terlunta-lunta tak tentu nasibnya.

Pengungsi Rohingya. Foto
Rohingya mengalami keadaan lebih baik semasa U Ba Swe menjabat Menteri Pertahanan pada 1959. U Ba Swe mengakui orang-orang Rohingya sama seperti ras-ras lainnya di Burma sehingga memiliki hak setara. Orang-orang Rohingya pun bisa ikut pemilihan umum pada 1960. Pemerintah bahkan membentuk Mayu Frontier Administration (MFA). Burma Broadcasting Service (BBS), stasiun radio milik pemerintah, juga mulai menyiarkan berita-berita berbahasa Rohingya dalam acara bertajuk Rohingya Language Program.

Namun, nasib baik orang-orang Rohingya tak berlangsung lama. Pada 1962, Jenderal Ne Win mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Seketika Burma pun berubah menjadi pemerintahan junta militer. Program-program yang berpihak kepada orang-orang Rohingya seperti MFA dihapus.

Setelah nasionalisasi ekonomi besar-besaran oleh pemerintahan Dewan Revolusioner Ne Win pada 1963, orang-orang Rohingya melintas ke Bengali. Pemberontak Mujahidin membubarkan diri, namun segera muncul gerakan baru bernama Rohingya Independence Force (RIF) pada 26 Maret 1963. Setelah itu muncul Rohingya Independence Army, Rohingya Patriotic Front (RPF), dan Rohingya National Alliance (RNA) yang bertujuan menuntut pembentukan daerah otonom bagi Muslim Rohingya di wilayah pemerintahan Burma. Gerakan-gerakan tersebut memunculkan kesadaran baru bagi orang-orang Rohingya untuk memperjuangkan wilayah dengan pemerintahan sendiri. Namun, di sisi lain, ia meningkatkan tindakan represif dari junta militer.

Identitas Rohingya pelan-pelan dihapus. Arakan, nama wilayah yang selalu identik dengan orang-orang Rohingya, secara resmi diubah menjadi Rakhine pada 1974. Empat tahun kemudian, pemerintah menggelar operasi militer bernama Naga Min. Operasi ini dilakukan dengan memeriksa kartu identitas penduduk. Semua yang tercatat sebagai Rohingya diusir. Terjadi pula pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pelanggaran lainnya, yang mendorong 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Tak lama setelah operasi Naga Min, junta militer menerbitkan Burma Citizenship Law pada 1982. Dalam undang-undang tersebut termaktub bahwa pemerintah hanya mengakui 135 kelompok warga negara yang disebut “national race”. Celakanya, Rohingya tak termasuk di dalamnya. “Rohingya adalah rakyat tanpa negara,” maklumat Jenderal Ne Win.

Sejak itulah orang-orang Rohingya tak memiliki status kewarganegaraan. Akses sekolah dan rumah sakit ditutup. Orang-orang Rohingya juga kembali mengalami pengusiran.

Simpul penting dalam kisah pengusiran orang-orang Rohingya adalah dibentuknya Nay-Sat Kut-Kwey Ye atau NaSaKa di Rakhine utara. NaSaKa terdiri dari polisi, badan imigrasi, badan intelijen, dan lembaga anti huru-hara. Lembaga ini menjadi alat junta militer untuk mengusir orang-orang Rohingya. 
Segera saja gelombang pengungsi Rohingya membanjiri berbagai tempat: Bangladesh, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di tempat baru mereka hanya mendapat izin tinggal sementara atau tempat pengungsian. Namun tak sedikit yang bersikap tak ramah.

Kritik dari komunitas internasional pun mendera pemerintah Burma. “Pemerintah Burma akan memperoleh keuntungan politis dan ekonomis jika mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara. Secara politis, dunia internasional akan menilai pemerintah dan rakyat Burma sebagai masyarakat beradab dan mengakui hak asasi manusia,” tutur Apipudin.

Toh junta militer Burma bergeming. Bahkan Ye Myint Aung, konsul jenderal Burma di Hong Kong, menyebut orang-orang Rohingya “bukan orang Myanmar, bukan pula kelompok etnis Myanmar.” Dia juga menyebut orang-orang Rohingya sebagai orang-orang “sebodoh makhluk pemakan manusia.”

Hingga kini, perahu-perahu berisi orang-orang Rohingya terdampar di perairan Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Malaysia dan Indonesia dikenal sebagai persinggahan yang ramah. Namun, untuk mencapai kedua negara tersebut, para “manusia perahu” ini harus melintasi wilayah perairan Thailand, yang sering tak bersahabat. Polisi Thailand menembaki orang-orang Rohingya ketika perahu mereka memasuki perairan negara itu.

Orang-orang Rohingya selalu diusir, sementara tak ada rumah yang memanggil mereka untuk pulang.
http://historia.id/mondial/dari-rooinga-menjadi-rohingya