Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 21 Juli 2015

Tolikara: License To Kill?

ADA BANYAK banyak pertanyaan saya seputar insiden Karubaga berdarah. Pertama, Karubaga, ibukota kabupaten Tolikara, terletak di Propinsi Papua. Kota ini sangat terisolir. Karenanya, sangat mengagumkan untuk saya bahwa berita dari Tolikara bisa keluar hanya dalam hitungan jam.
Tidak hanya itu. Kejadian ini terjadi pada hari raya Idul Fitri yang adalah hari libur terbesar nasional. Tentu tidak banyak orang bekerja pada hari itu. Orang berhari raya.

Saya mendapat berita pertama dari MetroTV. Judul beritanya pun (paling tidak yang online) sangat tendensius, ‘Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara.’ Kemudian judul berita MetroTV itu diganti menjadi ‘Amuk Massa Terjadi di Tolikara,’ MetroTV, 17/07/15).
Wartawan yang melaporkannya adalah Ricardo Hutahaean. Saya mendengar bahwa yang bersangkutan adalah kontributor MetroTV di Papua. Saya jadi ingin tahu, dari mana dia mendapat sumber beritanya?

Berita di website MetroTV juga muncul dengan gambar. Seingat saya, ada tiga buah gambar, Namun sekarang hanya ada satu gambar. Gambar itu rupanya diambil dari ketinggian yang memperlihatkan api yang membakar pemukiman. Kemudian ada massa yang menghadap ke arah kebakaran tersebut.
Sangat luar biasa untuk saya, karena kecepatan berita MetroTV bisa menyamai standar pemberitaan internasional. Hanya saja persoalannya adalah: berita-berita tentang Papua biasanya tidak terdengar selang beberapa hari. Mengapa untuk kali ini MetroTV bisa sangat cepat?

Persoalan kedua adalah soal isi berita. Di samping soal headline yang bombastis, berita pertama MetroTV tidak menyebut sama sekali ada penembakan. Tidak ada sama sekali. Kita tahu kemudian bahwa ada 11 orang yang ditembak polisi dan tentara. Satu orang diantaranya meninggal dunia.
Hal yang sama juga terlihat dari siaran pers dari Kepolisian Republik Indonesia yang dirilis oleh media-media Jakarta. Tidak ada satu kata pun yang menyebut terjadi penembakan.[1]

Hingga saat ini, berita yang berawal dari MetroTV itulah yang berhasil membentuk narasi tentang insiden Karubaga berdarah ini: bahwa umat Islam diserang ketika melakukan sholat Ied dan Musholla dibakar. Beberapa media kemudian menggelembungkannya menjadi masjid yang terbakar. Sementara, persoalan sebelas remaja ditembak dan satu orang meninggal tidak disebut sama sekali. Juga insiden penembakan tidak pernah disebut sama sekali. Siapakah yang melakukannya? Polisi? Tentara? Atau rakyat sipil yang bersenjata?

Diberitakan, ada tiga ribu peserta Seminar dan KKR GIDI yang datang dari berbagai kota di Indonesia di kota Karubaga saat insiden ini terjadi. Mengapa tidak ada satu pun keterangan dari mereka muncul di media massa? Mengapa tidak ada satu pun keterangan dari peserta sholat Ied itu muncul?

Persoalan ketiga adalah soal surat dari Badan Pekerja Wilayah GIDI (Gereja Injili di Indonesia) itu. Sekarang kita tahu bahwa diakui surat itu memang pernah ada dan tampaknya memang dikeluarkan oleh Badan Pekerja Wilayah DIGI. Namun, surat yang beredar di media-media sosial dan kemudian dirilis oleh media massa di Jakarta punya beberapa kejanggalan. Seperti Seminar Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR) itu berlangsung tanggal 15-20 Juli 2015. Bukan pada tanggal 13-19 Juli seperti yang disebutkan dalam surat yang banyak beredar itu. Kegiatan Seminar KKR tersebut diberitakan dan diiklankan secara luas di Papua. Bahkan Gubernur Papua, Lukas Enembe, membuka acara Seminar KKR tersebut.[2]

Surat yang diedarkan itu, beserta semangat di dalamnya, adalah salah. Surat itu mengijinkan perlakuan diskriminatif terhadap pemeluk agama lain, khususnya umat Islam yang menjadi minoritas di kota Karubaga, kabupaten Tolikara, dan di bumi Papua. Apapun alasannya, isi surat itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang mensyaratkan perlindungan kepada yang minoritas dan yang lemah.
Namun di sisi yang lain, dalam konteks Indonesia, kita juga melihat terlalu banyak kejadian dan peraturan yang bernada sama dengan semangat surat Badan Pekerja Wilayah (BPW) GIDI Tolikara itu. Diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas terjadi dimana-mana di Indonesia ini. Kita tentu ingat kasus-kasus perusakan tempat ibadah, penyegelan, penutupan, hingga penghilangan kemerdekaan untuk beribadah. Kita menentang surat Badan Pekerja Wilayah GIDI Tolikara itu seperti kita menolak diskriminasi dalam bentuk apapun.

Sementara itu, terlepas dari isi surat BPW GIDI, ada satu persoalan penting. Pada gambar surat yang dikeluarkan oleh BPW GIDI yang beredar cepat di media sosial itu, pada bagian tembusan surat itu, yang dilingkari adalah kepolisian. Artinya, ini adalah surat tembusan ke pihak kepolisian. Besar kemungkinan bahwa surat ini bersumber dari kepolisian. Saya lampirkan contoh tipikal surat BPW GIDI yang beredar di media online dan media sosial:

Ini membawa kita kepada problem yang lebih besar. Tidak diragukan lagi bahwa aparat keamanan—polisi, tentara, dan intelijen—tahu akan potensi ledakan ini. Bahkan sebelum terjadi insiden ini, umat Islam Tolikara sudah menemui Kapolres Tolikara dan Bupati.[3] Rupanya, bahkan Bupati Tolikara dan Presiden GIDI pun tahu akan keresahan umat Islam di Tolikara ini. Oleh karena itu, mereka memberikan jaminan bahwa umat Islam boleh melakukan sholat Ied dan merayakan Idul Fitri di Tolikara. Bahkan mereka berdua menyumbang seekor sapi untuk dipotong dan dipakai berhari raya.[4]

Yang kita tidak tahu adalah apakah ada upaya untuk mengantisipasi insiden berdarah ini? Pihak kepolisian pun sudah memberikan keterangan bahwa beberapa hari sebelumnya sudah ada upaya mempertemukan ‘pihak-pihak yang berkepentingan.’ Siapakah pihak-pihak ini? Apakah pihak GIDI dan komunitas Muslim di sana? Bagaimana hasilnya?

Dari semua yang kita ketahui tentang insiden berdarah ini, kita dibikin bertanya-tanya: kenapa pihak kepolisian dan aparat keamanan membiarkan situasi ini berkembang? Kita tidak tahu apakah pembiaran ini karena kelalaian ataukah karena kesengajaan. Karubaga dan seluruh daerah Pegunungan Tengah Papua adalah daerah yang bergolak. Ini adalah wilayah dimana gerilyawan kemerdekaan Papua paling aktif. Ini juga wilayah dimana, akhir-akhir ini, pihak tentara dan polisi paling banyak melakukan pembunuhan ekstra-yudisial.

Kita tahu bahwa pada hari raya Idul Fitri, situasi berkembang menjadi unjuk rasa. Anak-anak muda GIDI melakukan demonstrasi terhadap sholat Eid. Demonstrasi ini dihadapi dengan penembakan. Hingga saat ini kita tidak tahu detail terjadinya penembakan ini. Media-media Indonesia sibuk memberitakan (melakukan provokasi, lebih tepatnya) tentang pelarangan beribadah dan pembakaran rumah ibadah.

Sulit untuk merumuskan bahwa insiden berdarah ini sesungguhnya adalah murni konflik berdasarkan agama. Melihat sejarah panjang pembunuhan-pembunuhan terhadap orang Papua, maka tidak diragukan bahwa insiden Karubaga berdarah ini adalah bagian dari konflik politik antara rakyat Papua dengan aparat keamanan Indonesia.

Aparat keamanan melakukan pembiaran hingga situasi menjadi sebuah demonstrasi. Perlu diingat bahwa demonstrasi itu dilakukan oleh rakyat sipil yang tidak bersenjata. Namun mereka dihadapi dengan kekerasan senjata.
Hal seperti ini terjadi berulangkali di tanah Papua. Di sebagian besar kejadian, rakyat Papua tidak pernah mendapatkan keadilan atas pembunuhan-pembunuhan yang mereka alami. Jika pun pelakunya diadili maka mereka yang diadili hanyalah prajurit rendahan dan dihukum dengan hukuman serendah-rendahnya yang dimungkinkan oleh hukum.

Kita sungguh perlu mengetahui siapa yang melakukan penembakan dan mengapa dilakukan penembakan? Sementara kita tahu bahwa yang memiliki hak dan kemampuan untuk memegang senjata hanyalah tentara dan polisi. Hampir bisa dipastikan bahwa penembakan itu dilakukan oleh pihak polisi dan kemungkinan juga tentara.

Insiden Idul Fitri berdarah di Karubaga ini, lagi-lagi memperlihatkan bahwa TNI/Polri memiliki hak atau lisensi untuk menembak dan membunuh. Hanya kali ini jauh lebih canggih. Penembakan dan pembunuhan yang dilakukan dibungkus menjadi soal agama. Dan, tidak ada orang yang mempertanyakan penembakan ini.
Sekali lagi, kita menolak diskriminasi dalam bentuk apapun. Kita menolak pengingkaran hak beribadah terhadap umat Islam di Karubaga dan Tolikara. Namun kita juga menolak pembunuhan dan penembakan yang dilakukan oleh TNI/Polri dalam menangani demonstrasi ini.

Jika tidak ada yang mempertanyakan penembakan ini dan pihak yang seharusnya bertanggungjawab tidak berusaha memberikan jawabannya, maka sekali lagi, Indonesia sudah menunjukkan sikap diskriminatifnya terhadap rakyat Papua. ***
———–
[1] Lihat: ‘Ini Kronologis Pembakaran Masjid di Tolikara,’ Republika, 17/07/15.
[2] Lihat, ‘Hari Ini Gubernur Buka Seminar dan KKR Pemuda GIDI di Karubara,’ Tabloid Jubi, 14/07/15.
[3]Lihat, ‘Sebelum Insiden, MUI sudah ingatkan Kapolres Tolikara,’ Tempo, 19/07/15.
[4] Lihat, ‘Presiden GIDI Bantah Surat Edaran Berlogo BPP GIDITabloid Jubi, 7/20/2015.

Insiden Media di Tolikara

21/07/2015 | Pusat Kajian Media & Komunikasi | Remotivi


Hari raya Idul Fitri lalu, warga Tolikara, Papua, dikagetkan dengan kerusuhan yang berujung pada terbakarnya sejumlah kios dan sebuah rumah ibadah umat Islam. Bagaimana media online memberitakan peristiwa tersebut?  

Api yang semula melahap kios pedagang dan rumah ibadah umat Islam di Tolikara, Papua, pada Idul Fitri 17 Juli lalu, kini merembet ke media sosial. Berbagai macam kecaman dan kutukan beterbaran. Beberapa mengandung nada yang mengkhawatirkan: agresi antar-umat beragama. Tak lama, peristiwa itu mendapat reaksi balasan—di antaranya penggerudukan Gereja Injili di Solo dan intimidasi dengan pembakaran pintu Gereja Kristen Jawa di Purworejo.
Sayangnya media, yang semestinya menjadi rujukan publik untuk melihat kasus ini secara jernih, malah memperkeruh suasana. Terutama dalam media online, kerja jurnalisme justru mengaburkan fakta, membuat kesimpulan prematur, dan membentuk opini publik yang menyesatkan. Ini terjadi karena media menulis berita tanpa sensitivitas serta dengan data yang sepotong-sepotong dan belum diverifikasi.
Dalam penilaian kami, terdapat beberapa masalah dalam peliputan media atas insiden Tolikara:

1. Mengorbankan akurasi demi kecepatan dan klik

Banyak media secara tergesa melaporkan telah terjadi pembubaran solat Id dan pembakaran tempat ibadah. Kompas.com dan MetroTVNews.com, dalam catatan kami, adalah media yang paling awal memberitakan insiden Tolikara. Keduanya menaikkan berita tersebut masing-masing pada Pk. 9.46 dan 9.59 WIB, belum genap 1 jam setelah peristiwa itu terjadi. Sementara Kompas.com hanya memakai satu narasumber dari kepolisian, MetroTVNews.com bahkan tak memakai satu pun narasumber. Pemberitaan MetroTVNews.com tersebut juga tak memperlihatkan tanda-tanda ditulis oleh wartawan yang secara langsung berada di lapangan.
Media lain pun latah, tak mau kalah cepat. Kualitas jurnalisme yang dihasilkan pun tak kalah cacat. Untuk insiden segenting ini, media-media tersebut malah dengan gagah menurunkan berita minim sumber atau hanya memakai sumber resmi, serta tanpa konfirmasi dari pihak yang dituduh melakukan pembakaran.
Akhirnya terjadi disinformasi: apa yang dibakar? Tempat ibadah itu dibakar atau terbakar? Apakah massa jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) membakar kios beserta tempat ibadah, atau membakar kios yang apinya kemudian merembet ke tempat ibadah? Benarkah ada pembubaran solat Id, atau yang terjadi adalah larangan menggunakan speaker?
Dalam isu sensitif semacam ini, penting bagi media untuk melakukan verifikasi agar informasi yang disebarnya tidak meluaskan ketegangan. Namun media seolah tak mempedulikan kerugian masyarakat yang ditimbulkan akibat pemberitaannya. Media hanya peduli berapa klik mampir ke situs mereka.

2. Memasak berita dari bahan yang tak teruji

Dalam masa yang keruh ini, beredar pula sebuah edaran dengan kop surat GIDI. Tanpa penelusuran siapa yang pertama kali menyebar surat ini di media sosial, beberapa media dengan sigap langsung menggorengnya menjadi berita, seperti yang dilakukan oleh Viva, JPNN, dan RepublikaOnline.
Keberadaan surat edaran GIDI masih simpang siur. Pernyataan-pernyataan seputarnya saling bertentangan. Kapolri Badrodin Haiti mengindikasikan bahwa GIDI Tolikara mengakui menerbitkan surat pelarangan solat Id. Sementara itu Menteri Koordinator Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno menyatakan sebaliknya, bahwa GIDI tidak mengeluarkan surat tersebut dan bahwa ia curiga ada pihak lain yang membuat surat tersebut. Belakangan, beberapa orang atas nama pribadi menyatakan kepalsuan surat tersebut setelah melakukan analisis digital atasnya.
Dari semua pemberitaan, sejauh pemantauan kami, tak satu pun yang menjadikan Nayus Wenda dan Marthen Jingga, dua nama yang membubuhkan tandatangan dalam surat tersebut, sebagai sumber berita. Padahal, kesaksian keduanya penting untuk memahami insiden ini.

3. Gagal memahami konteks peristiwa

Media gagal memberitkan peristiwa di Tolikara dengan komprehensif. Kebanyakan media fokus pada penyerangan dan pembakaran yang terjadi dan abai melihat rangkaian peristiwa sebelumnya, yaitu penembakan dua belas orang yang menyebabkan satu orang anak berumur lima belas tahun tewas.
Penembakan ini dibahas sambil lalu, misalnya, melalui pernyataan Menteri Polhukam Tedjo Edhy Purdjianto yang menegaskan bahwa hal itu bukan disengaja.  Kompas.com pun memuat mentah-mentah tanpa mengkritisi pernyataan arogan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Fuad Basya: "Sekarang begini saja, kalau itu peluru polisi, ya wajar, kan dia punya senjata. Begitu juga TNI. Kalau diserang, lalu nembak, ya wajar saja”.
Media tertegun dengan peristiwa terbakarnya rumah ibadah—yang memang merupakan tragedi—namun lalai untuk mempertanyakan lebih lanjut mengenai tragedi kemanusiaan akibat pembunuhan yang “wajar” dan “bukan disengaja” tersebut.
Memenggal peristiwa Tolikara menjadi semata soal terbakarnya rumah ibadah adalah ajakan untuk melihat dalam bingkai yang sempit. Konsekuensinya, menjauhkan publik dari konteks yang sangat mungkin dapat membantu memahami mengapa peristiwa ini dapat terjadi.
Peristiwa ini juga menambah riwayat panjang kasus kekerasan di Papua dan, sekali lagi, media massa arusutama bungkam. Padahal, kali ini, kekerasan berada tepat di bawah hidungnya.

4. Beritakan dulu, ralat kemudian

Screensay.com mencatat adanya berita yang dihapus atau direvisi. Salah satu contoh yang banyak beredar di media sosial adalah berubahnya berita Metro TV News. Isi berita tersebut menjadi lebih pendek dengan menghilangkan dramatisasi peristiwa seperti kalimat “Saat imam mengucap takbir pertama, tiba-tiba beberapa orang mendekati jamaah ...”. Judul berita pun berubah dari “Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara” menjadi “Amuk Massa Terjadi di Tolikara”.
Dari sini, redaksi tampak tidak memikirkan konsekuensi dari sebuah berita sebelum memuatnya, dan baru merevisi berita setelah mendapat tanggapan. Revisi ini pun tidak sesuai dengan Pedoman Media Siber karena tidak menyertakan keterangan perubahan berita.

5. Menyiram api yang dinyalakan sendiri

Pada permulaan kasus, media gencar memunculkan berita yang membuat keruh suasana. Tanpa akurasi dan konteks yang memadai, media—baik disengaja atau tidak—dapat menggiring opini publik untuk menyakini yang terjadi di Tolikara adalah konflik agama. Padahal, informasi yang ada tidak cukup untuk menyimpulkan demikian. Informasi yang keliru bisa berdampak fatal meluasnya konflik ke daerah lain.
Namun belakangan media ramai memunculkan pernyataan tokoh-tokoh agama yang menyerukan perdamaian dan toleransi, tanpa menyadari bahwa media sendirilah yang pada mulanya memicu keresahan di tengah publik.

6. Provokatif  

Insiden terbakarnya rumah ibadah umat Islam di Tolikara adalah kabar yang cukup teruk. Sejumlah media, alih-alih menyajikan berita yang menjernihkan peristiwa, malah mengeruhkan keadaan dengan berita-berita provokatif.
RepublikaOnline terdepan dalam melakukan hal ini.
Dengan memakai mulut Ketua Aliansi Nasional Anti Syi’ah (ANNAS) Athian Ali, media tersebut memuat dua berita yang menuding keterlibatan “Zionis Israel” dalam GIDI dan, dengan demikian, harus dibubarkan. Dalam pemberitaan lain, RepublikaOnline bahkan melansir pernyataan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Imail Yusanto bahwa peristiwa tersebut terjadi karena kebencian—bukan hanya jemaat GIDI, melainkan juga—masyarakat Papua terhadap umat Islam.
Tidak cukup dengan meminjam mulut narasumber, RepublikaOnline juga menukar kata-kata narasumber dengan istilah yang lebih dramatis dalam tajuk berita “MUI: Pembakar Masjid di Tolikara Tak Pantas Hidup di Indonesia”.
Media ini mengganti kutipan narasumber yang menjadi judul berita tersebut. Kutipan tersebut seharusnya berbunyi “Mereka yang seperti itu tidak boleh tinggal di negara ini [cetak miring oleh kami]”. Perubahan istilah “tinggal” menjadi “hidup” memiliki pengertian berbeda dan lebih keras—bahwa nyawa pelaku layak direnggut.
Dalam berita-berita tersebut, RepublikaOnline tidak sedang melakukan jurnalisme, melainkan provokasi yang bisa mengarah pada konflik lebih besar.

7. Narasumber elitis

Kebanyakan media asal Jakarta menggantungkan penulisan beritanya dari sumber-sumber resmi dan elit. Kepolisian, tentara, dan pejabat—yang kebanyakan berada di Jakarta—menjadi narasumber dominan yang dipilih media. Hampir tak ada suara warga sipil Tolikara, yang mungkin bisa memberikan informasi lebih tepat.
Model pemberitaan semacam ini memperlihatkan mayoritas produksi berita masih berpusat di Jakarta dan media memberitakan dengan menggilir narasumber berita dari satu elit ke elit yang lain. Karenanya sulit untuk mempercaya media berhasil merepresentasi peristiwa ini dengan jernih. Mayoritas media disadari atau tidak tak lebih dari corong aparat dan pejabat.


 Atas dasar itu, kami mengimbau media dan wartawan yang meliput setiap peristiwa kekerasan untuk pertama-tama berkerja bagi kepentingan publik. Pada saat ini tidak yang lebih penting bagi publik selain kedamaian. Untuk tujuan itu, kode etik jurnalistik perlu menjadi pegangan bagi kerja di lapangan.
Imbauan juga kami sampaikan pada publik agar tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan yang tidak akurat. Publik hendaknya memeriksa setiap informasi yang diterimanya. Apakah sumbernya kredibel? Apakah berita tersebut telah memuat pernyataan dua pihak yang berkonflik (cover both sides)? Apakah berita tersebut menyajikan data yang bisa dipercaya? Dengan menimbang hal ini, publik hendaknya tidak sembarang menyebar informasi yang belum terverifikasi kebenarannya. []

http://www.remotivi.or.id/kabar/161/Insiden-Media-di-Tolikara

Sabtu, 11 Juli 2015

Karya Sastra Cermin Kehidupan Sebuah Masyarakat

11 Juli 2015 16:00 WIB Category: Suara Kedu

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com – Karya sastra merupakan cermin dari kondisi kehidupan sebuah masyarakat. Teks sastra tak ubahnya rekaman dari peristiwa nyata yang pernah terjadi di tengah masyarakat. Hanya saja, kenyataan yang ditulis dalam sastra bukan lagi kenyataan yang sesungguhnya melainkan sudah diinterpretasikan.

Seperti halnya novel ”Fi Baitin Rajul” karya Ihsan Abdul-Quddus merupakan novel dilatarbelakangi oleh kondisi Mesir sebelum revolusi 23 juli 1952. Adapun sang penulis, mengalami langsung peristiwa itu.

Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Sidqon Maesur Lc MA mengatakan, sang pengarang melalui tokoh utama Ibrahim Hamdy dalam novelnya, berpandangan bahwa penjajah tidak akan bisa leluasa melancarkan aksinya kecuali lewat dukungan dari penguasa.

”Di novel itu dijelaskan, penguasa telah berkhianat karena menjadi antek penjajah, agar penjajah pergi maka sang penguasa harus dilenyapkan,” ujarnya saat menempuh ujian doktor untuk bidang Minat Kajian Timur Tengah dari program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pasacasarjana UGM.

Di novel itu, katanya, Ihsan Abdul Quddus menekankan perlunya kerja sama yang solid antarnasionalis aktif yang bersikap ekstrim dengan nasionalis pasif yang bersikap moderat di setiap perjuangan nasioanl.
Sebab, masing-masing memiliki peran yang sangat penting. ”Nasionalis aktif tidak akan mampu melaksanakan misinya jika tanpa ditopang nasionalis pasif,” katanya dalam ujian yang berlangsung di ruang auditorium Sekolah Pascasarjana UGM.

Dia mengatakan, novel yang berkisah tentang politik itu menegaskan bahwa aksi perjuangan perlu didasari ketulusan hati dan tanpa pamrih atau bersih dari niat meraih kepentingan pribadi, kepentingan politik maupun unsur ideologi tertentu. ”Patriotisme perjuangan hanya terjadi karena terdorong oleh perasaan senasib bersama,” terangnya.

Novel itu juga, lanjutnya, menggugah kesadaran pembacanya tentang pentingnya komitmen terhadap pendidikan, nilai-nilai norma, adat istiadat dan agama.
(Bambang Unjianto/CN19/SMNetwork)

http://berita.suaramerdeka.com/karya-sastra-cermin-kehidupan-sebuah-masyarakat/

Deklarasi Masyarakat Sipil


Mengingat bahwa langkah rekonsiliasi yang terwacanakan hingga hari ini tidak sejalan dengan semangat untuk mewujudkan keadilan korban pelanggaran HAM masa lalu. Maka kami, para pegiat HAM dan individu-individu yang memiliki perhatian luas pada penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia dengan ini mempertanyakan pembentukan Komite Pengungkap Kebenaran untuk Penanganan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang berada di bawah Menkopolhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM yang didukung penuh oleh Polri, TNI dan BIN, dengan catatan-catatan sebagai berikut:

Deklarasi Masyarakat Sipil
Dukung Keadilan Hakiki
Bagi Para Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu merupakan bagian dari amanat reformasi, sebagaimana yang ditegaskan di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Adalah mutlak bagi negara untuk mengambil langkah-langkah hukum dalam menjamin adanya proses "pengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau."

Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedua adalah konstitusi yang telah membangun kultur keadaban hak asasi manusia yang lebih baik melalui ruang pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia kepada siapapun.

Menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan mandat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menjalankan mandatnya melakukan penyelidikan kepada kasus-kasus yang diduga kuat memenuhi definisi pelanggaran HAM yang Berat.

Menegaskan bahwa adanya kewajiban Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan atas temuan penyelidikan Komnas HAM pada kasus-kasus yang diduga kuat memenuhi definisi pelanggaran HAM yang Berat guna menggelar suatu pengadilan HAM adhoc sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Menegaskan bahwa rencana pembentukan Tim Pengungkap Kebenaran Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu oleh Pemerintah saat ini tidak sejalan dengan kewajiban untuk mewujudkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

Menegaskan bahwa langkah rekonsiliasi bukan sekadar prosesi seremonial maaf memaafkan, melainkan mampu memperkuat kapasitas dan komitmen Pemerintah pada keadilan. Khususnya keadilan bagi setiap orang yang menjadi korban. Rekonsiliasi adalah proses yang didahului dengan agenda pengungkapan kebenaran dan pengakuan atas keberadaan korban di Indonesia.

Mengingat bahwa langkah rekonsiliasi yang terwacanakan hingga hari ini tidak sejalan dengan semangat untuk mewujudkan keadilan korban pelanggaran HAM masa lalu. Maka kami, para pegiat HAM dan individu-individu yang memiliki perhatian luas pada penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia dengan ini mempertanyakan pembentukan Komite Pengungkap Kebenaran untuk Penanganan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang berada di bawah Menkopolhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM yang didukung penuh oleh Polri, TNI dan BIN, dengan catatan-catatan sebagai berikut:

Pertama, tanpa adanya akuntabilitas, maka model rekonsiliasi ini akan mengerdilkan martabat para korban dan keluarga yang telah berjuang, menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan advokasi puluhan tahun lamanya.

Kedua, rekonsiliasi nir akuntabilitas ini juga telah mencederai akal sehat publik yang selama ini memberikan dukungan kepada Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan khususnya dukungan diberikan kepada TNI, Polri, BIN dan instansi-instansi negara terkait untuk menjadi lembaga-lembaga negara yang professional dan tunduk pada hukum bukan menjadi lembaga mediasi.

Ketiga, pendekatan rekonsiliasi bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu bukanlah kewenangan Jaksa Agung dan Komnas HAM. Sebagai lembaga penegak hukum menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kedua lembaga ini justru berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntaskan proses penyelesaian yuridis pelanggaran HAM yang berat masa lalu, bukan proses rekonsiliasi yang bukan wewenang kedua lembaga ini menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Keempat, langkah yang diambil Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tidak sesuai dengan sistem penegakan hukum HAM di Indonesia dan berpotensi atas penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur antara lain oleh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menegaskan bahwa terdapat aturan yang harus diikuti terkait dengan (a) Larangan melampaui wewenang, (b) Larangan mencampuradukkan wewenang, (c) Larangan bertindak sewenang-wenang.

Kelima, mengingat tidak semua pelanggaran HAM dapat didekati dengan cara rekonsiliasi, maka Presiden Joko Widodo sebagai pengampu eksekutif harus membangun momentum dan kebulatan kemauan politik untuk mau menggunakan pendekatan akuntabilitas yudisial sebagai wujud imparsialitas negara dari segala bentuk intervensi politik otoritarianisme masa lalu.

Keenam, kami meyakini bahwa Presiden Joko Widodo memiliki kapasitas untuk menunda langkah rekonsiliasi yang menurut kami nir pertanggungjawaban ini dan tetap mendorong Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti 7 (tujuh) berkas pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu hasil penyelidikan Komnas HAM dengan cara-cara transparan, menjunjung akuntabilitas dan taat asas hukum serta memulihkan luka-luka bangsa.

Jakarta, 9 Juli 2015

HS. Dillon, Hendardi, Amiruddin Al-Rahab, Sandyawan, Robertus Robet, Dolorosa Sinaga, Franz Magnis-Suseno, Fadillah Agus, Enny Suprapto, Haris Azhar, Martin Aleida, Galuh Wandita

Rabu, 01 Juli 2015

Memanfaatkan 1965 sebagai Tema Frankfurt Book Fair 2015

Vega Probo & Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia | Rabu, 01/07/2015 17:31 WIB
 
Ilustrasi buku. (Pixabay/perronjeremie)  
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang Frankfurt Book Fair 2015, komite nasional digempur kritik. Salah satunya tentang penajaman tema. Sejak awal, panitia sudah memutuskan mengusung "17.000 Islands of Imagination" sebagai tema besar. Namun belakangan, tema 1965 jadi lebih mengemuka.

Berbagai protes muncul, salah satunya dari AS Laksana. Dalam catatan di Facebook-nya yang berjudul Frankfurt Book Fair dan Perdagangan Orang ia menulis, "Alih-alih memperkenalkan keberagaman tema karya sastra Indonesia atau mempromosikan imajinasi dari '17.000 pulau', panitia Indonesia justru menyempitkan imajinasi dan menyelewengkannya ke peristiwa 1965 sebagai tema utama bayangan."

Dihubungi CNN Indonesia, Selasa (30/6) Sulak--sapaan akrab AS Laksana-- mengatakan, penguatan tema itu didukung pemberitaan yang tidak akurat. Dua penulis yang 'diunggulkan' karena bukunya berlatar peristiwa 1965, Leila Chudori (Pulang) dan Laksmi Pamuntjak (Amba) dianggap tidak mewakili tema keseluruhan.


Apalagi keduanya mendapat sorotan langsung dari media Jerman. Situs DW berbahasa Indonesia pernah menulis, yang kebanyakan memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan. Yang dimaksud tentu Laksmi dan Leila.

"Tapi pemberitaan itu tidak akurat. Dan kesalahan panitia adalah membiarkan," katanya. Berita itu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. "Berita yang tidak akurat datang dari sumber yang tidak akurat. Jangan-jangan itu disengaja?" Sulak bertanya retoris.

Goenawan Mohamad sebagai ketua komite pelaksanaan Frankfurt Book Fair menjelaskan saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (1/7) tema 1965 bukan sengaja dipromosikan lebih dibanding tema lain. Kebetulan saja, publik Jerman menyoroti itu karena lebih suka.

"Orang Jerman memang lagi senang tema itu," kata Goenawan. Film Joshua Oppenheimer, sutradara pembuat The Act of Killing dan The Look of Silence sedang diputar di Jerman. Salah satu penulis juga baru meluncurkan buku tentang kekejaman terhadap pendukung Partai Komunis Indonesia.

Tema itu sedang hangat. Belum lagi, 2015 merupakan peringatan ke-50 peristiwa 1965.

Namun Goenawan menegaskan, tema yang dihadirkan Indonesia tak melulu tentang 1965. Ia menambahkan, tema muslim pun ikut diusung demi menampilkan keutuhan keberagaman Indonesia. "Menteri Agama juga akan hadir. Publik sana berpendapat tema Islam pun menarik. Nanti ada dua pengarang yang akan bicara soal Islam."

Goenawan juga sempat menerangkan di Facebook, wartawan Jerman pernah bertanya apakah tema utama sastra Indonesia sekarang adalah menengok kembali sejarah yang dibungkam.
 
Saat itu, menurut pengakuan Goenawan dalam tulisannya ia menjawab, "Ada 40 ribu buku terbit tahun lalu di Indonesia, rasanya tak bisa dikatakan ada satu tema pokok."

Sulak bisa paham jika minat publik Jerman terhadap karya-karya bertema 1965 itu tinggi. Menurutnya, itu justru bisa dijadikan kesempatan. "Manfaatkan saja sekalian, dengan memperkenalkan karya-karya terbaik yang sudah pernah menggarap tema itu sejak sekian tahun lalu," tuturnya. Sehingga, tema itu lebih ditampilkan secara representatif dan komperehensif.
 
Linda Christanty pada Facebook-nya dalam tulisan berjudul Frankfurt Book Fair 2015 dan Kebohongan tentang Kepeloporan Dua Penulis Perempuan Indonesia pernah menyebutkan karya-karya berlatar 1965. Di antaranya: September yang ditulis Noorca M. Massardi, Sri Sumarah dan Bawuk oleh Umar Kayam, juga Blues Merbabu dan 65 oleh Bre Redana.

Karya mereka itu bisa mewakili tema 1965 secara lebih menyeluruh.

Tapi jika Indonesia hanya menampilkan tema 1965 ansih, Sulak merasa itu bisa dilakukan tanpa menjadi tamu kehormatan. Indonesia memang dikenal karena peristiwa itu, ujarnya. "Tapi sebagai tamu kehormatan, kita butuh hal lain untuk dipromosikan. Ini kan hajatnya negara."

Sejauh ini, menurut daftar penulis yang diterima CNN Indonesia, selain Laksmi dan Leila, masih banyak pula nama lain seperti Andrea Hirata, Asma Nadia, Ika Natassa, NH Dini, Tere Liye, sampai animator Wahyu Aditya.
 
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150701143743-241-63612/memanfaatkan-1965-sebagai-tema-frankfurt-book-fair-2015/