Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 14 Mei 2015

Kamis ke-396 dan Keadilan yang Hilang

, CNN Indonesia | Kamis, 14/05/2015 23:26 WIB

Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (30/4). Pada aksinya ke-395 itu mereka mendesak Presiden Jokowi untuk menunjukan komitmennya dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang banyak diantaranya terjadi di bulan Mei. ANTARA FOTO/Fanny Octavianus  
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada jarak sepuluh ribu kilometer lebih dari Buenos Aires ke Jakarta. Tapi suara yang pedih dan murung itu, terdengar begitu akrab, baik di Plaza de Mayo, Buenos Aires, dan dari seberang Istana Merdeka, Jakarta.

Pada setiap Kamis, suara itu menyelinap di antara deru aneka peristiwa, di Beunos Aires, dan begitu juga di Jakarta. Sekumpulan ibu-ibu turun ke jalan pada siang hari. Mereka melawan sengatan matahari, dan juga ingatan yang mulai lapuk.

Di Plaza de Mayo, Uranga Almeida mengenang putranya, Alejandro. Pada 17 Juni 1975, Alejandro berkata pada ibunya, “Aku keluar sebentar, dan segera kembali”. Saat itu Argentina tengah dikoyak kekerasan politik. Sekelompok militer hendak berkuasa. Mereka membabat semua kekuatan kiri, dan mencurigai semua kelompok pro demokrasi.

Itu suara Alejandro terakhir didengar Almeida. Setelah itu putranya tak pernah kembali. Ia lenyap. Tak ada satu petunjuk pun apa yang terjadi pada dirinya. Di Argentina, ia dicatat sebagai satu dari kasus “orang hilang” yang terjadi sepanjang 1970an-1980an.

Seperti dilaporkan BBC, para pembela hak asasi di sana mencatat lebih 30 ribu orang diculik dan dibunuh sebelum, dan lebih parah lagi ketika kelompok sayap kanan atau pemerintahan militer berkuasa di Argentina lewat kudeta 1976. Sepanjang tahun itu hingga 1983, rezim militer di negeri itu berkuasa dengan brutal.

Hingga rezim bengis itu turun, dan pemerintah lebih demokratis muncul, para ibu di Plaza de Mayo tetap mencari anak mereka. Pada 30 April 2012, pencarian itu sudah berlangsung 35 tahun. Almeida berumur 45 saat putranya hilang. Pada peringatan Plaza de Mayo tiga tahun silam, dia sudah berusia 80 tahun. Ia tak menuntut banyak hal. Keinginannya hanya satu: “Aku ingin menyentuh tulang Alejandro, sebelum aku mati”.

Di depan Istana Merdeka, Jakarta, sekumpulan ibu-ibu melakukan hal sama. Mereka para ibu dan keluarga korban pelanggaran berat hak asasi manusia saat rezim Orde Baru berkuasa. Rentang kasusnya beragam: penculikan aktivis mahasiswa 1998, penembakan mahasiswa di Trisakti 1998, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, dan Papua, hingga korban tragedi 1965.

Mereka berkumpul setiap Kamis di seberang Istana Merdeka, di sebuah ceruk aspal ke arah pintu Monas. Para ibu dan keluarga korban itu tak pernah lelah. Sejak 2007, aksi yang disebut sebagai Kamisan itu bergulir terus. Pekan lalu ia sudah berlangsung 396 kali. Setiap kali aksi, mereka mengirimkan sepucuk surat ke Istana. Isinya selalu sama: menanyakan nasib para korban.

Tak jelas apakah surat itu selalu dibaca sang presiden. Mungkin ia tersangkut di meja gardu para penjaga pintu Istana. Atau setiap pekan dia hanya dibiarkan terselip di antara ribuan kertas lain, dan menjadi berkas yang tak perlu lagi dibaca presiden.

Setelah 17 tahun reformasi, dan rezim berganti dari Abdurrahman Wahid ke Megawati, lalu Susilo Bambang Yudhono hingga Joko Widodo, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia itu masih jauh dari terang. Aksi Kamisan itu sendiri telah berjalan delapan tahun. Tahukah kita apa yang terjadi pada keluarga korban selama penantian panjang itu?

Dulu di acara aksi itu kerap hadir Tuti Koto, ibu dari Yani Afri. Putranya masuk daftar orang hilang menjelang pergolakan mahasiswa 1998. Yani bukan mahasiswa. Ia simpatisan Megawati yang memimpin PDI Perjuangan saat melawan orde baru. Yani juga bukan seorang politisi, ia hanya seorang supir angkot. Pada suatu hari setelah aksi demonstrasi, Yani tak pernah kembali. “Ia anakku, tulang punggung keluarga kami,” ujar Tuti saat itu.

Tuti mencarinya ke mana-mana. Ia perempuan yang keras, seorang ibu yang militan. Ia datangi kantor polisi militer, kementrian politik, hukum dan keamanan, hingga markas komando pasukan khusus. Ia rela berdiri berjam-jam di luar pagar lembaga berwenang, sambil membawa foto anaknya, dan juga korban hilang lainnya. Ia tahu hasilnya nihil, tapi dengan segala keterbatasan—ia misalnya kerap kesulitan ongkos, ia terus berjuang, antara lain dengan hadir di aksi Kamisan itu.

Suatu kali Tuti sakit, dan ia mulai jarang terlihat. Pada 2012, si ibu yang gigih itu meninggal. Sampai ia pergi menutup mata, Yani tak juga kembali.

Atau kisah keluarga Noval Alkatiri, seorang korban penculikan. Ia hilang bersama Dedi Hamdun, suami artis Eva Arnaz, yang juga aktif di politik menjelang badai politik 1998. Almarhum Munir, pendiri Kontras dan pendekar pembela hak asasi manusia yang sulit dicari gantinya itu, pernah bercerita betapa ayah Noval, lelaki berusia senja itu, sangat ingin putranya pulang.

Hampir setiap malam, pada masa awal Noval hilang, dia setia menunggu di rumah. Di bawah tudung saji meja makan, selalu ada segelas kopi buat Noval. Juga sepiring lauk dan nasi. “Mungkin saja Noval pulang hari ini,” ujar si ayah. Ia menunggu sampai malam turun. Begitu berhari-hari, dengan akhir yang sama: segelas kopi itu menjadi dingin, dan dia tertidur di kursi.

Tapi Noval tak pernah pulang, hingga si ayah meninggal.

Lalu apa yang ditunggu oleh para ibu dan keluarga yang setia hadir setiap Kamis di seberang Istana Merdeka itu? Kasus itu sendiri sudah berulangkali ditelisik Komnas HAM. Bahkan DPR telah menyimpulkan, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, terjadi pelanggaran berat dalam kasus penghilangan paksa kepada para aktivis mahasiswa 1998. Jaksa Agung diminta menyidik dan mengadili para pelaku. Presiden juga diminta mencari 13 aktivis yang masih hilang, dan memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban.

Mugiyanto, seorang korban penculikan aktivis mahasiswa dan mantan ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, mungkin punya kata yang tepat tentang apa yang diinginkan oleh para keluarga itu. Pada 5 Mei lalu, dia mengirimkan surat terbuka. Kali ini tidak lagi ke Istana, melainkan ke laporpresiden.org, sebuah situs yang mencoba menyerap semua harapan dan hal-hal serius yang nyaris terlupakan.

Mugiyanto mengingatkan kembali presiden tentang pidato kampanye Nawacita, dan janjinya untuk menyelesaikan kasus orang hilang. “Mereka tidak memiliki kuburan, tetapi mereka juga tidak ada di sekitar kita,” tulis Mugiyanto di surat terbuka itu. Mewakili keluarga korban, dia mengatakan hal paling mendesak agar kasus ini selesai bukanlah Pengadilan HAM.

Dengan tajam Mugiyanto memberi alasan. Dalam sistem pengadilan yang korup, dan “belum bisa dibereskan oleh Pak Presiden," kata Mugiyanto,  "Kami tidak yakin akan bisa mendapatkan keadilan dari sana.” Mereka, kata dia, hanya ingin kepastian apakah keluarganya telah meninggal, atau masih hidup. Jika telah meninggal, mereka ingin tahu di mana dikuburkan. “Kalau masih hidup, tolong kembalikan pada kami, keluarganya”.

Pada Mei 2015 ini, suara itu sudah 17 tahun diteriakkan. Kian lama, Kamisan yang telah bergulir delapan tahun itu, seperti berjalan dalam kesunyian. Mereka yang berkuasa hari ini, mungkin menganggapnya kurang penting. Ia seakan sebuah gaung dari masa lalu yang kian sayup dan mungkin akan hilang.

Tapi sampai pekan lalu, mereka yang berkuasa tampaknya keliru. Seperti di Plaza de Mayo, para ibu itu akan tetap berdiri di seberang Istana Merdeka setiap Kamis siang menggugat keadilan yang hilang. Pekan demi pekan mereka terus melawan sengatan matahari, dan melapuknya ingatan.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150514225849-13-53328/kamis-ke-396-dan-keadilan-yang-hilang/

Aksi Menolak Lupa Telah Menjalar ke Seluruh Daerah

, CNN Indonesia | Kamis, 14/05/2015 16:10 WIB 

Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (30/4). (ANTARA/Fanny Octavianus)  
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi Kamisan yang digagas Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan saat ini tidak hanya berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta. Aksi diam dengan simbol pakaian dan payung hitam ini mulai bermunculan di daerah lain, seperti Bandung, Yogyakarta dan Batam.

Maria Catarina Sumarsih, salah satu pegiat JSKK mengatakan, aksi Kamisan memang tidak hanya memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru tapi juga korban kekerasan di era reformasi.

"Hal seperti ini membuat kaum miskin kota dan masyarakat yang selama dipinggirkan pemerintah bergabung dengan kami," kata Sumarsih kepada CNN Indonesia, Kamis (14/5). 
 
Alhasil, aksi Kamisan pun menjalar ke sejumlah daerah. Sumarsih menuturkan, setiap Kamisan di daerah memiliki tuntutan keadilan yang berbeda. Isu-isu seperti penolakan atas rencana pemerintah melakukan reklamasi di Teluk Benoa, Bali, juga pernah didengungkan.

Sumarsih melihat keterlibatan masyarakat pada aksi Kamisan sebagai hal yang menarik. Sejak pertama kali diam dalam satu jam di Istana Merdeka pada tahun 2007, ia berkata, mahasiswa dan pelajar yang tidak mendapatkan ekses langsung kejahatan HAM Orde Baru mulai berpartisipasi.

Tak hanya beraksi, tidak sedikit seniman yang menjadikan aksi Kamisan sebagai inspirasi. Salah satunya adalah sineas Happy Salma yang menyutradarai film pendek berjudul 'Kamis ke-300'.

Menurut Sumarsih, ini adalah pembuktian dari semboyan gerakan menolak lupa yang mereka perjuangkan. "Kami akan tetap ada dan berlipat ganda," ucapnya.

Soal sejauh mana batas keteguhan hati para penggiat aksi Kamisan, Sekretaris Jenderal Ikatan Orang Hilang Zainal Muttaqin memiliki jawaban.

"Suciwati (isteri pejuang HAN almarhum Munir Thalib Said) bilang, Kamisan akan berhenti jika aksi hanya dilakukan oleh tiga orang saja. Maka aksi akan dihentikan," katanya. (sip)
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150514161031-12-53285/aksi-menolak-lupa-telah-menjalar-ke-seluruh-daerah/

Kamisan, Satu Jalan Menjaga Harapan

, CNN Indonesia | Kamis, 14/05/2015 14:42 WIB 
 
Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. Aksi Kamisan yang ke-371 dan bertepatan kepemimpinan pemerintah baru Joko Widodo, mereka meminta dan menagih janji Jokowi terkait penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat. (Safir Makki) 
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Delapan tahun sudah Ruyati Darwin melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Selama itu pula perempuan 67 tahun itu didiamkan oleh pemerintah. Sebuah penantian yang hingga kini belum juga membuahkan hasil.

Ruyati adalah ibu dari Teten Karyana yang merupakan salah satu korban dalam kerusuhan Mei 1998. Teten diperkirakan meninggal dalam kebakaran Yogya Plaza (kini dibangun lagi dengan nama Mal Citra Klender), Klender, Jakarta Timur, pada 17 tahun silam.

Masih terang dalam ingatan Ruyati hari di saat Teten hilang. Saat itu, usia Teten 32 tahun. Ia anak sulung dari enam bersaudara. Pekerjaannya adalah guru bahasa Inggris, ia tulang punggung keluarga. Tak mengherankan, karena sang ayah baru saja dipecat pada tahun sebelumnya.

"Saksi mata melihat Teten masuk ke dalam mal untuk menyelamatkan seorang bocah yang terjebak dalam kebakaran di lantai dasar mal. Anehnya, dompet Teten ditemukan dalam keadaan utuh, tanpa terbakar," kata Ruyati kepada CNN Indonesia, Kamis (14/5).

Kejanggalan tersebut membuat Ruyati merasa gemas. Apalagi, pemerintah belum mengakui Tragedi Mei 1998 hingga kini. Pemulihan keluarga korban dan pertanggungjawaban pemerintah menjadi perjuangan panjang yang harus dilalui.  
 
Keluarga korban pelanggaran HAM dan aktifis dari Kontras melakukan aksi damai Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 23 Oktober 2014. Aksi Kamisan yang ke-371 dan bertepatan kepemimpinan pemerintah baru Joko Widodo, mereka meminta dan menagih janji Jokowi terkait penuntasan kasus Pelanggaran HAM berat. (CNN Indonesia/Safir Makki)  
 
Getol Kamisan bukanlah hal yang sepele bagi Ruyati. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, Ruyati harus merelakan beberapa rupiah yang berarti baginya sebagai biaya transportasi dan makan.

"Pastinya makan biaya. Banyak juga kawan-kawan saya yang berhenti Kamisan karena masalah ekonomi. Namun, saya tetap melakukannya karena menganggap ini panggilan jiwa," katanya.

Setiap Kamisan, Ruyati harus merogoh koceknya untuk mengeluarkan Rp 25 ribu. Jarak dari rumahnya yang berlokasi di Penggilingan, Jakarta Timur ke Istana Negara, Jakarta Pusat juga cukup menyita waktunya.

"Lumayan juga biayanya. Apalagi, saya sekarang hanya usaha kecil-kecilan dan suami juga penghasilannya tidak tetap. Andai Teten masih hidup, pasti dia masih jadi tulang punggung keluarga," kata Ruyati mengenang.

Trauma dan rasa rindu yang mendalam terhadap sang anak membuat Ruyati menitikkan air matanya ketika ia mengingat Teten. Mal Citra Klender menjadi tempat yang ia benci untuk didatangi. 
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150514144226-12-53272/kamisan-satu-jalan-menjaga-harapan/

Rabu, 13 Mei 2015

Mengoreksi Cara Berpikir Kaum Orbais Melihat Komunis


“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Annisa: 135)

Katakanlah, Tuhanku memerintahkan al-qisth (keadilan)(QS. Al-A’raf: 29)
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. AnNahl: 90)

Mukadimah

GEGER lambang palu arit karena kaos yang dipakai oleh Putri Indonesia baru-baru ini, bukanlah pertama kalinya dan satu-satunya yang terjadi di republik ini. Petani-petani yang tengah memperjuangkan hak-haknya ketika protes dengan membawa poster bergambar “seorang petani memakai caping sembari tangannya memegang arit” juga dianggap sebagai komunis. Padahal petani-petani tersebut mengorganisir dirinya di musholla atau masjid di kampung mereka. Protes ibu-ibu petani di Rembang yang menolak berdirinya pabrik Semen Indonesia di atas lahan hijau yang berpotensi besar merusak lingkungan, dianggap sebagai sinyalemen kebangkitan komunis. Sementara kita tahu, ibu-ibu pejuang tersebut selama berada di tenda perjuangan, tak pernah memekikkan slogan-slogan yang terdengar revolusioner. Mereka hanya membaca tahlil, memperbanyak sholawat dan istighosah tiap hari di dalam tendanya.

Di tempat lain di Jawa Tengah, protes petani Urutsewu Kebumen yang mengadakan solidaritas budaya dan zikir bersama yang bertujuan menggalang solidaritas dari berbagai pihak untuk mendapatkan kembali lahan pertaniannya yang diduduki oleh TNI, mendapat stempel dan tuduhan yang sama. Bahkan yang tak masuk akal, kiai seperti Imam Zuhdi, seorang kiai wira’i dan zahid sejati, dituduh sebagai komunis. Suatu hari dalam sebuah pertemuan dengan warga di masjid, beliau mengatakan pada penulis kalau dirinya diisukan sebagai komunis yang tak mengenal Tuhan dan mau bikin onar di Urutsewu.
Kondisi semacam itu tak hanya dialami oleh Kiai Imam. Hampir semua pemimpin gerakan dan pejuang keadilan di negeri ini akan diberi stempel PKI (Partai Komunis Indonesia), yang dianggap bejat, jahat dan berbahaya. Ibu Nursyahbani Katjasungkana pernah menceritakan kisah lucu tentang masyarakat Jombang yang tergusur tanahnya oleh proyek jalan tol dan industrialisasi, namun menganggap curangnya proses pembayaran ganti rugi lahan sebagai ulah PKI. Atau tetangga penulis yang kehilangan sandalnya di masjid ketika sholat jum’at, ia mengumpat bahwa yang mencuri sandalnya adalah PKI.

Gampangnya, hujatan  pada putri Indonesia yang tengah memampang fotonya di media sosial dengan memakai kaos merah bergambar palu dan arit dan stigma-stigma buruk pada para pegiat HAM dan pemimpin gerakan tani menandakan masih kuatnya warisan anti komunisme orba yang ditanam dalam kesadaran rakyat Indonesia.

Karena itu, kiranya penting bagi kita untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan dan membuka selubung kebrutalan politik Orde Baru. Namun, bukankah rezim Orde Baru sudah tidak ada? Iya, Orde Baru telah tumbang. Tetapi, secara de facto kaum orbais, yaitu segerombolan orang atau golongan yang berpikir dan berpolitik dengan ideal-ideal Orde Baru, masih sangat kuat di negeri ini (atau bisa jadi paling kuat). Tujuan utama mereka adalah mengembalikan Indonesia pada situasi ketakutan, dan melalui ketakutan tersebut sebuah rezim ganas penuh kebencian hendak memancangkan kembali tonggak-tonggaknya. Sebuah rezim otoriter yang akan menghamba pada kepentingan ekonomi global di mana Indonesia dan rakyat di dalamnya dijadikan bahan bakarnya.

Kiranya wajar kalau rakyat khawatir melihat naiknya arogansi kaum orbais akhir-akhir ini. Secara telanjang, mereka menyelenggarakan halaqah-halaqah “Bahaya Laten PKI”, memakai preman untuk menyerang dan menggagalkan terselenggaranya pemutaran film Jagal dan Senyap, pertemuan-pertemuan keluarga korban 65, hingga larangan diskusi peristiwa 65 di kampus-kampus[1]. Semua ini menjadi simptom jika kaum orbais masih ingin mencengkeramkan kuku-kukunya di negeri ini.


Bagaimana Kaum Orbais Melihat Komunis?

Melalui buku Katastrofi Mendunia: Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba[2] karya penyair Taufiq Ismail, dengan mudah kita akan tahu bagaimana kaum orbais melihat komunisme, khususnya PKI di Indonesia. Bagi mereka PKI tak ada benarnya. Tidak setitik pun. Tentu saja PKI bukan berarti tak ada salahnya. Namun mempersalahkannya secara brutal jauh tak ada benarnya ketimbang apapun juga. Buku tersebut dan Taufiq menjadi contoh kaffah bagaimana kaum orbais melihat komunisme. Seolah-olah semua kejahatan di dunia ini ulah kaum komunis. Bagi kaum orbais (tentu saja Taufiq di dalamnya) yang boleh ada di dunia ini adalah cara pandang mereka terhadap dunia saja, marxisme tidak, karena marxisme baginya sama-sama berbahayanya dengan narkoba.[3] Pendeknya, segala hal yang dianggap buruk, menjijikkan, ngawur, bejat, anti-tuhan, merusak tatanan, mengalalkan segala cara=PKI.

Argumen yang sering direplikasi oleh kaum orbais untuk membuktikan kekeliruan marxisme adalah bangkrutnya Uni Soviet, totalitarianisme Stalin dan Polpot. Namun kelemahan argumen tersebut adalah: pertama, meletakkan Marxisme bukan sebagai ilmu pengetahuan, melainkan hanya sebagai ideologi jumud yang kebal kritik. Kedua, melihat marxisme tidak pada nosi utama marxisme yang mengandaikan dirinya sebagai sosialisme yang ilmiah. Ketiga,menempatkan kekeliruan Marxisme pada figur semacam Stalin dan Polpot maka sama juga dengan menempatkan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah sebagai representasi Islam.

Bagaimana rezim orba dan kaum orbais melihat komunisme dalam konteks sejarah Indonesia? Pertama, mereka menganggap komunisme (PKI) sebagai ajaran anti Tuhan dan anti agama. Namun sejauh pembacaan penulis, tak ada satu teks tertulis sekalipun dalam semua dokumen PKI yang mensyaratkan dan menganjurkan anggotanya untuk menjadi ateis dan anti agama. Dalam dokumen-dokumen resmi PKI atau dalam hampir semua pikiran tokoh-tokoh PKI, yang menggema hanya anti Imperialisme, anti kapitalisme dan anti feodalisme. Selebihnya tidak. Maka kampanye kaum orbais yang mengatakan bahwa PKI dengan sendirinya ateis terang keliru dan menyesatkan.[4]

Kedua, PKI dituduh sebagai anti pancasila. Tuduhan anti Pancasila merupakan turunan dari tuduhan anti Tuhan. PKI harus dibumihanguskan karena oleh Orde Baru dianggap mengajarkan anti Tuhan dan dengan demikian anti Pancasila (sila pertama). Tuduhan ini jelas tidak berdasar karena sejak semula PKI menerima Pancasila dan menjadi partai yang konsisten mengambil jalan revolusioner melawan Belanda. Namun sayangnya, sedikit dari pelajar dan pemuda di negeri ini yang memahaminya karena nama PKI telah dihapus dari lembaran sejarah bangsa dan ingatan kita. Sebagai contoh. Seorang Amir Syarifudin, yang merupakan otak sumpah pemuda 1928, mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri di era revolusi kemerdekaan yang nantinya hidupnya berakhir secara tragis ditembus timah panas tentara di masa kabinet Hatta. Namanya, pengorbanannya untuk Indonesia, dihapus dari sejarah Indonesia.[5] Figur lain seperti Soemarsono, pemimpin pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,[6] dicoret dari sejarah Bangsa Indonesia.

Ketiga, melihat komunisme sebagai paham yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Bagi kaum orbais, perjuangan kelas dan jalan revolusioner marxisme dianggap sebagai sikap semau-maunya, brutal, dan tak tahu aturan. Pekikan Marx, “This bursts asunder. The knell of capitalist private property sounds. The expropriators are expropriaded” (Sekam akan meledak bertebaran. Lonceng kematian hak milik pribadi kaum kapitalis telah berbunyi.Tukang rampok sekarang dirampok),[7] dianggap oleh mereka sebagai landasan pembenaran bahwa Marx dan marxisme brutal. Padahal membincangkan parameter kekerasan akan menggiring siapapun pada medan perdebatan yang tak ada sudahnya, karena hampir semua ideologi di dunia ini memiliki dimensi kekerasannya sendiri. Bahkan, kalau boleh jujur, agama apapun di dunia ini yang mengajarkan keluhuran dan kebajikan, tak ada yang tak besimbah darah selama rentang perjalanan sejarahnya. Maka menghakimi Marxisme sebagai satu-satunya ideologi penganjur kekerasan sama saja dengan menuding diri sendiri.


roy1Konspirasi Soeharto n Nekolim. Ilustrasi oleh Yayak Yatmaka

Di balik Kampanye Anti-Komunis Orba

Kampanye keji pasca 1 Oktober oleh militer berakibat fatal dengan terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap simpatisan PKI hingga ke pelosok-pelosok desa. Strategi menghasut terbukti menuai hasilnya. Politik adu domba yang dijalankan, seperti mengatakan bahwa para kader PKI di desa-desa membikin lubang-lubang di tengah ladang tebu yang dipersiapkan sebagai kuburan para tokoh agama, menjadi semacam bensin yang ditumpahkan di atas tumpukan jerami kering di tengah ladang. Ironisnya, hingga menjelang 50 tahun peristiwa 1965,[8] yang secara brutal digerakkan oleh jenderal Soeharto dan jenderal Sarwo Edie Wibowo, kisah para PKI penggali lubang kuburan tersebut tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Hampir semua pelaku kekerasan di akar rumput hanya diberi kabar oleh militer kalau PKI akan menyerang mereka. Maka itu mereka mau tak mau harus menyerang duluan. “Lebih baik memukul dulu sebelum dipukul” begitulah pandangan hidup pada zaman itu.[9]

Kampanye dan berita bohong yang disebarkan melalui harian Berita Yudha milik TNI AD mengenai kekejian dan kejahatan seksual yang dilakukan oleh Gerwani dan kejahatan “anti-Tuhan” PKI, secara spesifik hanya untuk membuat marah masyarakat Indonesia dan membenarkan pembantaian massal PKI. PKI dijadikan tumbal oleh Soeharto untuk menyingkirkan Soekarno melalui strategi yang, oleh sejumlah peneliti, sering disebut sebagai kudeta merangkak (creeping coup).

Soeharto memulai rencana sistematisnya dengan menyingkirkan orang-orang yang loyal terhadap Soekarno atau kelompok yang mendukung secara aktif arah politik Soekarno. Melalui propaganda anti komunis dan dibantu kekuatan mahasiswa dan Angkatan Darat, Soeharto berhasil melenyapkan mereka yang dianggap kiri (komunis). Selanjutnya, ia mengerahkan kekuatan mahasiswa dan pasukan tidak dikenal (sesungguhnya pasukan RPKAD) ke istana saat sidang kabinet berlangsung tanggal 10 Maret 1966, sehingga berhasil memperoleh Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)[10]. Penggunaan Supersemar sebagai landasan hukum pembubaran PKI, penangkapan sejumah menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September, dan perombakan keanggotaan MPRS, pada akhirnya melahirkan Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966.

Mulusnya perjalanan karier politik Soeharto tak lepas dari peranan Amerika Serikat (AS) melalui CIA. Sejak sebelum Gerakan 30 September meletus, AS telah rajin memberikan bantuan, khususnya kepada Angkatan Darat, untuk pelaksanaan program operasi karya militer-sipil (civic mission). Program ini bertujuan untuk membentuk kekuatan anti komunis yang diharapkan mampu membendung kekuatan komunis. Program civic mission semakin gencar dilakukan setelah PKI dituduh sebagai dalang tunggal peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal AD. Dengan demikian, setelah Peristiwa 30 September 1965, banyak terjadi pembantaian terhadap kaum komunis (PKI) yang secara moral dan material didukung oleh AS. Demikian pula ketika Soeharto dan Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan baru yang berhasil menekan Presiden Soekarno, AS mulai menawarkan berbagai bantuan kepada “pemerintahan baru” itu untuk pemulihan keadaan Indonesia yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Tawaran AS ini disambut dengan tangan terbuka oleh Soeharto dan para pendukungnya.

Dengan melihat peran utama Soeharto dalam penumpasan PKI di Indonesia, hingga diangkat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) sekaligus Menteri/Panglima Angkatan Darat, juga dukungan penuh AS di belakangnya, menunjukkan pada kita bahwa tujuan kampanye anti komunis Soeharto dan kaum orbais adalah pertama, pembantaian ’65 dipakai alat untuk meraih kekuasaan Soeharto. Kedua, konspirasi politik internasional, khususnya AS untuk menggulingkan kekuatan kiri di Indonesia yang anti imperialis. Ketiga, kepentingan AS dan kapitalis Barat untuk merebut sumberdaya alam yang melimpah di Indonesia pasca pembantaian 65.


Catatan Akhir

Dampak dari kepicikan cara berpikir yang ditanamkan ke dalam kesadaran rakyat Indonesia oleh rezim orba begitu mengerikan, sehingga penolakan kaos bergambar palu arit dan hal-hal sepele lainnya menjadi lebih penting ketimbang perjuangan penderitaan yang dihadapi rakyat itu sendiri. Padahal justru partai berlambang pali arit itu lah yang memelopori pengorganisasian kekuatan buruh dan menjadi garda depan melawan Belanda di masa awal perjuangan kemerdekaan.
Ketika Muhammadiyah berdiri pada 1912 untuk menghalau laju gerakan Kristenisasi yang dilakukan oleh kaum penginjil Kristen yang dibawa oleh pihak Belanda, atau NU pada 1926 untuk menjadi anti tesis atas menguatnya semangat purifikasi dan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah, pada tahun yang sama kaum komunis yang dianggap brutal, bejat, dan amoral oleh kaum orbais hari ini, telah mendirikan partai yang modern hanya untuk satu tujuan: Melawan Belanda.
Ini dimungkinkan oleh pemahamannya akan pentingnya politik kelas ketimbang politik identitas.
Apakah kita yang lahir belakangan, yang memulai mengajukan koreksi dan evaluasi cara berpikir kaum orbais yang tak hanya naif, ahistoris (la tarikhiyah), tapi juga brutal tersebut? Bukan. Sekali lagi bukan kita. Apalagi penulis. Tapi Gus Dur sang guru bangsa al alim allamah yang dengan besar hati dan pikiran jernih mengajari bangsa ini untuk bersikap jujur dan adil melihat sejarah bangsanya. Gus Dur telah memulai mengambil prakarsa mengenai pengembalian hak-hak sipil para eks komunis dan keluarga korban pembantaian 1965-1966 dengan mengizinkan para eksil di luar negeri untuk pulang ke tanah air dan secara terbuka meminta maaf terhadap keluarga korban pembantaian 65-66. Beliau juga sangat gigih mempromosikan gagasan pencabutan Tap MPRS No.XXV / MPRS / 1966.[11]

Bangsa ini tak akan sehat sebelum mampu jujur dan melepas beban luka sejarahnya dengan memperjuangkan terwujudnya rekonsiliasi 65 dan mengembalikan hak-hak politik korban dan keluarga korban pembantaian1965-1966. Namun sejak tahun 2006, pemerintahan SBY tidak pernah serius dan abai menjalankan amanat perundang-undangan terkait pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR). Menurut Amiruddin Al Rahab dari Elsam, produk hukum dan UU yang telah diabaikan itu, antara lain Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang mewajibkan pembentukan KKR; UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR; dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.[12] UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengharuskan KKR terbentuk 5 April 2005.[13] Tanpa rekonsiliasi kita akan terus cacat sebagai bangsa.

Maka sudah menjadi tugas pemuda dan generasi selanjutnya untuk mengambil tongkat estafet perjuangan mengatakan yang benar sebagai benar, menyingkap selubung kepalsuan sejarah Orde Baru dan menyudahi kampanye anti komunisme oleh kaum orbais, agar generasi mendatang tak lagi menanggung beban sejarah dan terus memendam dendam. Itu hanya mungkin kalau keadilan ditegakkan, yaitu diputuskan yang salah sebagai bersalah. Negara harus bertanggung jawab dan meminta maaf pada korban dan keluarga korban karena, sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Afifuddin Muhajir (semoga Allah selalu merahmatinya) dalam Halaqah beberapa waktu lalu di Pesantren Nurul Jadid Paiton, “yang dibunuh belum tentu bersalah dan yang membunuh belum tentu benar”.

Berdasarkan laporan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat[14] pada Peristiwa 1965-1966, terdapat sembilan (9) bentuk pelanggaran kemanusiaan yang terjadi, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan dan kerja paksa, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, dan penghilangan paksa.
Sayangnya, hingga saat ini banyak pihak yang masih bertahan di posisi kaum orbais dalam melihat PKI, dan Komunis, bahwa sudah sepantasnya kaum komunis untuk terus diburu dan ditumpas sampai kapanpun juga. Bahkan, ketika partai komunis di negeri ini sudah tidak ada. Kaum orbais masih terus menakut-nakuti generasi muda akan bahaya PKI. Seandainya, sekali lagi seandainya, para demagog Orde Baru mau sedikit jujur dan berlaku adil sejak di hati dan pikirannya, maka mereka akan mengatakan: “membunuh dengan alasan yang tak pernah jelas, tidak pernah dibenarkan oleh agama apapun juga, khususnya Islam”. Lebih-lebih, Islam menganjurkan keadilan (al-adalah)[15]karena kata Allah dalam al-Qur’an, keadilan mendekati taqwa dan Islam melarang berlaku sewenang-wenang kepada siapapun dan apapun juga. Namun mengapa kaum orbais justru terus mengajarkan dendam? Semoga Tuhan berkenan membukakan pintu hatinya.

Namun yang jelas bagi pemuda, sebagaimana pesan Soekarno dalam pidato Tahun vivere pericoloso, mestilah menjadi garda depan perubahan dengan mengambil jalan vivere pericoloso, yaitu hidup menyerempet marabahaya. Karena ingat! musim semi akan tiba, hanya jika kita menjemputnya! Wallahu a’lam bi al shawab

***

Versi awal tulisan ini pernah disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam acara nonton bareng film “Senyap”, 11 Maret 2015 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Artikel ini sebelumnya telah di muat di media Islam Bergerak. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

————-
[1]Sampai saat ini pihak militer secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan di tingkat kabupaten-kabupaten untuk menggalang dukungan kampanye anti-Komunisme. Mengulangi tuduhan-tuduhan lama sebagaimana semboyan yang dikeluarkan oleh Dinas Militer Kodam VH/Diponegoro “Fitnah Lebih Kejam dari pembunuhan Dan akan lebih kejam lagi bila fitnah diiringi dengan pembunuhan. Namun itulah yang dilakukan oleh PKI terhadap bangsa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya guna mempertahankan dan memperjuangkan tegaknya Negara Proklamasi 17 Agustus l945”.
[2]Secara spesifik penulis telah menanggapi pandangan-pandangan Taufiq Ismail dalam buku tersebut melalui sebuah esai panjang “Memahami Fundamentalisma-Fasisma Taufiq” di tahun 2012 lalu.
[3] Penulis percaya bahwa seandainya cacing lenyap dari muka bumi ini maka akan hancurlah kehidupan di muka bumi. Namun tak pernah bisa percaya, bahkan setitik pun atas  pikiran Taufiq Ismail yang mengatakan bahwa seandainya marxisme lenyap dari muka bumi maka baiklah dunia.
[4]Untuk melihat secara jernih apakah tuduhan PKI sebagai organisasi anti Tuhan perlu kiranya membaca pemikiran tokoh-tokoh utama PKI sejak partai ini didirikan pada 23 Mei 1920. Juga bisa dilacak pada Manuskrip PKI yang ditulis oleh, Busjarie latif – Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920 – 1965), Bandung: Ultimus, 2014.
[5]Tentang persahabatan Amir dengan kawan-kawannya, baik sekali dibaca tulisan sahabatnya dari Partai Masyumi, Dr. Abu Hanifah, “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae (ed.), Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981, hlm. 189‐218. Sebagai nostalgia, Abu Hanifah mengenang Amir ketika sama‐sama di asrama Menteng antara tahun 1928‐1931: “Kalau kebetulan waktu ujian, perdebatan tidak ada, dan masing‐masing terus masuk kamar. Di gedung hanya terdengar mahasiswa‐mahasiswa yang masih main billiard atau bridge. Kira‐kira pukul 12 malam, mulai kembali bunyi‐bunyian. Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu  serenata yang sentimentil. Ini tanda bagi saya buat membalas. Sayapun mengambil biola dan membunyikan lagu‐lagu yang sama. Terdengarlah teriak dari kamar Yamin, bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk bekerja. Ia sedang menterjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga. Malahan Amir Sjarifudin bertambah asyik menggesek biolanya, sehingga Yamin berteriak‐teriak, dan kami bersama ketawa terbahak‐bahak”.hlm. 193.
[6]Untuk mengetahui lebih lanjut, kiprah, sumbangsih Soemarsono dalam masa genting mempertahankan kemerdakaan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan, lih. Harsutejo, Soemarsono, Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 Yang Dilupakan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.
[7] Karl Marx, Capital, London: J. M. dent and Sons Ltd, 1957, hlm. 846.
[8]Selama pembantain peristiwa1965-1966, para sejarawan memperkirakan setidaknya 500.000 sampai 1 juta nyawa rakyat Indonesia telah terbunuh. Sementara Jenderal Sarwo Edie, komandan RPKAD mengaku korban peristiwa 65 mencapai 3 juta nyawa. Tentang berbagai versi jumlah korban peristiwa pembantaian tersebut, lihat Robert Cribb, “Introduction: in the Historiography of the Killings in Indonesia” dalam Robert Cribb (ed.), The Indonesian Killings 1965 – 1966: Studies from Java and Bali, Melbourne: Centre for Southest Asian Studies, Monash University, 1990, hlm. 12.
[9]Hampir semua pelaku kekerasan atau saksi di akar rumput yang pernah penulis temui tak tahu menahu perihal siapa penggali lubang kubur di kebun atau ladang tebu sesungguhnya. Mereka hanya diberi informasi oleh petugas militer di lapangan yang datang ke tokoh-tokoh agama dan tokoh politik lokal dengan membawa daftar nama tokoh yang hendak dibunuh PKI. Mengenai hal inibisa juga dibaca “tentara, Santri dan Tragedi Kediri” dalam, Pengakuan Algojo 1965, Jakarta: Tempo Publishing, hlm. 10 – 19. Juga lih. Yusuf Hasyim, Killing Komunists, dalam John H Mc Clynn at. al. (ed), Indonesia in The Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, untuk melihat lebih jernih bagaimana sikap politik kaum sarungan menyikapi peristiwa 65.
[10]Supersemar yang kemudian diartikan sebagai transfer of authority dari Presiden Soekarno kepada Soeharto dan diimbangi oleh berbagai tindakan politis Soeharto yang dianggap berpihak pada keinginan rakyat banyak, membuat Soeharto berhasil diangkat sebagai Pejabat Presiden RI pada tanggal 12 Maret 1967 melalui Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. pada tanggal 27 Maret 1968, Jenderal Soeharto dilantik secara resmi sebagai Presiden RI kedua melalui Tap MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968.
[11] Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Jakarta: ELSAM, 2004, hlm. 7.
[12] Kompas, Kamis, 12 Oktober 2006.
[13]Lih. Budiman Tanuredjo, Menanti Respons Istana Soal KKR, Kompas, Kamis 16 Februari 2006. Secara khusus penulis sendiri menulis, “Jalan Terjal Menuju Rekonsiliasi” Makalah diskusi untuk memperingati 48 tahun peristiwa 65 yang mencoba merekam perjalanan rekonsiliasi dan mengenai betapa susahnya membangun jalan Rekonsiliasi 65 di Indonesia. Pihak-pihak yang terlibat, khususnya pelaku dari pihak TNI, selalu menghalang-halangi jalannya proses rekonsiliasi dan pemulihan kehormatan, rehabilitasi, dan pengembalian hak-hak politik korban dan keluarga korban 65.
[14]Mengenai pelanggaran HAM Berat, Lih. Pasal1 ayat (2) UU 26/2000. Pelanggaran HAM Berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara dalam Pasal 9 UU 26/2000, secara spesifik dan terinci yang dimaksud dengan pelanggaran HAM Berat adalah: salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara  sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai halyang dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.
[15]Konsep keadilan dalam perspektif Alquran dapat dilihat pada penggunaan lafadz adil dalam berbagai bentuk dan perubahannya. Muhammad Fuad Abdul Baqiy dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz, mengemukakan bahwa Lafadz adil dalam Alquran disebutkan sebanyak 28 kali yang terdapat pada 28 ayat dalam 11 surah. Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Alquran, Indonesia: Maktabah Dakhlan, 1939, hlm. 569-570. Lafadz al-‘adlu sendiri merupakan sebuah konsep yang mengandung beberapa makna, di antaranya, oleh al-Baidhawi yang dikutip oleh Abd. Muin Salim menyatakan bahwa al-Adl bermakna al-inshaf wa al-sawiyyat artinya: berada di pertengahan.

Senin, 11 Mei 2015

Untuk Mengubah Semua Hal Kita Perlu Semua Orang


SEKITAR 300-an orang hadir pada deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), 22 Juli 1996. Sebuah partai kiri pertama dalam sejarah Indonesia Orde Baru, berdiri hadap-hadapan dengan salah satu rezim diktator paling represif di abad 20. Tak lama setelahnya, para pimpinan PRD ditangkap. Pesan partai pada waktu itu heroik: tetap berada di tengah-tengah rakyat; tetap percaya pada rakyat; tetap berjuang bersama rakyat.

Pramoedya Ananta Toer menyebut peristiwa lahirnya PRD itu sebagai satu yang terpenting di dalam hidupnya.

Kini Pram sudah wafat, PRD sudah mengalami serangkaian perpecahan. Alat-alat politik baru kiri muncul, baik dari hasil perpecahan maupun rekomposisi dan rekonsolidasi. Kematian Pram diketahui dan dikenang banyak orang, tetapi alat-alat politik itu tidak diketahui dan dikenal banyak orang.
Periode pasca reformasi telah mengubah perimbangan kekuatan politik kiri dengan sangat signifikan. Setidaknya pendapat dan posisi kelompok politik kiri tak lagi mewarnai media massa. Tekanan keras, layaknya panci presto menekan rebusan ayam, dalam melakukan respon atas semua peristiwa politik, tak lagi bisa dilakukan hari ini oleh kelompok kiri.

Walau jumlah kelompok politik kiri ini bertambah, kekuatannya belum bertambah; walau kemampuan kritiknya meningkat, kemauan otokritik belum meningkat. Itulah sebabnya kemauan menyatukan kekuatan bersama belum kunjung membaik. Bukan karena upayanya sedikit—walau semakin ke sini memang semakin sulit—tetapi karena refleksi dan kejujuran atas kegagalan upaya-upaya sebelumnya yang langka. Suatu manifestasi problem kebudayaan ketimbang problem politik di kalangan kiri.

Tetapi ini bukan bencana juga, karena “Tetap berada di tengah-tengah rakyat; tetap percaya pada rakyat; tetap berjuang bersama rakyat” akan terus menjadi kompas kita. Dan rakyat itu bukan kita-kita yang ada di organisasi-organisasi politik kiri saja, atau organisasi-organisasi bentukannya. Rakyat bagi perjuangan kita adalah semua elemen yang ditindas dan dieksploitasi, yang sebagian diantaranya sedang membuat perubahan mungkin terjadi. Mereka terlibat politik, protes, aksi, mogok, mencipta, menulis, mengorbankan kepentingan pribadi, membangun berbagai jenis komunitas, sambil tak sedikit juga yang menari, menyanyi, menghibur dan membuat kita tertawa.

Boleh kita berbesar hati, karena gerakan untuk perubahan itu tidak berhenti.
Di tengah kesinisan, gerakan buruh terus maju menuntut kenaikan upah pada tahun 2012 dan 2013, melakukan peringatan Mayday yang tetap heroik, meluaskan pengetahuan pekerja lainnya tentang masalah-masalah perburuhan. Di tengah kesunyian dari hiruk pikuk kota, warga kampung melawan perampasan sumber daya alam, meluaskan pengetahuan kita tentang persoalan agraria. Di tengah hiruk pikuk selebrasi elit-elit dan oligarki, gerakan melawan pelemahan KPK dan melawan hukuman mati tumbuh. Di tengah komodifikasi tubuh dan represi moral, kelompok-kelompok perempuan, bahkan mahasiswa, maju melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Di tengah stigma separatis, berbagai tuntutan perbesaran ruang demokrasi dan penyelesaian damai Papua tak berhenti disuarakan.

Bila rencana pembentukan partai-partai buruh terwujud, sebagai ekstraksi politik perjuangan buruh untuk kesejahteraan, maka gerakan buruh telah berhasil melahirkan instrumen politik kelas yang penting. Itulah salah satu perwujudan alat politik yang rakyat butuhkan, karena partai-partai politik selama ini hanya lahir dari satu-dua sumber oligarki politik yang sama. Bila kelompok-kelompok perlawanan untuk hak agraria juga sanggup melakukannya, maka bertambah lagi kekuatan politik rakyat.

Artinya, pertama, alat politik dibutuhkan karena perubahan politik tidak terjadi secara spontan. Kedua alat politik (kelas) itu tidak (bisa) tunggal, ia dapat (bahkan harus) lahir sebagai ekstraksi politik berbagai ekspresi kelas-kelas tertindas. Hal yang sama berlaku bagi alat politik atau partai politik kiri yang dalam beberapa tradisi dibentuk sebagai partai kader, partai/kelompok propaganda, dan partai massa.

Namun, partai itu sendiri bukanlah tujuan, ia adalah instrumen politik yang dibutuhkan untuk memperluas syarat-syarat politik, kebudayaan, sosial dan ekonomi bagi terkonsolidasinya kekuasaan rakyat. Ia hanya bisa dibangun secara efektif, dan mendapat dukungan secara luas, jika sanggup menjadi outlet ekspresi, tuntutan, harapan, dan partisipasi elemen-elemen rakyat yang bergerak untuk perubahan. Partai adalah fasilitator agar ‘kemenangan kelas pekerja (bukan intelektual partai/organisasi) haruslah merupakan karya mereka sendiri’.

Pilihan membangun alat politik kiri yang memfasilitasi keragaman semacam ini bukannya tanpa kontroversi. Hingga detik inipun debat pedas bagaimana “cara terbaik” membangun partai kiri dan atau partai revolusioner (yang homogen atau yang plural) terus berlangsung di kalangan kiri di berbagai negeri dan situasi. Siapa yang bisa mengklaim kebenaran, karena pada akhirnya membangun itu sendiri adalah kata kerja aktif, yang sederhana konsekuensinya: diuji lewat eksperimentasi, dinilai dari keberhasilannya mendapat dukungan publik menumbangkan kuasa kapital. Ujian ini penting, agar tak tertukar antara keinginan dan kenyataan yang menjadi sumber kefrustasian dan voluntarisme jangka panjang.

Jika memahami keragaman ini sebagai kekuatan, maka tak cukup memulai penyatuan bersyarat kesamaan pemahaman atas program. Apalagi seringkali berujung perdebatan lusinan program tanpa sanggup membuat kemajuan pergerakan. Kita mesti belajar membangun penyatuan bersyarat keragaman dan praksis: aksi-advokasi bersama, konferensi-konferensi, ajang-ajang diskusi dan pendidikan, pengorganisiran event-event kebudayaan, pengorganisasian bersama di lingkungan sekitar dan tempat kerja, dan seterusnya. Media sosial adalah salah satu tools yang bisa menjangkau dan melibatkan orang dan jaringan yang semakin beragam itu. Masih banyak cara lain, yang apapun itu semestinya bertujuan menyatukan, bukan memecah, daya perjuangan rakyat. 

Bila kita memahami titik berangkat ini, maka makna slogan People’s Climate March: untuk mengubah semua hal kita perlu semua orang, dapat kita mengerti. Di tengah krisis peradaban kapitalisme dan daya dukung alam, bagaimana mungkin kita temukan harapan jika tidak dari hasil kerja perjuangan banyak orang, kalau tidak semua orang, untuk menyelamatkan satu-satunya bumi tempat kita hidup ini? ***

Pertambangan Tak Punya Masa Depan

[Surat dari Halmahera Timur]

ISTILAH pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita adalah mitos. Mitos yang diciptakan untuk memuluskan jalan bagi korporat-korporat nasional dan multinasional untuk melipatgandakan kapitalnya yang sudah demikian besar. Sebagai warga Halmahera Timur, berdasar amatan kami pertumbuhan ekonomi daerah tidak lebih dari cerita perampasan dan perusakan ruang hidup masyarakat.

Sejak otonomi daerah dibikin, Investasi pertambangan dibuka lebar-lebar. Kebun, hutan, gunung, tanjung, dan pulau-pulau kecil – sebagian berstatus Hutan Lindung, dijual murah kepada perusahaan tambang. Pembukaan lahan dimungkinkan berkat Surat Keputusan tentang harga tanah dan tanaman yang diterbitkan Bupati Halmahera Timur, Rudi Erawan. Surat Keputusan ini membuat penjualan lahan jadi bisnis yang menggiurkan. Akibatnya, warga kampung berduyun-duyun menghakmilikkan hutan-hutan adat. Sengketa lahan pun tidak terhindarkan. Di Buli Asal, Maba, Halmahera Timur, sengketa penentuan tapal batas kampung menjadi soal serius. Saling klaim kepemilikan kaveling lahan menjadi pemicu banyak konflik antar kelompok masyarakat. Di Halmahera Timur tak jarang ditemukan saudara sekandung sampai terlibat baku pukul.

Institusi pendidikan berperan melanggengkan bencana sosial dan ekologis di Halmahera Timur. Perusahaan-perusahaan tambang, seperti PT Aneka Tambang, acap kali menerima kunjungan studi para pelajar terbaik daerah. 
Tujuannya untuk meninjau lokasi pabrik pengolahan nikel. Para pelajar diperlihatkan proses produksi secara teknis. Persoalannya, perusahaan tidak memberikan informasi mengenai dampak ekologis maupun sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas mereka. Melalui institusi pendidikan yang berpihak pada perusahaan, tanpa sadar, perubahan pola kepemilikan lahan dan institusi pendidikan yang menopangnya mengubah alam berpikir masyarakat setempat. Semula masyarakat mengelola dan membagi lahan secara kekerabatan. Pertanian dan perikanan yang jadi kehidupan produktif masyarakat perlahan hilang. Masyarakat lebih memilih menjual lahannya pada perusahaan tambang, tanpa sadar mereka ikut diubah jadi buruh tak berlahan. Masyarakat menjadi pemuja tambang.

Warga Maba dan Maba Pura perlahan mulai meninggalkan bagam (perahu nelayan), beserta semua pengetahuan dan kebudayaan nelayan. Banyak warga yang beralih dari nelayan menjadi pekerja tambang mendapati diri dengan status ketenagakerjaan yang tidak jelas. Perusahaan membatasi para pekerja untuk berserikat. Gerak-gerik para pekerja diawasi. Belum lagi soal waktu kerja yang sering melebihi ketetapan. Cukup tujuh belas tahun saja, seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat diporak-porandakan oleh perusahaan-perusahaan tambang tersebut.

Sebelum ada operasi perusahaan tambang, para penduduk di kecamatan Maba tidak membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pohon sagu dan padi yang ditanam cukup memenuhi kebutuhan pangan warga. Sagu raja (sagu adat) yang tumbuh subur di kampung Maba ditanam dan disalurkan secara komunal. Saudara kami dari kampung yang agak jauh juga boleh ikut rembuk mengelola dan memanfaatkan tanaman-tanaman pangan tersebut. Kekayaan tidak hanya ada di darat. Di laut, beragam kebutuhan pangan bisa terpenuhi. Air laut yang jernih di sekitar pulau Gee dapat diolah menjadi garam. Kekayaan ikan di perairan Halmahera Timur terbilang melimpah. Daerah Topa, Sen, dan pulau Gifou adalah ruang yang menyimpan begitu banyak ikan tuna. Cukup membentangkan jala dan melempar kail dari tepi pantai, berbagai jenis ikan untuk dikonsumsi dengan mudah diperoleh.

Sementara kebutuhan harian lainnya dapat dipetik dari kebun sendiri. Untuk mendapatkan uang, masyarakat tani menanam kopra, pala, dan kakao. Uang yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Dalam hubungan produksi sebelum hak milik pribadi diperkenalkan, solidaritas antar masyarakat terbina dengan baik. Masyarakat tak perlu mengkhawatirkan ketersediaan uang untuk memenuhi macam-macam kebutuhan. Kerabat dan lingkungan sosial membentuk jaring pengaman sosialnya sendiri. Uang tidak terlalu banyak dikeluarkan untuk kebutuhan pangan. Setiap pagi hari, perahu-perahu nelayan dari kampung Maba dan Maba Pura berlabuh ke tepi pantai. Untuk mendapatkan ikan, warga tidak perlu membayar mahal. Begitulah gambaran kehidupan kami sebelum perusahaan-perusahaan tambang merusak keharmonisan kekerabatan masyarakat perkampungan yang bersahaja. Hubungan masyarakat sosial lekat dengan alam, berbaur sepenuhnya dengan daratan dan lautan.

Sebagian besar daratan Halmahera sudah disertakan jadi area pengusahaan-perusahaan tambang. Akibatnya, sebagian penduduk Halmahera, khususnya Halmahera Timur, bisa dikatakan telah kehilangan ruang hidupnya. Meski tanpa lahan banyak penduduk yang tetap bisa bertahan hidup, tetapi hidup itu sendiri untuk bisa benar-benar tegak, ia membutuhkan ruang hidup.

Di tengah fakta kerusakan lingkungan yang diciptakan, perusahaan tambang masih saja mengulang-ngulang janji mengupayakan perbaikan lingkungan dan kesejahteraan. Sampai saat ini perusahaan belum serius memenuhi janjinya. Upaya yang dilakukan perusahaan diantaranya dengan menanami lahan bekas tambang dengan pepohonan, Seperti yang berkali-kali dilakukan oleh PT. Antam di pulau Gee dan tanjung Buli. Namun perbaikan lingkungan hanya bersifat tambal sulam saja. Pasalnya manakala lahan kembali dibutuhkan perusahaan, pohon-pohon yang sudah ditanam kembali ditebang.

Menghadapi kenyataan-kenyataan tidak baik tersebut bagaimana masyarakat dapat menerima pembangunan pabrik pengolahan feronikel yang mengancam keselamatan mereka sendiri? Aktivitas PT. Antam akan semakin gencar dengan pembangunan anak perusahaan untuk mengelola pabrik pengolahan dengan ukuran yang lebih kecil.

PT. Antam disinyalir membayar sekelompok akademisi untuk menyusun Amdal. Penyusunan Amdal bersifat tertutup. Warga sekedar dimintai mengisi kuisioner dengan pertanyaan-pertanyaan menjebak. Warga dipaksa menyetujui aktivitas pabrik. Ilmu pengetahuan semata-mata digunakan untuk kepentingan perusahaan. Aspirasi masyarakat setempat diabaikan.

Ruang hidup yang direbut dan dihancurkan tentu tak bisa sekedar ditukar dengan uang. Program Corporate Social Responsibility (CSR) tidak dapat mengembalikan kearifan lokal yang sudah terlanjut dihancurkan. Belum lagi pemanfaatan CSR sebagai ladang bisnis bagi beberapa oknum pegawai PT. Antam. Ini bukan cerita yang bikin kita kaget. Seperti tuturan kelompok usaha di Kampung Pekaulang. Saat ini kebudayaan sekedar jadi pertunjukan seremonial.

Tentu saja ratapan semata tak dapat memperbaiki keadaan. Tetapi kami percaya, bahwa ikatan batin antara kami dan kepulauan Halmehara tidak lekang oleh waktu. Di tahun 2015 ini, ketika ruang hidup kami sudah dilukis dengan kanfas modern, masih ada orang tua dan saudara-saudara kami yang ruang batinnya terisi oleh kebudayaan lampau. Saudara-saudara kami di kampung Lolobata, mendatangi gunung Wato-wato, mengadakan ritual adat. 

Do’a tolak bala dipanjatkan, supaya alam tak lagi dirusak aktivitas produksi pertambangan. Sedangkan beberapa orang anak muda di kampung Maba Pura, mendapatkan kebebasan tatkala semua beban hidup mereka lepaskan dikeheningan Wagemna, kemudian mereka berkata “ketika hati hidup dan nafas terjaga”.

Rabu, 06 Mei 2015

#TrenSosial: 'Presiden termiskin' Jose Mujica jawab pertanyaan dari Indonesia

6 Mei 2015

Jose Mujica tetap tinggal di rumah sederhananya dan bukan di istana presiden saat menjabat. 

Mantan Presiden Uruguay Jose "Pepe" Mujica yang menjadi simbol hidup sederhana menjawab pertanyaan dari Indonesia dalam wawancara khusus yang dilakukan BBC di peternakannya.

Brian Sumadi melalui Facebook BBC Indonesia menanyakan, "Kenapa bapak harus memakai mobil yang sudah tua, padahal di kebanyakan negara lain para presiden berlomba lomba memakai mobil bermerek canggih hingga ada yang anti bom?"

Pepe, yang dikenal sebagai 'presiden termiskin di dunia', menjawab bahwa ia dapat pergi ke mana saja tanpa perlindungan ketat karena dilindungi rakyat saat menjabat sebagai presiden.

Mujica, mantan gerilyawan sayap kiri yang merampungkan masa jabatannya akhir Februari lalu, tetap tinggal di rumahnya yang sederhana dan tidak tinggal di istana presiden selama menjabat.

Dia mengatakan, "Saya tidak khawatir tentang itu (keamanan saya) karena saya dilindungi oleh rakyat saya."
Mujica menjawab pertanyaan dari seluruh dunia dalam wawancara yang dilakukan BBC Mundo (BBC berbahasa Spanyol) akhir April lalu.

Tak ada jarak   

Jose Mujica yang biasa dipanggil Pepe dikenal dekat dengan rakyat.




"Saya bisa berjalan bebas di jalan-jalan dan mendapat dukungan banyak orang. Tetapi tentu saja, saya tidak mendapat dukungan dari setiap orang."

"Presiden bisa pergi ke bar dan beli minuman atau kopi dan warga negara seperti yang lainnya juga. Tidak ada yang lebih dari lainnya," kata Mujica menjawab pertanyaan Brian Sumadi, salah seorang pembaca BBC Indonesia.

"Bagi kami, tidak ada jarak antara politisi dan rakyat. Dan inilah tradisi, bukan sesuatu yang saya terapkan. Saya tahu ada presiden lain yang mengemudi mobilnya sendiri," tambahnya.

"Saya ingin mempertahankan gaya republikan di masyarakat Uruguay karena saya merasa cara ini adalah yang terbaik."

Soal korupsi?

Salah satu yang paling banyak ditanyakan oleh para pembaca BBC adalah soal korupsi.

Mujica tetap menggunakan mobil VW tuanya 

"Apakah seseorang pernah mencoba menyogok Anda? Apa Anda pernah membantu teman mendapat pekerjaan (dengan menggunakan kekuasaan Anda)?" begitu bunyi salah satu pertanyaan.

Pepe menjawab bahwa dia pernah membantu orang mendapat pekerjaan, tetapi atas alasan kemanusiaan.

Ada dua orang yang dia bantu mendapat pekerjaan. Pertama, seorang pria berusia 74 tahun, teman Pepe yang kini telah meninggal. Seorang lainnya ialah teman yang menyandang difabel mental.

"Itu selama saya mengabdi kepada publik, sekitar 20 tahun. Selain dari itu, saya membantu siapa saja."

"Saya selalu mengatakan kepada para pengusaha: 'Jika kalian mendengar ada pejabat yang meminta suap tetapi tidak melapor pada saya, hubungan kita akan berakhir."

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150505_trensosial_mujica?ocid=socialflow_facebook%3FSThisFB

Minggu, 03 Mei 2015

Pendidikan, Pengangguran dan ‘Sekolah Kuno’


 [ Barra ]

"Sekolah jangan dijadikan sebagai institusi pemeringkat tinggi-rendahnya kapasitas pengetahuan. Sistem seleksi dalam dunia pendidikan adalah keliru, bagaimana mungkin berkeinginan semua rakyat berpengetahuan tapi mempraktikkan proses seleksi yang, sekali lagi, semangatnya adalah persaingan ala kapitalistik, bukan semangat kerjasama."

Praktik kapitalisme dalam dunia pendidikan terus menggerus daya beli masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi negeri. Secara fakta, kampus negeri kini menjadi swasta. Korban terbaru dari Kapitalisme pendidikan adalah UNPAD (Bandung), UNDIP (Semarang), UNHAS (Makassar), ITS (Surabaya). Kampus negeri yang dikenal ‘murah’ menjadi mahal sejak ditetapkan statusnya menjadi PTN BH dimana pembiayaan dibebankan pada masyarakat alias peserta didik juga orang tua mahasiswa. Termasuk membolehkan adanya investasi swasta (asing maupun lokal), dengan payung hukum UU PT dan UU Sisdiknas. Praktiknya, diatur dalam PP.

Pasukan Pengangguran Indonesia

Secara rata-rata, ada 7,24 juta pengangguran di Indonesia. Mayoritas didominasi oleh penduduk usia produktif. Dan sangat mengherankan, usia produktif di Indonesia adalah 18-64 tahun. Hingga tua renta masih belum terbebas dari beban pekerjaan yang harusnya bisa menikmati hari tua.

Mengenai klasifikasi pengangguran juga ada masalah. Biasanya, pemerintah (melalui BPS) dalam menentukan klasifikasi mengambil kriteria yang paling minimum. Misal, bagi penduduk yang bekerja musiman, ketika tidak mendapat pekerjaan dalam beberapa kurun waktu dianggap sebagai bukan pengangguran. Itu yang jadi persoalan, belum lagi mengenai berapa pendapatan penduduk? Karena jika hanya bekerja, sales juga bekerja meski tak tentu pendapatan, atau coba kita tanya berapa upah kuli bangunan per hari?
Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang.
Ada dua dasar utama dalam mendefisinikankan pengangguran, yaitu pendekatan angkatan kerja dan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja. Pertama: pendekatan Angkatan Kerja (Labour Force Approach), yaitu penganggur adalah angkatan kerja yang tidak bekerja. Kedua: pendekatan Pemanfaatan Tenaga Kerja (Labour Utilization Approach), yaitu Angkatan kerja dibedakan menjadi tiga kelompok: 1. Menganggur, yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. 2. Setengah Menganggur, yaitu mereka yang bekerja, tetapi belum dimanfaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam. 3. Bekerja Penuh, yaitu mereka yang bekerja penuh atau jam kerjanya dalam seminggu mencapai 35 jam (wikipedia).

Nah, dari definisi di atas itulah, seringkali pemerintah, melalui BPS, memasukkan juga poin 2 dalam kriteria bukan pengangguran. Ataupun, kejanggalan lain dalam pendataan bisa diamati secara logis semisal pada akhir 2014 perekonomian Indonesia menurun, namun angka pengangguran justru menurun, padahal penyediaan lapangan kerja sedang stagnan.
Sistem Yang Mengikuti Kebutuhan Investasi
…minat siswa lulusan SMA atau sederajat secara logis ditentukan oleh prospek program studi (prodi). Prospek prodi ditentukan oleh serapan industri. Industri ditentukan oleh investasi-modal.
Senada dengan Freire yang berpendapat bahwa pendidikan makin jauh dari realita, Ivan Illich berbicara dalam wilayah praktikal dimana sekolah telah memonopoli ketrampilan/peran sosial yang seharusnya tidak dilakukannya. Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang. Fenomena inilah yang kemudian menjadi dasar pijakan bagi Illich untuk menyatakan bahwa sekolah telah melakukan praktek-prektek pendidikan yang diskriminatif, lepas dari kepentingan sosial.

Di kampus-kampus Indonesia, secara umum, prodi dan jurusan yang paling laku ada 3 macam yaitu: manajemen, akuntansi dan teknik informatika. Data tersebut diambil secara jeneral artinya, bagi beberapa kampus yang memiliki spesifikasi.
"…memaksa murid-muridnya untuk mengasimilasi sejumlah besar pengetahuan yang tidak berguna, usang dan tidak bisa dikembangkan…"
Toh, di IPB yang paling laku salah satunya adalah teknik industri pertanian. Tentu, perkembangan minat siswa lulusan SMA atau sederajat secara logis ditentukan oleh prospek program studi (sejauh mana prodi memberi keuntungan bagi pekerjaan). Prospek ditentukan oleh serapan industri. Di situlah (dalam industri) investasi modal yang menentukan. Penjelasannya sederhana, jika tidak ada investasi besar di sektor tertentu maka di situ tak akan ada aktifitas produksi barang untuk keuntungan yang membutuhkan tenaga kerja.

Benar, kebutuhan tenaga kerja dan pekerjaannya selalu didasari pada keadaan dimanakah investasi dioperasikan. Lenin menyebutnya ‘sekolah-sekolah kuno’. Sebagai identifikasi bagi sistem pembelajaran yang lepas dari kebutuhan keadilan sosial; sebagai identifikasi bagi mereka yang ‘… memaksa murid-muridnya untuk mengasimilasi sejumlah besar pengetahuan yang tidak berguna, usang dan tidak bisa dikembangkan…

Dalam Kapitalisme, Pendidikan Yang Membebaskan Adalah Mitos

Pendidikan semacam itu (pendidikan membebaskan) tidak akan pernah didapatkan dalam dunia pendidikan formal sekarang ini. Seperti yang diungkapkan Freire bahwa, tidak ada dialektika antara pengajar, peserta didik dan realitas dunia.

Lalu, dimanakah mahasiswa bisa menyentuh realitas dunia? Nah, di sinilah realitas dunia seharusnya dapat dipelajari, dalam organisasi kerakyatan. Pelajaran yang tidak akan pernah didapatkan dalam pendidikan formal (borjuis) harus bisa didapatkan dari organisasi mahasiswa yang memiliki komitmen kerakyatan, termasuk PEMBEBASAN.

Itupun menyisakan pekerjaan rumah yang menumpuk terkait fakta tingkat kesuksesan organisasi melibatkan mahasiswa dalam perjuangan kelas. Bayangkan, jika saja tiap tahun, satu universitas me-wisuda 1000 peserta didiknya, dari 1000 peserta didik tersebut, ada berapa orang yang masuk dalam organisasi revolusioner (aktif mengorganisir revolusi)? Sangat sedikit. 

Artinya, borjuasi telah sukses meloloskan cikal-bakal borjuisnya, sedangkan, sudah berapa gelintir mahasiswa revolusioner yang sukses kita jaring dari 1000 lulusan borjuasi tersebut? Suatu saat, perhitungan statistika tersebut menarik untuk dibuat oleh kita. Makna dari perbandingan statistika tersebut berarti bahwa, masih sangat sedikit mahasiswa yang belajar di organisasi (revolusioner), yang mengenal realitas dunia, yang mampu keluar dari hegemoni (dominasi ide) kapitalisme.***

http://pembebasan.org/936.html