Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 28 Maret 2016

Tan Malaka

Oleh: Sunardian Wirodono

TAN | “Ketika saya berdiri di depan Tuhan, saya adalah seorang muslim. Tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang, saya bukan seorang muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia,…” Tan Malaka menyengat dalam kongres Komunis Internasional ke-4 (12 November 1922) ketika berbicara soal “Komunisme dan Pan-Islamisme”.

Sebuah pidato yang terdengar sama-sama sumbang di telinga para anggota organisasi komunis dunia sekaligus kalangan muslim. Karena pidato itu, ia dipecat dari Komunisme Internasional, dan dibenci kalangan muslim.
Waktu itu, komunisme merupakan salah satu kekuatan utama dunia. Posisinya saat itu memang anti-agama, meski diposisikan di atas diktum ‘agama sebagai candu’ sebagaimana ujar Karl Marx. Marx waktu itu kesal pada otoritas gereja yang dianggap tak berpihak pada perjuangan kaum tertindas jamannya.

Sementara Islam dalam ajaran Kanjeng Nabi, seperti tertuang dalam tesis Ali Syariati, justru adalah kekuatan bagi kaum tertindas (musthad’afin). Pada sisi ini, Tan tampak sama dan sebangun dengan Syariati. Apalagi lingkungan keluarganya yang ketat. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat.
Ibu-Bapak saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah, dan jalankan sabda Nabi,…” tulis Tan dalam ‘Islam dalam Tinjauan Madilog’ (1948).

Tan mungkin founding father yang kerap ditempatkan bukan di mana ia memilih berpijak. Tan lebih banyak berada dalam stigma, cap dengan logika bahlul bahwa ia kiri, komunis, PKI, dan parallel dengan ateis. Padahal ia muslim yang patuh dan sejak kecil hafal Alquran.

Sejarah Indonesia, sering hanya diwarnai dua hal, stigma dan mitos, dua hal yang sesungguhnya tak sepantasnya jadi rujukan. Tan memilih untuk bersikap jujur terhadap Islam. Ia tentu seorang komunis, namun tak anti-Islam. Bahkan Tan menaruh harapan pada Pan-Islamisme di belakang gerbong Sarekat Islam. Cita-cita Republik Indonesia, mempertemukan komunisme dan Islam dalam satu barisan beda warna. Apalagi sebagai sesama tertindas.

“Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis,” kata Tan sebagaimana pernah dituangkan dalam Naar de Republiek (1922). Menceraikan keduanya, bukanlah lantaran jalan berbeda masing-masing, melainkan karena propaganda politik semata.

 Dulu mungkin politik Belanda. Sekarang, siapa yang memakai FPI untuk membenturkan dengan pahlawan nasional Tan Malaka ini? Biasanya yang punya kepentingan politik. Kita tahu, politik selalu kesulitan bersikap jujur pada sejarah. Sejarah kita hanyalah sejarah rejim demi rejim, bukan sejarah dialektika Indonesia.

Makanya komunisme masih sering jadi dagangan, bagi yang hobi membenturkan akar rumput. Cara-cara bodoh ini hanya dipakai mereka yang bodoh, dan diikuti oleh yang lebih bodoh lagi. Itu cuma soal duit. Nggak ada kaitannya dengan ideologi. Juga bagi yang suka bikin proposal.

https://www.facebook.com/sunardian/posts/10209018066639946

Pengacara, LBH, dan Gerakan Sosial


PROFESI mulia dan terhormat (officium nobile), seringkali dilekatkan kepada pengacara atau advokat. Posisinya disejajarkan dengan hakim dan jaksa yang dilindungi oleh undang-undang dalam menjalankan tugasnya. Tentunya pada praktiknya hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Masyarakat bahkan seringkali menilai profesi pengacara dari segi penghasilan dan gaya hidup saja. Banyak juga yang tidak menyukai karena profesi pengacara identik dengan masalah, licik, pintar memutarbalikkan fakta, dan lebih mementingkan kemenangan daripada kebenaran. Profesi pengacara seringkali masuk dalam deretan profesi yang paling dibenci oleh masyarakat.

Dalam gerakan sosial, pengacara seringkali dianggap sebagai figur yang konservatif atau kontra revolusioner. Soekarno bahkan mengutip kalimat seorang aktivis buruh Jerman yang mengkritik bahwa kita tidak bisa revolusi dengan para yuris atau ahli hukum (Met juristen kan men geen revolutie maken!). Pengacara dituntut untuk menaati dan mengawal penegakan hukum, sementara gerakan sosial seringkali justru melanggar hukum positif. Hanya sedikit pengacara yang merasa bertanggungjawab terhadap perubahan sosial dan secara umum pengacara dianggap tidak berpengaruh banyak dalam gerakan sosial.[1]

Jika kita telaah, tentunya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Sejarah mencatat bahwa pengacara tidak hanya berfungsi sebagai alat dalam revolusi, tapi juga sebagai kreator dari revolusi tersebut.[2]
 Ibarat massa aksi adalah sebagai mesin perubahan sosial, pengacara adalah minyaknya. Bachmann menyatakan bahwa pengacara tidak hanya kendaraan utama dalam perubahan sosial, mereka juga memiliki peran dalam pengorganisasian berbagai kelompok dan membuat legitimasi dalam berbagai perjuangan.[3]

Tentu saja yang dimaksud dengan revolusi yang didukung atau dilakukan oleh pengacara tersebut memiliki makna beragam. Sebagai contoh, peran pengacara dianggap sangat signifikan dalam Revolusi Amerika (1776). Dari 56 penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, 25 orang merupakan pengacara. Thomas Paine dalam pamfletnya yang dianggap revolusioner mengatakan bahwa hukum adalah raja (The Law is King). Pengacara juga berperan signifikan dalam Revolusi Inggris (1688) dan Revolusi Perancis (1789) dalam melawan monarki. Dalam perspektif kiri saat ini, peran pengacara tersebut belum tentu dianggap revolusioner karena akhirnya memperkuat negara dan kelompok borjuis yang justru menjadi ancaman baru bagi warga negara.[4]

Kita mengetahui Mahatma Gandhi, tokoh pembebasan India dari Inggris yang merupakan pengacara. Setelah jadi pengacara di Inggris, ia kemudian pindah ke Afrika Selatan dan menjadi pengacara pedagang muslim India di Pretoria. Di Afrika Selatan, Gandhi tidak hanya melakukan pembelaan terhadap para pedagang, melainkan juga melakukan advokasi terhadap undang-undang yang dianggap diskriminatif, seperti undang-undang yang melarang keturunan India untuk memilih. Selepas dari Afrika Selatan, Gandhi kemudian memperjuangkan kemerdekaan India. Langkah Gandhi menjadi inspirasi Martin Luther King, Jr untuk memperjuangkan kesetaraan melalui gerakan hak sipil di Amerika Serikat.

Selain Gandhi, kita mengenal Fidel Castro yang sebelumnya merupakan seorang pengacara. Castro beberapa kali melayangkan gugatan hukum kepada Jendral Batista. Nelson Mandela yang merupakan tokoh pembebasan, juga adalah pengacara sebelumnya.

Tentunya ada banyak tokoh pembebasan lain yang merupakan pengacara. Hal yang terpenting, dalam setiap perjuangan revolusioner selalu ada pengacara revolusioner yang memberikan dukungan. Di Indonesia, Soekarno yang tidak mempercayai pengacara dalam revolusi pun dibantu oleh pengacara Mr. Sartono, Mr. Sastromulyo, Mr. Suyudi, dan Raden Idih Prawiradiputra dalam pembelaan di pengadilan ketika dipidana oleh pemerintah Belanda.[5]
Bagaimanapun pengacara atau orang yang mengerti hukum sangat dibutuhkan dalam gerakan sosial. Hal yang berbeda jika gerakan sosial yang dibangun adalah gerakan sosial tanpa negara atau anarkis, meskipun anarkis tetap mengakui dalam situasi tanpa negarapun, norma sosial tetap diperlukan.

Peter Kropotkin menerima norma sosial dalam relasi antar manusia, misalnya kewajiban untuk memenuhi kontrak yang diterima secara bebas. Selain itu Bakunin berpendapat bahwa negara merupakan kejahatan yang mutlak, sehingga negara harus dihilangkan dan relasi antar individu dan komunitas tidak lagi relasi kekerasan. Norma sosial akan ditegakkan bukan dengan hukum tapi dengan persetujuan bebas komune.[6]
Menurut hemat saya, peran dari orang yang paham hukum ataupun norma sosial tetap diperlukan, bukan sebagai orang yang melakukan pembelaan (pengacara) ataupun menyusun hukum, melainkan sebagai fasilitator yang mendorong agar hukum tidak lahir dari atas ke bawah, tapi atas kesadaran individu yang tergabung dalam komunitas ataupun masyarakat.


Peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam Gerakan Sosial

Peran pengacara dalam memberikan bantuan hukum kepada orang miskin ataupun aktivis politik, sebenarnya telah muncul sebelum dan pasca kemerdekaan. Namun, gerakan bantuan hukum menjadi gerakan sosial dapat dikatakan baru muncul ketika berdirinya LBH di tahun 1970. Dengan dukungan banyak tokoh seperti Jenderal Hoegeng, Adam Malik, Mochtar Lubis, Yap Tian Hien, HJC Princen, Suardi Tasrief, Ali Sadikin, dan berbagai tokoh lainnya, Adnan Buyung Nasution mendirikan LBH yang diperuntukkan guna membela orang miskin, buta hukum dan tertindas. Selain karena pengalaman sebagai jaksa, Buyung terinspirasi karena melihat gedung Societeit de Harmonie (sekarang gedung Sekretariat Negara RI) dengan tulisan Verboden voor Honden en Inlanders, artinya dilarang masuk untuk anjing dan orang pribumi. Hal tersebut menunjukkan ketimpangan sosial antara pribumi dan non pribumi, si miskin dan kaya.[7]

Dalam perkembangannya, LBH kemudian menjadi organisasi yang sangat kritis terhadap pemerintah dan tidak hanya terjebak dalam bantuan hukum konvensional yang sifatnya belas kasihan semata. LBH mengembangkan metode bantuan hukum yang dinamakan bantuan hukum struktural, yaitu bantuan hukum yang diberikan kepada si miskin dan lemah melalui upaya perubahan suatu struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang timpang menuju ke arah struktur yang memberikan peluang bagi pengembangan sumber daya hukum si miskin dan lemah. Jadi bukan merupakan aksi kultural semata melainkan suatu aksi struktural yang diharapkan mengubah tantanan masyarakat yang lebih adil.[8] Dengan konsep bantuan hukum struktural tersebut, LBH telah meneguhkan diri sebagai suatu “gerakan alternatif” dalam bidang bantuan hukum, memiliki paradigma, visi dan orientasi yang berbeda dengan berbagai lembaga bantuan hukum yang ada di Indonesia.[9]

Perlawanan terhadap kebijakan pemerintah serta adanya pendidikan hukum, sosial, dan politik kepada masyarakat kemudian dicurigai oleh pemerintah orde baru sebagai gerakan politik dan mirip dengan Partai Komunis Indonesia. Buyung pernah dipanggil oleh Jenderal Durmawel Achmad, Sekretaris Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib. Bantuan hukum struktural yang juga menganalisis masyarakat berdasarkan kelas dianggap sebagai pemikiran Marxis dan komunis. Buyung membantah dan mengatakan bahwa Marx adalah sosiolog. Membela masyarakat yang paling bawah merupakan cita-cita kemerdekaan Indonesia.[10] Istilah bantuan hukum struktural sebenarnya diberikan oleh Prof Paul Moedikdo ketika mengundang Buyung ke Belanda.
Paul Moedikdo menemukan bahwa LBH telah mempraktikkan teori strukturalisme tanpa memahami konsep teori strukturalisme terlebih dahulu. LBH bahkan telah mempraktikkan teori strukturalisme satu dekade sebelum teori strukturalisme tersebut populer pada tahun 1980an.

Adanya konsep bantuan hukum yang berbeda tentunya juga menjadikan tipologi pengacara LBH menjadi berbeda dengan pengacara biasa. Daniel S Lev mengkategorikan pengacara LBH sebagai advokat aktivis karena juga berjuang dalam perubahan. Berbeda dengan pengacara bisnis atau pengacara litigasi biasa. Di Eropa ataupun Amerika, maka pengacara LBH dapat digolongkan sebagai cause lawyer, public interest lawyer ataupun radical lawyer. Hal ini karena pengacara LBH berbeda dengan elite lawyer karena mereka bersama rakyat melakukan pengorganisasian dan mendorong gerakan sosial.


a. Peran Pengacara

George Lakey berpendapat bahwa terdapat empat peran pengacara dalam perubahan sosial.[11] 
Pertama, peran sebagai advokat (The Advocate Role). Ini adalah peran dalam mengubah kebijakan ataupun praktik, misalnya melakukan gugatan terhadap pemerintah karena kebijakan yang menindas ataupun melakukan lobi kepada pemangku kebijakan. Bill Moyes menganggap ini sebagai peran reformis, namun tetap mengakui bahwa advokat dapat mendorong perubahan yang radikal dalam substansi.

Kedua, peran sebagai Penolong (The Helper Role). Lebih cenderung kepada pelayanan langsung untuk memulihkan keadaan. Misalnya memberikan pelatihan terhadap orang yang mendapatkan diskriminasi dalam mencari pekerjaan. Seseorang yang menyenangi peran ini biasanya akan melawan polusi karbon dengan memasang instalasi tenaga surya untuk rumah. Para pekerja sosial berada dalam peran ini.

Ketiga, peran sebagai pengorganisir (The Organizer Role). Berbeda dengan advokat yang bahagia jika berhasil meyakinkan hakim atas gugatannya. Penolong bahagia melihat kelulusan anak-anak yang berasal dari kelompok rentan. Pengorganisir, di sisi lain, justru bahagia jika berhasil mengumpulkan orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengetahui menjadi satu tim yang solid, atau melipatgandakan kehadiran orang-orang dalam pertemuan serikat. Pengorganisir seringkali percaya bahwa kekuatan jumlah akan membuat perubahan karena pemegang kekuasaan takut dengan kekuatan alternatif.

Keempat, peran sebagai pemberontak atau pembangkang (The Rebel Role). Peran sebagai pembangkang ini lebih memilih membuat berbagai keributan ataupun gangguan untuk memaksa pemegang kekuasaan melakukan perubahan. Lakey mencontohkan Martin Luther King Jr yang menjelaskan bahwa kampanye harus membuat situasi krisis sehingga terjadi perubahan. Gandhi membuat begitu banyak masalah sehingga membuat India tidak lagi diperintah Inggris. Tentunya peran ini membutuhkan keterampilan pengorganisasian untuk meningkatkan gangguan ke titik krisis.

Menariknya, peran LBH melingkupi empat peran di atas; menjadi advokat, penolong, organisatoris, dan juga sebagai pembangkang. Pengacara Publik LBH tidak hanya melakukan gugatan strategis, melakukan lobi, ataupun protes, tapi juga dituntut untuk menjadi pekerja sosial yang terkadang harus mengordinir kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan para pencari keadilan. Selain itu Pengacara Publik LBH juga dituntut untuk memberdayakan dan mengonsolidasikan masyarakat sehingga mampu mandiri dalam mendorong perubahan. Ini sesuai yang dikatakan David Harvey yang mensyaratkan gerakan hak atas kota harus bisa menyatukan tangis dan tuntutan (cry and demand) dari rakyat. Tidak hanya itu, terkadang LBH harus terdepan dalam melakukan pembangkangan. Sebagai contoh ketika terdapat Peraturan Gubernur No 228 Tahun 2015 yang membatasi unjuk rasa, LBH dengan tegas menyerukan akan membangkang dan siap untuk ditangkap.

Menjadi pengacara publik atau pekerja bantuan hukum LBH Jakarta, menurut saya, tidak ubahnya menjadi seorang divergent, yaitu seseorang yang berbeda dari mayoritas. Ada beberapa hal yang membedakan pengacara publik LBH Jakarta dengan pengacara pada umumnya, yaitu:
1) Pengacara Publik LBH Jakarta merupakan aktivis politik yang mendorong perubahan sosial;
2) Pengacara Publik LBH Jakarta memiliki posisi strategis dan tanggung jawab yang lebih berat. YLBHI/LBH bahkan sering disebut sebagai lokomotif demokrasi karena perannya dalam melawan pemerintahan diktator orde baru dan menjadi pelopor meeting of mind karena berbagai pemikiran progresif;
3) Pengacara Publik LBH Jakarta siap untuk hidup sederhana ataupun kekurangan;
4) Pengacara Publik LBH Jakarta ‘haram’ menerima pemberian dari klien.
Dalam kode etik LBH Jakarta, dilarang keras menerima pemberian dari klien; 5)Pengacara Publik LBH Jakarta tidak boleh mentolerir sistem dan aparatur yang korup;
6) Pengacara Publik LBH Jakarta dipaksa untuk menguasai berbagai disiplin ilmu dan keahlian. Ia, misalnya, dituntut untuk menguasai tidak hanya ilmu hukum tapi juga ilmu sosial yang lain, seperti sosiologi, ekonomi, politik, psikologi, hubungan internasional, dll.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dituntut untuk mempelajari ilmu alam jika menangani kasus yang berkaitan dengan alam; kasus lingkungan hidup, kebocoran tabung gas, dll.

Seorang pengacara publik LBH Jakarta dituntut memiliki berbagai keahlian, tidak hanya keahlian berpraktik hukum, tapi juga keahlian melakukan riset, komunikasi publik, berkampanye, mendidik masyarakat, melakukan pengorganisasian, manajerial, menyusun perencanaan, melakukan penggalangan dana, dan berbagai keahlian lain. Contoh lain, dalam kasus pengungsi Nunukan, pengacara publik LBH Jakarta dituntut tidak hanya menjadi pengacara tapi juga pekerja kemanusiaan karena banyaknya bantuan logistik yang disalurkan melalui LBH Jakarta untuk pengungsi. [12]


b. Peran Organisasi

Mansour Fakih membagi posisi politis organisasi non pemerintah di Indonesia ke dalam tiga golongan.[13]  
Pertama, tipe konformis. Tipe ini dapat dilihat pada aktivis yang bekerja berdasarkan paradigma bantuan karitatif dan berorientasi proyek, serta bekerja dengan menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada.

Kedua, tipe reformis. Aktivis yang aktif dalam organisasi non pemerintah yang bekerja pada ideologi modernisasi dan developmentalisme. Mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan serta menganggap bahwa keterbelakangan mayoritas rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan mentalitas, perilaku, dan kultur rakyat. Visi perubahan sosial yang dikembangkan lebih kepada jalur perubahan bersifat struktural fungsional.

Ketiga, tipe transformatif. Salah satu cirinya adalah mempertanyakan paradigma mainstream serta ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Tipe ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Mereka yang menggunakan pendekatan transformatif ini juga mendasarkan kegiatan pada metodologi transformatif, yaitu proses pendidikan untuk memunculkan kesadaran kritis dan menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan sosial. Rakyat harus memiliki kontrol atas sejarah dan pengetahuan mereka sendiri. Corak perubahan sosial paradigma tersebut kritikal dan struktural.

Jika melihat ketiga tipe tersebut di atas, maka LBH termasuk ke dalam tipe yang ketiga karena kesesuaian dengan metode bantuan hukum struktural yang berusaha membongkar struktur yang mendindas rakyat. LBH dalam visi misinya juga tegas dikatakan harus mendorong rakyat mandiri dalam memperjuangkan haknya. Bahkan dalam kode etiknya, Pengacara Publik LBH tidak diperbolehkan mengooptasi gerakan rakyat.


lbh2

Foto diambil dari www.aktual.com


Pembelaan dan Dukungan Terhadap Gerakan Sosial

LBH Jakarta mencatat setidaknya terdapat 1200 kasus dengan 30.000 sampai dengan 50.000 pencari keadilan setiap tahunnya. Selama 46 tahun berdiri, sekurangnya terdapat 45.989 pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta. Peran LBH yang paling signifikan tentunya bukan terkait banyaknya jumlah kasus yang ditangani setiap tahun, tapi bagaimana LBH bisa menjadi aktor yang konsisten membela korban represifitas orde baru serta menjadi lembaga yang lantang terhadap kebijakan orde baru. Hal yang sangat radikal ketika itu karena tidak banyak yang berani melawan pemerintahan orde baru.
Hampir seluruh kasus subversif atau oposisi terhadap orde baru ditangani oleh LBH, sebut saja kasus Malari (1974), Komando Jihad (1976), A.M Fatwa (1984), H.R Dharsono karena dituduh terlibat kasus Bom BCA (1984), Sahroni dan Alimin yang merupakan anggota NII (1984), Petisi 50, mahasiswa yang mendukung kemerdekaan Timor Timur (1992), Sri Bintang Pamungkas karena dituduh menggerakkan demonstrasi di Berlin (1995), Muchtar Pachpahan (1996), dan sederet kasus politik yang lain.

Berbagai terobosan hukum dan dorongan kebijakan juga lahir dari peran aktif LBH. Tidak heran karena setiap tahunnya 20-30 advokasi kebijakan ditangani oleh LBH. Terobosan mengenai mekanisme gugatan warga negara (citizen law suit), pembatalan kontrak swastanisasi air antara swasta dengan pemerintah, legitimasi perubahan jenis kelamin pertama di Indonesia (kasus Vivian Rubyanti), dan lain-lain.

Banyak juga pembelaan yang bisa dimenangkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan, melainkan melalui pengorganisasian dan advokasi bersama jaringan kerja. Misalnya kasus pembangunan pabrik Aqua di Padarincang Serang yang berhenti karena masifnya aksi penolakan masyarakat, gagalnya penggusuran kampung Cina Benteng, gagalnya penggusuran warga Kebun Sayur Ciracas, perubahan Pergub 228 tahun 2015 yang membatasi demonstrasi di Jakarta, perubahan sistem pilkada yang kembali dipilih secara langsung oleh masyarakat, penghentian kasus kriminalisasi Bambang Widjajanto, Abraham Samad, dan Novel Baswedan, serta berbagai kasus lainnya.

Dalam konteks pembelaan yang terkait dengan ideologi kiri, LBH Jakarta mencatat juga sederet kasus, misalnya:
  • Memberikan pembelaan terhadap aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituduh menjadi dalang peristiwa penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia. Deklarasi PRD dilakukan pada 22 Juli 1996 atau 5 hari sebelum kasus 27 Juli 1996.
  • Uji materi UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi terkait hak memilih dan dipilih orang yang dituduh terlibat dalam PKI, baik langsung maupun tidak langsung.[14]
  • Melakukan pembelaan terhadap individu-individu yang dituduh terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung dalam PKI. Sebagai contoh kasus Nani Ruani, seorang penyanyi yang merupakan korban stigma PKI. Ia ditahan tujuh tahun tanpa proses peradilan dan tidak diberikan KTP seumur hidup. Putusan pengadilan memenangkan Nani Nurani dalam kasus KTP seumur hidup.
  • Gugatan kelompok (class action) korban Stigma 65. Setidaknya 20.000.000 orang menjadi korban stigma terlibat dalam PKI. Pada tahun 2005 LBH Jakarta bersama jaringan para korban mengonsolidasikan para korban stigma dan melakukan gugatan kelompok. Gugatan ini kandas, namun dapat mengonsolidasikan korban.
  • Pada tahun 2010 LBH Jakarta bersama jaringan tim advokasi, Institut Sejarah Sosial Indonesia, Peneliti LIPI, dan beberapa tokoh masyarakat mengajukan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum atau biasa disebut UU Pelarangan Buku. Gugatan dimenangkan, Jaksa Agung tidak memiliki kewenangan untuk melarang buku tanpa proses pengadilan.
  • Selain gugatan kelompok, LBH Jakarta bersama Kontras, Elsam, YPKP, dan LPR-KORB mengajukan uji materi terhadap Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C. Mahkamah Agung mengabulkan uji materi ini dan menganggap Kepres bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, termasuk Pasal 27, 28D, dan 28I Undang-Undang Dasar 1945.[15]
Hal yang lebih dari sekedar menangani kasus adalah menjalankan misi dalam pemberdayaan. Salah satu misi LBH adalah “Menanamkan, menumbuhkan sikap kemandirian serta memberdayakan potensi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan, menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka baik secara individual maupun secara kolektif”. 

Oleh karena itu diwajibkan bagi setiap Pengacara Publik untuk melakukan pemberdayaan. Bahkan pemberdayaan tidak hanya dilakukan dengan pendidikan komunitas ataupun pendidikan paralegal. Pemberdayaan dimulai dari sejak awal pengaduan dan konsultasi, yaitu bagaimana membuat klien atau calon klien menjadi melek hukum dan memiliki kesadaran kritis terhadap situasi yang dihadapinya. Tidak heran LBH Jakarta seringkali mendorong masyarakat untuk menggugat sendiri dengan pendampingan (ghost lawyer).

Sebagai contoh, warga Budi Dharma berhasil memenangkan gugatan kelompok (class action) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanpa LBH Jakarta menjadi pengacaranya di persidangan. LBH Jakarta hanya menjadi pendamping dan fasilitator dalam memberikan pengetahuan hukum acara kepada warga Budi Dharma.


Penutup

Berbagai kritik harus dilayangkan terhadap lembaga yang sudah cukup tua ini. Jebakan romantisme masa lalu karena dianggap sebagai lokomotif demokrasi harus dihindari. Rezim berubah, ancaman, peluang, serta tantangan juga berubah. Saat ini LBH Jakarta membutuhkan kontribusi para pemikir sosial untuk merevitalisasi bantuan hukum struktural sesuai dengan konteks kekinian. Bantuan hukum struktural terjebak dalam template lama sementara penindasan terhadap masyarakat miskin tetap ada dengan variabel sosial politik yang berbeda. Ibarat petinju, saat ini LBH Jakarta selalu berada di atas ring dengan hanya sedikit waktu untuk merefekleksikan pertarungannya dan meminta bantuan dari para banyak pihak.

Selain disibukkan oleh kasus dan berbagai ancaman eksternal, LBH Jakarta saat ini juga menghadapi tantangan dalam perbaikan internal organisasi. Sebagai contoh, lembaga yang sudah tua ini ternyata masih belum berkelanjutan dalam sistem pendanaan. Selain itu kebutuhan mencetak pengacara publik yang lebih radikal, militan, dan penuh pengorbanan saat ini semakin mendesak karena situasi politik hukum Indonesia, menurut saya, justru semakin memburuk; menguatnya oligarki, militerisme, kapitalisme, dan juga intoleransi. Keberhasilan dalam merevitalisasi bantuan hukum struktural serta penguatan organisasi LBH Jakarta akan menentukan apakah peran LBH Jakarta akan tetap signifikan ke depannya dalam gerakan sosial.

Ya Basta!!***

Penulis adalah Pengacara Publik dan Direktur LBH Jakarta
Artikel ini sebelumnya adalah makalah yang disampaikan dalam diskusi BelokKiri.fest pada 12 Maret 2016 di LBH Jakarta.

—————-
[1] Yaniv Roznai, Revolutionary Lawyering? On Lawyers’ Social Responsibilities and Roles During a Democratic Revolution. Southern California: Southern California Interdisciplinary Law Journal, Hal. 370.
[2] Ibid. Hal. 374.
[3] Ibid. Hal. 376. Mengacu kepada Steve Bachmann, Lawyers, Law, and Social Change-Updateyear 2010, 34 N.Y.U. Rev.L., &soc Change 499, 501 (2010).
[4] Pada abad 17 tersebut sebenarnya telah berkembang ide pemikiran sosialisme seperti penghapusan kepemilikan pribadi atas tanah.
[5] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt543e8d060c195/pengacara-di-pinggiran-revolusi–di-pusaran-reformasi diakses pada tanggal 12 Maret 2016 pkl. 1:03 WIB.
[6] Alexei Brovoy, Anarchism and Law. Hal. 5-7. Dapat diakses di https://theanarchistlibrary.org/library/alexei-borovoy-anarchism-and-law.pdf
[7] Irwan Saptono, et.all, Verboden voor Honden En Inlanders dan Lahirlah LBH. Jakarta: YLBHI. Hal. 6
[8] M. Zaidun, Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia: Studi tentang Tipologi Gerakan Bantuan Hukum Struktural Yayasan LBH Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1996, hal. 8.
[9] Ibid. Hal. 8
[10] Irwan Saptono et.all. Opcit. Hal. 6-7.
[11] https://www.opendemocracy.net/transformation/george-lakey/what-role-were-you-born-to-play-in-social-change diakses pada tanggal 11 Maret 2016 pkl. 0:36 WIB
[12] https://alghif.wordpress.com/2015/05/07/menjadi-pengacara-divergent/#more-572 diakses pada tanggal 11 Maret 2016 pkl. 1:37 WIB
[13] Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Hal.77-79.
[14] Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Dapat diunduh di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/Putusan0172003tgl240204.pdf
[15] Lihat putusan Mahkamah Agung No. 33 P/HUM/2011 . Dapat diunduh di: http://peraturan.go.id/inc/view/11e576fc1713d17c98c7313432373539.html

Wacana Kapitalisme Digital dan Kemungkinan Antisipasinya

MAR 28, 2016 | oleh FAZAR RAMDHANA SARGANI
Ilustrasi Toni Malakian
Belajar dari Silicon ValleyEkonomi Indonesia tengah memasuki era baru. Melangkah dari agrikultur dan manufaktur, kaki pancang perekonomian Indonesia akan bertumpu pada satu tiang baru, yakni ekonomi digital. Ada dua preseden yang menandai pergerakan tersebut: (1) kunjungan Joko Widodo ke Silicon Valley, tepatnya ke markas Google, Facebook dan Twitter; (2) dan rencana besar dibangunnya klaster/aglomerasi hi-tech Gedebage di Bandung. Kunjungan Jokowi langsung mendapat respon positif dari, misalnya, Google yang akan membantu 100 ribu firma pengembang piranti lunak di Indonesia. Selain perihal ekonomi, Jokowi juga menyanjung sekaligus meminta bantuan pada Twitter dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan ‘Bandung Teknopolis’ seakan-akan sudah terintegrasi dalam skema nasional mengingat akan dibangunnya kereta cepat Jakarta-Bandung yang berangkat dari Halim dan berhenti di Tegalluar, dekat Gedebage. Pengembang besar, Summarecon, juga telah meng-‘akumulasi primitif’ sawah-sawah di sekitaran Gedebage hingga Ciwastra. Dan memproyeksikannya menjadi kawasan bertajuk ‘Summarecon Bandung Teknopolis dan Kota Kreatif’. Kawasan Gedebage digadang-gadang akan menjadi Silicon Valley van Java.
Terlepas dari apakah kelak teknopolis ini akan juga diterapkan di beberapa kota di Indonesia setelah Bandung, masih terdapat masalah elementer dalam ekonomi digital tersebut. Masalah yang dimaksud bukanlah seperti yang dibayangkan dalam film dokumenter Citizen Fourmisalnya; saat kebebasan dan  privasi warga negara menguap dalam dalih keamanan nasional. Melainkan pada kecenderungan ekonomi (kapitalisme) digital itu sendiri, yang jika memang Jokowi dan Ridwan Kamil memiliki komitmen kuat untuk menerapkan model ekonomi digital tanpa menimbang-nimbang kelemahannya, maka justru rencana tersebut berpotensi membawa perekonomian Indonesia menjadi lebih rentan. Hal itu disebabkan terdapatnya salah satu sektor ekonomi baru di Indonesia tersebut bergantung pada dinamika pasar (finansial). Selain itu, memang model kepemilikan firma atau korporasi digital a la Silicon Valley sangat efektif untuk menarik modal. Namun jika hanya ‘salin’ dan ‘tempel’ model tersebut, itu bukanlah kebijakan yang arif untuk mengatasi ketimpangan pendapatan di Indonesia yang kini telah masuk ke angka 0.4 di koefisien indeks Gini.
Rencana pembangunan Silicon Valley van Java ini perlu ditinjau lagi, berkaca pada Silicon Valley di AS. Artikel ini tidak berfokus menelaah masalah persiapan infrastruktur sektor ekonomi digital ini, semisal ladang server, komitmen riset dari pemerintah dan universitas (yang sangat kental pada sejarah pembangunan Silicon Valley), analisis dampak lingkungan, tenaga kerja domestik yang andal, dll. Namun artikel ini juga tidak berambisi untuk menawarkan solusi atau langkah antisipatif yang pasti atas datangnya kapitalisme digital di Indonesia. Melainkan artikel ini sebatas berusaha untuk menyodorkan wacana ekses negatif model ekonomi Silicon Valley dan narasi preventif umum untuk dipikirkan dan dibahas bersama.
research brief
Sumber: Research Brief Income Inequality In the San Francisco Bay Area.
Sejak populernya istilah Silicon Valley berkat tulisan Don Hoefler di Electric News, Januari 1971, ia kini telah berkembang menjadi salah satu wilayah terkayadi Amerika. Tahun 2014, median pendapatan rumah tangga di Silicon Valley sebesar $94,572 per tahun, lebih besar 43% dari pendapatan rumah tangga di seluruh Amerika sebesar $53,291. Bahkan menurut Bloomberg, San Jose, yang merupakan kota administratif Silicon Valley, adalah kota terkaya di Amerika. Gross metropolitan product (GMP) San Jose besarnya lebih dari dua kali lipat dari GMP rata-rata seluruh kota di Amerika. Namun, buruknya agihan pendapatan menjadi problem utama di Silicon Valley. Hasil penelitian Silicon Valley Institute menunjukkan angka koefisien indeks Gini 2013 di San Francisco Bay Area sebesar 48.7, lebih besar 0.6 poin dibandingkan keseluruhan AS. Sejak tahun 1989, koefisien Gini terus naik dari 40.5 hingga 48.7 (20%).  Angka rasio  rata-rata pendapatan kuartil atas dengan rata-rata pendapatan kuartil bawah pun cukup tinggi, sebesar 17.94, lebih besar 1.51 poin dengan  rasio nasional Amerika. Ketimpangan pendapatan di San Francisco Bay Area memang mengalami penurunan saat terjadinya krisis 2008 hingga 2010. Namun setelah mengalami recovery pada tahun 2013, mencapai rekor tertingginya dibanding pra-krisis. Hal ini pararel dengan data Thomas Piketty. Di Amerika, saat krisis share of top decile in national income mengalami penurunan dengan puncak 45% tahun 2007. Namun kemudian naik kembali dengan akselerasi lebih pesat dari sebelum krisis 46% pada tahun 2010. Bahkan menurut Saez, dalam tiga tahun perbaikan ekonomidari 2009-2012, 91% kenaikan pendapatan terpusat pada 1% populasi Amerika.
research2
Sumber: Research Brief Income Inequality In the San Francisco Bay Area.
Selanjutnya, menurut Silicon Valley Rising, kampanye untuk menyerikatkan pekerja yang dibayar rendah di Silicon Valley, satu dari tiga rumah tangga (30%) di Silicon Valley tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Tak ayal justru terdapat lebih dari 7000 orang tunawisma di Silicon Valley, San Fransico. Permasalahan menjamurnya tunawisma di San Francisco sempat menimbulkan ketegangan antar kelas. Peristiwa ini ditandai oleh dipublikasikannya surat terbuka oleh salah satu technopreneur Justin Keller yang bernada peyoratif terhadap kaum ‘hobos’. Belum pula ditambah ketimpangan berbasis ras juga mewarnai kehidupan perekonomian Silicon Valley. Mayoritas pekerja jasa rendah (pekerjaan tier 3) seperti petugas kebersihan dan keamanan datang dari ras Latin dan Afrika-Amerika.
silicon valley
Sumber: siliconvalleyrising.org
Sedikitnya data di atas sudah cukup untuk (tidak hanya) menunjukkan bahwa dinamika ketimpangan di Silicon Valley mengukuti tren nasional AS, (melainkan) juga hal yang paling penting adalah korporasi digital tidak bisa menjadi buffer krisis dan bukan solusi pemerataan pendapatan. Dari sifat inherennya yang timpang dan crisis-prone itu, harusnya mencoret model ekonomi digital Silicon Valley dari daftar alternatif untuk mengentaskan ketimpangan pendapatan dan berperan sebagai penahan krisis.
Problem KepemilikanJika ditelaah memang ketimpangan ini, mengikuti Moulier-Boutang, disebabkan objek akumulasi dalam kapitalisme digital sangat bergantung pada kreativitas dan hasil pengetahuan, yang jelas-jelas dikuasai oleh para pekerja kerah putih atau pekerja immaterial. Namun ketimpangan dalam korporasi hi-tech tidak semata-mata disebabkan pembagian kerja (division of labor) antara petugas pembersih versus teknisi, tetapi yang paling mendasar adalah masalah kepemilikan. Perusahaan berbasis teknologi mayoritas mendapatkan dana start-updari venture capital –pemegang saham atau investor.
Model kepemilikan perusahaan kapitalistik sudah mesti menghasilkan ketimpangan. Akan selalu lebih besar return on capital daripada kenaikan pendapatan para pekerja. Juga tentu saja model kepemilikan ini jauh dari kata demokratis, saat suara didasarkan pada jumlah share yang dimiliki.
Lalu apakah ada alternatif? Bagaimana dengan model ekonomi yang sedang banyak dibicarakan sekarang, sharing economy? Model ini tengah banyak dipraktikan oleh beberapa perusahaan jasa berbasis teknologi, mulai dari taxi (Uber), penginapan (AirBnB), hingga pembersih rumah (Homejoy). Dan bukankah perusahaan-perusahaan seperti ini yang kelak diharapkan untuk bermunculan di kawasan teknopolis dan cerdas di Gedebage? Namun artikel ini berpendapat, senada dengan banyak pembahasan lain, bahwa sharing economy bukanlah solusi untuk sifat inheren perusahaan digital dan/atau teknologi. Karena, singkatnya, firma-firma digital yang mengusung sharing economy berperan sebagai perusahaan logistik yang memosisikan pihak-pihak lain yang terlibat di bawahnya sebagai middlemen.
Sharing economy disebut juga dengan on-demand economy, karena aktivitasnya yang sangat bergantung pada permintaan konsumen. Dalam kalimatnya, Asher-Schapiro menyatakan: “premis sederhananya sangat menggoda: orang-orang memiliki skill, dan pelanggan menginginkan jasa. Silicon Valley berperan sebagai pencocok, membuat aplikasi yang mencocokkan pekerja dengan pekerjaan”. Model ini kerap digemakan karena ide ‘berbaginya’ dan dianggap dapat membuat orang miskin merasa memiliki bisnis atau perusahaan tempat dia bekerja.
Namun dua tahun terakhir tampaknya telah menunjukkan bahwa sharing economy memiliki kelemahan, yang sebenarnya sama –jika tidak lebih parah- dari model konvensional dengan status kepegawaian (employment) yang jelas. Kecacatan sharing economy disembunyikan oleh romantisasi kata pertama dari frasa tersebut. Kata sharing seketika mengkonstruksi imaji di kepala publik mengenai ‘saling berbagi’ antar individu dalam memenuhi kebutuhannya. Jika si A ingin berpergian, maka ia bisa menggunakan jasa kendaraan si B. Sedangkan jika si B ingin membersihkan rumahnya, ia bisa menggunakan jasa si A. Semua berbasis saling tolong-menolong, sambil mendapatkan bonus dari jasa mereka.
Imajinasi indah tentang berbagi sirna seketika ketika kenyataan empiriknya berbicara hal berbeda. Kasus Uber sempat hangat jadi perbincangan tahun lalu. Para driver-partners Uber bukanlah pekerja resmi. Mereka mendapatkan pendapatan dari bayaran bayaran penumpang yang terlebih dahulu dipotong untuk perusahaan, dan pengeluaran operasional pribadi seperti bensin dan perawatan kendaraan.
Tanpa adanya hak-hak yang dimiliki oleh para pekerja tetap di perusahaan konvensional, kondisi driver-partners justru lebih memprihatinkan. Sejak diluncurkannya pada Mei 2013, Uber menarik perhatian para calon driver-partners yang jika diratakan bisa mendapat $15-20 per jam. Namun karena persaingan dengan Lyft, (persis seperti kompetisi antara Go-Jek dengan GrabBike di Indonesia) Uber memotong tarifnya yang berimbas langsung pada pendapatan para driver-partners. Kendati kini para driver-partners di Los Angeles telah membentuk California App-based Drivers Association (CADA), daya tawar mereka masih sangat rendah di hadapan Uber. Tanpa adanya kejelasan status kerja, para driver-partners tak memiliki perlindungan, upah yang layak, dan berada di luar regulasi pemerintah. Ini adalah bentuk paling nyata dari proletarization sekaligus precarization masyarakat.
Singkatnya dalam sharing economy, masih terdapat ketegangan antagonistik antara kelas pekerja (lebih tepatnya proletar, karena tidak resmi statusnya) dengan pemilik perusahaan. Jika mengutip Moulier-Boutang, sharing economy tak lebih dari “old wine in new bottle”. Justru pada sharing economy antagonisme tersebut berpotensi untuk jauh lebih merugikan proletar mengingat ia berada di luar regulasi.
Namun apakah dengan demikian ekonomi digital di Indonesia perlu menghindari sharing economy dan kembali lagi ke bentuk perusahaan konvensional dengan dalih paling tidak pekerja mendapatkan hak-haknya? Tentu tidak, jika kita mau melangkah lebih jauh ke model berikutnya yakni koperasi. Mungkin di kepala banyak orang Indonesia koperasi tak akan jauh dari koperasi simpan pinjam dan koperasi unit desa, kalau bukan koperasi SMA. Padahal di Indonesia sendiri hari ini telah berkembang ragam koperasi dengan pelbagai fokus, mulai dari usaha dapur rekaman, hingga riset. Lebih mapan pula di Eropa, CECOP –CICOPA Europe adalah sebuah konfederasi koperasi di bidang industri dan jasa yang terbukti lebih imun terhadap dampak krisis 2008. Artinya, imunitas yang dimiliki oleh koperasi didapat karena ia memiliki otonomi relatif dengan pasar. Dan sejenis dengan CECOP – CICOPA, terdapat pula The Co-Operative Group di Inggris dengan ragam bisnis di berbagai sektor, seperti makanan, travel, asuransi hingga legal service. Ini menunjukkan bahwa model koperasi dapat diterapkan dan dikembangkan pada berbagai sektor usaha—dari bisnis dengan teknologi sederhana, hingga mutakhir. Oleh karena itu tak menutup kemungkinan jika koperasi dapat dibentuk dalam sektor digital.
Koperasi di sektor digital sendiri, khususnya internet, terus dikembangkan. Sebagai contoh terdapat agenda Platform Cooperativism, program jaringan koperasi di bidang tekonologi digital. Platform ini berusaha untuk melampaui keterbatasan sharing economy, yakni masalah kepemilikan, kepengurusan yang demokratis (satu kepala, satu suara), dan merumuskan solidaritas. Scholz, salah satu penggagas Platform Cooperativism, mengatakan bahwa memang perlu perjuangan untuk memperbaiki kondisi kerja dan hidup pekerja, tetapi itu saja tidak cukup. Katanya, kita tidak bisa mengatasi ketimpangan ekonomi hanya dengan kehendak baik dari pemilik perusahaan; akan tetapi kita harus bersama-sama mendesain infrastruktur yang berintikan demokrasi. Koperasi tidak memberikan rasa kepemilikan semu pada para anggotanya, seperti layaknya model usaha konvensional. Banyak para pekerja yang merasa memiliki dan bahkan cinta pada perusahaannya, padahal relasi objektif kedua unsur itu eksploitatif untuk pihak pertama oleh pihak terakhir. Sedangkan menjadi anggota koperasi, secara resmi seseorang memiliki ’perusahaannya’ bersama anggota lain. Dan ia sama berhaknya untuk menentukan nasib perusahaannya tersebut, juga sama besar tanggungjawabnya. Dengan kata lain, azas kolektivitas, gotong-royong atau tolong-menolong (ta’awun) menjadi dasar dari koperasi. Sehingga koperasi berfungsi sebagai model yang tidak bergantung pada eksplotasi para pekerjanya, atau dengan kata lain, juga memberi otonomi untuk para pekerja/anggotanya, dan sudah terbukti dapat mengatasi ketimpangan serta berdaya tahan terhadap tingginya volatilitas pasar.
Memang, perlu diakui, koperasi tidak bisa serta-merta lepas dari global supply chain yang eskploitatif dalam, mengutip Bifo, kapitalisme necro-ecomony hari ini. Karena jika, katakanlah koperasi-koperasi digital dibuat di Bandung, maka mereka akan menggunakan bahan baku perangkat keras yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan China yang mengeksploitasi buruhnya. Selain itu juga, belum memungkinkan untuk koperasi-koperasi tersebut untuk menghindari sistem kerja out-source berbasis proyek yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan digital besar di Amerika. Artinya, keadaan koperasi masih terjepit untuk mewujudkan kontribusi positifnya untuk masyarakat luas. Namun realitas pahit tersebut bukanlah tanpa jawaban, justru itu adalah peluang untuk melebarkan sayapnya. Agar kelak koperasi-koperasi di Bandung Teknopolis tidak berdiri dan melawan sistem sendiri, sistem koperasi perlu terus dikembangkan dengan cara kerjasama antar koperasi (coop-to-coop cooperation) dari hulu sampai hilir. Kerjasama antar koperasi ini dapat kita contoh dari beberapa koperasi-koperasi yang telah menjalin relasi di berbagai sektor, salah satunya kopi. Di Jakarta sendiri telah terdapat koperasi yang memiliki kedai kopi yang membeli kopinya dari koperasi roasting kopi yang membeli biji kopinya dari koperasi petani kopi di berbagai daerah di Indonesia. Jadi, jika koperasi digital di Bandung dapat berkerjasama dengan koperasi pembuat perangkat keras di China dan produknya dibeli oleh koperasi di Amerika, barulah rantai pertambahan nilai global dapat diretas, atau dengan kata lain ‘tumbal manusia’ dalam pembangunan dapat diminimalisasi.
Jadi, jika memang di benak Joko Widodo tertanam optimisme pada ekonomi digital untuk perbaikan ‘masyarakat’ Indonesia, maka perlu kiranya ia mempelajari betul hal di luar potensi romantis sektor ini, yang kemungkinan mayoritas perkembangannya mengandalkan invetasi asing. Khusus sifat-sifat yang inheren–timpang, eskpoitatif dan lemah pada hantaman krisis—yang terdapat di perusahaan-perusahaan teknologi dan digital konvensional mesti ia perhatikan dan antisipasi juga. Terlepas dari itu, sebenarnya, sah-sah saja jika Jokowi tidak memasang mata pada narasi alternatif, yang secara prinsip lebih egaliter dan stabil, untuk mendorong jalannya ekonomi hi-tech. Namun dengan demikian, lagi-lagi, kita berhak menginterogasi predikat Jokowi sebagai ‘man of the people’Karena jangan-jangan, mengutip argumentasi Geger Riyanto, teknopolotiknya sebatas bertujuan untuk membangun satu tugu ‘digital’ yang merekam namanya dalam sejarah: sebuah ambisi personal yang diamini oleh dambaan khalayak kolektif akan negara berteknologi mutakhir.***
Buku:
Emmanuel Saez, Striking It Richer: The Evolution of Top Incomes in the United States (Updated with 2013 preliminary estimates). Update tulisan dengan judul yang sama dalam Pathway Magazine, Stanford Center for the Study of Poverty and Inequality tahun 2008. 2015
Franco berardi Bifo. The Coming Global Civil War: Is There Any Way Out? Jurnal e-flux #69 Januari 2016.
Moulier-Boutang. Cognitive Capitalism. Polity Press. 2011
Silicon Valley Institue for Regional Studies. Research Brief Income Inequality In the San Francisco Bay Area. Juni 2015
Thomas Piketty. Capital in the Twenty-First Century. The Belknap Press of Harvard University Press. 2014
Trebor Scholz. Platform Cooperativism Challenging the Corporate Sharing Economy. Rosa Luxemburg Stiftung, New York Office. 2016
http://islambergerak.com/2016/03/wacana-kapitalisme-digital-dan-kemungkinan-antisipasinya/

Jumat, 25 Maret 2016

Aliansi Fasis Militer dan Fasis Keagamaan


DALAM waktu yang hampir berdekatan, tiga buah kegiatan kebudayaan dibubarkan paksa. Kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut adalah ‘Festival Belok Kiri Jalan Terus’ (Belok Kiri.Fest) di Taman Ismail Marzuki, pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Goethe Institute, dan yang terakhir “Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah.” Ketiga acara kebudayaan ini dianggap mengusung ajaran Komunisme.

Pelarangannya pun selalu didahului dengan aksi-aksi unjuk rasa. Pada acara Festival Belok Kiri, belasan pengunjuk rasa yang menamakan dirinya kelompok HMI Jakarta Raya menuntut pembubaran acara ini. Acara akhirnya dibatalkan karena alasan urusan perijinan dan dipindahkan ke kantor LBH Jakarta. Hal yang sama terjadi pada pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta.’ Ijin pemutaran film ini dibatalkan oleh pihak kepolisian dari Polsek Menteng dengan alasan keamanan. Front Pembela Islam (FPI) memprotes acara tersebut. Itu sudah cukup menjadi alasan pihak kepolisian untuk membatalkan pemberian ijin.

Yang terakhir terjadi di Bandung. Pementasan ‘Monolog Tan Malaka’ pun di demo oleh pihak FPI dan ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam. Alasan mereka, pementasan ini menyebarkan ideologi Komunis. Sama seperti di Jakarta, pihak kepolisian buru-buru melarang pementasan monolog ini. Pementasan ini agak beruntung karena Walikota Bandung, Ridwan Kamil akhirnya turun tangan. Dia mengijinkan pementasan ini dan bahkan ikut hadir menonton.

Semua pelarangan tersebut memiliki pola yang sama. Ketiga kegiatan kebudayaan itu di cap sebagai sarana penyebaran ajaran komunisme. Pelarangan itu pun didahului oleh unjuk rasa dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. Polisi akhirnya bertindak untuk melarang dengan alasan ‘keamanan.’
Persoalannya adalah mengapa pihak keamanan menurut pada kehendak kelompok-kelompok fasis yang mengatasnamakan agama ini?

***

Berbarengan dengan pemutran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta,’ sebuah peringatan datang dari pihak militer. Sekali pun wajah militer sama sekali tidak tampak dalam pelarangan film ini, namun rupanya mereka sangat ‘menaruh perhatian’ akan kegiatan-kegiatan yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme. Adalah komandan detasemen intel (Dandenintel) Kodam Jaya, yang menurut penelusuran kami saat ini dijabat oleh Mayor Cpl Azwan Abdi, yang mengingatkan bahwa pada saat ini pihaknya sudah mencium munculnya Komunis Gaya Baru (KGB).

“Jika dahulu pendekatan yang lebih dominan dilakukan oleh Komunis yaitu melalui kekerasan/pembunuhan namun sekarang ini melalui pendekatan strategis dengan soft power,” demikian kata perwira lulusan Akmil tahun 1998 dari kecabangan Corps Peralatan ini kepada PosKotaNews.[1] Komunisme, demikian katanya, “bergerak melalui seluruh sendi kehidupan baik di legislatif, eksekutif atau merayap di tengah-tengah masyarakat Indonesia.”

Kodam Jaya mengakui bahwa mereka memantau “setiap ancaman yang ditimbulkan oleh Komunis Gaya Baru ini” lewat aparat intelijen dan komando kewilayahan. Sekali pun diakuinya bahwa kegiatan KGB sekarang ini dilakukan terselubung dan berkedok sosial. “Cara ini membuat masyarakat menjadi terninabobokan dan mereka menebarkan anggapan bahwa faham komunis itu tidaklah berbahaya,” demikian katanya sebagaimana dikutip PosKotaNews.

“Akhir-akhir ini aparat intel mencium gelagat munculnya kembali Aksi dari kelompok Komunis Gaya Baru (KGB) melalui rencana kegiatan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta,” demikian kata intel yang pernah bertugas di Aceh ini. Dia mengaku, menurut informasi aparat intelnya, film “Pulau Buru Tanah Air Beta” ini akan diputar pada Rabu 16 Maret 2016 di Guest House Jalan Sam Ratulangi No. 9-5 Menteng Jakpus pada pukul 17.00-20.30 wib malam. (Pemutaran film ini sebenarnya diumumkan kepada publik. Tidak dilakukan secara diam-diam dan mendapat ijin pihak kepolisian, Red.).

Perwira intel ini mensinyalir bahwa film ini “memutar balikkan fakta dengan menceritakan negara telah melakukan perbuatan kejam dan tidak manusiawi dengan membuang warga ke pulau Buru.” Tujuannya adalah untuk menarik simpati masyarakat awam, khususnya kaum muda yang tidak mengetahui dan mendapat cerita langsung kekejaman PKI 1965.

“Kita berupaya kegiatan ini agar tidak dilaksanakan, karena jika dilaksanakan akan memancing reaksi dari Ormas yang selama ini menentang Komunis di Indonesia, yang akan berujung bentrok dan akan merugikan banyak pihak” demikian kata perwira muda ini. Dan memang itulah yang terjadi. Ada organisasi masyarakat yang menentang pemutaran film ini sehingga aparat kepolisian memiliki alasan untuk melarang pemutarannya.

***

Sulit bagi kita untuk tidak menghubungkan pelarangan-pelarangan ini dengan kekuatiran pihak-pihak aparat keamanan (militer dan kepolisian) dengan bahaya ‘penyebaran komunisme.’ Kekuatiran ini bertemu dengan kepentingan kelompok-kelompok fasis yang mengatasnamakan agama yang selalu dahaga untuk mendapatkan sesuatu yang dicap sesat dan dengan demikian menjadi absah (legitimate) untuk diserang. Kelompok-kelompok fasis senantiasa mendudukkan diri sebagai ‘pembela agama’ dan mengangkat diri mereka sebagai pihak yang memiliki kuasa untuk menerapkan versi agama yang paling benar.

Eksistensi atau keberadaan kelompok-kelompok ini ditentukan bukan oleh pencarian kebenaran agama yang meraka anut melainkan oleh pandangan mereka terhadap kesesatan kelompok lain. Mereka tidak tertarik pada pencarian spiritualitas agama yang mereka anut. Mereka lebih tertarik pada menyerang yang tidak berada dalam koridor keagamaan mereka. Mereka menjadi fasis karena tidak pernah toleran terhadap apa yang berbeda dari mereka. Mereka hanya ingin menyerang apa yang dianggap bida’ah, menyimpang, sesat, murtad. Tapi mereka tidak pernah mencari apa yang hakiki. Bahkan mereka tidak tertarik melakukan pencarian itu sendiri. Karena mencari yang hakiki itu sendiri adalah bentuk kesesatan.

Para fasis politik ini tidak tertarik pada dimensi sipil (civil) dari negara. Mereka tidak tertarik pada persamaan semua warga negara di depan hukum. Mereka lebih tertarik pada pemurnian ras dari warganegara. Sehingga, seperti yang kita lihat dalam sejarah Jerman, kaum fasis lebih tertarik untuk memusnahkan kaum yang bukan ras Arya ketimbang membangun sebuah sistem kewarganegaraan. Hal yang sama terjadi pada kaum fasis agama.

Dalam pandangan kaum fasis agama ini, komunisme adalah ateisme alias kaum tidak mengakui adanya Tuhan. Atas dasar inilah kaum komunis menjadi sasaran yang sah untuk diserang. Status kaum komunis ini tidak lebih dari bida’ah, kaum sesat, murtad yang pantas untuk diberantas.

Dengan demikian terbentuklah aliansi yang saling menguntungkan (alliance of convenience) antara pihak keamanan dan kelompok-kelompok fasis keagamaan ini. Sebagaimana kita lihat dalam kasus pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di atas, pihak intel militer yang kuatir dengan KGB lalu berpasangan dengan kelompok fasis agama untuk menggagalkan pemutaran film ini. Hal seperti ini terjadi secara terpola dan sistematis. Tidak saja di Jakarta namun juga di kota-kota lain.

Kita melihat bahwa kelompok-kelompok fasis ini sungguh bertindak sebagai ‘proxy’ (wali)[2] dari kepentingan militer yang tampaknya sangat kuatir akan perkembangan komunisme. Fenomena ini menjadi semakin menarik karena pihak militer akhir-akhir justru sedang mengkampanyekan konsep ‘proxy war’ (perang perwalian) yang diklaim sebagai perang masa kini.

Dalam konsep perang ini, kekuatan-kekuatan yang sedang berperang tidak terlibat secara langsung namun mendukung kombatan-kombatan yang berperang untuk kepentingan mereka. Dilihat dalam definisi ini, tidak diragukan lagi bahwa ‘proxy war’ justru sedang berlangsung antara militer dengan rakyatnya sendiri dengan memakai organisasi-organisasi fasis keagamaan ini sebagai proxy-nya. ***

———–
[1] http://poskotanews.com/2016/03/16/intelijen-kodam-jaya-endus-muncul-komunis-gaya-baru/
[2] Lihat, “Teror sipil sebagai proxy,” dalam Harian IndoPROGRESS 10 Mei 2012, http://indoprogress.com/2012/05/teror-sipil-sebagai-proxy/