Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 31 Oktober 2015

Kasus 1965 Akan Disidang di Den Haag, Luhut Sudah Diberi Tahu

CNN Indonesia
Sabtu, 31/10/2015 06:47 WIB
Diorama prajurit Tjakrabirawa di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
UbudCNN Indonesia -- Ketua Panitia Penyelenggara Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana, menyatakan timnya telah menemui Dewan Pertimbangan Presiden untuk memberitahukan bahwa IPT 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda, 10-13 November.

“Kami juga minta waktu untuk bertemu (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) Pak Luhut, tapi belum diatur,” kata Nursyahbani kepada CNN Indonesia di sela Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) di Bali, Jumat (30/10).

Meski demikian, Ketua Tim Jaksa dan Todung Mulya Lubis selaku pengacara IPT 1965 telah menginformasikan langsung soal sidang rakyat itu kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut pun disebut telah memberikan respons.

“Pak Luhut berkata, ‘Sejauh tidak melebih-lebihkan (keburukan) negara, silakan,’” ujar Nursyahbani.

Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 digelar untuk menyikapi dugaan pembunuhan massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia terhadap orang-orang yang dituding sebagai sayap kiri pada periode 1965-1966.

“Pembantaian” itu dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.

Selain ratusan hingga ribuan orang diduga dibunuh, banyak pula warga yang ditahan dan disiksa. Kebenaran soal itu belum terungkap hingga kini.

Peran Joshua Oppenheimer

Nursyahbani bercerita, ide menggelar Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 muncul saat para aktivis hak asasi manusia Indonesia bertemu dan berdiskusi dengan Joshua Oppenheimer, sutradara film The Act of Killing dan The Look of Silence yang berkisah seputar peristiwa 1965.

Pada pertemuan di Den Haag bulan Maret itu, aktivis HAM Indonesia bertanya kepada Oppenheimer kenapa dia bisa sampai membuat film-film berlatar peristiwa 1965. Kedua film itu dianggap membuat mata dunia terbuka soal masa lalu kelam Indonesia yang telah dibiarkan tak terungkap selama hampir 50 tahun.

“Itu kejahatan luar biasa, bahkan bisa disebut salah satu Holocaust terburuk pada abad 20,” kata Nursyahbani.

Holocaust merupakan istilah untuk genosida –pembunuhan besar-besaran secara sistematis terhadap satu bangsa– yang menimpa kaum Yahudi di masa rezim Nazi pimpinan Adolf Hitler. Saat itu diduga enam juta orang Yahudi dibunuh.

Oppenheimer, menjawab pertanyaan para aktivis HAM asal Indonesia, mengatakan semula tak berencana membuat film tentang 1965. Pria kelahiran Amerika Serikat itu awalnya berniat meneliti tentang buruh perkebunan di Indonesia, namun mendapati fakta buruh-buruh itu tidak mau menjawab pertanyaan yang ia lontarkan karena takut.

“Salah satu buruh berkata, ‘Bagaimana tidak takut jika dulu aktivis-aktivis buruh dibunuhi dan pembunuhnya masih hidup bersama kami sebagai saudara atau tetangga,’” ujar Nursyahbani mengisahkan kembali ucapan Oppenheimer.

Oppenheimer, kata Nursyahbani, saat itu betul-betul tidak tahu soal peristiwa 1965 di Indonesia. Itu pula yang membuatnya tak memberikan konteks politik kuat pada film-filmnya yang berkisah soal itu.

Pada satu titik dalam diskusi antara aktivis HAM Indonesia dan Oppenheimer, ujar Nursyahbani, Oppenheimer berkata, “Saya sudah melakukan yang saya bisa sebagai peneliti dan pembuat film, sekarang tergantung pada kalian apakah ada yang mau membela derajat dan kehormatan bangsa kalian sendiri.”

Diskusi di Den Haag saat itu, kata Nursyahbani, juga dihadiri oleh orang-orang buangan atau exile, yakni warga Indonesia yang tinggal di luar negeri dan tak bisa kembali ke Tanah Air karena tak lagi diakui pemerintah Republik Indonesia sebagai warga negara akibat dampak dari peristiwa 1965.

Para exile itu turut mendukung gagasan digelarnya Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965. Nursyahbani kemudian ditunjuk menjadi Koordinator 1965. Ia menganggapnya sebagai kehormatan, dan bersama-sama dengan para aktivis HAM membentuk kepanitiaan.

Nursyahbani tak lupa mengingatkan para korban yang bakal bersaksi di IPT 1965 tentang risiko yang mungkin dihadapi. “Sekarang saja semua diskusi soal 1965 di sini (UWRF) terpaksa dibatalkan. Selalu ada risiko jika hendak berbicara tentang itu,” ujar pengacara Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto itu.

Menanggapi peringatan Nursyahbani, para saksi yang sudah lanjut usia itu menjawab tegas, “Kami sudah menjadi korban lebih dari 50 tahun. Nothing to lose.”

Ada 10 orang korban yang akan menjadi saksi fakta di IPT 1965, baik para exile dan korban yang tinggal di Indonesia. Mereka telah ditempatkan di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

IPT 1965, kata Nursyahbani, didukung penuh oleh LPSK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagian saksi dipilih karena nama mereka telah tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Komnas HAM yang menginvestigasi kasus-kasus 1965.

Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang bakal berlangsung di Den Haag itu juga mengundang pemerintah RI, dan direncanakan disiarkan live streaming di tujuh kota di Indonesia, antara lain Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya.

Jumat, 30 Oktober 2015

Bali memulai pembongkaran kuburan korban tragedi 1965

Luh De Suriyani | 1:50 PM, October 30, 2015
Sejumlah warga desa di Bali ini merasa tak nyaman karena sudah rahasia umum diketahui ada jenazah korban tragedi 1965 di bawah tanah di jalan raya yang mereka lewati
DENPASAR, Indonesia — Ketika masih banyak elit penguasa takut dengan rekonstruksi sejarah 1965, warga di sebuah desa di Bali memiliki caranya sendiri untuk mendialogkan tragedi berdarah itu secara damai.
Ratusan warga sudah menyemut di lokasi pembongkaran jenazah korban peristiwa 1965 sejak pukul 7 pagi, Kamis, 29 Oktober. Sebuah alat berat mesin pengeruk mulai bekerja mencari sisa tulang yang terkubur 50 tahun lalu.
Orang tua dan anak-anak berpakaian adat Bali antusias melihat proses ini. Mereka berharap segera mendapatkan tulang belulang jenazah saudara, tetangga, dan keluarga yang menjadi korban pembantaian massal yang oleh penguasa saat itu disebut simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu, warga sampai pelosok desa saling bunuh antar teman bahkan keluarga sendiri.
Demikian juga yang terjadi di sebuah desa yang berjarak 3 jam berkendara dari Kota Denpasar ini. Beberapa tahun ini makin banyak peneliti yang mengungkapkan bahwa pembantaian warga pada tahun 1965-1966 ini peristiwa genosida terbesar di tanah air dan mengorbankan ribuan warga yang tak berdosa. Di Bali sendiri diperkirakan ada 80 ribu korban.
Menandai 50 tahun peristiwa pembunuhan massal tahun ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga didorong minta maaf pada keluarga korban sebagai upaya rekonsiliasi. Namun pada Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2015 silam, Jokowi mengatakan pemerintah ada rencana untuk meminta maaf.
“Tidak ada pemikiran mengenai minta maaf, sampai detik ini tidak ada ke arah itu,” kata Jokowi usai menjadi inspektur upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti waktu itu.
Bali memulai upaya rekonsiliasi peristiwa pembunuhan massal pada 1965, Kamis ini, secara swadaya di Desa Batuagung, Kabupaten Jembrana. Daerah ini disebut salah satu wilayah dengan korban pembantaian terbanyak saat terjadi kegaduhan politik saat itu.
Beberapa bulan ini warga gotong royong menyiapkan upacara Pitra Yadnya, yakni upacara agama untuk orang yang sudah meninggal. Mereka membagi tanggung jawab sesuai keperluan seperti pengumpulan dana, pembuatan sesajen, dan lainnya.

"

Ia mengaku masih ingat banyak orang diikat, dipukul, lalu ditebas dengan senjata tajam ketika itu. “Saya tidak tahu apa, banyak yang tidak mengerti dan disebut PKI

"

Ada 9 jenazah yang diidentifikasi secara kolektif sebagai korban peristiwa 1965 yang masih terkubur di sebuah area yang berada persis depan sekolah dasar dan TK desa ini.
Selama proses pengerukan warga terlihat ngobrol satu sama lain. Menerka-nerka bagaimana peristiwanya yang memaksa pembataian antar warga desa.
Selama puluhan tahun warga dihantui berbagai peristiwa buruk karena ada kumpulan jenazah ditimbun di area wilayah Dusun Masean yang bukan kuburan desa.
"Banyak kejadian aneh di desa. Warga sepakat harus diangkat dan diupacarai sebagaimana mestinya, kata Wakil Perbekel atau Wakil Kepala Desa Ida Bagus Suliksa.
Sejumlah warga merasa tak nyaman karena sudah rahasia umum diketahui ada jenazah di bawah tanah di jalan raya yang mereka lewati.
Peristiwa-peristiwa buruk pun dikaitkan dengan peristiwa ini misalnya masih banyak yang melihat arwah-arwah gentayangan, sering ada siswa kerasukan, atau kerauhan karena lokasi berdampingan dengan sekolah. Ada juga kasus-kasus bunuh diri dan kecelakaan yang dianggap sebagai salah pati atau meninggal tak wajar di Bali.
Suliksa mengatakan pembongkaran kuburan korban 1965 ini juga adalah wujud penghormatan bagi mereka yang harus jadi korban dalam suasana politik yang memanas saat itu.
Sebagai umat Hindu kita meyakini yang meninggal harus dapat upacara, agar arwah mereka tenang. Belum tentu juga mereka bersalah, katanya sambil siaga memandu proses evakuasi ini lewat pengeras suara.
Suliksa mengaku kesepakatan bersama ini diambil setelah mengadakan serangkaian sangkepan atau rapat bersama di kelompok kecil dan besar warga desa yang berlokasi di Bali Barat ini.
Di area ini diyakini ada lebih dari 9 orang terkubur, namun beberapa jenazah sudah diangkat oleh keluarganya masing-masing sejak tahun 1980an. Salah satu saksi mata pembantaian ini, Ida Bagus Ketut Krenda, dikerubungi warga saat proses pembongkaran dengan eksavator ini.
Dengan terbata dalam bahasa Bali, ia mengaku masih ingat banyak orang diikat, dipukul, lalu ditebas dengan senjata tajam ketika itu. Saya tidak tahu apa, banyak yang tidak mengerti dan disebut PKI, ujarnya.
'Sebagai umat Hindu kita meyakini yang meninggal harus dapat upacara, agar arwah mereka tenang,' kata seorang warga. Foto oleh Luh De Suriyani/Rappler

'Sebagai umat Hindu kita meyakini yang meninggal harus dapat upacara, agar arwah mereka tenang,' kata seorang warga. Foto oleh Luh De Suriyani/Rappler
Sampai sore pengerukan masih berlangsung sampai jalan raya yang diaspal akhirnya ikut dibongkar untuk menemukan lebih banyak tulang belulang. Selanjutnya akan dibakar bersamaan, kemudian abunya diupacarai sebelum dilarung ke laut.
Beberapa keluarga korban sudah pernah melakukan ritual yang sama namun tanpa jenazah. Hal ini bisa dilakukan jika jenazah memang tak ditemukan, dan hanya memakai simbol.
Saat ini warga terlihat lebih bersuka cita karena akhirnya ada benda secara fisik yang diyakini keluarga mereka yang telah hilang atau dihilangkan paksa walau hanya potongan kecil tulang. Barangkali yang lebih berarti lagi, upaya saling menyadari kejadian buruk di masa lalu dengan saling bahu membahu melaksanakan pembongkaran dan ritual ini bersama.
Ironisnya di sisi lain, masih ada elit penguasa yang ingin melanggengkan stigma dengan melarang segala bentuk diskusi peristiwa 1965. Contohnya pembatalan sejumlahevent terkait ini di Ubud Writers and Readers Festival yang kini sedang berlangsung di Bali. —Rappler.com
http://www.rappler.com/indonesia/111191-bali-pembongkaran-kuburan-korban-tragedi-1965?utm_source=twitter&utm_medium=share_bar

Kamis, 29 Oktober 2015

Kronologi pembatalan diskusi tragedi 1965 di Ubud Writers & Readers Festival

Anton Muhajir | Published 8:02 PM, October 29, 2015
Pembatalan diskusi tragedi 1965 di Ubud Writers & Readers Festival karena kepolisian menjadikan Ketetapan MPRS No. XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI sebagai dasar
Salah satu panel diskusi dalam perhelatan Ubud Writers & Readers Festival di Ubud, Bali, 29 Oktober. Foto dari Facebook/ubudwritersfest
UBUD, Indonesia – Hari ini, Kamis, 29 Oktober, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kembali diadakan. Festival para penulis dan pembaca buku tiap tahun ini sudah diadakan 12 kali. Namun, tahun ini dengan sejumlah pembatalan dan pertanyaan.
Seminggu menjelang pelaksanaan UWRF, panitia membatalkan rencana diskusi, menonton film, dan bedah buku terkait peristiwa 1965. Penyelenggara UWRF mengumumkan pembatalan tersebut melalui situs resmi Jumat lalu. Sebagian isinya seperti di bawah ini.
“Pada hari ini, Jumat tanggal 23 Oktober 2015, dengan berat hati Ubud Writers & Readers Festival secara resmi mengumumkan beberapa sesi yang dibatalkan.
Tiga diskusi panel terkait Rekonsiliasi dan Pemulihan, pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer, dan pameran serta peluncuran bukuThe Act of Living tidak dapat dilaksanakan. Terkait satu dan lain hal, program-program tersebut terpaksa harus dibatalkan.”
Namun, panitia tidak menyampaikan dengan jelas apa alasan pembatalan. Mereka hanya menyebut, “Terkait satu dan lain hal, program-program tersebut terpaksa harus dibatalkan.”
Tidak ada penjelasan lebih lanjut kenapa dan bagaimana cerita di balik pembatalan tersebut.
Jadi, bagaimana cerita sebenarnya? Manajer Program Indonesia UWRF I Wayan Juniarta menceritakan kepada Rappler.
'Tidak usah ada topik komunisme atau 1965'
Tanda-tanda akan mulai ada pembatalan beberapa kegiatan sudah muncul sejak 8 Oktober lalu. Pihak kelurahan dan kepolisian sektor setempat mendatangi kantor UWRF di Ubud, Gianyar. Mereka menanyakan apakah benar akan ada program tentang tragedi 1965 di UWRF kali ini.
Tema UWRF tahun ini adalah "17.000 Pulau Kaya Imajinasi". Di dalamnya memang termasuk rencana beberapa program utama tentang rekonsiliasi dan pemulihan pasca 1965. Misalnya, pemutaran film dokumenter The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer dan pameran serta peluncuran buku The Act of Living tentang ibu-ibu penyintas kekerasan 1965.
Pihak kelurahan dan polsek setempat, yang turut bertanggung jawab memberi rekomendasi izin pelaksanaan UWRF, meminta agar penyelenggara fokus pada tujuan awal UWRF sebagai media promosi pariwisata. Tidak usah ada topik tentang komunisme, Partai Komunis Indonesia (PKI), ataupun peristiwa 1965, pinta mereka.
“Jika masih ada diskusi-diskusi tentang 1965, mereka tidak akan memberikan rekomendasi untuk izin,” kata Juniarta.
Sejak 8 Oktober itu, mulai ada diskusi intensif antara pihak kepolisian, kelurahan, tentara, dan penyelenggara.
Menurut Juniarta, pihak kepolisian menggunakan dasar hukum Ketetapan MPRS No. XXV tahun 1966. Tap MPRS yang disahkan pada 5 Juli 1966 ini berbunyi tentang pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang, serta larangan kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
“Suka tidak suka, aturan itu memang masih ada dan berlaku,” ujar Juniarta.
Aturan tentang larangan diskusi ataupun kegiatan untuk menyebarkan faham komunisme itu dijadikan dasar oleh polisi meskipun tidak disebutkan di atas kertas. Juniarta menambahkan, izin kegiatan memang harus dari Mabes Polri karena UWRF termasuk kegiatan berskala internasional.
'Tragedi 1965 tak ada hubungannya dengan promosi pariwisata'
Setelah mendapat imbauan pertama itu, Jun menghubungi Janet DeNeefe dan Ketut Suardana. Janet adalah inisiator dan direktur UWRF. Adapun Ketut adalah pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati, penyelenggaraevent tahunan UWRF. Karena keduanya masih di Jerman untuk hadir dalam Frankfurt Book Fair, mereka belum bisa mengambil keputusan.
Pada Kamis pekan lalu, penyelenggara UWRF mengadakan rapat koordinasi. Selain pihak yayasan, hadir pula Kapolsek Ubud, Lurah Ubud, dan Wakil Komandan Koramil (Wadanramil) Ubud. Selama rapat tersebut, pihak polisi kembali menegaskan imbauan agar penyelenggara festival fokus pada tujuan festival, promosi pariwisata, dan budaya.

“Diskusi tentang peristiwa 1965 dianggap tidak berhubungan dengan promosi pariwisata dan budaya sama sekali,” ujar Juniarta.

Sehari setelah rapat koordinasi di kantor UWRF di Ubud, penyelenggara UWRF kembali diundang rapat lagi di Mapolres Gianyar. Kali ini bersama para anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Fokorpimda) Kabupaten Gianyar. Hadir para pimpinan daerah antara lain Kapolres Gianyar, Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar, dan Kepala Pengadilan Negeri.
Dalam rapat itu, menurut Juniarta, pihak kepolisian menegaskan lagi imbauan agar UWRF tidak melaksanakan kegiatan terkait komunisme dan 1965. Ketut Suardana, sebagai Ketua Yayasan Mudra Saraswati, pun menerima imbauan tersebut. Mereka pun sepakat membatalkan beberapa agenda terkait PKI, komunisme, ataupun peristiwa 1965.
“Kami harus memikirkan dampak lebih luas jika kami tidak mendapat izin pelaksanaan Ubud Writers and Readers Festival,” kata Juniarta. Selain itu, ia menambahkan, Ketut pun menegaskan bahwa UWRF berada di wilayah Indonesia dan karena itu harus taat pada aturan hukum di Indonesia.
Setelah penyelenggara sepakat membatalkan semua kegiatan terkait 1965, maka izin dari Mabes Polri pun dikeluarkan. Izin terhadap UWRF tersebut memang sebagai kegiatan pelestarian, pengembangan, dan pertukaran lintas budaya internasional.
Izin itu sendiri sudah dikeluarkan di Jakarta pada 20 Oktober 2015 dengan tanda tangan dari Kepala Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri. Namun, surat izin tersebut disertai empat poin catatan. Di antaranya bahwa penanggung jawab wajib mencegah jika terindikasi terjadi penyimpangan dari tujuan kegiatan.
Poin lain adalah bahwa bilamana terjadi penyimpangan, maka kepolisian dan/atau keamanan dapat membubarkan kegiatan.
Tidak ada hitam di atas putih bahwa polisi melarang diskusi terkait peristiwa 1965. Kapolres Gianyar AKBP Farman pun mengatakan bahwa tidak ada intervensi dan larangan terhadap UWRF. “Program (1965) dibatalkan oleh panitia, bukan polisi,” kata Farman.
'Skenario besar membungkam kebenaran 1965'
Menurut informasi di situs, setidaknya ada tujuh kegiatan terkait peristiwa 1965 yang dibatalkan. Selain pemutaran film The Look of Silence dan peluncuran buku The Act of Living, rencana diskusi tentang proyek musik Prison Songs, lagu-lagu karya penyintas peristiwa 1965 pun dibatalkan.
Roro Sawita, aktivis Komunitas ’65 Bali yang mendampingi para penyintas peristiwa 1965, menyesalkan pembatalan tersebut meskipun dia tidak terlalu kaget.
“Sudah bisa diduga akan terjadi pembatalan. Ini kan hanya salah satu bagian dari skenario besar membungkam pengungkapan kebenaran peristiwa 1965,” kata alumni Fakultas Sastra Universitas Udayana tersebut.
Dia menyebut contoh pencekalan Tom Iljas di Sumatera dan pelarangan Majalah Lentera di Salatiga membuktikan bahwa pemerintah memang masih alergi terhadap diskusi tentang peristiwa 1965.
Roro direncanakan akan mengisi sesi tentang Prison Songs, proyek rekaman lagu-lagu penyintas 1965. Roro seharusnya berdiskusi bersama Made Mawut dan Nyoman Angga, musisi yang terlibat dalam proyek tersebut pada Jumat, 30 Oktober 2015.
Namun, sesi itu kemudian dibatalkan panitia, seperti juga rencana kegiatan-kegiatan lain di festival buku terbesar di Asia Tenggara ini. —Rappler.com
http://www.rappler.com/indonesia/111118-kronologi-pembatalan-diskusi-1965-ubud-writers-readers-festival

Senin, 26 Oktober 2015

[TOM ILJAS]

Apa yang mereka takutkan pada lelaki sepuh yang berjalan bertelekan tongkat kayu itu?
(Hati nuranimu sendirikah?)

TOM ILJAS
Tak mudah mengejawantahkan rasa cinta kepada tanah leluhur, setidaknya bagi Tom Iljas, orang Minang yang kini berpaspor Swedia. Lelaki sepuh 77 tahun ini datang ke Indonesia, berziarah ke makam orang tuanya -- mungkin untuk terakhir kalinya -- tapi yang ia temui adalah bangsa yang sama yang dulu menyapihnya dari Indonesia.
Di tahun 1960-an, Tom Iljas adalah satu dari ratusan anak muda cemerlang yang dikirim Indonesia untuk belajar ilmu dan teknologi di berbagai negara di dunia. Tom belajar di Beijing, China, di sekolah elit Peking Institute of Agricultural Mechanization. Suatu hari, seusai kisruh politik seputar G30S/PKI pada 1965 di Indonesia, Tom tiba-tiba mendapati dirinya bukan lagi bagian dari tanah airnya. Ia bahkan tak tahu apa yang terjadi di Indonesia ketika paspornya ditarik negara dan ia hidup terlunta-lunta. “Dan tiba-tiba, saya terlempar dari Indonesia. Stateless selama 18 tahun,” katanya, suatu ketika.
Selama itu ia seperti layang-layang putus dan tak tahu menunggang angin. Untunglah, bersama sejumlah “layang-layang putus” lainnya ia diterima di Swedia, lalu menjadi warga negara. Raganya di Stockholm, tapi cintanya tak pernah pupus ke tanah leluhurnya.
Kini, Tom kembali seperti dulu. Seusai kunjungan yang gaduh ke Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 11 Oktober 2015 itu, Tom dideportasi dan dimasukkan dalam daftar tangkal oleh Indonesia.
Marahkah Tom Iljas? Adakah cintanya tak bersisa untuk Indonesia?
Beberapa tahun lalu, untuk penulisan sebuah buku, saya beruntung beroleh kesempatan menelusuri keberadaan orang-orang seperti Tom Iljas di Rusia. Mereka adalah para EKSMAHID, eks mahasiswa ikatan dinas, begitu pemerintah Indonesia menyebutnya.
Berpuluh tahun lamanya, Indonesia adalah negeri yang hilang dalam benak ratusan mahasiswa Indonesia ikatan dinas yang dikirim ke Uni Sovyet untuk belajar. Ketika rezim Orde Baru berkuasa, Pemerintah Indonesia membekukan segala bentuk hubungan kerjasama dengan Uni Soviet. Para peneliti Uni Soviet yang sedang berada di Indonesia diminta kembali ke negaranya. Sebaliknya, mahasiswa Indonesia di Uni Soviet menerima palu talak dari pemerintah negeri leluhur: mereka tak boleh pulang ke tanah air!
Ironis, sebagian besar mereka awam politik, hanya memenangkan beasiswa pemerintah zaman Soekarno. Semenjak itu, mereka pun hidup terlunta-lunta, bekerja serabutan demi menyambung napas di negeri yang masih pekat dengan komunisme. Dalam perjalanan waktu perubahan juga terjadi di negara Uni Sovyet. Komunis tidak lagi sejumawa dahulu.
Ratusan eks mahasiswa ikatan dinas di Rusia kemudian berpindah ke Belanda. Hanya tersisa sekitar 15 orang yang memilih tinggal di Rusia. Bahkan kini, dalam hitungan Awal Uzhara, salah seorang eksmahid, dari 15 orang itu, yang hidup tinggal tujuh orang. Usia mereka kini rata-rata 70-an tahun.
Di bulan Mei 2008, Hamid Awaludin mengisi jabatan Duta Besar Republik Indonesia di Moskow. Beberapa hari setiba di sana, ia meminta bertemu dengan para eksmahid dan keluarganya. Boleh jadi, ini impian lama sang duta besar, semenjak ia masih menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang mendorong rekonsiliasi para bekas warga Indonesia yang terabaikan nasibnya itu.
Pada mulanya, Hamid mendapat tentangan, bukan dari luar, tapi dari bawahannya sendiri. Jajaran atase pertahanan di KBRI Moskow enggan bertemu dengan para eksmahid dan keluarganya. Alasan mereka: orang-orang yang kini berusia jompo itu “orang-orang yang bermasalah”.
Suatu hari, Hamid memanggil seorang atase. Ia bertanya,”Apakah Anda mengenal Soebandrio dan Oemar Dhani?” katanya. “Tentu kenal, Pak,” kata sang atase.
Soebandrio, bekas Perdana Menteri Republik Indonesia dan pernah jadi Dubes RI di Moskow. Sementara Marsekal Oemar Dhani adalah mantan Menteri Panglima Angkatan Udara. Mereka dijatuhi hukuman seumur hidup karena terbukti bersalah -- keputusan hukum tetap. Mereka telah menjalani hukuman itu beberapa puluh tahun sampai era reformasi di Indonesia tiba ketika amnesti besar-besaran diberikan pemerintahan Habibie. Mereka bersama tahanan politik lainnya keluar dan kembali menjadi warga negara, tanpa gelar negatif lagi.
“Soebandrio dan Oemar Dhani jelas-jelas adalah orang bersalah, sudah dihukum penjara. Tapi pemerintah memberikan amnesti dan membebaskan mereka. Kini mereka sama dengan warga negara Indonesia lainnya,” kata Hamid. Sementara, orang-orang eksmahid ini, “datang ke Rusia secara resmi, dikirim oleh pemerintah untuk menuntut ilmu. Mereka tidak pernah dihukum, tetapi hanya diberi label secara politik. Apa salah mereka?”
Untuk fakta ini, sang atase tidak membantah. Tapi ia menukas: mereka, para eksmahid di Rusia itu bukan lagi warga negara Indonesia. “Kalau masuk ke kedutaan kita, nanti mereka mengacau. Apalagi kalau masuk gedung kita. Di sini kan banyak rahasia kita,” katanya.
Argumentasi ini langsung dibantah Hamid. “Kalau mereka mengacau, ya, kita serahkan ke polisi.” Lalu, soal rahasia negara di ruang-ruang kedutaan, kata Hamid: “Apakah para pembersih ruangan saya di kantor dan di wisma adalah warga negara Indonesia?”
"Bukan Pak. Mereka adalah warga negara Rusia, termasuk pembuat minuman."
Alhasil, undangan ditebar, para eksmahid dan keluarganya datang ke gedung kedutaan di kawasan Novokuznetskaya. Apa yang mereka lakukan begitu duduk dan berkumpul? Menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Di antara mereka ada Sukirno. Ia seorang profesor dan ahli penyakit dalam di Universitas Moskow. Ia hidup cukup senang di Moskow. Seorang putrinya adalah juara nasional tenis di Rusia. Sukirno duduk di belakang Hamid. Ia menyapa sang duta besar: “Saya dengar Pak Dubes senang badminton. Seorang keponakan saya di Indonesia juga pemain badminton dan sering mewakili Indonesia,” kata dia. Ia menyebut nama keponakan yang tak pernah ditemuinya itu. Sebuah nama yang sudah karib benar di telinga Hamid: Sigit Budiarto, pemegang gelar juara ganda All England, pasangan Chandra Wijaya.
Beberapa bulan kemudian, dalam sebuah kunjungan ke Indonesia, Hamid kembali ke Moskow bersama Sigit Budiarto. Ia menggamit Sigit untuk dua misi: mempertemukannya dengan pengurus federasi bulutangkis Rusia kalau-kalau Sigit bisa menjadi pelatih bulutangkis di sana, dan juga mempertemukannya dengan sang paman.
Maka, pada suatu malam di wisma Indonesia, Moskow, terjadilah pertemuan dua generasi yang pernah terhela arus politik itu: Sigit Budiarto dan Sukirno. Pada mulanya tak ada kata-kata dari mereka. Keduanya hanya saling memandang di depan Hamid. Sampai kemudian, putri Sukirno memecah kebekuan: “Sigit,” katanya dengan mata sembab. Mereka pun saling berpelukan.
Hamid kemudian meminta nomor telepon ayah kandung Sigit di Yogyakarta –saudara kandung Sukirno. Hamid menelponnya, lalu menyerahkan gagang telepon itu kepada Sukirno. Malam itu, untuk pertama kalinya kedua saudara sekandung saling berbicara dan mendengar suara, semenjak Sukirno meninggalkan tanah air di tahun 1962. Dalam rentang waktu setengah abad itu, mereka hanya saling mengenang sebagai saudara, dalam aroma ketakutan akan kekuasaan yang telah memisahkan mereka.
Begitulah. Kejadian yang menimpa Tom Iljas di Sumatera Barat menunjukkan satu fakta yang lama tak disadari: kesenjangan antara para eksmahid yang umumnya intelektual cemerlang dengan aparat birokrasi dan keamanan Indonesia yang sebagian besar lahir setelah peristiwa 1965 itu. Atase di kedutaan Indonesia di Moskow, polisi dan petugas imigrasi di Sumatera Barat, masih berada dalam kabut masa silam yang pekat, yang tertutup, dan terancam.
Apa yang mereka takutkan pada lelaki sepuh yang berjalan bertelekan tongkat kayu itu?
-- Tebet, 17 Oktober 2015
Tommy Lebang

https://www.facebook.com/nursyahbani.katjasungkana/posts/10207716594742527

Diskusi 'Lubang Buaya' di Ubud Tak Gentar Jika Disetop Polisi

CNN Indonesia


Ilustrasi buku. (JamesDeMers/Pixabay)
JakartaCNN Indonesia -- The Crocodile Hole seharusnya didiskusikan dengan menarik sebagai salah satu rangkaian acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015, Kamis (29/10) mendatang. Novel itu karya Saskia Wieringa, pemerhati gender yang juga seorang pengajar di Universitas Amsterdam.

Namun acara peluncuran buku itu bernasib sama seperti sesi-sesi lain di UWRF 2015 yang bertemakan peristiwa 1965. Dibatalkan begitu saja. Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang juga menaungi penerbitan The Crocodile Hole, mengaku baru mendapat surel pembatalan pada Minggu (25/10) kemarin.

"Saya dapat e-mail dari Janet (Janet DeNeefe, Direktur UWRF 2015) kemarin. Kan ada pembatalan untuk semua acara yang terkait 1965 di Ubud Writers," ujar Dewi saat dihubungi CNN Indonesia lewat telepon, Senin (26/10) sore.

Menurutnya, pembatalan itu jelas menghambat proses demokrasi. "Juga menghambat pelurusan sejarah, terutama soal Gerwani, organisasi perempuan paling progresif pada masa itu," ujarnya. Gerwani banyak melahirkan tokoh politik, seperti SK Trimurti, kata Dewi.

Namun tidak seperti sesi lain yang masih dibiarkan "bolong," peluncuran The Crocodile Hole tetap diadakan  meski bukan lagi di bawah kepanitian UWRF 2015. Jurnal Perempuan mengumumkan melalui situs web resminya, diskusi buku itu hanya berpindah lokasi.

"YJP Press akan tetap mengadakan acara bincang-bincang santai mengenai novel ini dengan penulisnya pada tanggal yang sama, 29 Oktober 2015, Pkl. 13.00-16.00 di Nuri's Nacho Mama, Jl. Raya Campuhan, Ubud (sebelah Naughty Nuri's)," demikian tertulis di situs webnya.

Sebelumnya, Jurnal Perempuan menyatakan menyesal diskusi di UWRF 2015 harus dibatalkan karena "Tekanan pihak yang berotoritas."

"Tapi ini kan diskusi untuk ilmu pengetahuan. Kalau otoritas bilang politik, tidak satu pun dari kami yang terkait politik. Ini diskusi yang bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, di mana saja. Kami pun tetap dibantu panitia," ujar Dewi. Sejauh ini, pihaknya tidak mendapat tekanan dari otoritas setempat.

"Ketakutan itu tidak beralasan. Ini karya kemanusiaan," tegas Dewi.

Ia mengaku tidak gentar jika pada pelaksanaannya nanti, diskusi The Crocodile Hole akan didatangi polisi dan dipaksa bubar. "Enggak apa-apa. Kalau disuruh berhenti ya berhenti. Kami pernah mengalami hal yang sama di Solo," ujar desainer sampul dan ilustrator konten The Crocodile Hole itu dengan santai.

The Crocodile Hole sendiri, menurut keterangan Dewi, merupakan novel yang berbasis penelitian. Buku itu mengisahkan tentang Tommy, seorang jurnalis muda yang bertemu para korban peristiwa 1965 karena penasaran soal cerita adanya perempuan-perempuan menari saat pembunuhan jenderal, dan pengebirian mereka.

"Ini perlu dibaca siapa pun, untuk mengetahui sejarah meskipun dalam versi novel," ujar Dewi.

Dewi menuturkan, terbitnya The Crocodile Hole termasuk bukti bahwa sastra bisa digunakan sebagai media alternatif untuk bersuara saat zaman tidak memungkinkan sejarah diluruskan.

The Crocodile Hole hanya salah satu "sesi 1965" dalam UWRF 2015 yang dibatalkan karena permintaan kepolisian setempat. Tiga sesi diskusi dibatalkan, demikian pula pemutaran The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer, peluncuran buku The Act of Living, serta bukuBali, 1964 to 1969. (rsa/utw)

http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20151026152324-241-87435/diskusi-lubang-buaya-di-ubud-tak-gentar-jika-disetop-polisi/

Minggu, 25 Oktober 2015

Menunggu Jawaban Jokowi atas Pertanyaan Senat AS soal Peristiwa 1965-66

Minggu, 25 Oktober 2015 15:33 WIB


Oleh: Wahyudi Djafar | Peneliti ELSAM
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi menerima kunjungan kenegaraan Sri Baginda Ratu Margrethe II Denmark beserta Yang Mulia Pangeran Consort, yang disambut dengan upacara kenegaraan, Kamis (22/10/2015) di Istana Merdeka, Jakarta. Selanjutnya melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Denmark. TRIBUNNEWS/SETPRES 
TRIBUNNEWS.COM - Dalam beberapa hari ke depan Presiden Joko Widodo akan melangsungkan lawatan kenegaraan ke Amerika Serikat untuk yang pertama kalinya. Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang paling berpengaruh dalam politik Indonesia. Tidak hanya saat ini, tetapi dari semenjak awal berdirinya negara Indonesia.
Amerika Serikat memiliki keterkaitan erat dengan hampir seluruh peristiwa politik kontroversial yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Termasuk Peristiwa berdarah 1965, yang berdampak pada terjadinya pembantaian massal, dengan korban jiwa mencapai jutaan orang. Hal ini seperti diakui oleh beberapa dokumen intelijen Amerika Serikat, yang telah mulai dideklasifikasi semenjak tahun 2001. Dokumen-dokumen tersebut memperlihatkan komunikasi intensif antara badan intelijen maupun Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, dengan militer Indonesia.
Menyikapi hal itu, Senator Amerika Serikat dari negara bagian New Mexico, Mr. Tom Udall, pada 10 Desember 2014 telah mendorong lahirnya Resolusi Senat No. 596, yang pada intinya memberikan pengakuan atas persitiwa yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1965-66, mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk membuka arsip rahasia negara terkait peristiwa 1965-66, serta meminta pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi atas peristiwa yang tejadi.
Tahun ini, tepat lima puluh tahun terjadinya peristiwa berdarah 1965-66, banyak pihak yang memperingati peristiwa traumatik ini, baik oleh komunitas korban, pegiat HAM dan warga yang peduli, termasuk generasi muda. Dengan semangat memahami apa yang terjadi 50 tahun yang lalu, berbagai inisiatif telah diambil melalui karya-karya tulis dan film, diskusi-diskusi antar intelektual dan akademisi, serta lagu dan ilustrasi kreatif. Semua ini menunjukkan niat publik yang peduli pada kebenaran tentang masa lalu untuk menghadapi dan menyikapi sejarah kelam bangsa Indonesia melalui berbagai upaya memorialisasi.
Sayangnya, setelah 17 tahun reformasi, masih belum ada inisiatif resmi dari negara untuk menuntaskan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi dalam persitiwa tersebut. Para korban tetap mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, sehingga mereka tidak mendapatkan kebebasan seperti halnya warga negara pada umumnya. Negara tidak kunjung memberikan hak atas keadilan dan pemulihan. Fragmentasi sosial di masyarakat tetap mencolok, dan cenderung memanas tiap kali muncul inisiatif untuk penyelesaian, maupun setiap mendekati waktu terjadinya peristiwa. Belum adanya penyelesaian menyeluruh atas kasus tersebut, dengan menempatkan negara sebagai penanggungjawab utama, menyulitkan adanya re-integrasi sosial di masyarakat, termasuk untuk tidak lagi meneruskan rantai kekerasan di masa lalu.
Situasi ini setidaknya tergambar dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK, yang dengan lantang menjanjikan penuntasan berbagai kasus masa lalu dalam janji politiknya. Dalam pantuan yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) misalnya, sepanjang periode Oktober 2014 sampai dengan Oktober 2015, sedikitnya terjadi 27 peristiwa pengekangan kebebasan yang mengusik rasa aman, dengan latar belakang peristiwa 1965. Peristwa pengekangan ini beragam bentuknya, mulai berupa tindakan: (i) Pelarangan, baik film, diskusi, pertemuan, maupun pemutaran film sebanyak 17 kasus; (ii) Pembubaran paksa, khususnya pertemuan para korban, sebanyak 4 kasus; (iii) Intimidasi 3 kasus, termasuk menggunakan slogan-slogan kekerasan masa lalu; (iv) Deportasi 1 kasus; (v) Penangkapan sewenang-wenang 1 kasus; dan (vi) Pembredelan 1 kasus, yang dialami oleh Majalah Mahasiswa FIKOM UKSW Salatiga “LENTERA”.

Berbagai macam bentuk pengekangan kebebasan yang mengusik jaminan rasa aman di atas, mayoritas pelakunya adalah aktor negara, khususnya aparat keamanan dan militer (25 kasus), ada juga yang melibatkan organisasi kemasyarakatan (11 kasus). Bahkan institusi akademik, yang semestinya menjunjung tinggi mimbar kebasan akademik, turut serta sebagai pelaku pelarangan (5 kasus). Persebaran wilayah terjadinya peristiwa paling banyak terjadi di Jawa Timur (9 kasus), DI Yogyakarta (6 kasus), Jawa Tengah (4 kasus), dan Sumatera Barat (3 kasus).
Gambaran wilayah terjadinya peristiwa pengekangan ini juga sekaligus memperlihatkan kembali titik-titik panas terjadinya kekerasan sepanjang tahun 1965-66. Memerhatikan peristiwa yang terjadi, wilayah yang tersebar di berbagai daerah, serta aktor-aktor yang terlibat sebagai pelaku, memunculkan dugaan bahwa seluruh rangkain peristiwa yang terjadi merupakan implementasi dari suatu perintah yang sistematis dari institusi tertentu. Beragam peristiwa pengekangan ini juga menunjukan adanya keengganan dari kelompok tertentu untuk memulai kerja-kerja pengungkapan kebenaran, dengan melihat sejarah yang sesungguhnya dalam peristiwa 1965-66. Sebagai contoh, pelarangan sistemtasi terhadap pemutaran film Senyap ‘The Look of Silence’ karya sutradara Joshua Oppenheimer, serta baru-baru ini pelarangan untuk mendiskusikan tema 1965 dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 di Bali.
Menyikapi hal tersebut, sekitar 50 organisasi masyarakat sipil dan organisasi korban yang tergabung dalam Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), mengingatkan kembali pentingnya penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Peristiwa 1965-66. Lebih khusus lagi, koalisi nasional yang dipimpin secara kolektif oleh 7 organisasi (KontraS, ELSAM, IKOHI, AJAR, Yayasan Pulih, Lembaga Kreatif Kemanusiaan, dan Pamflet) meminta kepada pemerintah, terutama Presiden, untuk menggunakan seluruh instrumen kenegaraan yang dimilikinya, guna memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga negara, yang memiliki inisiatif untuk memulai langkah-langkah penyelesaian peristiwa 1965-66, dengan berbagai caranya masing-masing. Beragam inisiatif mandiri melalui pemutaran film, diskusi sejarah peristiwa, pertemuan korban dengan generasi muda, rekonsiliasi di akar rumput, akan menjadi modal sosial yang kuat bagi upaya-upaya yang semestinya secara resmi ditempuh negara untuk menyelesaikan peristiwa kelam di masa lalu.
Terkait dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat, Presiden perlu memberi jawaban atas permintaan Senat AS dengan memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga negara yang melakukan langkah memorialisasi terhadap peristiwa 1965-66. Presiden juga semestinya menegaskan kembali komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965-66, secara adil dan bermartabat, sebagaimana ditegaskan di dalam Nawacita visi misi pemerintahan Jokowi-JK.
Jakarta, 25 Oktober 2015
http://www.tribunnews.com/tribunners/2015/10/25/menunggu-jawaban-jokowi-atas-pertanyaan-senat-as-soal-peristiwa-1965-66

Sabtu, 24 Oktober 2015

MENGUTUK PEMBERANGUSAN TERHADAP KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA

Pernyataan Terbuka | 24/10/2015
Kebebasan berekspresi dan berpikir kritis sedang mengalami serangan yang brutal di Indonesia. Serangkaian tindakan represif dan kejam dilakukan oleh pihak berwenang terhadap upaya-upaya untuk membuka kembali dan membongkar secara kritis atas tindakan pembersihan terhadap komunis dan para pendukungnya pada tahun 1965, yang dilakukan dengan alasan demi bangsa yang lebih baik, merupakan bukti bahwa warisan totalitarian dari rejim Orde Baru masih bercokol dan hidup. 

Suharto mungkin sudah mati, tapi para penjaga orde baru masih mengawasi gerak gerik warga negara ini, dan pada banyak kasus justru melakukan tindakan-tindakan menindas untuk membungkam kebebasan rakyat. 

Kita sudah lihat beberapa bukti hanya dalam satu minggu ini saja. 

Penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap Tom Iljas di Sumatera serta deportasi dan memasukkannya ke dalam daftar tangkal oleh aparat polisi dan imigrasi setempat hanya karena ia mengunjungi makam ayahandanya--yang menjadi korban pembantaian massal pada tahun 1965--merupakan contoh nyata dari hadirnya hantu Orde Baru itu dimana negara melakukan tindakan kejahatan terhadap rakyatnya sendiri. Teror bertubi-tubi yang dialami oleh Kerabat Tom Iljas pasca penangkapannya yang dilakukan oleh kepala desa dan camat setempat menunjukkan busuknya mentalitas para aparat negara dan pejabatnya. 

Kemudian Majalah Mahasiswa Lentera dipaksa untuk menarik penerbitan edisi terbaru majalah mereka karena mempublikasikan cerita mengenai pembunuhan-pembunuhan yang terjadi pada tahun 1965 di Salatiga, Jawa Tengah. Tiga mahasiswa yang terlibat dicokok polisi dan diinterogasi. 

Kita juga menjadi saksi atas pembatalan atau penyerangan terhadap acara-acara yang membahas berbagai aspek tahun 1965 baik yang dilakukan oleh warga sipil maupun aparat penegak hukum di berbagai tempat di Indonesia (Banyuwangi, Solo, Bukit tinggi dll). Kejadian-kejadian ini merupakan bukti kuat bahwa telah terjadi ancaman dan ketiadaan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Dan yang terkini, Ubud Writers and Readers Festival juga mengalami intimidasi yang dilakukan oleh aparatus lokal dan nasional agar membatalkan program mereka yang berkaitan dengan pembunuhan massal tahun 1965 merupakan bukti nyata bahwa pejabat negara mengawasi setiap langkah warga negaranya dan semakin menegaskan tindak represi terhadap warga sipil dan kreatifitas. 
Kami, para penulis, jurnalis, seniman dan aktivis, bersatu mengutuk represi yang semakin sering terjadi terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi rakyat dan pemasungan berpikir kritis dengan menggunakan cara-cara represif ala Orde Baru. 

Kami mendesak: 

1. Polri dan para petugasnya di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, terutama di Bali, Salatiga dan Padang untuk menghargai hak konstitusional dan hak dasar rakyat dalam kebebasan berekspresi. Mereka harus segera menghentikan tindakan pelarangan ataupun pembatalan diskusi atau seminar untuk memperingati 50 Tahun tragedi 1965 karena semua kegiatan itu harus dianggap sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional seperti yang dijanjikan oleh pemerintah Presiden Joko Widodo. 

2. Membatalkan segala bentuk tindakan imigrasi (deportasi, pencekalan) terhadap Tom Iljas, berdasarkan fakta bahwa Tom Iljas dan keluarganya tidak bersalah dan tidak melakukan pelanggaran imigrasi. 

3. Presiden Joko Widodo dan pemerintah Indonesia bersama dengan pemerintah daerah memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan mereka yang menginginkan maupun merencanakan diskusi, peninjauan kembali dan melakukan investigasi mengenai tragedi 1965 dari segala bentuk penyensoran, intimidasi dan teror. 

4. Kelompok dan individual yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap diskusi mengenai tragedi 1965 untuk menahan diri dan membuka ruang dialog sehingga memungkinkan solusi damai atas tragedi nasional tersebut. 

Kami percaya setelah 50 tahun bangsa ini sangat membutuhkan investigasi dan diskusi yang terbuka, transparan serta jujur mengenai pembantaian massal terhadap komunis pada tahun 1965 dan kejadian-kejadian pasca tahun tersebut yang telah merenggut jutaan nyawa dan mendatangkan penderitaan bagi jutaan orang lainnya. 

Keluarga korban harus menerima keadilan yang sudah sepatutnya mereka dapatkan, karena kami percaya lembaga yang diduga terlibat dalam kejahatan itu sebaiknya membersihkan nama baik mereka sehingga mereka bisa menyongsong masa depan yang lebih baik. Menjadi kepentingan bangsa dan rakyat negeri ini untuk tidak mengaburkan sejarah mengenai pembantaian itu sehingga ada keadilan bagi pelaku dan korban. 

http://www.lawanimpunitas.com/

Sabtu, 17 Oktober 2015

Seorang kakek ditangkap saat ziarah ke kuburan massal korban tragedi 1965

5:23 PM, October 17, 2015 |  Febriana Firdaus

Tom Iljas dan rombongannya dituduh membuat film dokumenter tentang tragedi 1965 oleh polisi

TRAGEDI 1965. Kuburan 24 orang yang dibunuh karena diduga anggota Partai Komunis Indonesia di Kampung Plumbon, Semarang. Foto screengrab Youtube
JAKARTA, Indonesia— Tom Iljas, 77 tahun, orang Indonesia di tinggal Swedia, berniat untuk berdoa di makam ayahnya yang merupakan korban pembunuhan massal saat tragedi 1965 di Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Dia malah diamankan oleh polisi dan imigrasi dengan tudingan membuat dokumentasi yang dianggap membahayakan keamanan negara.
Tom adalah salah satu mahasiswa tehnik mekanisasi pertanian tahun 1960-an yang dikirim oleh Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Barat ke Swedia. Niat awal hanya untuk melanjutkan sekolah berlanjut menjadi pembuangan bertahun-tahun karena dia kemudian terhalang pulang dan menjadi eksil di Swedia.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Padang Wendra Rona Putra menuturkan, Tom yang sudah bertahun-tahun tak pulang kampung, akhirnya mendapat kesempatan langka itu. Dia akhirnya bisa pulang ke Indonesia. Pada 11 Oktober, dengan membawa kamera foto, Tom pergi ke makan ibunya, almarhum Siti Mawar di pemakaman Kampung Salido, Sumatera Barat.
Tom kemudian meneruskan perjalanan menuju sebuah lokasi yang diyakini oleh penduduk desa sebagai pemakaman massal tempat di mana ayahnya, almarhum Ilyas Raja Bungsu dikebumikan.
Lokasi pemakaman massal tersebut tidak asing lagi bagi warga sekitar, karena pernah disebut oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
“Sampai di lokasi yang diduga tempat Ayah Tom Ilyas dikuburkan massal bersama korban lainnya, penduduk yang menemani Tom meminta ijin kepada pemilik tanah yang baru untuk berdoa. Kepala Kampong tidak mengijinkan,” kata Rendra.
Menurut kesaksian, ada sekitar 20 orang yang diduga intel mengawasi dan memotret kegiatan Tom saat itu. “Tom segera memutuskan pulang dan membatalkan ziarah ke makam ayahnya,” katanya.
Saat perjalanan pulang, Tom dan rombongannya dicegat oleh mobil polisi dengan personel tidak berseragam. Personel polisi tersebut kemudian mengambil alih setir mobil Tom dan rombongannya, mereka dibawa ke Kepolisian Resor Pesisir selatan untuk diinterogasi.
Dituduh membahayakan keamanan nasional
DIPERIKSA POLISI. Tom Iljas saat menjalani pemeriksaan di Kepolisian Resor Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto istimewa
DIPERIKSA POLISI. Tom Iljas saat menjalani pemeriksaan di Kepolisian Resor Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto istimewa
Proses pemeriksaan berlangsung selama lebih dari 24 jam, yakni sejal pukul 4 sore hingga 5 pagi. Kepala Satuan Intelijen Polres Pesisir Selatan berkomunikasi dengan Tom menggunakan bahasa Minang.
Pemeriksaan selama hampir seharian itu membuat Tom lelah. “Tom dan rombongan bahkan tidak sempat makan dan minum. Mereka baru makan setelah saya datang,” ujarnya. Ruang Kanit intel berubah menjadi ‘penjara’ sementara untuk Tom.
Saat interogasi, Tom dan rombongan diminta untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tapi tidak ada satupun yang bersedia. Polisi mengatakan tidak akan melepaskan rombongan jika tidak menandatangani BAP, akhirnya mereka setuju.
Setelah itu, mereka digeledah. Tas, laptop, dan mobil Tom diperiksa. “Ada dua memory card yang diambil. Kartu Tanda Penduduk dan paspor ditahan,” katanya.
Sementara itu, saat Tom diinterogasi dan penggeledahan, polisi gelar perkara bersama komandan militer Pesisir Selatan.
Dari gelar perkara, polisi tak menemukan delik yang tepat untuk Tom setelah melakukan penggeledahan. Maka atas nama hukum, Tom dilepaskan.
DIPERIKSA IMIGRASI. Tom Iljas saat sedang menjalani pemeriksaan oleh pihak imigrasi. Foto istimewa
DIPERIKSA IMIGRASI. Tom Iljas saat sedang menjalani pemeriksaan oleh pihak imigrasi. Foto istimewa
Tapi Tom tak serta-merta dilepas, kasusnya langsung dilimpahkan ke imigrasi dengan dalih membahayakan keamanan nasional dengan mendokumentasikan aktivitas di lahan kuburan massal.
LBH mengaku heran, tudingan tersebut dinilai tidak berdasar. “Dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2015 tentang imigrasi, kalau seandainya dia menggunakan visa kunjungan, maka seharusnya tidak masalah,” katanya.
Pihak imigrasi ngotot, menurut mereka aktivitas Tom sebagai warga negara asing dapat dikategorikan menyerang keamanan nasional jika nanti dokumentasi tersebut dipakai untuk menyerang pemerintah Indonesia.
“Mereka kemudian mengancam, kalau seandainya film ini beredar, mereka akan memasukkan Bung Tom ke daftar cekal,” katanya.
Setelah empat hari yang melelahkan, akhirnya Tom berhasil lolos dari polis dan imigrasi. Ia kemudian bertolak ke Belanda lewat Singapura.
Tom meninggalkan kota Padang dengan dikawal oleh dua petugas imigrasi yang juga ikut ke Jakarta. Wakil Duta Besar Swedia sempat menemui tom dan rombongannya di Bandara Soekarno Hatta. Ia memberikan dukungan penuh kepada Tom Iljas.
LBH kemudian memberi catatan pada pemerintah terkait kejadian tersebut. “Menurut kecurigaan kami, ini ada kaitannya dengan film dokumenter Joshua Oppenheimer, jadi TNI atau Intel kepolisian sepertinya tidak mau kecolongan dua kali,” kata Rendra.
Joshua adalah sutradara asal Amerika Serikat yang membuat film tentang korban tragedi 1965 berjudul Jagaldan Senyap.
Tapi ia mengingatkan pemerintah bahwa keluarga korban tragedi 1965 dilindungi konvensi hak asasi manusia. Keluarga korban berhak untuk mencari informasi tanpa sekat warga negara dan wilayah. —Rappler.com