Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 18 Juli 2017

Sri Mulyani, Facebook, dan Debt Collector

18 Juli 2017 | Oleh Edy Mulyadi* 

"Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untukmeningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal." 


Rasaya adem bener membaca atau mendengar kalimat hebat (terutama yang saya cetak tebal) ini. Siapa pun yang membaca atau mendengar bakal berpikir si empunya kutipan pastilah orang yang sangat care terhadap rakyat. Dia pasti orang yang keberpihakannya amat tinggi terhadap rakyat. 

Saya menemukan untaian kalimat indah itu di akun facebook (fb) milik Sri Mulyani Indrawati yang beralamat di https://www.facebook.com/smindrawati/. Ya, Menteri Keuangan yang akrab disapa Ani ini menuliskannya pada Jumat, 7 Juli 2017 pukul 06.28 WIB. Jadi, masih terbilang baru. Masih lumayan anget... 
Bangga betul punya Menkeu yang berpihak kepada rakyat miskin. Di tangan seorang Menkeu yang juga sekaligus Bendahara Negara, keberpihakan semacam ini tentu sangat dahsyat. 

Pasalnya, dialah (mewakili Pemerintah dan bersama DPR) yang menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari sinilah keberpihakan kepada rakyat miskin dalam bentuk meningkatkan belanja sosial disusun dan dialokasikan. Tapi bicara adalah satu hal. Sedangkan perbuatan adalah hal lain lagi. Sekarang mari kita buka data, apakah dia sesuai antara kata dan tindak nyata? Kali ini saya menggunakan pembanding dengan era yang sama. Ini untuk menghindari hujatan dan sikap nyinyir para Anier (pendukung dan pemuja Ani) ketika menanggapi artikel saya sebelumnya yang berjudul Sri Mulyani dan Pidato yang Heroik Itu... Rakyat dibegal APBN 2017 mengalokasikan anggaran untuk kategori belanja sosial (kesehatan dan subsidi energi) total mencapai Rp181,3 triliun. 

Masing-masing untuk anggaran kesehatan Rp104 triliun dan subsidi energi Rp77,3 triliun. Dalam tempo dua tahun (2015-2017), jumlah subsidi energi dipangkas sebesar 66,2%. Akibatnya, harga listrik, gas, dan BBM melonjak. Bahkan khusus listrik, pemerintah menaikkan tarifnya secara beruntun, setidaknya tiap tiga bulan.  Artinya, dalam setahun saja tarif listrik naik lebih dari 100%. Padahal tidak ada gaji pegawai atau buruh yang naik tiga kali setahun. Begitu juga dengan pendapatan rakyat yang bukan pegawai seperti petani, nelayan, pedagang asongan, dan lainnya. Ini sama saja dengan rakyat dibegal oleh Pemerintahnya sendiri.   

Sekarang bandingkan dengan duit yang dialokasikan pemerintah untuk pembayaran utang. Jumlah utang pemerintah dari waktu ke waktu makin membengkak saja. 
Jumlah utang pemerintah di akhir 2014 tercatat Rp2.605 triliun. 
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu mencatat, sampai 30 Juni 2017, angkanya melonjak jadi Rp3.707 triliun. Artinya, dalam tempo kurang dari tiga atahun utang bertambah sebesar Rp1.103 triliun. 
Data itu juga menyebutkan, dalam dua tahun ke depan Pemerintah harus mengalokasikan fulus sebesar Rp810 triliun untuk membayar utang. Rinciannya, Rp390 triliun pada 2018 dan sisanya yang Rp 420 triliun untuk 2019. Rp810 triliun! Luar biasa! 

Pada tahun ini Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk membayar utang pemerintah baik dalam dan luar negeri. Jumlah persisnya Rp221 triliun hanya untuk membayar bunga utang, alias setara dengan empat kali lipat belanja sosial pemerintah. Sebagai info, tahun lalu anggaran untuk membayar utang Rp182,8 triliun. Pada titik ini, amat layak jika kepada Sri Mulyani kita bertanya, mana peningkatan belanja sosial pemerintah untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal? Bukankah faktanya justru sebaliknya? 

Belanja sosial dalam bentuk berbagai subsidi untuk rakyat terus dipangkas. Tidak peduli rkyat tercekik beratnya beban hidup. Di sisi lain alokasi untuk membayar utang  bukan saja aman, bahkan jumlahnya terus membengkak. 

Beginilah watak dan ciri utama neolib. Utang supermahal Siapakah para pemberi utang kepada republik ini? Mereka adalah para kreditor dan bond holder atau biasa disebut sebagai investor. Kumpulan investor inilah yang dalam mazhab neolib sering disebut sebagai "pasar". Jadi, kalau mereka berkata Sri adalah Menkeu yang disukai pasar, artinya Menkeu kita disenangi investor alias para bond holder dan kreditor. Kelompok inilah yang menikmati laba supergede dari obligasi pemerintah yang diterbitkan semasa Ani menjadi Menkeu. 

Pasalnya, perempuan kelahiran Lampung, 26 Agustus 1962 ini dikenal sangat royal menebar bunga supertinggi untuk tiap surat utang yang diterbitkannya. Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menunjukkan, bahwa bunga obligasi Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan 10 negara Asia Timur lainnya. Padahal, dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,04%%) adalah keempat tertinggi. Kita mengalahkan Malaysia (4,5%), Singapura (1,8%), Thailand (3,2%), Korsel (2,3%), Taiwan (1,4%),  dan Hong Kong (1,9%). 

Tapi, tetap saja Ani mengobral bunga supertinggi untuk obligasi bertenor 1 dan 10 tahun. Bunga kita yang 6,17% untuk setahun dan 7,08% untuk obligasi 10 tahunl. Bandingkan dengan Filipina (2,9% dan 5,4%), Vietnam (3,9% dan 5,76%), dan Thailand (1,57% dan 2,6%). 
Jika dilihat selisih bunga itu sepertinya kecil, hanya 2-4%. Tapi dengan asumsi bertenor 10 tahun, nilai nominalnya sangat luar biasa. Angkanya berkisar Rp56 triliun lebih tinggi setiap tahun sejak 2016-2020. Kenapa sampai 2020? 

Karena sebagian besar utang berbunga supertinggi itu terjadi saat Ani menjadi Menkeu di era Presiden SBY, yaitu 2006-2010. Dalam periode itu, dia menjaring utang tidak kurang dari Rp476 triliun. 

Nah, sekarang silakan dikalikan saja, berapa selisih bunga yang harus dibayar Indonesia selama 10 tahun itu. Maka ada duit Rp95 triliun selisih yang kita bayar dibandingkan ketiga negara tadi. Sepertinya, sebagai Menkeu jeng Sri terlampau fokus dan amat bersemangat memalak rakyat lewat berbagai pajak dan penghapusan subsidi. Dia juga terus saja sibuk membuat utang baru. 

Alasannya untuk mengamankan APBN. Agar terbuka ruang fiskal yang lebih lebar, katanya. Padahal, duit itu untuk mengamankan alokasi pembayaran utang kepada para majikan asingnya. Kalau sudah begini, apa bedanya Menkeu dengan debt collector? Terus, bagaimana dengan untaian kalimat indah dan adem di facebook tadi? Katanya mau meningkatkan belanja sosial untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal? Buktinya kok sebaliknya? Jangan-jangan, kinerja tidaklah penting. yang penting menjaga cicilan utang jangan sampai menunggak. Begitu, ya? (*) 

Jakarta, 18 Juli 2017 

*Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Kamis, 06 Juli 2017

Pejuang Geologi Ditembak Mati di Lereng Merapi

Reporter: Iswara N Raditya  | 06 Juli 2017


Arie Frederik Lasut adalah ahli pertambangan dan geologi. Mengapa ia dihabisi oleh Belanda?
Tak banyak yang bisa menjadi seperti Arie Frederik Lasut. Ia dikenal sebagai sosok muda yang sangat berbakat dalam bidang geologi dan pertambangan. Belanda berkali-kali merayunya agar bersedia bekerjasama mengeksplorasi perut bumi Indonesia yang memang kaya-raya. Namun, Lasut pantang terhasut. Ia selalu menolak ajakan tersebut.
Lasut bukan hanya ahli geologi, tapi juga seorang yang sangat setia terhadap tanah airnya. Ia sebenarnya mau-mau saja membantu Belanda jika hal itu juga diminta oleh pemerintah RI. Tapi, jika harus menggadaikan nasionalisme hanya demi kepentingan diri sendiri, Lasut tidak sudi.
"Kalau pemerintah Republik lndonesia memerintahkan saya untuk bekerjasama dengan tuan-tuan dari Belanda, maka saya akan mematuhinya demi pemerintah dan rakyat lndonesia,” begitu ucap Lasut suatu kali (Umasih, Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai dengan Tahun 1945, 2006:61).
Namun, Indonesia yang baru saja merdeka saat itu tentu saja tidak ingin jatuh ke dalam cengkeraman Belanda lagi. Baru sesaat rakyat Indonesia menghirup udara kemerdekaan, Belanda dengan topeng barunya, NICA, keburu datang. Lasut pun ikut berjuang meskipun pada akhirnya ia harus mati muda lantaran menampik kehendak Belanda.

Cerdasnya Anak Minahasa

Arie Frederik Lasut adalah putra asli Minahasa, Sulawesi Utara. Lahir pada 6 Juli 1918, ia adalah anak sulung dari 8 bersaudara. Lasut dikenal cerdas sejak kecil. Setamat sekolah dasar di Hollands Inlandsche School (HIS) Tondano sebagai juara kelas, ia memperoleh beasiswa ke Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK), sekolah pendidikan guru di Ambon, Maluku.
Prestasi Lasut terus berlanjut. Tahun 1933, ia lulus sebagai salah satu siswa terbaik dan terpilih meneruskan studi ke HIK Bandung (Sejarah Pendidikan Daerah Maluku, 1980:6). Di masa remaja yang baru memasuki usia 15 tahun itu, Lasut sudah merantau ke Pulau Jawa yang jauh dari kampung halamannya di utara Sulawesi.
Belum lama sekolah di Bandung, minat Lasut untuk menjadi guru rupanya mengendur. Profesi mulia itu ternyata bukan cita-citanya. Lasut menempuh pendidikan di sekolah guru hanya untuk menyenangkan kedua orang-tuanya, terutama sang ayah yang memang seorang guru sekolah dasar.
Lasut justru mulai tertarik berkecimpung di ranah pergerakan berkat pergaulannya yang semakin luas di Kota Kembang. Banyak siswa HIK Bandung yang terpengaruh dalam pergerakan nasional, Lasut termasuk salah satunya (Mardanas Safwan, Arie Frederik Lasut, 1982:23).

Bersusah-payah Demi Kuliah

Atas dasar itulah Lasut akhirnya meninggalkan Bandung dan hijrah ke Batavia (Jakarta). Di kota yang menjadi sentrum pergerakan nasional itu, Lasut memutuskan untuk melanjutkan studinya yang sempat terputus di Bandung. Namun, bukan di sekolah guru, ia memilih masuk sekolah menengah umum, Algemeene Middelbare School (AMS) dan lulus tahun 1937.
Lasut kini rupanya tertarik ilmu kedokteran. Ia pun mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa di Geneeskundige Hoogeschool te Batavia. Inilah cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sayangnya, Lasut gagal menamatkan kuliah karena kesulitan dana (Album Pahlawan Bangsa, 1983:60).
Demi bertahan hidup dan menjaga asa agar bisa melanjutkan kuliah lagi, Lasut pun mencari pekerjaan. Beruntung, ia diterima untuk bekerja di Departement van Ekonomische Zaken atau Departemen Urusan Ekonomi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tahun 1938, Lasut kembali mencoba peruntungan di bangku perkuliahan. Ia balik ke Kota Kembang untuk kuliah di Techniche Hoogeschool te Bandung atau yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, masalah yang sama menerpanya. Lagi-lagi kondisi keuangannya memburuk dan memaksanya drop-out untuk kesekian kali.
Lasut pantang menyerah. Berbekal bakat, kecerdasan, dan ilmu yang sempat didapatnya dari Techniche Hoogeschool te Bandung, ia berhasil memperoleh beasiswa dari Dienst van den Mijnbouw atau Dinas Pertambangan. Bahkan, Lasut kemudian diangkat sebagai asisten geolog.

Pakar Tambang dan Geologi

Ketika Jepang menyerbu Indonesia pada 1942 yang membuat Belanda harus angkat kaki, Lasut turut mengangkat senjata untuk menahan gempuran calon penjajah baru itu, termasuk dalam suatu pertempuran di Ciater, dekat Subang, Jawa Barat (Pranadipa Mahawira, Cinta Pahlawan Nasional Indonesia, 2013:112). Lasut tertangkap dan ditahan Jepang dalam peristiwa ini.
Jepang akhirnya benar-benar menduduki Indonesia, mengambil-alih pengaruh yang telah berabad-abad lamanya dikuasai Belanda. Lasut sendiri kemudian dibebaskan, bahkan dipekerjakan di Chorisitsu Chosayo (Jawatan Geologi) yang didirikan pemerintah militer Jepang di Bandung. Jepang rupanya tahu bahwa Lasut adalah anak muda yang sangat piawai dalam hal pertambangan.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, instansi-instansi pemerintahan yang semula dimiliki Jepang diambil-alih sesuai instruksi Presiden Sukarno. Lasut pun turut mendirikan Jawatan Pertambangan dan Geologi pertama milik pemerintah RI (A.J. Bowden, et.al., Landmarks in Foraminiferal Micropalaeontology: History and Development, 2013:196). Bahkan, ia kemudian diangkat sebagai kepala jawatan tersebut.
Namun, institusi pimpinan Lasut harus berpindah-pindah tempat seiring kembalinya penjajah lama ke Indonesia yang memicu berbagai front pertempuran. Dari Bandung, Jawatan Pertambangan dan Geologi sempat pindah ke Tasikmalaya, kemudian beringsut lagi ke Magelang, dan akhirnya ditempatkan di Yogyakarta yang kala itu menjadi ibukota negara RI.


infografik arie frederik lasut

Pahlawan Pembela Kemerdekaan

Lasut juga ikut ambil bagian dalam masa revolusi fisik itu. Ia menjadi bagian usaha mempertahankan kemerdekaan dengan membentuk Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi atau KRIS (Julinar Said, ‎Triana Wulandari, ‎& Sri Sutjiningsih, Ensiklopedi Pahlawan Nasional, 1995:66). Selain itu, ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Selain ingin berkuasa lagi di Indonesia, Belanda juga berhasrat mengeruk sumber daya alam di Nusantara yang memang melimpah-ruah. Oleh karena itulah Belanda berulangkali membujuk Lasut agar mau bekerjasama. Belanda paham betul bahwa Lasut adalah orang yang sangat mengerti tentang rahasia isi perut bumi Indonesia yang bernilai tinggi itu.
Lasut selalu menolak tegas tawaran tersebut meskipun diiming-imingi berbagai fasilitas, kenyamanan, hingga uang. Sebaliknya, ia bersama KRIS justru semakin gigih menggelorakan perjuangan untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Tak hanya itu, Lasut juga memanas-manasi Belanda, ia bermanuver dengan seolah-olah menggandeng investor lain untuk mengelola sumber daya alam Indonesia.
Tindakan Lasut ini tak pelak membuat Belanda naik pitam. Pagi-pagi buta tanggal 7 Mei 1949, beberapa tentara khusus Belanda menculik Lasut yang kala itu berdomisili di Yogyakarta. Ia kemudian dibawa ke Pakem, Sleman. Di suatu tempat yang tidak seberapa jauh dari Gunung Merapi tersebut, Lasut ditembak mati.

Nyawa Lasut dipungkasi saat usianya baru menapaki angka kepala tiga. Peristiwa tragis itu terjadi kurang dari setahun sebelum Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar. Tanggal 20 Mei 1969, pemerintah menganugerahi Arie Frederik Lasut dengan gelar Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Sumber: Tirto.Id