Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 03 Desember 2011

Agama dan Kapitalisme

Pandu Jakasurya

Juni 1944, Tentara Amerika Serikat berdoa saat Perang Dunia II
Apakah hubungan antara agama dan kapitalisme? Sepertinya jelas, tidak ada hubungan di antara keduanya. Betapa tidak! Agama adalah “jalan sorgawi”, sedangkan ka-pitalisme adalah “jalan duniawi.” Selaku “jalan sorgawi”, agama diberikan oleh Sosok Ilahi kepada manusia. Sebagai jalan duniawi, “kapitalisme” adalah sebuah tahapan sekaligus tatanan sosio-ekonomik bikinan manusia yang hidup sebagai masyarakat klas. Sebagai “jalan sorgawi”, agama menuntut iman, takwa, dan amal-kebajikan. Selaku “jalan du-niawi”, kapitalisme adalah sebuah cara produksi yang di dalamnya segelintir orang berhak dan bisa menciptakan sorga di dunia bagi diri mereka sendiri, sementara sebagian terbesar lainnya “berhak” atas “neraka dunia,” yakni kemiskinan yang parah. Jelas, bukan, tidak ada hubungan antara agama dan kapitalisme?
Benarkah demikian? Andaikan saja demikian. Baiklah. Nah, dengan pengandaian yang demikian, cobalah nya-lakan televisi Saudara. Simaklah suatu acara agama. Apa yang Saudara temukan di sana? Aha! Sebuah syiar agama, entah dakwah ulama atau khotbah pendeta. Baik, bukan? Tentu saja, kata sementara orang, syiar agama dapat memanfaatkan media kapitalis (saluran televisi swasta). Betapa cerdiknya para pemuka agama! Lagipula, para pemilik media kapitalis memberi ruang bagi syiar agama. Alangkah mulia hati mere-ka! Tak lupa pada syiar agama, tidak hanya mencari keuntungan saja! Hahaha … Saudara pun tersenyum penuh kemenangan. Agama, dalam hal ini para pemukanya, terbukti cerdik; kapitalisme, dalam hal ini para pemilik media kapitalis, terbukti berhati baik! Lalu Saudara meneruskan perayaan kemenangan Saudara dengan menandaskan: pemilik media kapitalis itu berhati baik berkat syiar agama pula!
Wahai, kelihatannya skor 2-0 untuk Saudara. Pertama, Saudara mencetak skor (1-0) dengan menegaskan bahwa agama dan kapitalisme tidak punya hubungan. Kedua, Saudara mencetak skor (2-0) dengan menandaskan kecerdikan agama dan kebaikan kapitalisme. Agama dapat menggunakan kapitalisme sebagai sarana syiar, dan kapitalisme memberi ruang kepada agama untuk bersyiar. Tapi, yang namanya kelihatannya, belum tentu yang sebenarnya bukan? Kenyataanya, dengan mencetak skor yang kedua, Saudara justru menganulir atau menyatakan tidak sah skor yang pertama! Kok bisa? Pasalnya, dengan menyatakan bahwa agama dapat menggunakan kapitalisme dan kapitalisme memberi ruang kepada agama, berarti secara tidak langsung Saudara menyatakan bahwa agama dan kapitalisme tidak tidak punya hubungan, alias punya hubungan! Nah, karena pernyataan pertama keliru, dan pernyataan kedua sama kelirunya, maka skornya bukan lagi 2-0 untuk Saudara, tetapi 0-2 untuk Saudara. Atau, 2-0 untuk saya!
Sekarang, coba kita telisik lagi. Andaikan Saudara benar bahwa “agama cerdik, dan kapitalisme baik” … berarti agama diuntungkan oleh kapitalisme. Sekali lagi, anggaplah memang begitu kebenarannya. Pertanyaannya, apakah kapitalisme diuntungkan pula oleh agama? Mungkin Saudara menjawab: “Ya, kapitalisme diuntungkan oleh agama: kapitalisme menjadi baik.” Menjadi baik? Berarti sebelumnya ka-pitalisme itu tidak baik? Apanya yang tidak baik? Lalu Saudara menjawab dengan yakin: “Sebelum dibuat baik oleh agama, kapitalisme membuat orang menjadi serakah.” Jadi maksud Saudara agama telah membuat kapitalisme tidak membuat orang menjadi serakah? Mari kita periksa: apakah si pemilik media akan memberi ruang kepada agama untuk bersyiar melalui saluran televisinya bila dalam perhitungannya tidak ada orang yang berminat pada acara keagamaan? Tidak bukan? Persoalannya bukan hanya “percuma”, tetapi juga rugi, karena untuk sekali tayang besar beaya yang harus dikeluarkannya. Berarti, bila menurut perhitungannya acara keagamaan masih diminati orang, barulah ia akan memberi ruang kepada syiar agama. Mengapa? Karena, lagi menurut perhitungan si pemilik media, ia mempunyai konsumen yang akan menjadi target iklan, yang pada gilirannya akan mendatangkan keuntungan baginya! Begitu, bukan? Kalau begitu, benarkah agama membuat kapitalisme menjadi lebih baik? Benarkah syiar agama membuat si kapitalis tidak lagi menjadikan profit sebagai motif utamanya? Tidak, bukan? Kalau begitu, yang cerdik itu agama atau kapitalisme? Hmmm, de-ngan berat hati saya harus mengatakan … skor 3-0 untuk saya.
Lalu mungkin Saudara merajuk: “Ya, kapitalisme memang cerdik! Tapi agama, meski mungkin kalah cerdik dari kapitalisme, baik!” Dengan senang hati saya menerima rajukan Anda. Ya, kapitalisme memang cerdik. Tapi apakah benar agama itu baik? Sebelum Saudara menyangka bahwa saya akan mengatakan “agama itu tidak baik”, mari kita nonton televisi lagi. Mungkin Saudara tidak asing dengan tren yang belakangan ini kerap muncul di media: sejumlah pemuka agama “ketularan” bergaya selebritis. Mereka senang publisitas, khususnya yang pria senang dikelilingi para wanita. Cerita selanjutnya, Saudara tahu sendirilah. “Tapi itu kan ‘oknum’, bukan agamanya!” kilah Saudara. Tentu saja, “oknum.” Tapi kok bisa ya “oknum-oknum” itu menjadi selebritis agama di media? Karena “ganteng” (yang pria)? Suatu faktor, tentu. Karena “nasib” atau “diridlai Tuhan”? Bisa juga. Tapi “ganteng” dan “nasib” adalah dua sisi yang membutuhkan sisi lain yang sangat fundamental  untuk membuat seorang pemuka agama menjadi selebritis agama.
Apakah itu? Isi syiar, entah dakwah atau khotbah, yang disampaikannya! Coba simak isi syiar para pemuka agama yang luar biasa itu. Isinya berkisar pada petunjuk-petunjuk ritual dan anjuran berbuat baik. Bagus bukan? Memang. Tapi perhatikan: isi syiar tidak pernah mengajak umat untuk tiba pada kesadaran kritis yang mempertanyakan sebab-musabab kemiskinan dan kesenjangan sosial yang makin melebar. Para pemuka agama menyalahkan orang miskin: orang menjadi miskin karena malas, bodoh, dan kurang mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau, para pemuka menenangkan dan menghibur orang miskin dengan mengajak mereka  bersabar sembari menjanjikan pertolongan Tuhan dan pahala sorgawi bagi tiap-tiap orang yang beriman sabar dan tawakal. Sungguh, orang sabar disayang Tuhan. Tapi para pemuka yang terhormat itu tidak pernah menudingkan jarinya kepada sistem ekonomi yang tidak adil, cara produksi yang tidak demokratis, struktur sosio-ekonomik yang memberi ruang seluas-luasnya bagi penghisapan manusia oleh manusia. Nama sistem ini: kapitalisme. Alih-alih, disadari atau tidak, agama mengesahkan dan membenarkan kapitalisme.
Izinkan saya bertanya, Kawan, apa yang terjadi pada para pemuka agama yang mulia itu bila mereka mendakwahkan pesan agama yang kritis terhadap kapitalisme, menggugah kesadaran umat, dan mengajak mereka bersatu dan bangkit melawan kapitalisme? Sebaik-baiknya, para pemuka agama tidak akan menjadi selebritis keagamaan. Seburuk-buruknya, sebagaimana dialami oleh Romo Rutilo Grande dan Uskup Agung Oscar Romero di El Salvador, Romo Jon Bosco di Brazil, Romo Ellacuria dari Kolombia … tertimbus peluru dari para anjing penjaga kapitalisme.
Kalau begitu, apakah yang dapat kita katakan tentang hubungan antara agama dan kapitalisme? Sebuah “simbiosis” (hidup bersama) yang aneh. Kapitalisme menjadikan agama sebagai barang dagangan, dan agama mengesahkan kapitalisme. Para pemuka agama beroleh keuntungan dari kapitalisme: keuntungan finansial dan popularitas yang mendorong mereka ke depan kamera menjadi selebritis agama. Pada saat yang sama kapitalisme nampak baik secara moral keagamaan di hadapan massa-rakyat yang sehari-hari dieksploitasi jerih-payahnya di tempat-tempat kerja dan dimanipulasi kesadarannya dalam acara-acara keagamaan. Mereka diminumi “opium”, “candu”, untuk melarikan diri ke alam sorgawi khayalan sambil terus meregang nyawa dalam kemiskinan, kelaparan, dan kesakitan sementara kesenjangan sosial semakin melebar.
Ah, begitu burukkah agama? Syukurlah tidak demikian. Antonio Gramsci mengingatkan: ada beda antara agama klas penguasa dan agama kaum yang tertindas. Di tangan klas penguasa, agama-agama itu menjadi kekuatan besar untuk memanipulasi kesadaran massa-rakyat, menjinakkan mereka, dan mengungkung mereka di bawah penindasan dan penghisapan. Di tangan kaum tertindas, bersama dengan kaum revolusioner, yakni orang-orang yang telah mengkomitmenkan hidup-mati mereka demi pembebasan kaum tertindas dan terhisap, agama-agama itu dapat menjadi kekuatan yang membebaskan. Sesungguhnya, kaum yang disebutkan belakangan inilah, yakni mereka yang menjadikan agama sebagai kekuatan pembebasan, merekalah yang meneruskan jiwa-semangat yang pernah berkobar di dadanya para nabi yang sejati. [ ]
http://www.militanindonesia.org/teori-4/lainlain/8242-agama-dan-kapitalisme.html

Kamis, 20 Oktober 2011

Revolusi Pangan Di Venezuela

  • DUNIA BERGERAK


Film dokumenter Growing Change: A Journey into Venezuela’s Food Revolution berisi perjalanan sang pembuat film Simon Cunich untuk memahami mengapa sistem pangan saat ini justru meninggalkan persoalan kelaparan terhadap jutaan umat manusia. Perjalanan yang sekaligus bertujuan untuk memahami bagaimana dunia ini memberi makan dirinya di masa depan di tengah tantangan besar perubahan lingkungan.
Film dokumenter ini dimulai dengan sebuah investigasi atas krisis pangan yang terjadi pada tahun 2008, yang berusaha melihat penyebab jangka panjang yang mendasarinya. Apakah dengan memperluas area (pertanian massal) atau menerapkan sistem agrikultur energi intensif akan menjadi solusi krisis? Kemudian, jika kita telah memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dunia, mengapa masih begitu banyak orang yang menderita kelaparan? Setelah mendengar mengenai upaya Venezuela untuk mengembangkan sebuah sistem agrikultur dan pangan yang berkelanjutan dan adil, Cunich lalu berkunjung ke Venezuela untuk melihat apakah sistem tersebut berjalan baik dan sekaligus mencari tahu pelajaran apa yang bisa dipelajari dari eksperimen raksasa ini.
Ia bertemu dengan banyak orang di kota maupun pedesaan dan mengetahui bahwa dahulu Venezuela memiliki sector pertanian yang tangguh sebelum akhirnya orientasi pembangunan lebih diarahkan untuk meningkatkan sektor energi, khususnya minyak, yang kemudian menjadikan Negara ini sebagai salah satu eksportir minyak terbesar di abad 20. Akibat kebijakan yang mengabaikan sektor pertanian, urbanisasi terus terjadi selama beberapa dekade dan Venezuela begitu tergantung terhadap impor pangan yang lalu menjerumuskan Negara ini kedalam krisis pangan karena ulahnya sendiri. Dan apa yang dirasakan oleh Venezuela saat itu, seolah menjadi pelajaran penting bagi banyak Negara yang saat ini juga merasakan krisis pangan. Film documenter ini membawa kita melalui sebuah sistem pangan baru yang saat ini sedang dikembangkan, hampir dari awal.
Cunich bertemu dengan para petani yang akhirnya mendapatkan akses terhadap tanah untuk pertama kalinya dan bekerja mengembangkan koperasi untuk mengakhiri ketergantungan Negara tersebut dari impor pangan. Di desa-desa pesisir yang rimbun, Cunich bertemu dengan penghasil kakao yang kini dilindungi oleh Negara terhadap kemungkinan penerapan harga dibawah standar minimum dan kini mereka juga terlibat dalam proses pembuatan coklat lokal setelah sebelumnya hanya mengekspor bahan mentah kakao.
Ia juga mengarungi laut bersama para nelayan yang diuntungkan oleh regulasi baru yang melarang penggunaan pukat oleh industri. Di tengah kota Caracas, warga kota mengembangkan kebun perkotaan dan melengkapi kebutuhan makanan dengan hasil kebun yang segar dan organik. Kaum miskin perkotaan juga memiliki akses ke makanan yang terjangkau di toko-toko yang disponsori pemerintah.
Ini semua adalah bagian dari proses menuju “kedaulatan pangan” yang sedang berlangsung di seluruh penjuru Venezuela, yang dijalankan oleh komunitas dan pemerintahan yang revolusioner. Inti proses ini semua adalah prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan.
Growing Change: A Journey into Venezuela’s Food Revolution adalah sebuah kisah inspiratif yang berisi karakter hidup, pikir wawasan yang member inspirasi, pemandangan yang menakjubkan dan ide-ide untuk mengubah sistem pangan.
Mengenai pembuat film:
Simon Cunich adalah seorang pembuat film dokumenter dan produser video lepas yang berbasis di Sydney, Australia. DI film documenter ini, ia menjadi sutradara, pengambil gambar sekalis editor. Simon memiliki gairah untuk bercerita melalui film dokumenter yang dapat berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang adil dan berkelanjutan.  Dia saat ini sedang menyelesaikan sertifikat pascasarjana dalam film dokumenter di Sekolah Australia, Film, Televisi dan Radio (AFTRS) dan bekerja pada sebuah produksi film dokumenter tentang rombongan sirkus yang berkeliling sekolah di Himalaya Nepal pada tahun 2011.
Karya Simon termasuk dokumenter, film pendek dan video pendidikan dan promosi untuk LSM. Dia dapat dihubungi di simon.cunich @ gmail.com.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/revolusi-pangan-di-venezuela/#ixzz3yvS9RKL9 

Rabu, 10 Agustus 2011

Agama Orang Jawa

Munawir Aziz | CRCS | Article

Persoalan agama pada masyarakat Jawa, atau secara lebih luas, warga Indonesia kini menjadi wacana serta perdebatan yang kian meluas. Problem-problem keagamaan pada masyarakat Jawa semakin kompleks, entah itu terorisme, kasus pengkafiran juga ajakan pindah agama dengan motif khusus, hingga pelbagai kasus yang dianggap sebagai sesat. Nah, tulisan ini ingin menyoroti ‘sesat’ dan pertarungan klaim ini dalam konteks kejawaan dan keindonesiaan.

Selama berabad-abad lamanya, masyarakat Jawa sudah mengenal dimensi spiritual sebagai bagian penting kehidupan serta kebudayaannya. Hal ini terekam dalam pelbagai situs dan artefak budaya yang merepresentasikan simbol-simbol spiritual, mistis dan dimensi ruhani. Misalkan, candi, makam-makam kuno, hingga tempat-tempat pemujaan roh halus yang diyakini menyimpan kekuatan misteri. Inilah serangkaian produk kebudayaan yang berbingkai spiritual, yang pada masyarakat Jawa, diyakini sebagai puncak olah batin dan perasaan.

Dalam periode panjang historiografi Nusantara, persoalan spiritualitas ini terus menjadi urat nadi kebudayaan serta kehidupan warga yang membentang di beberapa kerajaan besar. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, Demak hingga Mataram, serta kerajaan di wilayah Makassar dan Sumba, juga hidup dengan tradisi spiritualitas yang kental. Spiritualitas ini menjadi bagian dari spirit kebudayaan, yang sublim dengan berbagai ritual lintas tradisi.

Misi dakwah dan kampanye teologis para pembesar Buddha, Hindu dan bahkan Islam, juga menempatkan kebudayaan sebagai pijakan untuk menggaet hati warga. Para pendakwah di era Nusantara, juga memasukkan nilai-nilai kebudayaan sebagai topangan teologis, yang tampak pada ritual khususnya, dari tingkatan kelompok elit kerajaan hingga rakyat biasa. Nilai-nilai spiritualitas Buddha-Hindu akhirnya menyatu dengan filosofi hidup masyarakat, hingga menjadi tradisi yang berkembang sebagai ritus keseharian.

Pada masa kampanye Islam zaman Walisongo, para sunan pun memasukkan pelbagai tradisi lokal hingga ‘seolah-seolah’ menjadi paket teologis. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga menjadi pelopor dalam modifikasi alat musik agarkhas dengan selera Jawa, serta mencipta lagu-lagu populer yang sarat pesan spiritualitas. Alat musik gamelan, lagu-lagu Jawa klasik, kesenian wayang, dan beberapa model kesenian lain, merupakan hasil dari kolaborasi berbagai instrumen seni yang diolah dengan kerangka dakwah. Lalu muncullah, filosofi-makna gamelan dan Punakawan.


Agama sesat?

Pada awalnya, masyarakat Jawa mempunyai konsep keagamaan yang khas. Agama Jawa secara umum dipahami sebagai sebuah sintesis atas animisme, Hinduisme, Buddhisme dan Islam, yang mana animisme mendominasi dan mendapatkan ruang yang paling luas dalam ekspresinya. (Woodward, 1988: 54). Sementara itu, Clifford Geertz mengidentifikasi agama masyarakat Jawa berdasarkan konteks afiliasi kebudayaan dan politik. Agama Jawa merupakan akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam pandangan Geertz pada The Religion of Java (1960), agama Jawa memiliki tiga variasi, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Ketiga variasi ini memiliki sikap dan perilaku keagamaan yang berbeda satu sama lain, yang didasarkan pada hasil pengamatan keseharian masyarakat Modjokuto (Pare, Kediri). Meski demikian, rumusan ini mendapat banyak tentangan karena mendasarkan yang subtansi, ideologis berlawanan dengan pijakan politis ataupun kelas sosial.

Namun, pada masa kini, istilah sesat dan penyesatan menjadi sangat sering terdengar dalam konteks spiritualitas masyarakat Jawa. Apalagi, ketika Indonesia resmi berdaulat dan berbentuk nation-state yang diperjuangkan selama puluhan tahun, serta dirumuskan dalam diskusi panjang oleh pejuang-pemikir kenegaraan. Istilah aliran sesat dan nabi palsu seolah sering dikabarban, tanpa ada penjelasan mendalam apa yang sesat dan siapa yang palsu. Seolah, teriakan “sesat” menjadi penarik pelatuk untuk menembak, menghakimi bahkan membunuh kelompok tertentu. “Nabi-nabi” terus bermunculan yang membawa bermacam ideologi, semisal Lia Eden, Usman Roy, Sabdo Kusumo (Kudus), hingga Mirza Ghulam Ahmad yang dipercaya oleh warga Ahmadiyah. Aliran-aliran kebatinan yang berbau mistis dan bercampur tradisi lokal, dianggap sesat dan menyesatkan, semisal Darmo Gandul, Islam Aboge, Wetu Telu, Kejawen, hingga agama-agama lokal.

Di sisi lain, secara politis momentum 1945 dan 1966 menjadi titik penting yang membingkai narasi politik dan keagamaan di Indonesia, di samping konteks 1998 yang menelorkan ide reformasi dan desentralisasi politik. Akhirnya, perumusan “agama” muncul sebagai konsekuensi politik terbentuknya hukum formal negara. Agama menjadi bagian dari urusan pemerintah, yang dikelola sebagai komodifikasi politik yang terpusat dan terkontrol. Maka, jika ada ide dan bentuk di luar format yang ditetapkan negara, maka ia akan dianggap sesat. Namun, pada masa pasca 1998, penyesatan dan pengkafiran juga mulai menjadi tantangan hidup masyarakat Jawa, yang tidak lagi tata tentrem kerta rahardja, gemah ripah loh jinawi, karena ditantang oleh kasus teror, pembunuhan serta kepercayaan hukum dan keamanan yang rendah.

Gerakan pemurnian agama yang bangkit kembali dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia harus disikapi secara bijak. Memang, dalam konteks hukum agama dan negara, pada tahapan tertentu pelarangan terhadap ideologi serta aliran tertentu dibenarkan untuk menghindari konflik. Namun, penyerangan dan penghakiman sepihak terhadap kelompok spiritual tertentu akan menyeret kekerasan yang lebih luas. Dengan demikian, kearifan dan kebijaksanaan masyarakat kini perlu dibangkitkan kembali, untuk melawan diskriminasi dari pelbagai penjuru.

Pada konteks ini, masyarakat Jawa mendapatkan tantangan besar, untuk terus menyemai nilai-nilai keterbukaan, kekuatan tradisi dan spiritualitas yang menjadi bagian dari struktur kebudayaan. Pemurnian agama yang menjadi tema besar kelompok puritan perlu diolah menjadi sebuah cara berpikir dan aplikasi praktis, dalam konteks Indonesia. Hal ini penting agar, kebudayaan masyarakat Jawa tidak kehilangan esensi dan pondasinya. Tanpa kebudayaan, masyarakat Jawa akan hidup tanpa identitas.

Munawir Aziz, Mahasiswa CRCS, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Angkatan 2010
NB: Tulisan ini juga dimuat di Suara Merdeka edisi 10 Juli 2011

Senin, 30 Mei 2011

EMPAT DEKADE INDUSTRI PERTAMBANGAN INDONESIA, 10 JULI 2007

RAKYAT DAN LINGKUNGAN MENSUBSIDI INDUSTRI PERTAMBANGAN

Penulis : Siti Maimunah |  http://www.jatam.org/content/view/64/21/

Freeport bilang, “Tanah ini milik negara, kami sudah beli dari negara.”  Saya tanya, “Sejak kapan negara bikin tanah, air, ikan dan karaka lalu kasih saya sehingga dia boleh ambil seenaknya?”  Mama Yosepha, Yamahak)
Ungkapan penuh makna diatas keluar dari mulut seorang perempuan pejuang dari suku Amungme di pegunungan tengah Papua Barat. Yoshepa Alomang namanya,  Dia adalah salah seorang dari tujuh tokoh dunia yang menerima penghargaan  Goldman Environmental Prize pada tahun  2001.  

Ada nada marah dalam ungkapan Yoshepa. Betapa tidak, tanah yang tadinya milik komunal masyarakat adat Amungme, kini beralih menjadi wilayah pertambangan milik PT. Freeport Indonesia. Sungai yang tadinya bening kini rusak parah karena menjadi tempat buangan limbah perusahan itu. Dusun-dusun sagu yang menjadi sumber pangan bagi penduduk lokal mati tergenang rembesan air limbah. Belum lagi dampak lainnya seperti pelanggaran HAM, ketimpangan sosial,  gangguan kesehatan dan lain sebagainya juga dirasakan penduduk yang tadinya hidup bersahaja. Sementara disisi lain, perusahaan asal Amerika Serikat itu  menikmati keuntungan yang luar biasa besar dari tanah orang Amungme.
Yoshepa ternyata tidak sendiri. Di banyak tempat, daya rusak pertambangan skala besar terbukti menurunkan bahkan menghentikan keberlanjutan pelayanan alam, produktifitas rakyat hingga mengancam keselamatan mereka. Kasus buyat menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pertambangan memiliki daya rusak. Tiga bulan sejak Newmont membuang 2000 ton limbah tailing setiap harinya ke teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Penghasilan nelayan menurun drastis, beberapa tahun berikutnya semakin banyak keluarga nelayan yang tak bisa bekerja karena mengalami sakit. Mulai tumor, sakit kepala akut, lumpuh hingga gangguan reproduksi perempuan. Beberapa dari mereka meninggal setelah sakit berkepanjangan.


Hak Menguasai Negara atas Bahan Tambang

Pengambilalihan urusan pertambangan dari komunitas dan atau organisasi kekuasaan lokal di nusantara untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1850. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Mijn Reglement 1850 . Peraturan ini diberlakukan hampir di seluruh wilayah   yang kini menjadi negara Republik Indonesia. Inilah satu instrumen hukum yang digunakan pemerintah kolonial Belanda mengambil alih, mengatur dan memanfaatkan bahan mineral bagi kepentingan ekonomi mereka. Dari sinilah pemerintah kolonial Belanda berhak memberikan konsesi kepada pihak swasta. Demi menjamin kepentingannya terhadap bahan tambang diwilayah jajahannya. Kepentingan itu seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi transportasi yang menggunakan batu bara.

Lantas 39  tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Mijnwet 1899. Wet pertambangan ini dibuat Staten Generaal  dengan Pemerintah di negeri Belanda. Sejak saat itu tampak bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan negara pada posisi sentral mengurus pertambangan di wilayah jajahannya. Siapapun yang ingin menambang pada saat itu, haruslah dengan izin dari pemerintah. Izin diberikan dalam bentuk konsesi. Hal lain yang diatur oleh wet pertambangan itu adalah penggolongan bahan galian menjadi 2 golongan, tetapi secara tidak langsung terdapat  pula bahan galian  golongan ke-3, yaitu bahan galian yang tidak tercantum dalam pasal 1 Indische Mijnwet . Dalam hal ini walau tidak secara tegas, wet pertambangan saat itu telah menentukan kewenangan pemerintah berdasarkan jenis bahan galian yang penting dan tidak penting. Dimana untuk bahan galian yang penting, kewenangaan pemberian konsesi ada ditangan pemerintah pusat. Kata penguasaan negara atas sumberdaya pertambangan pada periode tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda. Jalan yang ditempuh adalah memasukkan para pemodal besar untuk melakukan eksploitasi besar-besaran sesuai dengan teknologi yang ada pada saat itu.

Pengurusan sektor pertambangan umum ini sama sekali tak berubah hingga 68 tahun kemudian saat terbitnya UU No 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum. Bahkan kemana arah pengelolaan sektor pertambangan Indonesia saat itu dengan gamblang diarahkan oleh UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal Asing. Beberapa bulan setelah UU PMA disahkan, pemerintah melakukaan penandatanganan Kontrak Karya generasi pertama dengan PT Freeport Indonesia. Barulah kemudian UU No 11/ 1967 disahkan. Sehingga jangan heran jika pertambangan PT Freeport begitu kental mewarnai arah kebijakan sektor pertambangan di Indonesia.  


Daya Rusak Pertambangan


Tak dipungkiri, pertambangan memberikan pendapatan bagi negara dan juga pemerintah daerah. Tetapi yang lebih tak terbantahkan adalah bagaimana daya rusak sektor ini berkontribusi terhadap pemiskinan di sekitar kawasan pertambangan. Kegiatan pertambangan (baik tambang skala besar maupun kecil) pada dasarnya memiliki daya rusak bagi lingkungan yang sulit dipulihkan. Pemiskinan disekitar pertambangan terjadi karena pengurus negara dan perusahaan mengingkari daya rusak sektor pertambangan.

Daya rusak sendiri dibatasi pengertiannya sebagai suatu bentuk campur tangan terhadap sistem-sistem alami yang mengakibatkan rusaknya sistem alami tersebut sehingga fungsi-fungsi alamiahnya berkurang atau bahkan hilang. Semakin besar skala suatu kegiatan pertambangan maka potensi terjadinya kerusakan ekosistem menjadi makin besar dan sulit dipulihkan. Semakin rendah campur tangan negara dalam memperkecil daya rusak pertambangan, makin besar biaya pemulihan yang ditanggung rakyat dan lingkungan sekitar.  Image

Seluruh tahap pengembangan tambang mineral misalnya memiliki dampak merusak lingkungan hidup dan ekosistem alami tempatnya beroperasi. Di wilayah operasi, dimana masyarakat setempat hidup dan penghidupannya bergantung sebagian dan/ atau sepenuhnya kepada tanah dan kekayaan alam, seluruh mata rantai operasi tambang mineral memiliki dampak terhadap penurunan mutu dan pelenyapan kehidupan masyarakat. Berbagai aspek penghidupan rakyat mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik menerima dampak seluruh mata rantai operasi tambang mineral.

Proses pemiskinan terjadi bahkan sejak awal pertambangan masuk. Sejak hak penguasaan dan kelola rakyat atas tanah diingkari. Sehingga perizinan pertambangan dikeluarkan secara sepihak. Terbukti tak ada satu pun Kontrak Karya (KK) Pertambangan dan Kuasa Pertambangan yang mendapatkan persetujuan rakyat sebelum diberikan. Bahkan KK Generasi Pertama PT Freeport menyebutkan kawasan pertambangan mereka sebagai kawasan yang tidak berpenghuni. Padahal kawasan tersebut adalah wilayah kelola suku-suku Pengunungan Tengah Papua.

Lain lagi di kawasan eksplorasi Newmont Horas Nauli di daerah batang Toru, Sumatera utara. Entah apa yang dibuang oleh Newmont ke sungai Aek Pahu di Kecamatan Batangtoru saat melakukan eksplorasi untuk tambang emasnya, yang jelas warga mulai merasakan gatal-gatal disekujur tubuhnya. Akhirnya lewat surat No.540/5126 tertanggal 13 Juli 2004, Bupati Tapanuli Selatan meminta Newmont menghentikan sementara kegiatan eksplorasinya. Surat ini tak pernah digubris oleh Newmont.

Kebijakan pertambangan yang berlaku saat ini, UU No 11 tahun 1967, menjadi pintu masuk daya rusak pertambangan. Misalnya Pasal 26 UU No 11 tahun 1967 yang  menyebutkan ”... apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya". Akibatnya jika perusahaan tambang akan beroperasi, pilihan bagi penduduk lokal hanya ada dua: menerima ganti rugi pelepasan tanah sepihak, atau digusur karena menolak menerima ganti rugi. Akibatnya konflik tanah antara pertambangan dan masyarakat di awal operasi terjadi hampir di semua lokasi pertambangan.

Sebut saja kasus gantirugi tanah Rp 30,- per meter oleh perusahaan Beyond Petroleum - BP Tangguh di Saengga Papua. Atau petani gula aren dipaksa meninggalkan lahan jalitnya dengan gantirugi sepihak di kawasan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa. Demikian juga sebanyak 444 KK warga sekitar sungai Kelian (1990) digusur dari pemukiman dan kebunnya ketika PT Kelian Equatorial Mining (KEM) akan beroperasi di Kalimantan Timur. Ribuan penambang tradisional rakyat Suku Dayak Siang, Murung, dan Bakumpai diusir dari lubang-lubang pendulangan emasnya karena wilayah mereka dimiliki oleh PT Indo Muro Kencana (IMK)  di Kalimantan Tengah dan lainnya.

Umumnya kasus pembebasan tanah ini disertai intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya hingga penghilangan nyawa. Penduduk lokal seolah tak punya hak menolak pertambangan yang akan beroperasi di wilayah kelolanya. Apalagi memilih model ekonomi yang lebih berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau perikanan. Warga Ratatotok di Minahasa Selatan, mengalami intimidasi oleh aparat pemerintah dan kepolisian saat menolak lahan-lahan kebunnya diganti rugi hanya Rp 250 per m². Kelak kebun-kebun warga diperuntukkan bagi lubang tambang (pit), gedung pabrik, jalan serta fasilitas tambang Newmont lainnya. Saat Newmont berhasil membangun sarana dan prasarana tambangnya, warga Ratatotok juga kehilangan mata pencaharian dari kebun. Sebagian warga akhirnya harus beralih kerja di sektor informal menjadi buruh, penjaja ikan keliling (tibo-tibo) atau berdagang makanan. Sebagai modal berdagang, beberapa dari mereka terjebak utang karena harus meminjam uang dari rentenir sebagai modal awal.

Saat perusahaan tambang berproduksi, pemiskinan terus berlangsung melalui menurunnya kualitas pelayanan alam dan produktifitas rakyat, khususnya terkait sumber daya tanah dan air. Untuk mendapatkan 1 gram emas di tambang PT Freeport dihasilkan 2480 ribu gram limbah. Selain itu pertambangan juga dikenal rakus air. Air menjadi bahan baku kedua setelah batuan dan tanah galian. Air tak hanya digunakan untuk kebutuhan harian karyawan perusahaan, tetapi yang utama digunakan dalam proses ekstraksi pemisahan bijih. Di pertambangan Barisan Tropikal Mining, Sumatera Selatan, dibutuhkan setidaknya 104 liter air untuk mendapatkan 1 gram emas. Krisis air merupakan masalah yang selalu dijumpai disemua lokasi pertambangan. Penurunan kuantitas dan kualitas air terjadi karena operasi pertambangan membutuhkan air dalam jumlah besar sementara kualitas air juga menurun karena rusaknya sistem hidrologi tanah. Sementara limbah tambang berpotensi mencemari kawasan perairan sekitar, baik karena rembesan air asam tambang, rembesan logam berat ataupun buangan lumpur tailing.

Lantas kemana limbah dengan jumlah massif ini dibuang? Tentu saja ke lingkungan sekitar. Tepatnya ke lokasi-lokasi produktif tempat mata pencaharian penduduk, yaitu sungai, hutan rawa, sumber-sumber air, lahan pertanian hingga ke laut. Itulah mengapa sektor pertambangan potensial mematikan sektor lainnya yang lebih berkelanjutan. Dari kasus-kasus pertambangan yang di catat JATAM, terlihat bahwa sektor pertambangan kontraproduktif terhadap sumber-sumber penghidupan lain yang berkelanjutan. Sumber penghidupan tersebut adalah kebun, lahan pertanian, rumah atau pekarangan, hutan adat, tambang rakyat, wilayah peternakan atau penggembalaan dan  perikanan.

Catatan berikut akan melengkapi gambaran di atas. Hingga tahun 2004, Newmont membuang sekitar 5,8 juta ton tailing ke Teluk Buyat dan 310 juta ton tailing ke Teluk Senunu, Sumbawa. Perempuan di kedua teluk mengeluhkan hilangnya nener (anakan udang) yang merupakan mata pencaharian mereka di sekitar teluk. Freeport membuang sedikitnya 5 milyar ton limbah ke sungai, danau dan hutan-hutan hingga laut. Perempuan tak bisa lagi mencari Karaka (kerang) di sungai. Sementara sumber pangan berupa hutan rawa sagu tertimbun tailing PT Freeport. Warga Dayak Siang, Murung dan Bakumpai harus membeli ikan asin jika ingin mengkonsumsi ikan. Padahal dulunya mereka bisa menangkapnya di sungai sebelum PT Indo Muro Kencana (Aurora Gold) mencemari sungai disana. Hal yang sama juga terjadi pada warga Rupit yang hidup di tepi sungai Tiku, dimana Barisan Tropikal Mining (Laverton Gold) membuang 2,5 juta ton tailing ke lingkungan dan mencemari sungai.

Masyarakat sekitar pertambangan juga makin turun daya belinya akibat tingginya harga-harga bahan makanan pokok. Tak berhenti disitu, pemiskinan semakin sulit dipulihkan saat pertambangan berakhir (mine closure). Lubang-lubang menganga dengan dalam ratusan meter dan luasan puluhan hektar akan menjadi warisan jangka panjang penduduk lokal. Di kawasan pertambangan PT Barisan Tropikal Mining milik laverton Gold Australia, warga harus mengalami gangguan kesehatan begitu perusahaan tambang pergi, karena tailing damnya secara diam-diam dialirkan ke sungan Tiku. Sungai yang memenuhi kebutuhan air warga mencuci dan mandi sehari-hari.  

Korban Paling Rentan

Perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rentan terhadap daya rusak pertambangan. Hal ini terkait dengan peran domestik dan produktif perempuan. Umumnya tanggung jawab penyediaan pangan, perawatan keluarga, dan pengurusan rumah dibebankan kepada perempuan. Adanya krisis air di sekitar lokasi pertambangan, baik  dalam segi jumlah dan kualitas  membuat beban perempuan untuk pengadaan air bersih menjadi lebih berat. Terjadinya kelangkaan air bersih, baik di mata air maupun di sungai, maka ia harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkannya. Apalagi di musim kemarau. Sebuah survei terbatas di Afrika dan Asia menemukan bahwa perempuan menghabiskan 5-17 jam/minggu untuk mengumpulkan air bersih dari sumber air yang letaknya jauh (UNDIESA, 1991).

Tidak tertutup kemungkinan, keterbatasan ekonomi serta sangat jauhnya jarak ke sumber air membuat perempuan tidak mempunyai pilihan selain memanfaatkan air yang ada di sekitarnya. Di teluk Buyat, perempuan dan anak-anak terpaksa menggunakan satu-satunya sumber air, yaitu sungai Buyat yang berlumpur dan tercemar untuk mandi dan mencuci. Sementara untuk kebutuhan minumnya mereka mendapatkan pasokan dari Newmont, yang belakangan diketahui juga telah terkontaminasi Arsen (Tim Terpadu, 2004). Ironi sekali, ketika ia berupaya menjaga kebersihan rumah dan keluarga demi kesehatan anggota keluarganya, justru terbuka peluang baginya untuk terpapar logam berat akibat limbah pertambangan.

Peran produktif perempuan juga tak lepas dari pengelolaan sumber daya alam, khususnya pangan. Perempuan di desa nelayan Terusan, Kab. Kutai Timur misalnya, kini tak bisa memperoleh penghasilan dari menangkap bibit udang (benur) dan nener. Penurunan hasil tangkapan benur mencapai 95%. Jika sebelumnya perempuan bisa mendapatkan 10.000 ekor/ hari, sekarang hanya 300 ekor bahkan kadang tidak ada sama sekali. Saat musim angin utara, limbah Unocal masuk ke pantai Terusan,  akibatnya bibit udang menghilang. Kondisi ini terjadi sejak tahun 1987. Namun dampak terbesar terjadi sejak 1992 hingga sekarang. Kehilangan bibit yang terbesar dialami setelah seismic dilakukan tahun 1998 oleh PT Alico - Total, sekitar 2 bulan bibit udang menghilang. kasus ini membuktikan, hilang dan rusaknya wilayah kelola perempuan mengakibatkan pemiskinan terhadap perempuan.  

Tak berhenti disitu, pertambangan juga mengancam peran reproduktif perempuan. Gangguan kesehatan warga Buyat Pante yang terjadi sejak pembuangan tailing PT Newmont Minahasa Raya (NMR) ke Teluk Buyat, mayoritas dialami oleh kaum perempuan. Hasil temuan lapangan Yayasan Suara Nurani (YSN), Sahabat Perempuan dan mahasiswa pascasarjana kedokteran jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi menunjukkan bahwa dari 94 pasien yang diperiksa, sebanyak 60% penderita adalah perempuan, sedangkan 40% lainnya balita dan anak-anak. Warga Buyat mengalami gangguan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi perempuan, dari pencemaran yang terjadi. Hasil temuan Komnas Perempuan memperkuat temuan-temuan sebelumnya tentang kondisi kesehatan terakhir warga Buyat. Gangguan kesehatan yang dialami warga perempuan Buyat antara lain benjolan-benjolan muncul di daerah payudara, ketiak dan leher. Selain sakit kepala dan gatal-gatal di seluruh tubuh, para nelayan perempuan juga mengalami gangguan pada siklus menstruasi. Seorang ibu perempuan bernama Puyang (alm), meninggal dunia setelah payudaranya pecah dan diduga kuat tercemar logam berat.

Komoditas Kutukan

Laporan Oxfam Amerika, Oktober 2001 bertajuk “Extractive Indutrie Review and the Poor” menyimpulkan bahwa negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor minyak dan mineral tingkat korupsinya cenderung sangat tinggi, pemerintahannya otoriter, tingkat kemiskinan dan kematian anak yang tinggi, ketidakadilan pemerataan pendapatan dan rentan terhadap kejutan ekonomi. Laporan lainnya bertajuk “Digging to Development” (2002) yang melihat bagaimana sejarah keterkaitan tambang dan pembangunan ekonomi (2002) memperkuat fakta tersebut. Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang dikenal memiliki ekonomi yang kuat dan terus berkembang bukan digerakkan oleh sektor pertambangan, tetapi pertanian, industri teknologi dam manufaktur. Laporan ini mengoreksi pernyataan Bank dunia dan pelaku pertambangan yang misleading menyebutkan bahwa kemajuan tiga negara tersebut disebabkan oleh pertambangan.

Sebaliknya konflik pertambangan dengan penduduk lokal terjadi di banyak tempat di banyak negara yang bergantung kepada ekstraksi mineral dan migas. Kondisi ini juga ditemukan dalam evaluasi independen Bank Dunia (EIR) yang diketuai oleh Prof. Emil Salim (2004). Panel EIR merekomendasikan Bank Dunia menghentikan pendanaannya terhadap pertambangan batubara dan energi fosil dalam 20 tahun kedepan, dengan alasan utama karena berkontribusi terhadap pemiskinan.

Bagaimana di Indonesia? Temuan-temuan diatas, tak jauh dari kenyataan yang dijumpai di Indonesia. Apalagi, selama ini eksploitasi sektor tambang di Indonesia sebagian besar berbasiskan bahan mentah untuk kebutuhan ekspor. Bahkan Freeport dan Newmont mengekspor emas dalam bentuk konsentrat. Akibatnya nilai tambah sektor ini sangatlah kecil. Sepanjang tahun 2000 – 2004, sumbangan sektor pertambangan umum untuk APBN hanya berkisar antara 1,3 – 2,3 trilyun royalti yang disumbangkan pertambangan kepada APBN. Departemen ESDM mengklaim, pemasukan sektor tambang kepada negara mencapai Rp 17 trilyun pertahun. Bandingkan dengan pendapatan yang diterima negara dari pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri yang mencapai Rp 25 trilyun pertahun.

Penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal juga tidak terjadi seperti yang dibayangkan. Sektor pertambangan hanya menyerap 0,13% tenaga kerja Indonesia. Bandingkan dengan sektor pertanian yang menyerap hinggga 43,7% tenaga kerja Indonesia. Apalagi, operasi sebuah perusahaan tambang juga berumur pendek, karena besarnya produksi dan bahan yang digali adalah bahan tidak terbarukan. Umurnya hanya berkisar antara 3 hingga 12 tahun, tentu pengecualian untuk PT Freeport karena menguasai 51% cadangan emas dan tembaga Indonesia.

Setelah hampir empat dekade pengelolan pertambangan, sektor pertambangan mineral yang diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tak sesuai antara manfaat (benefit) dan mudharatnya (cost). Mudharat adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dan penduduk lokal dan negara saat pertambangan masuk, beroperasi hingga mereka meninggalkan kawasan pertambangannya, termasuk resiko terjadinya kecelakaan, kerusakan baik sosial, budaya maupun ekologi. Keyakinan bahwa sektor tambang mensejahterakan suatu negara berkembang pemilik sumberdaya mulai memudar. Alih-alih kesejahteraan yang didapat penduduk lokal dan lingkungan sekitar, mereka justru harus mensubsidi perusahaan tambang yang beroperasi dikawasan mereka dengan cera kehilangan lahan, mata pencaharian, menurunnya kualitas lingkungan dan kesehatan akibat pertambangan.[selesai]


Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Pembaruan Pedesaan dan Agraria, Edisi 1 Tahun 2007, KARSA

PT. Nusa Halmahera Minerals Ltd


Perusahaan PT. Nusa Halmahera Minerals Ltd. 
Jenis Produksi Emas 
Tahap Produksi 
Lokasi Pulau Halmahera 
Luas Konsesi 96.151 ha 
Kontrak Generasi VI 28 April 1997 
Saham Newcrest Singapore Holdings Pte Ltd. (Australia) 82,5% PT. Aneka Tambang (Ina) 16,5% 
 Peta Konsesi:
Image 
PT NHM adalah salah satu dari 13 perusahaan skala besar asing yang berhasil mendorong amandemen UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Peraturan ini melarang pertambangan terbuka dihutan lindung. Setidaknya 70.610 ha Hutan lindung. Perusahaan mulai menggali lubang Gosowong dan berproduksi tahun 1999. Dan baru menyelesaikan lubang tambangnya di Toguraci, yang semula merupakan hutan lindung dan hutan adat suku Soa Pagu. Saat ini perusahaan meluaskan operasinya ke kawasan Anggrek, Langsa, Donga, Maruwit, dan Kayumanis. Kawasan tersebut adalah kawasan hutan adat Soa Pagu.
Operasi perusahaan ini sudah semestinya dikaji ulang oleh pemerintah, mengingat banyaknya masalah yang ditimbulkan perusahaan. Mulai dari konflik lahan yang tak terselesaikan, Intimidasi, kekerasan hingga pembunuhan, Pemutusan Hubungan Kerja sepihak dan diskriminasi karyawan, penggelapan pajak kendaraan, kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, juga lubang bekas tambangnya yang dibiarkan begitu saja.  Lubang tambang (pit) Gosowong salah satu lubang yang telah ditinggalkan ternyata masih menyisakan bahan galian/bijih emas dan perak, serta longsoran yang dapat menimbulkan air asam tambang dan berpotensi mencemari badan sungai Tobobo.Image
Diduga limbah PT NHM juga mencemari teluk Kao. Terbukti sejak  PT NHM beroperasi ikan teri (ngafi) dan udang kecil (kasiya) menghilang dari kawasan  tersebut. Padahal kawasan tersebut dulunya adalah sentra penghasil teri di kawasan halmahera utara. Teluk Kao yang dulunya dipenuhi bagang tangkap ngafi, saat ini tak ada satupun yang tersisa. Ratusan orang kehilangan pekerjaan. Sebagian diantaranya berubah mata pencaharian menjadi penambang galian C. Tak hanya itu, bia kodok (sejenis kerang) yang dulunya menjadi sumber protein bagi petani menjadi susah dicari. Air sungai juga keruh dan tak lagi bisa diminum.

Surat STN Kepada PT. TOTAL INDONESIA E&P.

SERIKAT TANI NASIONAL
Jl. Pustaka Jaya II No. 3, Rawamangun, Jakarta Timur 13220., Indonesia

Desa Tani Baru, 26 Agustus 2007

No : 001/sp/stt-dtb/h/07
Hal : Surat Pernyataan Kepada PT. TOTAL INDONESIA E&P.
Lamp : -

MENIMBANG

   1. Permasalahan yang terjadi antara PT. TOTAL INDONESIA E&P dan Para Masyarakat Desa Tani Baru Kec. Anggana Kab. Kutai Kertanegara Prop. Kalimantan Timur (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) dan Serikat Tani Tambak desa Tani Baru yang diakibatkan oleh armada operasional PT. TOTAL INDONESIA E&P yang merusak seluruh bantaran sungai Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali).
2. Tidak adanya respon dari PT. TOTAL INDONESIA E&P dalam menyikapi permintaan Masyarakat Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) untuk meyediakan sarana untuk memajukan produktifitas masyarakat.
3. Undang-undang no 5 TAHUN 1960 (5/1960) tantang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA 
MENGINGAT

1. Hasil konsolidasi warga tanggal 20 Agustus 2007 tentang kelanjutan nasib mayarakat Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) dan Serikat Tani Tambak desa Tani Baru yang + selama 4 tahun mengalami kegagalan panen dan sulitnya mendapatkan sarana pendidikan dan kesehatan.
2. Situasi obyektif buruh tani tambak yang semakin terpuruk dan tidak sejahtera.

MEMUTUSKAN

Maka kami mayarakat Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) dan Serikat Tani Tambak desa Tani Baru yang selama ini merasa dan terbukti sangat dirugikan akan kegiatan kendaraan operasional PT. TOTAL INDONESIA E&P, akan terus mendesak PT. TOTAL INDONESIA E&P untuk memberikan semua tuntutan masyarakat Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) dan Serikat Tani Tambak desa Tani Baru hingga diberikannya tuntutan,

1. PT. TOTAL INDONESIA E&P secepatnya memberikan kompensasi (ganti rugi) yang setimpal atas gagalnya panen yang diakibatkan Speed Boat operasional PT. TOTAL INDONESIA E&P berserta kontraktornya sejak awal jebolnya tambak hingga hari ini.
2. PT. TOTAL INDONESIA E&P secepatnya mendirikan atau MEMBANGUN PENGHALANG OMBAK PERMANEN diseluruh bantaran sungai dalam teritori Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) untuk menanggulangi kerusakan berikutnya kemudian hari.
3. PT. TOTAL INDONESIA E&P secepatnya memberikan hak-hak masyarakat sekitar Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) bantuan yang berupa bantuan penambahan bibit, bantuan teknologi terkini pertanian tambak, pembangunan tempat peribadatan, pembangunan sarana pendidikan, dan pembangunan sarana kesehatan yang memadai, berkualitas dan tidak diskriminatif untuk kesejahteraan masyarakat Desa Tani Baru dan sekitarnya
4. PT. TOTAL INDONESIA E&P memerintahkan kepada seluruh armada operasionalnya untuk mengurangi kecepatan saat melewati teritori Desa Tani Baru (RT.06-Tanjung Nipah, RT.07-Prangat Pokok, RT.08-Pulau Seribu, RT.19 Pole Wali) dan sekitarnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dikemudian hari.

Demikian surat pernyataan ini kami buat agar dapat diperhatikan dan dilaksanakan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh pihak manapun dikemudian hari dan seluruh pihak dapat melaksanakan aktifitas kesehariaannya tanpa ada pihak manapun yang merasa dirugikan.

Desa Tani Baru, 26 Agustus 2007

Catatan :

PT. Total Indonesia E&P adalah salah satu kontraktor bagi hasil migas (minyak dan gas bumi) terbesar di Indonesia. Perusahaan asal Perancis ini juga tercatat sebagai produsen gas terbesar di Indonesia dan memasok sekitar 60% dari kebutuhan kilang LNG Bontang.

Sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) BP MIGAS, Total Indonesia E&P memproduksi migas dari lapangan Bekapai, Handil, Tunu dan Peciko yang berada di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pada hari Minggu, 26 Agustus 2007 lalu, ratusan anggota Serikat Tani Tambak sebagai jaringan Serikat Tani Nasional di Prop. Kalimantan Timur melakukan aksi massa di kantor PT. Total E & P Indonesie dengan menggunakan puluhan speedboat. Dalam aksi tersebut, Serikat Tani Tambak berhasil mendesak untuk diselenggarakannya tuntutan mereka melalui Pemkab Kutai Kertanegara.

Pada awal September 2007, upaya perjuangan Serikat Tani Tambak Ds. Tani Baru Kec. Anggana berhasil mendesak pemerintahan Kab. Kutai Kertanegara untuk membentuk tim khusus yang mengkaji konflik ini. Tim tersebut beranggotakan wakil dari pemkab, BP Migas setempat, Serikat Tani Tambak. DPRD dan PT. Total sendiri.

Hingga report ini diturunkan, proses kajian tengah berlangsung di lapangan.

Senin, 02 Mei 2011

Membangun Rantai Intelektual Kiri

| Harian Indoprogress

“TAK ADA tatanan sosial yang dapat diruntuhkan sebelum semua tenaga produktif yang diperlukan berkembang, dan relasi produksi baru yang lebih tinggi tak akan menggantikan yang lama sebelum persyaratan material bagi keberadaannya telah matang di dalam kerangka masyarakat lama,” tulis Marx dalam Kata Pengantar untuk Kontribusi bagi Kritik atas Ekonomi-Politik.

Karl Kautsky kemudian menerjemahkan pernyataan itu ke dalam tesis tentang revolusi sosialis sebagai efek spontan dari pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan politiknya: revolusi sosialis hanya mungkin terjadi di negeri-negeri yang tingkat kapitalismenya maju. Lenin, kita tahu, melawan ilusi spontanisme itu dengan teori “mata-rantai terlemah,” yakni revolusi sosialis mungkin terjadi di negeri-negeri dengan tingkat kapitalisme yang belum maju asalkan persyaratan material bagi keberadaannya dipersiapkan. Warisan Marxisme-Leninisme ialah pemahaman sentral bahwa revolusi sosialis tidak muncul dari penantian dan nujuman tentang hari penghakiman, melainkan dari penciptaan persyaratan material bagi keberadaannya. Itu artinya, mesti ada intervensi superstruktural yang akan mematangkan kontradiksi pada basis, sehingga membukakan jalan menuju revolusi sosialis. Dalam kerangka intervensi superstruktural itulah kita bicara tentang politik pengetahuan.

Apa itu politik pengetahuan?
Ia adalah perebutan kekuasaan yang didasarkan pada pemilahan, pengeksplisitan dan perlawanan atas tendensi politik dari pandangan teoretik tertentu. Lenin menjalankannya dalam serangkaian perdebatannya dengan musuh-musuh politiknya. Ia menunjukkan kepada massa apa tendensi politik dari sebuah posisi teoretik yang nampak netral (bdk. kritiknya atas Ernest Mach) dan, begitu tendensi politik itu berbahaya bagi gerakan, ia melawannya dengan argumen tandingan. Jauh sebelumnya, Marx sendiripun menjalankan hal yang sama, yakni ketika ia mengeksplisitkan dan melawan tendensi politik yang tersembunyi dalam retorika teoretik yang terkesan emansipatoris dari para inteligensia Jerman (bdk. Holy Family dan German Ideology). Maka itu, tidak keliru jika kita menyimpulkan bahwa melalui politik pengetahuanlah Marxisme dibangun. Perdebatan teoretik dalam rangka perang ideologi sudah menjadi bagian integral dari Marxisme.

Dalam bentuknya yang sehari-hari di Indonesia, kita menjumpai manifestasi politik pengetahuan ini dalam rupa “bom selebaran.” Akan tetapi, “bom selebaran” berangkat dari asumsi tentang ketersediaan informasi yang minimal dalam masyarakat, misalnya dalam situasi represi di mana semua sumber informasi dikontrol langsung oleh pemerintah. Asumsi ini tak lagi tepat untuk kondisi Indonesia pada abad ke-21. Tingkat perkembangan dan penggunaan teknologi informasi di Indonesia kontemporer sudah membantah asumsi tersebut. Internet telah menjadi sumber informasi yang beragam dan sulit dibendung oleh pemerintah. Hal ini jelas menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kemungkinan politik pengetahuan Kiri di Indonesia.

Sebanyak apapun kita menyebar selebaran agitatif, intensitasnya akan tetap kalah dibandingkan dengan badai informasi yang berpusar lewat internet dan televisi. Ini juga terjadi para aras yang lebih teoretik sifatnya. Kita tak bisa lagi mengandalkan pengetahuan tentang Marxisme yang menutup-diri terhadap perkembangan teori-teori politik dunia yang mengalir deras dewasa ini. Kita mesti mengambil sikap terhadap teori-teori itu, tidak dengan jalan menutup mata ataupun berkompromi habis-habisan, melainkan dengan mempelajarinya, mengeksplisitkan tendensi politiknya dan menyerangnya bila diperlukan. Oleh karena itu, perwujudan politik pengetahuan kita dalam kondisi kontemporer ini mesti melampaui sekedar “bom selebaran” yang menyebar tak terarah. Politik pengetahuan Kiri mesti mewujud dalam bentuk yang lebih terfokus dan terukur capaiannya.

Politik pengetahuan Kiri kita dewasa ini, karenanya, mensyaratkan pembangunan suatu rantai intelektual Kiri. Seluruh intelektual Indonesia yang memiliki simpati pada Marxisme, mesti dikonsolidasikan dalam sebuah divisi khusus yang berada di bawah payung gerakan. Kita tak bisa lagi mengandaikan begitu saja bahwa akan selalu ada intelektual yang bermunculan secara sporadis yang secara kebetulan suka dengan ide-ide Marxisme. Sebab bergantung pada pengandaian seperti itu sama artinya dengan bergantung pada lini pertahanan ideologis yang terentang secara amat tipis. Oleh karenanya, kaum intelektual Kiri ini mesti diwadahi dalam satu divisi tersendiri. Atau, dalam konteks keragaman partai-partai Kiri, setidaknya diperlukan suatu Biro Korespondensi lintas-organisasional yang mewadahi para intelektual Kiri ini untuk berbagi informasi dan bekerja sama mengangkat kajian berbasis Marxisme di wilayah teoretik masing-masing.

Fungsi dari rantai intelektual Kiri ini dapat dilihat dari dua segi: secara eksternal dan internal. Fungsi eksternalnya yang pertama adalah sebagai “unit reaksi cepat” yang dapat merespon perkembangan politik aktual dari perspektif Marxis. Dalam arti ini, rantai intelektual Kiri, sebagai sebuah divisi yang terkonsolidasikan, akan memenuhi peta wacana politik nasional dengan analisis Marxis sedemikian sehingga membuat rakyat kian akrab dengan Marxisme dan mulai memandang persoalan nasional melalui kaca mata Marxis.

Fungsi eksternalnya yang kedua ialah sebagai agen yang menyerang secara ideologis tendensi politik Kanan dari wacana-wacana yang berkembang. Ini adalah fungsi eksternal terpenting dari rantai intelektual Kiri. Dengan menghancurkan justifikasi rasional dari ideologi Kanan, rantai intelektual akan membukakan ruang gerak yang lebih besar bagi massa. Dalam fungsi ini, rantai intelektual berperan ibarat “penembak-jitu” atau ideological sharpshooter yang mengunci sasaran-sasaran strategis sehingga melumpuhkan daya manuver lawan dan karenanya membuka ruang pengorganisasian yang lebih luas bagi gerakan.

Sementara fungsi internalnya yang pertama ialah sebagai instrumen konsolidasi teoretik-ideologis. Ini tak terpisahkan dari peta pengetahuan Kiri pasca-‘65. Sejarah ide Kiri Indonesia ditandai oleh patahan besar yang membelah dua periode, yakni antara periode ‘20-an sampai ‘60-an dan periode Orba sampai sekarang. Pembantaian orang-orang komunis pasca-G30S dan pelarangan atas disebar-luaskannya ajaran Marxisme-Leninisme menghadirkan pengaruh yang mendalam dalam rupa pemotongan atas kesinambungan pewacanaan ide-ide Kiri. Akibatnya, ketika sejumlah aktivis, baik dari kelompok studi maupun gerakan, mencoba mengangkat kembali ide-ide Marxisme di tahun ‘80-an, mereka seperti mengulang kembali nyaris dari awal abad. Di luar faktor legal ini, terdapat juga politik pengetahuan sejak era Orba yang secara sistematik mengangkat Marxisme yang sudah ditafsirkan dalam kerangka yang non-Marxis (Marxisme yang diajarkan sebatas pada Humanismenya semata). Marxisme yang berkembang di kelompok studi dan gerakan mesti berhadapan dengan sensor legal dan teoretik itu. Fungsi rantai intelektual dalam konteks ini adalah untuk mewujudkan suatu penemuan kembali atas Marxisme Indonesia pada aras teoretik. Dalam arti ini, ia mesti membersihkan fondasi teoretik Marxisme dari asumsi-asumsi non-Marxian yang secara sistematis diselundupkan ke dalam Marxisme sejak masa Orba.

Fungsi internalnya yang kedua adalah memberikan bentuk atau forma bagi materi pengalaman perlawanan rakyat. Tradisi gerakan Kiri di Indonesia pasca-‘65 memiliki pengalaman perlawanan yang sangat kaya. Sesuatu yang masih langka ialah upaya teoretisasi atas setumpuk pengalaman perlawanan tersebut. Dalam arti ini, rantai intelektual akan berperan mensistematisasi pengalaman perlawanan sehingga dapat merumuskan suatu perspektif umum tentang perlawanan rakyat Indonesia. Apa yang dilakukan rantai intelektual Kiri bukanlah menetapkan arah-tujuan gerak massa, melainkan justru sebaliknya, yakni membantu massa untuk mengartikulasikan paradigma perlawanannya.

Fungsi internal ketiga dan tertinggi dari rantai intelektual Kiri adalah membantu gerakan dalam merumuskan pandangannya tentang totalitas situasi Indonesia sehingga membukakan jalan bagi pengertian tentang kemungkinan revolusi Indonesia. Dengan kata lain, rantai intelektual Kiri akan membantu gerakan merumuskan “MIRI”-nya. Perumusan macam ini merupakan kerja besar sebab, sekali tercipta, dokumen itu akan menjadi fondasi bagi semua pilihan politik yang diambil oleh gerakan. Analisis yang keliru jelas akan membawa pilihan politik yang keliru secara Marxian. Untuk itu, diperlukan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu untuk menempa sebuah visi integral tentang tatanan masyarakat Indonesia (dari segi ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, agama, antropologi, dst.) yang kokoh untuk dijadikan basis bagi gerak ke arah revolusi sosialis Indonesia.

Dengan menjalankan seluruh fungsi di muka, rantai intelektual Kiri akan mewujudkan serangkaian intervensi superstruktural yang akan mematangkan kontradiksi pada basis, dengan kata lain, mewujudkan suatu perjuangan kelas pada level ideologis yang akan mendorong intensifnya perjuangan kelas pada level basis. Akan tetapi, sebagaimana ditulis Marx, “teori akan direalisasikan di dalam rakyat hanya bila ia merupakan realisasi dari kebutuhan rakyat,” maka rantai intelektual Kiri mesti ditempatkan di dalam totalitas gerak perlawanan massa dan tak boleh berdiri di luar totalitas itu. Sebab dari totalitas itulah rantai intelektual mendapatkan semua materi bagi peperangan ideologis yang akan ditempuhnya, atau dengan kata lain, dari totalitas massa itulah rantai intelektual mendapatkan seluruh persyaratan bagi keberadaannya.***

Martin Suryajaya Anggota kelompok kajian Komunitas Marx
Esai dimuat di Koran Rakyat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), edisi Mei Bulan Perlawanan, Mei 2011). dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.”

http://indoprogress.com/2011/05/membangun-rantai-intelektual-kiri/

Jumat, 01 April 2011

Mengenang Pemberontakan Kapal Tujuh (Zeven Provincien)



Suasana kota Surabaya mencekam pada hari itu, 27 Januari 1933. Para pelaut Indonesia dan Belanda sedang menggelar pemogokan umum. Mereka menolak keputusan penurunan gaji, yang diputuskan oleh De Jonge (1931-1936), gubernur Jenderal Hindia-Belanda saat itu.
Ketika pemogokan itu meletus, para perwira pelaut Belanda berusaha mengisolasi kejadian ini. Segala pemberitaan mengenai pemogokan dilarang, dan orang-orang dilarang membicarakan kejadian itu.
Meskipun begitu, berita mengenai pemogokan ini tetap terdengar di telinga pelaut di luar Surabaya, termasuk di kapal tujuh (seven provincien), yang saat itu sedang berlabuh di Sabang, Aceh. Adalah Maud Boshart, seorang korporal Belanda, yang mendengar kejadian itu di ruang radio. Dia memang dikenal berpikiran radikal, dan menolak haluan mayoritas teman-temannya yang sangat moderat.
Sehari sesudah mendengar kabar itu, tanggal 28 Januari 1933, menjelang hari lebaran Islam, para pelaut Indonesia dan Belanda menggelar rapat tertutup. “Rapat itu pura-pura membahas rencana penyambutan lebaran, tetapi sebetulnya mempersiapkan pemogokan,” tulis Harian Ra’jat, koran Partai Komunis Indonesia (PKI), saat mengenang kejadian itu.
Tetapi, perwira-perwira Belanda sempat mencurigai rapat itu, karena pelaut Belanda yang dipimpin Boshart juga ikut rapat. Beruntung, sebuah kebakaran besar terjadi di pusat kota, sehingga Polisi Belanda dikerahkan ke sana. Rapat pun dilanjutkan dengan pidato-pidato. Pertemuan itu ditutup dengan menyanyikan lagu “Internasionale,” lagu gerakan buruh internasional yang terkenal itu.
Pada tanggal 30 Januari 1933, berita mengenai pemogokan pelaut di Surabaya kembali terdengar oleh Boshart. Merespon gerakan pemogokan itu, para pelaut di kapal tujuh kembali melakukan rapat. Diantara yang ikut rapat adalah Rumambi, Paraja, Hendrik dan Gosal.
Mengetahui bahwa kabar ini sudah tersiar, komandan kapal dan para ABK melakukan briefing. “Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga dikapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal tujuh.
Pidato bernada ancaman itu tidak menurunkan semangat perlawanan para ABK. Paraja dan Rumambi, dua ABK berdarah Indonesia, memimpin sebuah gerakan untuk pemberontakan di atas kapal tujuh itu. Diputuskan pula bahwa mereka akan membawa kapal perang milik Belanda ini ke Surabaya.
Paraja dan Rumambi mendorong sebuah pertemuan di darat. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad, Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Hadir pula Maud Boshart dan pelaut-pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan.
Begitulah, pada 4 Februari 1933, sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Para awak kapal melakukan pengambil-alihan kendali kapal dari tangan Belanda. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Dua perwira Belanda yang memimpin kapal, Vels dan Bolhouwer, berhasil meloloskan diri dari pemberontak setelah menjebol jendela. Mereka melompat ke laut dan berenang hingga ke daratan.
“Kapal Tujuh yang usang itu datang dari Oleh-Le ke selat sunda dipimpin oleh seorang kelasi bangsa Indonesia yang berkulit hitam itu dan di dorong maju oleh mesin-mesin yang dilayani oleh seorang corporal masinis bangsa kulit putih,” tulis Harian Ra’jat mengenai peristiwa itu.
Pada tanggal 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia, yang memberitahukan bahwa Kapal perang “Zeven Provincien” sudah diambil-alih oleh mereka dan sedang bergerak ke Surabaya. “Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siaran persnya.
Mendengar berita pemberontakan ini, belanda dibuat kalang-kabut. Mereka pun mengirimkan sebuah kapal untuk mengejar, yaitu kapal Aldebaren. Begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang, yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat. Kapal Aldebaren pun mundur dan berhenti mengejar.
Belanda tidak berhenti. Mereka kembali mengirim kapal penyebar ranjau, Goudenleeuw, untuk melakukan pengejaran. Tetapi kapal ini tidak berani untuk terlalu mendekat. Penyebabnya, kedua kapal pengejar ini memiliki meriam lebih kecil dan kalah persenjataan dibanding kapal tujuh.
Kapal tujuh terus berlayar. Tanggal 5 Febuari kapal sudah berada di pulau Berueh, lalu tanggal 6 febuari berada di pulau Simeuleu, kemudian sampai di Sinabang pada tanggal 7 februari, dan akhirnya tanggal 10 Februari sampai di selat Sunda.
Akhir Pemberontakan
Begitu memasuki selat sunda, pihak Belanda mengirimkan kapal perang “Java”, dan dikawal dua kapal torpedo: Piet Hien dan Evetsen. Selain itu, untuk benar-benar melumpukan pemberontak, pihak Belanda juga mengerahkan kapal perang yang baru tiba, yaitu Gouden Leeuw, dan sebuah pesawat pembom Dornier.
Van Dulm, yang memimpin kapal perang Java, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal tujuh untuk segera menyerah. Tetapi Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah. “Kami tidak mau di ganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya,” demikian balasan kapal tujuh kepada ultimatum Van Dulm.
Sesaat kemudian, pesawat dornier mulai berputar-putat di atas kapal tujuh, lalu mengeluarkan ancaman. Tetapi, Martin Paraja dan kawan-kawan kembali menyatakan menolak untuk menyerah.
Pada hari Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran. Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak kapal tujuh memberikan perlawanan. Beberapa orang mengalami luka-luka. “J Pelupessy mendapat luka, sedangkan Sugiono kehilangan satu biji matanya,” tulis Maud Boshart dalam memoarnya untuk mengenang kejadian tersebut.
Kapal tersebut ternyata tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Martin Paradja, yang memimpin pemberontakan ini, tewas saat pemboman itu. 20 awak Indonesia dan 3 awak belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Diantara yang gugur adalah Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon.
Sementara itu, 545 ABK bangsa Indonesia dan 81 ABK bangsa Belanda ditahan akibat pemberontakan itu. Kawilarang, karena dianggap memimpin pemberontakan, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun.
Para pemberontak kapal tujuh (seven provincien) akhirnya di tempatkan di pulau Onrust, kamp tawanan paling mengerikan saat itu. Sebagian besar pemberontak kapal tujuh meninggal dan dimakamkan di pulau itu.
Pengaruh pemberontakan ini
Kejadian di kapal tujuh sangat mengagetkan kaum kolonial. Koran “Soeara Oemoem’, yang berkantor di Surabaya, dibredel pemerintah kolonial. Salah seorang wartawannya, Raden Tahir Tjindarboemi, diputuskan bersalah karena telah menyiarkan kabar pemberontakan di kapal tujuh.
Pada saat itu, pers-pers asing sudah ramai mengabarkan kejadian ini. Mereka menyamakan kejadian di kapal tujuh (seven provincien) dengan pemberontakan di kapal Potemkim II–dalam sejarah revolusi Rusia.
Akhirnya, kejadian ini terdengar juga di negeri Belanda dan menjadi pembicaraan di sana. Salah satu organisasi pergerakan di Belanda, yaitu perhimpunan Indonesia, mengeluarkan manifesto yang mendukung pemberontakan itu.
Jauh sebelum pemberontakan di kapal tujuh, Gubernur Jendral De Jonge memberlakukan hukum yang sangat keras bagi pergerakan Indonesia. Dia memberlakukan pengawasan ketat terhadap rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap sejumlah aktivis, hingga melaran kegiatan pers.
Dengan kejadian itu, pemerintah Belanda seperti ditampar mukanya. Sehari setelah kejadian itu, De Jonge menggelar pawai kesetiaan di depan kantornya, di Batavia. Ia seolah berusaha menegaskan bahwa kekuasaan kolonial tidak tergoyahkan oleh kejadian itu.
Apa yang menarik kita lihat hubungannya dalam pemberontakan ini adalah keterlibatan organisasi pergerakan, khususnya PNI dan golongan komunis yang dituding menjadi provokator pemberontakan ini.
Jaksa Agung Hindia-Belanda saat itu, Verheyen, dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal, telah menuding PNI baru cabang Surabaya punya andil dalam pemberontakan itu. “PNI baru adalah yang paling berbahaya di antara partai-partai nasionalis karena pimpinanya yang revolusioner,” katanya.
Sementara versi lainnya, yang juga sangat penting untuk diketahui, bahwa sebagian besar pelaut di kapal tujuh adalah anggota serikat buruh “Inlandsche Marine Bond (IMB)”, yang banyak terpengaruh nasionalisme dan marxisme. Majalah IMB yang bernama “Sinar Lautan”, banyak menulis soal marxisme dan nasionalisme.
Bagaimanapun, pemberontakan kapal tujuh adalah pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Andre Therik, seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu, pernah mengatakan: “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”

Sumber Artikel: 


http://www.berdikarionline.com/mengenang-pemberontakan-kapal-tujuh-zeven-provincien/