Munawir Aziz | CRCS | Article
Persoalan agama pada masyarakat Jawa, atau
secara lebih luas, warga Indonesia kini menjadi wacana serta perdebatan
yang kian meluas. Problem-problem keagamaan pada masyarakat Jawa semakin
kompleks, entah itu terorisme, kasus pengkafiran juga ajakan pindah
agama dengan motif khusus, hingga pelbagai kasus yang dianggap sebagai
sesat. Nah, tulisan ini ingin menyoroti ‘sesat’ dan pertarungan klaim
ini dalam konteks kejawaan dan keindonesiaan.
Selama berabad-abad lamanya, masyarakat
Jawa sudah mengenal dimensi spiritual sebagai bagian penting kehidupan
serta kebudayaannya. Hal ini terekam dalam pelbagai situs dan artefak
budaya yang merepresentasikan simbol-simbol spiritual, mistis dan
dimensi ruhani. Misalkan, candi, makam-makam kuno, hingga tempat-tempat
pemujaan roh halus yang diyakini menyimpan kekuatan misteri. Inilah
serangkaian produk kebudayaan yang berbingkai spiritual, yang pada
masyarakat Jawa, diyakini sebagai puncak olah batin dan perasaan.
Dalam periode panjang historiografi
Nusantara, persoalan spiritualitas ini terus menjadi urat nadi
kebudayaan serta kehidupan warga yang membentang di beberapa kerajaan
besar. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, Demak hingga
Mataram, serta kerajaan di wilayah Makassar dan Sumba, juga hidup dengan
tradisi spiritualitas yang kental. Spiritualitas ini menjadi bagian
dari spirit kebudayaan, yang sublim dengan berbagai ritual lintas
tradisi.
Misi dakwah dan kampanye teologis para
pembesar Buddha, Hindu dan bahkan Islam, juga menempatkan kebudayaan
sebagai pijakan untuk menggaet hati warga. Para pendakwah di era
Nusantara, juga memasukkan nilai-nilai kebudayaan sebagai topangan
teologis, yang tampak pada ritual khususnya, dari tingkatan kelompok
elit kerajaan hingga rakyat biasa. Nilai-nilai spiritualitas
Buddha-Hindu akhirnya menyatu dengan filosofi hidup masyarakat, hingga
menjadi tradisi yang berkembang sebagai ritus keseharian.
Pada masa kampanye Islam zaman
Walisongo, para sunan pun memasukkan pelbagai tradisi lokal hingga
‘seolah-seolah’ menjadi paket teologis. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga
menjadi pelopor dalam modifikasi alat musik agarkhas dengan selera Jawa,
serta mencipta lagu-lagu populer yang sarat pesan spiritualitas. Alat
musik gamelan, lagu-lagu Jawa klasik, kesenian wayang, dan beberapa
model kesenian lain, merupakan hasil dari kolaborasi berbagai instrumen
seni yang diolah dengan kerangka dakwah. Lalu muncullah, filosofi-makna
gamelan dan Punakawan.
Agama sesat?
Pada awalnya, masyarakat Jawa mempunyai
konsep keagamaan yang khas. Agama Jawa secara umum dipahami sebagai
sebuah sintesis atas animisme, Hinduisme, Buddhisme dan Islam, yang mana
animisme mendominasi dan mendapatkan ruang yang paling luas dalam
ekspresinya. (Woodward, 1988: 54). Sementara itu, Clifford Geertz
mengidentifikasi agama masyarakat Jawa berdasarkan konteks afiliasi
kebudayaan dan politik. Agama Jawa merupakan akumulasi praktik religi
masyarakat Jawa. Dalam pandangan Geertz pada The Religion of Java
(1960), agama Jawa memiliki tiga variasi, yaitu abangan, santri, dan
priyayi. Ketiga variasi ini memiliki sikap dan perilaku keagamaan yang
berbeda satu sama lain, yang didasarkan pada hasil pengamatan keseharian
masyarakat Modjokuto (Pare, Kediri). Meski demikian, rumusan ini
mendapat banyak tentangan karena mendasarkan yang subtansi, ideologis
berlawanan dengan pijakan politis ataupun kelas sosial.
Namun, pada masa kini, istilah sesat dan
penyesatan menjadi sangat sering terdengar dalam konteks spiritualitas
masyarakat Jawa. Apalagi, ketika Indonesia resmi berdaulat dan berbentuk
nation-state yang diperjuangkan selama puluhan tahun, serta dirumuskan
dalam diskusi panjang oleh pejuang-pemikir kenegaraan. Istilah aliran
sesat dan nabi palsu seolah sering dikabarban, tanpa ada penjelasan
mendalam apa yang sesat dan siapa yang palsu. Seolah, teriakan “sesat”
menjadi penarik pelatuk untuk menembak, menghakimi bahkan membunuh
kelompok tertentu. “Nabi-nabi” terus bermunculan yang membawa bermacam
ideologi, semisal Lia Eden, Usman Roy, Sabdo Kusumo (Kudus), hingga
Mirza Ghulam Ahmad yang dipercaya oleh warga Ahmadiyah. Aliran-aliran
kebatinan yang berbau mistis dan bercampur tradisi lokal, dianggap sesat
dan menyesatkan, semisal Darmo Gandul, Islam Aboge, Wetu Telu, Kejawen,
hingga agama-agama lokal.
Di sisi lain, secara politis momentum
1945 dan 1966 menjadi titik penting yang membingkai narasi politik dan
keagamaan di Indonesia, di samping konteks 1998 yang menelorkan ide
reformasi dan desentralisasi politik. Akhirnya, perumusan “agama” muncul
sebagai konsekuensi politik terbentuknya hukum formal negara. Agama
menjadi bagian dari urusan pemerintah, yang dikelola sebagai
komodifikasi politik yang terpusat dan terkontrol. Maka, jika ada ide
dan bentuk di luar format yang ditetapkan negara, maka ia akan dianggap
sesat. Namun, pada masa pasca 1998, penyesatan dan pengkafiran juga
mulai menjadi tantangan hidup masyarakat Jawa, yang tidak lagi tata
tentrem kerta rahardja, gemah ripah loh jinawi, karena ditantang oleh
kasus teror, pembunuhan serta kepercayaan hukum dan keamanan yang
rendah.
Gerakan pemurnian agama yang bangkit
kembali dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia harus disikapi secara
bijak. Memang, dalam konteks hukum agama dan negara, pada tahapan
tertentu pelarangan terhadap ideologi serta aliran tertentu dibenarkan
untuk menghindari konflik. Namun, penyerangan dan penghakiman sepihak
terhadap kelompok spiritual tertentu akan menyeret kekerasan yang lebih
luas. Dengan demikian, kearifan dan kebijaksanaan masyarakat kini perlu
dibangkitkan kembali, untuk melawan diskriminasi dari pelbagai penjuru.
Pada konteks ini, masyarakat Jawa
mendapatkan tantangan besar, untuk terus menyemai nilai-nilai
keterbukaan, kekuatan tradisi dan spiritualitas yang menjadi bagian dari
struktur kebudayaan. Pemurnian agama yang menjadi tema besar kelompok
puritan perlu diolah menjadi sebuah cara berpikir dan aplikasi praktis,
dalam konteks Indonesia. Hal ini penting agar, kebudayaan masyarakat
Jawa tidak kehilangan esensi dan pondasinya. Tanpa kebudayaan,
masyarakat Jawa akan hidup tanpa identitas.
Munawir Aziz, Mahasiswa CRCS, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Angkatan 2010
NB: Tulisan ini juga dimuat di Suara Merdeka edisi 10 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar