| Harian Indoprogress
“TAK ADA tatanan sosial yang dapat diruntuhkan sebelum semua tenaga
produktif yang diperlukan berkembang, dan relasi produksi baru yang
lebih tinggi tak akan menggantikan yang lama sebelum persyaratan
material bagi keberadaannya telah matang di dalam kerangka masyarakat
lama,” tulis Marx dalam Kata Pengantar untuk Kontribusi bagi Kritik atas Ekonomi-Politik.
Karl Kautsky kemudian menerjemahkan pernyataan itu ke dalam tesis
tentang revolusi sosialis sebagai efek spontan dari pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan politiknya: revolusi sosialis hanya mungkin terjadi di
negeri-negeri yang tingkat kapitalismenya maju. Lenin, kita tahu,
melawan ilusi spontanisme itu dengan teori “mata-rantai terlemah,” yakni
revolusi sosialis mungkin terjadi di negeri-negeri dengan tingkat
kapitalisme yang belum maju asalkan persyaratan material bagi
keberadaannya dipersiapkan. Warisan Marxisme-Leninisme ialah pemahaman
sentral bahwa revolusi sosialis tidak muncul dari penantian dan nujuman
tentang hari penghakiman, melainkan dari penciptaan persyaratan material
bagi keberadaannya. Itu artinya, mesti ada intervensi superstruktural
yang akan mematangkan kontradiksi pada basis, sehingga membukakan jalan
menuju revolusi sosialis. Dalam kerangka intervensi superstruktural
itulah kita bicara tentang politik pengetahuan.
Apa itu politik pengetahuan?
Ia adalah perebutan kekuasaan yang
didasarkan pada pemilahan, pengeksplisitan dan perlawanan atas tendensi
politik dari pandangan teoretik tertentu. Lenin menjalankannya dalam
serangkaian perdebatannya dengan musuh-musuh politiknya. Ia menunjukkan
kepada massa apa tendensi politik dari sebuah posisi teoretik yang
nampak netral (bdk. kritiknya atas Ernest Mach) dan, begitu tendensi
politik itu berbahaya bagi gerakan, ia melawannya dengan argumen
tandingan. Jauh sebelumnya, Marx sendiripun menjalankan hal yang sama,
yakni ketika ia mengeksplisitkan dan melawan tendensi politik yang
tersembunyi dalam retorika teoretik yang terkesan emansipatoris dari
para inteligensia Jerman (bdk. Holy Family dan German Ideology).
Maka itu, tidak keliru jika kita menyimpulkan bahwa melalui politik
pengetahuanlah Marxisme dibangun. Perdebatan teoretik dalam rangka
perang ideologi sudah menjadi bagian integral dari Marxisme.
Dalam bentuknya yang sehari-hari di Indonesia, kita menjumpai
manifestasi politik pengetahuan ini dalam rupa “bom selebaran.” Akan
tetapi, “bom selebaran” berangkat dari asumsi tentang ketersediaan
informasi yang minimal dalam masyarakat, misalnya dalam situasi represi
di mana semua sumber informasi dikontrol langsung oleh pemerintah.
Asumsi ini tak lagi tepat untuk kondisi Indonesia pada abad ke-21.
Tingkat perkembangan dan penggunaan teknologi informasi di Indonesia
kontemporer sudah membantah asumsi tersebut. Internet telah menjadi
sumber informasi yang beragam dan sulit dibendung oleh pemerintah. Hal
ini jelas menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kemungkinan
politik pengetahuan Kiri di Indonesia.
Sebanyak apapun kita menyebar
selebaran agitatif, intensitasnya akan tetap kalah dibandingkan dengan
badai informasi yang berpusar lewat internet dan televisi. Ini juga
terjadi para aras yang lebih teoretik sifatnya. Kita tak bisa lagi
mengandalkan pengetahuan tentang Marxisme yang menutup-diri terhadap
perkembangan teori-teori politik dunia yang mengalir deras dewasa ini.
Kita mesti mengambil sikap terhadap teori-teori itu, tidak dengan jalan
menutup mata ataupun berkompromi habis-habisan, melainkan dengan
mempelajarinya, mengeksplisitkan tendensi politiknya dan menyerangnya
bila diperlukan. Oleh karena itu, perwujudan politik pengetahuan kita
dalam kondisi kontemporer ini mesti melampaui sekedar “bom selebaran”
yang menyebar tak terarah. Politik pengetahuan Kiri mesti mewujud dalam
bentuk yang lebih terfokus dan terukur capaiannya.
Politik pengetahuan Kiri kita dewasa ini, karenanya, mensyaratkan
pembangunan suatu rantai intelektual Kiri. Seluruh intelektual Indonesia
yang memiliki simpati pada Marxisme, mesti dikonsolidasikan dalam
sebuah divisi khusus yang berada di bawah payung gerakan. Kita tak bisa
lagi mengandaikan begitu saja bahwa akan selalu ada intelektual yang
bermunculan secara sporadis yang secara kebetulan suka dengan ide-ide
Marxisme. Sebab bergantung pada pengandaian seperti itu sama artinya
dengan bergantung pada lini pertahanan ideologis yang terentang secara
amat tipis. Oleh karenanya, kaum intelektual Kiri ini mesti diwadahi
dalam satu divisi tersendiri. Atau, dalam konteks keragaman
partai-partai Kiri, setidaknya diperlukan suatu Biro Korespondensi
lintas-organisasional yang mewadahi para intelektual Kiri ini untuk
berbagi informasi dan bekerja sama mengangkat kajian berbasis Marxisme
di wilayah teoretik masing-masing.
Fungsi dari rantai intelektual Kiri ini dapat dilihat dari dua segi: secara eksternal dan internal. Fungsi eksternalnya yang pertama
adalah sebagai “unit reaksi cepat” yang dapat merespon perkembangan
politik aktual dari perspektif Marxis. Dalam arti ini, rantai
intelektual Kiri, sebagai sebuah divisi yang terkonsolidasikan, akan
memenuhi peta wacana politik nasional dengan analisis Marxis sedemikian
sehingga membuat rakyat kian akrab dengan Marxisme dan mulai memandang
persoalan nasional melalui kaca mata Marxis.
Fungsi eksternalnya yang kedua ialah
sebagai agen yang menyerang secara ideologis tendensi politik Kanan
dari wacana-wacana yang berkembang. Ini adalah fungsi eksternal
terpenting dari rantai intelektual Kiri. Dengan menghancurkan
justifikasi rasional dari ideologi Kanan, rantai intelektual akan
membukakan ruang gerak yang lebih besar bagi massa. Dalam fungsi ini,
rantai intelektual berperan ibarat “penembak-jitu” atau ideological sharpshooter
yang mengunci sasaran-sasaran strategis sehingga melumpuhkan daya
manuver lawan dan karenanya membuka ruang pengorganisasian yang lebih
luas bagi gerakan.
Sementara fungsi internalnya yang pertama ialah sebagai
instrumen konsolidasi teoretik-ideologis. Ini tak terpisahkan dari peta
pengetahuan Kiri pasca-‘65. Sejarah ide Kiri Indonesia ditandai oleh
patahan besar yang membelah dua periode, yakni antara periode ‘20-an
sampai ‘60-an dan periode Orba sampai sekarang. Pembantaian orang-orang
komunis pasca-G30S dan pelarangan atas disebar-luaskannya ajaran
Marxisme-Leninisme menghadirkan pengaruh yang mendalam dalam rupa
pemotongan atas kesinambungan pewacanaan ide-ide Kiri. Akibatnya, ketika
sejumlah aktivis, baik dari kelompok studi maupun gerakan, mencoba
mengangkat kembali ide-ide Marxisme di tahun ‘80-an, mereka seperti
mengulang kembali nyaris dari awal abad. Di luar faktor legal ini,
terdapat juga politik pengetahuan sejak era Orba yang secara sistematik
mengangkat Marxisme yang sudah ditafsirkan dalam kerangka yang
non-Marxis (Marxisme yang diajarkan sebatas pada Humanismenya semata).
Marxisme yang berkembang di kelompok studi dan gerakan mesti berhadapan
dengan sensor legal dan teoretik itu. Fungsi rantai intelektual dalam
konteks ini adalah untuk mewujudkan suatu penemuan kembali atas Marxisme
Indonesia pada aras teoretik. Dalam arti ini, ia mesti membersihkan
fondasi teoretik Marxisme dari asumsi-asumsi non-Marxian yang secara
sistematis diselundupkan ke dalam Marxisme sejak masa Orba.
Fungsi internalnya yang kedua adalah memberikan bentuk atau
forma bagi materi pengalaman perlawanan rakyat. Tradisi gerakan Kiri di
Indonesia pasca-‘65 memiliki pengalaman perlawanan yang sangat kaya.
Sesuatu yang masih langka ialah upaya teoretisasi atas setumpuk
pengalaman perlawanan tersebut. Dalam arti ini, rantai intelektual akan
berperan mensistematisasi pengalaman perlawanan sehingga dapat
merumuskan suatu perspektif umum tentang perlawanan rakyat Indonesia.
Apa yang dilakukan rantai intelektual Kiri bukanlah menetapkan
arah-tujuan gerak massa, melainkan justru sebaliknya, yakni membantu
massa untuk mengartikulasikan paradigma perlawanannya.
Fungsi internal ketiga dan tertinggi dari rantai intelektual
Kiri adalah membantu gerakan dalam merumuskan pandangannya tentang
totalitas situasi Indonesia sehingga membukakan jalan bagi pengertian
tentang kemungkinan revolusi Indonesia. Dengan kata lain, rantai
intelektual Kiri akan membantu gerakan merumuskan “MIRI”-nya. Perumusan
macam ini merupakan kerja besar sebab, sekali tercipta, dokumen itu akan
menjadi fondasi bagi semua pilihan politik yang diambil oleh gerakan.
Analisis yang keliru jelas akan membawa pilihan politik yang keliru
secara Marxian. Untuk itu, diperlukan kolaborasi dari berbagai disiplin
ilmu untuk menempa sebuah visi integral tentang tatanan masyarakat
Indonesia (dari segi ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, agama,
antropologi, dst.) yang kokoh untuk dijadikan basis bagi gerak ke arah
revolusi sosialis Indonesia.
Dengan menjalankan seluruh fungsi di muka, rantai intelektual Kiri
akan mewujudkan serangkaian intervensi superstruktural yang akan
mematangkan kontradiksi pada basis, dengan kata lain, mewujudkan suatu
perjuangan kelas pada level ideologis yang akan mendorong intensifnya
perjuangan kelas pada level basis. Akan tetapi, sebagaimana ditulis
Marx, “teori akan direalisasikan di dalam rakyat hanya bila ia merupakan
realisasi dari kebutuhan rakyat,” maka rantai intelektual Kiri mesti
ditempatkan di dalam totalitas gerak perlawanan massa dan tak boleh
berdiri di luar totalitas itu. Sebab dari totalitas itulah rantai
intelektual mendapatkan semua materi bagi peperangan ideologis yang akan
ditempuhnya, atau dengan kata lain, dari totalitas massa itulah rantai
intelektual mendapatkan seluruh persyaratan bagi keberadaannya.***
Martin Suryajaya
Anggota kelompok kajian Komunitas Marx
Esai dimuat di Koran Rakyat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), edisi Mei Bulan Perlawanan, Mei 2011). dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.”
http://indoprogress.com/2011/05/membangun-rantai-intelektual-kiri/
0 komentar:
Posting Komentar