Oleh: Fahri Salam - 3 Februari 2020
Ilustrasi
Jokowi dan Prabowo di MRT (13/7/2019). tirto.id/Lugas/source image: Muchlis
Jr/Biro Pers Setpres
Jokowi menghilangkan ke-13 orang hilang untuk kedua
kalinya setelah merangkul Prabowo ke dalam pemerintahan.
Seorang pensiunan jenderal bintang empat berkata kepada
kami bahwa Presiden Joko Widodo seakan telah “menampar pipi kiri” dia ketika
mengangkat Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad yang
dipecat pada November 1998, sebagai menteri pertahanan pada 23 Oktober 2019.
Ia bilang gelagat itu telah terlihat sejak “diplomasi
nasi goreng” Megawati menjamu Prabowo di Teuku Umar No. 27 Menteng, kawasan
perumahan elite di pusat kekuasaan Indonesia, tiga bulan setelah Pemilihan
Presiden 2019. Ia berkata telah “pasang badan” demi memenangkan Jokowi dalam
Pilpres 2014 dan 2019.
Ia mengaku menenangkan Megawati ketika Ketua Umum PDIP
itu panik begitu mendengar ada sebagian purnawirawan mendukung Prabowo pada
kampanye Pilpres tahun lalu—polarisasi politik dan militer yang brutal sejak
2014.
Bayangkan, katanya dengan nada getir, “ada orang yang
memaki-maki Jokowi sebagai 'antek-Cina', 'PKI', 'anti-Islam', malah dijadikan
menteri pertahanan.”
Jokowi tak cuma mengecewakannya, tapi juga membokongi
para pemilihnya terutama dari kelompok relawan yang meyakini mantan Wali Kota
Solo ini mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia,
khususnya relawan-relawan yang terhubung dalam aktivisme menurunkan Presiden
Soeharto, mertua Prabowo, pada Mei 1998.
Pengunduran diri Soeharto, 22 tahun lalu, ditandai kasus
penghilangan paksa, di antara peristiwa kekejaman lain, dan Prabowo adalah
bagian para perwira tinggi dalam pusaran perubahan kekuasaan itu.
Ada sembilan orang diculik yang kembali dengan selamat,
termasuk enam aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang bersaksi tentang
pengalamannya disekap dan disiksa, terdokumentasi dengan baik dalam laporan
media dan lembaga resmi negara.
Mereka adalah Aan Rusdianto, Andi Arief, Faisol Riza,
Mugiyanto, Nezar Patria, dan Raharja Waluyo Jati. Bersama Desmond J. Mahesa,
Haryanto Taslam, dan Pius Lustrilanang, mereka dibawa ke Pos Komando Taktis
Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.
Pelaku penculikan adalah satuan tugas dikenal ‘Tim Mawar’,
yang lahir dari Grup 4/Sandi Yudha Kopassus, di bawah kendali sehari-hari
Komandan Batalyon Infanteri 42 Mayor Bambang Kristiono (Akmil 1985).
Adapun atasan Bambang adalah Komandan Grup 4 saat itu
Kolonel Chairawan Kadarsyah Nusyirwan. (Bambang mengajukan pensiun dini dan
kini anggota DPR dari Fraksi Gerindra di Komisi Pertahanan. Chairawan, kini
pensiunan jenderal bintang dua, diangkat oleh Menhan Prabowo sebagai asisten
khususnya pada Desember 2019.)
Bersama 10 personel lain, dari berpangkat kapten hingga
sersan satu, Mayor Bambang lewat Tim Mawar menjalankan operasi pengumpulan
informasi serta mendeteksi “tindakan radikal dan ancaman keamanan,” menurut
Pengadilan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta yang mengusut anggota Tim Mawar
pada 1999.
Pengadilan itu memvonis 11 anggota Tim Mawar bersalah
atas tindakan mereka merampas kemerdekaan melalui penangkapan, penahanan, dan
penculikan kepada sembilan orang yang telah kembali, tetapi tidak untuk mereka
yang hilang. Setidak-tidaknya, dalam kesaksian kepada tim penyelidik Komnas HAM
yang digelar 2005-2006, ada empat orang lain yang diduga disekap di markas
Kopassus, termasuk Herman Hendrawan, aktivis PRD yang diculik pada 12 Maret
1998.
Dalam gelombang penculikan oleh Tim Mawar yang berhenti
terhadap Andi Arief pada akhir Maret 1998, anehnya, teman mereka, Petrus Bimo
Anugerah hilang pada 1 April. Suyat juga hilang setelah diculik di Solo pada 13
Februari. Lebih misterius lagi Wiji Thukul yang kemungkinan dihilangkan pada
akhir Mei 1998, sesudah Soeharto lengser. Mengapa?
Mengapa jika tujuan akhirnya menangkap Andi Arief, masih
ada orang-orang yang dihilangkan? Mengapa ada yang kembali dengan selamat dan
ada yang hilang—untuk tidak disebut mati?
Benarkah persaingan para perwira tinggi Angkatan Darat
saat itu memengaruhi jalannya operasi?
Apakah ada operasi di dalam operasi?
Laporan kolaborasi ini—antara wartawan dan peneliti politik dan militer serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)—berusaha menggali dan menganalisis kembali dokumen-dokumen resmi negara, dokumen primer dan sekunder lain, serta mewawancarai sejumlah narasumber.
Apakah ada operasi di dalam operasi?
Laporan kolaborasi ini—antara wartawan dan peneliti politik dan militer serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)—berusaha menggali dan menganalisis kembali dokumen-dokumen resmi negara, dokumen primer dan sekunder lain, serta mewawancarai sejumlah narasumber.
Laporan media terakhir yang mengulas secara ekstensif
kasus ini adalah edisi khusus Tempo pada pekan kedua Mei 2013, yang menelusuri
jejak Wiji Thukul dari 1995-1998.
Made Supriatma, peneliti independen, menulis untuk
IndoProgress mengenai Tim Mawar pada Mei 2014. [Catatan redaksi: Made Supriatma
termasuk salah satu tim kolaborasi untuk laporan ini.]
Tim Mawar kembali disebut media-media di Jakarta setelah
peristiwa kekerasan berujung kematian sembilan orang antara massa pendukung
Prabowo dan polisi-polisi Indonesia dalam demonstrasi menentang keputusan KPU
memenangkan Jokowi di depan Gedung Bawaslu, Mei 2019.
Lawan dan Kawan:
Memilih ‘si Orang Baik’
Pada Pilpres 2014, ruang redaksi media terbelah; sebagian
publikasi arus utama menyatakan sikap dukungan terhadap Joko Widodo, secara
terang-terangan lewat tajuk editorial maupun malu-malu, yang memandang Gubernur
Jakarta itu mewakili harapan segar—yang kini terdengar naif—mampu memutus
rantai kebal hukum terhadap para pelanggar HAM.
Ada politik ketakutan menilai Prabowo Subianto bisa
kembali ke istana negara ketika sistem politik elektoral Indonesia semakin
terpusat dikendalikan oligarki, yang pucuknya masyarakat-masyarakat Indonesia
hanya ditawari pilihan terbatas lewat dua kandidat presiden. Jokowi, seorang
pengusaha mebel dari Surakarta, saat itu dianggap mewakili rakyat kebanyakan;
setidaknya perasaan umum ini tergambar ketika ia mengambil tawaran PDI
Perjuangan menuju Jakarta pada 2012.
Sejak itu istilah relawan menjadi lazim dalam nomenklatur
politik Indonesia, yang relasinya sangat cair di luar kader-kader partai
politik, sebelum digantikan istilah buzzer politik dan banjir hoaks dalam
panggung media sosial selama tiga tahun terakhir. Jokowi menyerap harapan
relawannya ketika terbuka berkata mengenai kasus penghilangan orang dalam
kampanye Pilpres 2014.
Di satu rumah relawan di kawasan Menteng, 9 Juni 2014,
Jokowi berkata kasus masa lalu orang hilang dengan motivasi politik “harus
ditemukan” oleh negara.
“Bisa ketemu hidup atau meninggal. Masak 13 orang bisa ndak ketemu tanpa kejelasan?” “Wiji Thukul itu saya sangat kenal baik. Dia orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu,” ujar Jokowi.
Harapan itu ringsek.
Pada Pilpres 2019 yang berbiaya nyaris Rp25 triliun, dua kandidat masih sama. Polarisasi tambah tajam. Narasi-narasi kampanye negatif, yang berpindah ke kendali para buzzer, masih ada yang memakai isu HAM sampai-sampai kubu Prabowo menanggapinya sebagai “kaset rusak yang diulang”.
Pada Pilpres 2019 yang berbiaya nyaris Rp25 triliun, dua kandidat masih sama. Polarisasi tambah tajam. Narasi-narasi kampanye negatif, yang berpindah ke kendali para buzzer, masih ada yang memakai isu HAM sampai-sampai kubu Prabowo menanggapinya sebagai “kaset rusak yang diulang”.
Sebagai penggantinya adalah narasi “Pemilu bukanlah untuk
memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”—satu
pandangan yang mengandung kontradiksi besar. Pandangan ‘minus malum’ ini
dipakai buat menghambat kampanye golput yang gencar di media sosial. Memilih
‘si orang baik’ ternyata sama buruknya.
Pada 23 Oktober, tiga hari setelah dilantik, duduk
bersila di tangga depan Istana Negara, Jokowi mengumumkan 38 anggota
kabinetnya. Prabowo Subianto, memakai batik motif parang dan gurda dominan
cokelat-hijau, seketika berdiri dan mengulurkan salam hormat setelah disebut
Jokowi sebagai menteri pertahanan.
“Selamat pagi, Pak,” kata Jokowi selagi Prabowo kembali duduk bersila di anak tangga teratas, satu baris dengan Luhut B. Pandjaitan.
“Saya kira tugas beliau...,” Jokowi meneruskan, “saya tidak usah menyampaikan. Beliau lebih tahu daripada saya."
Komplikasi Dewan Kehormatan Perwira
Di antara nama menteri yang diumumkan Jokowi, ada nama
purnawirawan Jenderal Fachrul Razi, berusia 73 tahun, lulusan Akmil 1970, satu
angkatan dengan Luhut Pandjaitan. Razi menjadi ketua Tim Bravo 5, jaringan
relawan purnawirawan TNI yang terbentuk sejak 2014 lalu diaktifkan lagi pada 2018,
demi mendukung Jokowi. Jokowi mengangkat Razi sebagai menteri agama, pos tidak
lazim bagi militer yang biasanya jadi jatah politikus sipil.
Pos militer terakhir yang diisi Razi adalah Wakil
Panglima TNI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Jabatan ini sudah lama
dibekukan sejalan tuntutan reformasi di tubuh tentara karena selain dianggap
tidak efektif juga hanya untuk mengisi hari tua perwira tinggi jelang pensiun.
Jokowi mengaktifkannya lagi lewat sebuah peraturan pada Oktober 2019, dianggap
sebagai solusi mengatasi surplus jenderal dan kolonel mengingat usia pensiun
mereka, dalam UU TNI 2004, bertambah menjadi 58 tahun dari semula 55 tahun.
Dua puluh dua tahun lalu, dalam kapasitasnya sebagai
Kepala Staf Umum ABRI (1998-1999), Razi termasuk satu dari tujuh letnan
jenderal yang menyidang Prabowo Subianto (Akmil 1974). Lewat mekanisme yang
tidak lazim bernama Dewan Kehormatan Perwira alias DKP (Razi menjadi wakil
ketuanya), sidang itu memutuskan Prabowo “diberhentikan dari dinas
keprajuritan.”
Dokumen keputusan DKP pada 21 Agustus 1998 memuat
penilaian bahwa Prabowo salah menafsirkan perintah atasannya sehingga, secara
lisan dan tertulis, menginstruksikan anak buahnya di Grup 4 Kopassus melakukan
“operasi khusus” penculikan terhadap sembilan aktivis. Prabowo tidak melaporkan
operasi itu kepada Panglima ABRI, menurut keputusan DKP.
Saat itu Pangab dijabat Jenderal Feisal Tanjung
(1993-1998) dan Jenderal Wiranto (1998-1999). Prabowo baru melaporkannya pada
awal April 1998 atas desakan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Zacky
Anwar Makarim, tulis dokumen. (Feisal Tanjung meninggal pada 18 Februari 2013.)
Wiranto membentuk DKP dengan ketuanya Kepala Staf AD Jenderal Subagyo Hadi
Siswoyo (Akmil 1970).
Ia beranggotakan empat jenderal bintang tiga, salah
satunya Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1973) dalam kapasitasnya sebagai Kepala
Staf Teritorial ABRI. (Jabatan ini dihapus sejalan reformasi.) Seorang
pensiunan jenderal bintang empat berkata kepada kami bahwa rivalitas antara
para perwira tinggi, termasuk antara Wiranto dan Prabowo, di orbit terdalam
Soeharto menjelang kejatuhan Orde Baru “tidak bisa dinafikan lagi.”
Kasus penculikan membuat reaksi dunia cukup keras
menyoroti institusi pasukan elite TNI, membuat Amerika Serikat, Australia, dan
Inggris menarik bantuan pelatihan militernya, ujar dia. Alasan kenapa memakai
mekanisme khusus berupa DKP, bukan mahkamah militer tinggi, untuk menyidangkan
Prabowo adalah sederhana.
“Prabowo waktu itu dilindungi oleh statusnya sebagai mantu Pak Harto. Sehingga keluarlah keputusan memberhentikan dari militer secara hormat. Itu bahasa halusnya,” katanya.
“Tapi, bagaimanapun, itu adalah pemberhentian karena kasus (penculikan) ini masuknya ke pelanggaran HAM berat,” ia menegaskan.
Dalam kesempatan-kesempatan terbuka sebagai Ketua Umum
Partai Gerindra, yang didirikan bersama adiknya Hashim Djojohadikusumo pada
2008, Prabowo sangat jarang menyinggung peristiwa masa lalu yang terus
membayanginya itu. Penjelasan paling terbuka Prabowo selama ini pernah
dikemukakannya saat berada di Bangkok pada 1999 ketika bersedia diwawancarai
empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari majalah Panji, yang kemudian dirilis
dalam edisi 27 Oktober 1999. Prabowo merasa Wiranto seharusnya tahu situasi
saat itu.
“Begitu dia jadi Pangab, saya juga laporkan sedang ada operasi intelijen,” katanya. “Perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Dalam DKP saya kemukakan perintah pengamanan itu tidak rahasia. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.”
“Saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lain juga menerima. Daftar itu sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum.”
“Kita dapat briefing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai, ‘Sudah dapat belum Andi Arief?’ Tiap hari ditanya,” ujar Prabowo.
Linimasa Penculikan dan Kasus Orang Hilang
Penyelidikan Komnas HAM 2005-2006 tentang kasus penghilangan orang secara paksa (dokumennya setebal 1.075 halaman) menyimpulkan kemungkinan logika operasi Tim Mawar bekerja di bawah struktur komando daerah militer (Kodam), sehingga ditengarai ada praktik “peminjaman” melalui bawah kendali operasi (BKO) di dalam unit-unit lebih kecil dan efektif di lapangan.
Temuan lain adalah Tim Mawar dan unit-unit pendukung
lainnya berada di bawah struktur keamanan tertinggi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Tim Mawar menculik para aktivis secara maraton sejak
Februari 1998 setelah peristiwa ledakan di unit 510 rumah susun Tanah Tinggi di
kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998.
Pada 13 Februari, Suyat—yang kakinya terluka—diculik di
lingkungan rumah orangtuanya di Solo, diduga sempat dibawa ke Kandang
Menjangan, markas Grup 2 Kopassus. Lalu ada Herman Hendrawan (diculik pada 12
Maret), Petrus Bimo Anugerah (hilang sejak 1 April), dan Wiji Thukul
(kemungkinan hilang akhir Mei 1998). Herman, menurut aktivis yang dipulangkan
selepas diculik, sempat disekap di Markas Kopassus. Begitu pula Yani Afri, yang
berkata “sudah disekap selama sekitar setahun” bersama Sonny, menurut
keterangan Faisol Riza.
Yani juga berkata kepada teman satu lokasi penyekapan di
Cijantung bahwa ia pernah bersama Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri di lokasi
yang sama. Yani dan Sonny, keduanya pendukung PDI pro-Megawati, diambil di
kawasan Kelapa Gading pada 26 April 1997 lalu diinterogasi dan ditahan satu
malam di Kodim Jakarta Utara. Keduanya sempat dilepas tetapi secepat kemudian
ditangkap lagi dan, setahun kemudian, justru berada dalam satu lokasi
penyekapan di Cijantung dengan para korban penculikan yang dipulangkan.
Peristiwa serupa dialami Deddy Hamdun dan Noval Alkatiri,
keduanya pengusaha asal Ambon dan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan.
Mereka terakhir terlihat di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada hari Pemilu 29
Mei 1997. Bersama mereka, hilang juga Ismail, sopir pribadi keduanya.
Korban lain yang dikumpulkan Munir Thalib dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) adalah Abdun Nasser, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, dan Yadin Muhidin; keempatnya hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998 di lokasi-lokasi pembakaran di Jakarta dan Tangerang.
Sandyawan Sumardi, anggota tim gabungan pencari fakta tentang kerusuhan Mei 1998, menerangkan kepada kami bahwa banyak pihak berperan sebagai massa aktif maupun provokator demi mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan dari peristiwa itu.
Korban lain yang dikumpulkan Munir Thalib dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) adalah Abdun Nasser, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, dan Yadin Muhidin; keempatnya hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998 di lokasi-lokasi pembakaran di Jakarta dan Tangerang.
Sandyawan Sumardi, anggota tim gabungan pencari fakta tentang kerusuhan Mei 1998, menerangkan kepada kami bahwa banyak pihak berperan sebagai massa aktif maupun provokator demi mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan dari peristiwa itu.
“Ada keterlibatan dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga ada keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam tubuh ABRI,” demikian temuan tim, mencatat Panglima Komando Operasi Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin “tidak menjalankan tugasnya sebagaimana seharusnya” demi mencegah kerusuhan semakin meluas. (Sjafrie, kini pensiun jenderal bintang tiga, diangkat Menhan Prabowo sebagai asisten khususnya pada Desember 2019.)
Selain ketiga belas orang hilang, ada korban tewas
bernama Leonardus Nugroho Iskandar atau Gilang, pengamen jalanan yang vokal
dalam demonstrasi anti-rezim militer Soeharto di Solo. Mayat Gilang ditemukan
di tengah hutan Magetan pada 23 Mei 1998, dua hari setelah Presiden Soeharto
lengser. [Catatan redaksi: Laporan mendetail mengenai operasi penculikan oleh
Tim Mawar termuat dalam artikel terpisah berikutnya.]
Korban-korban ini, baik yang kembali maupun yang hilang, berada dalam tegangan dua agenda politik penting di mana Soeharto berupaya mempertahankan kekuasaannya: Pemilu 29 Mei 1997 dan Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998. Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, memerintahkan pada 25 Maret 1996 untuk menggelar Operasi Mantap demi menjaga “stabilitas nasional.”
Korban-korban ini, baik yang kembali maupun yang hilang, berada dalam tegangan dua agenda politik penting di mana Soeharto berupaya mempertahankan kekuasaannya: Pemilu 29 Mei 1997 dan Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998. Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, memerintahkan pada 25 Maret 1996 untuk menggelar Operasi Mantap demi menjaga “stabilitas nasional.”
Pada 27 Juli, massa bayaran Soerjadi dengan bantuan
tentara merebut kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jl
Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Peristiwa ini dipakai dalih pemerintah bahwa
Partai Rakyat Demokratik—disebut Soeharto sebagai “kelompok bermental
makar”—sebagai pelakunya.
Perburuan terhadap anggota-anggota PRD dan organisasi
terafiliasi dengannya digencarkan lewat instruksi Feisal Tanjung dan Kapolri
Jenderal Dibyo Widodo. Kurun itulah pemimpin legal PRD ditangkapi di sejumlah
daerah. Mereka yang selamat bersembunyi, termasuk Wiji Thukul yang menyamar ke
Pontianak. PRD menarik kader-kader tersisa mereka ke Jakarta, kelak
mengantarkan Herman Hendrawan dan Petrus Bimo Anugerah dari Surabaya serta
Suyat dari Solo ke ibu kota.
Nantinya, PRD membentuk organisasi bawah tanah, lewat
sejumlah sayap kolektif dan sel-sel komunikasi terputus melalui jaringan kurir
mereka, setelah ratusan aktivisnya bertemu di sebuah hotel di Jakarta Pusat
pada Agustus 1997. Mereka menyimpulkan partai harus segera meradikalisasi
massa—dari mahasiswa sampai petani, dari buruh hingga kaum miskin kota—serta
menjalin aliansi dengan para kader parpol oposisi demi secepatnya melengserkan
Soeharto. [Catatan redaksi: Persaingan elite politik dan militer serta kiprah
‘PRD bawah tanah’ selama 1997-98 termuat dalam artikel terpisah.]
Memasuki kuartal pertama 1998, institusi ABRI mengganti
pucuk pimpinan elite militernya. Wiranto, saat itu jenderal bintang empat,
menjadi Panglima ABRI terakhir di masa Orde Baru. Ia diangkat pada Februari
1998. Posisi-posisi strategis lain seperti Danjen Kopassus masih dipegang oleh
Prabowo Subianto sebelum dialihkan kepada Mayjen Muchdi Purwopranjono pada 21
Maret 1998. Prabowo naik pangkat sebagai Letjen menjadi Panglima Kostrad.
Pada periode itu Pangdam V Jaya dikendalikan oleh Mayjen
Sjafrie Sjamsoeddin. (Dewan Kehormatan Perwira mencopot jabatan Danjen Kopassus
Muchdi Pr., tetapi dinas militernya tetap.) Mereka patut dimintai kesaksiannya
karena, sesuai garis tanggung jawab komando, mereka seharusnya tahu tetapi
memilih menutupi atau mengaburkan peristiwa penghilangan orang, menurut dokumen
Komnas HAM. [Catatan redaksi: Periode Prabowo menjadi Danjen Kopassus pada
Desember 1995-Maret 1998 dibahas dalam artikel terpisah.]
Tim penyelidik Komnas HAM memanggil 34 saksi dari TNI,
tetapi hanya Letjen Yusuf Kartanegara, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua
Dewan Kehoramatan Perwira, yang bersedia menyambut panggilan itu. (Kartanegara
menjadi anggota dewan pertimbangan presiden dalam periode pertama pemerintahan
Jokowi.) Komnas HAM mengirim pemanggilan paksa kepada para saksi kunci dari
TNI, termasuk Wiranto, Feisal Tanjung, Prabowo Subianto, Sjafrie Samsoeddin,
dan Chairawan Nusyirwan, pada 3 Juli 2006, tetapi mereka menolak hadir.
Zoemrotin Susilo, yang berusia 57 tahun saat menjadi
salah satu anggota tim penyelidik dan kini berusia 70 tahun, berkata kepada
kami bahwa orang-orang yang menolak bersaksi “memilih mengamankan masa depan
karier dan politik mereka” dari peristiwa masa lalu tersebut. Tim merampungkan
laporan penyelidikannya pada 30 Oktober 2006.
Komitmen yang Menghantui: Reformasi Dikorupsi Sampai 13 tahun, laporan akhir tim penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa tak pernah disentuh oleh negara. Ia melewati dua kali pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama pemerintahan Jokowi.
Komitmen yang Menghantui: Reformasi Dikorupsi Sampai 13 tahun, laporan akhir tim penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa tak pernah disentuh oleh negara. Ia melewati dua kali pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama pemerintahan Jokowi.
Pada 28 September 2009, Panitia Khusus Orang Hilang yang
dibentuk DPR merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad
hoc (sementara tapi mendesak) dan meminta pemerintah serta pihak terkait untuk
segera mencari 13 orang yang dinyatakan hilang oleh Komnas HAM.
Jaksa Agung menolak bolak-balik berkas penyelidikan
Komnas HAM dengan dalih “tidak lengkap” tetapi tanpa menjelaskan bagian-bagian
mana saja yang dianggap kurang, ujar Sriyana, sekretaris tim.
“Tugas Jaksa Agung yang seharusnya menggenapi penyelidikan dengan mekanisme penyidikan mereka, bukan terus-terusan mengembalikan laporan tanpa alasan,” tambah Sriyana, kini bekerja di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kepada kami.
Pada akhir September 2019, protes anak-anak muda bertajuk
“Reformasi Dikorupsi” merebak di Jakarta dan kota-kota lain di luar Jawa.
Mayoritas mahasiswa dan pelajar ini, berusia antara 16-22 tahun, menyerukan
tujuh tuntutan, termasuk mendesak pemerintahan Jokowi menuntaskan pelanggaran
hak asasi manusia.
Sementara demonstrasi mereka dihadapi lewat brutalitas polisi, Jokowi memilih melanjutkan agenda memindahkan ibu kota baru ke Kalimantan, kawasan yang mengalami krisis ekologis, ditaksir menelan anggaran Rp466 triliun di lahan seluas 181 ribu hektare.
Sementara demonstrasi mereka dihadapi lewat brutalitas polisi, Jokowi memilih melanjutkan agenda memindahkan ibu kota baru ke Kalimantan, kawasan yang mengalami krisis ekologis, ditaksir menelan anggaran Rp466 triliun di lahan seluas 181 ribu hektare.
Sebelum pelantikan presiden dan kabinet baru, Oktober
2019, Jokowi dan Prabowo bertemu di Istana. Setelah pertemuan, Prabowo terbuka
mendukung rencana tersebut. (Dalam laporan Koalisi pada Desember 2019, Hashim
Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, memiliki lahan konsesi di kawasan ibu
kota baru.)
Jokowi menjalankan roda kedua pemerintahannya dengan
menggandeng kolega-kolega koalisinya dan merangkul oposisi ke pos-pos menteri
strategis. Pemerintahannya kini ditopang oleh nyaris 75 persen kursi koalisi di
DPR. Ia ingin agenda utamanya, termasuk percepatan investasi lewat RUU Omnibus
Law, bisa cepat disahkan tanpa hambatan bertele-tele di parlemen.
Waktu tak pernah berkhianat. Waktu juga yang menguji
komitmen seseorang. Pada periode pertamanya, Jokowi mengangkat Wiranto sebagai
Menkopolhukam yang, di masa akhir jabatannya, secara keras menghadapi protes
anti-rasisme di seluruh Papua, provinsi paling bergolak di Indonesia tapi
paling sering dikunjungi Jokowi ketimbang para presiden sebelumnya.
Purnawirawan bintang empat lulusan Akmil 1968 ini
mengalami penusukan tak terduga saat kunjungan kerja di Banten, 10 hari
menjelang pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin. Jokowi tetap memakai jasa Wiranto
sebagai ketua dewan pertimbangan presiden pada 12 Desember 2019.
Sekarang Jokowi mengangkat Prabowo di pos kementerian
yang anggarannya terbesar di antara kementerian lain. Pada awal tahun, bersama
putra sulungnya Gibran Rakabuming, ia menyambut Prabowo dan Didit Prabowo di
Istana Yogyakarta. Jokowi mengunggah foto mereka di meja makan: "Tamu
pertama di tahun 2020."
____
____
Laporan ini disusun
berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan
Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Kontras.
Laporan berdasarkan
wawancara dengan sejumlah narasumber terkait proses penyelidikan peristiwa,
analisis dokumen resmi negara, dokumen-dokumen primer dan sekunder lain, serta
pencarian informasi di media massa.
Laporan ini adalah bagian
satu dari enam artikel yang kami siapkan untuk dirilis selama pekan-pekan
berikutnya.
Reporter: Tim Kolaborasi
Tirto
Penulis: Fahri Salam Editor:
Made Supriatma
Jokowi menguburkan kasus
penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
0 komentar:
Posting Komentar