Test Footer 2

Senin, 21 Mei 2018

Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1) - (2)


Petrus Hariyanto - 21 Mei 2018

Ditahan dengan tuduhan sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka meyakini gerakan mahasiswa dan rakyat hanya tiarap sesaat.

Deklarasi Partai Rakyat Demokratik di Jakarta, 22 Juli 1996. Foto: prd.or.id.

GEDUNG Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu "angker” bagi tokoh-tokoh oposisi, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Satu per satu mereka diperiksa sebagai saksi Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka antara lain Megawati Soekarnoputri, Ridwan Saidi, Aberson M. Sihaloho, Sophan Sophiaan, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritno, Sukowalujo Mintorahardjo, Julius Usman, dan Permadi.

Saat itu, di salah satu ruangan berukuran 4x4 m2 yang dijadikan sel Rutan Salemba Cabang Kejagung, aku meringkuk sendirian. Sudah lebih sebulan aku ditahan di sana.

Sejak 17 Agustus 1996, aku ditahan di Gedung Pidana Umum Kejagung bersama Budiman Soejtamiko, ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD); Garda Sembiring, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Jabotabek; dan Mochtar Pakpahan, ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Kami ditangkap dengan tuduhan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996.

Kerusuhan 27 Juli sebenarnya merupakan imbas dari rezim Soeharto, dengan menunggangi PDI Suryadi, merebut kantor DPP PDI pimpinan Megawati di Jalan Diponegoro dengan cara kekerasan. Rakyat marah. Banyak gedung dibakar.

Sebelumnya, berhari-hari kantor di Jalan Diponegoro itu menjadi arena mimbar bebas, terkenal dengan “Mimbar Rakyat”. Arena mengecam pemerintah yang telah mengintervensi PDI pimpinan Megawati. Setiap hari dipenuhi massa rakyat. Takut menjadi bola salju dan kekuatan people power, Mimbar Rakyat dihentikan dengan cara kekerasan. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyebut lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang.

Kami menjadi tersangka. Pasal yang dipakai terdapat dalam UU Subversif. Hukuman tertingginya adalah hukuman mati.

Pemerintahan Soeharto juga mengumumkan bahwa PRD sebagai partai terlarang. Sejak itu, aparat militer mulai memburu anggota PRD di seluruh daerah. Yang tertangkap sebagian besar disiksa. Kawan-kawan di Surabaya, misalnya, ditangkap Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakortanasda) Jawa Timur dan disiksa berhari-hari, bahkan ada yang dipaksa makan katak.

Pagi hari di Gedung Bundar, sekitar Oktober 1996, aku mendapat surat dari kawan-kawan yang masih bebas di luar. Surat diantar atau tepatnya diselundupkan Esther Indah Yusuf, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan salah satu anggota Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia (TPHKI).

Surat itu ditulis Herman Hendrawan, salah satu korban penculikan aktivis ‘98 yang sampai saat ini belum kembali. Herman mengabarkan bahwa sebagian kader PRD sudah dapat dikonsolidasikan.
"Kawan-kawan yang di penjara, kalian tenang-tenang saja. Kami akan lanjutkan perjuangan yang sudah kita mulai bersama.”
Aku cukup terharu. Kawan-kawan sudah mengkonsolidasikan diri dan membentuk struktur kepemimpinan PRD bawah tanah. Mereka tetap melawan, walau aparat militer Orde Baru terus memburu mereka. Mereka gencar mengeluarkan pernyataan sikap atas nama Mirah Mahardika (Komite Pimpinan Pusat PRD).

Gerakan rakyat yang semakin luas menentang kediktaktoran Soeharto tak mungkin lagi bisa dihenti, walau rezim berusaha menumpasnya dengan cara kekerasan. Kotak Pandora sudah dibuka. Soeharto harus ditumbangkan.

PRD Didirikan

Soeharto merebut kekuasaan dengan menyingkirkan Sukarno dan menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk memperkuat kekuasaannya, partai politik dilemahkan melalui kebijakan fusi atau penyederhanaan partai politik menjadi hanya tiga. Gerakan mahasiswa, yang ikut andil dalam menumbangkan Sukarno, redup teratur. Beberapa aktivisnya meraih kedudukan di parlemen.

Setelah sekian lama bungkam, mahasiswa mulai mengkritik penguasa pada awal 1970-an. Dari soal pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hingga penolakan modal asing Jepang yang berujung pada Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari). Aktivitas mahasiswa di dalam kampus mulai diperketat. Namun langkah itu tak menyurutkan langkah mahasiswa untuk turun ke jalan. Puncaknya, pada 1978, mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk ketiga kalinya.

Pukulan telak pun dilancarkan penguasa. Didahului pendudukan kampus-kampus oleh tentara, salah satunya Institut Teknologi Bandung (ITB), disusul sterilisasi kampus dari aktivitas politik melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), gerakan mahasiswa “dijinakkan” Rezim Soeharto.

Sejak itu kampus sepi dari aktivitas politik. Soeharto melenggang dan melanggengkan kekuasaannya tanpa ada oposisi dari mahasiswa.

Gerakan mahasiswa mulai muncul kembali sekitar 1988. Kasus tanah, seperti pembangunan Waduk Kedung Ombo, mendorong mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa turun ke jalan. Mereka menolak tunduk pada kebijakan rezim yang melarang mahasiswa berpolitik.

Dari kemunculan gerakan mahasiswa saat itu, sebagian kelompok mahasiswa dan gerakan rakyat (buruh dan tani) mendirikan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). Hal ini didasari perlunya organisasi payung untuk mewadahi perlawanan di sektor mahasiswa, buruh, dan tani. Tak boleh bersifat sektarian sektor dan kota. Tak boleh lagi organisasi perlawanan bersifat ad hoc, berganti-ganti nama sesuai aksi yang dilakukan. Harus sistematis dalam beroganisasi dan programatik.

Sayang, usaha pertama kami gagal. Pada saat bersamaan, terjadi peningkatan eskalasi perlawanan terhadap pemerintah. Pemicunya, pembredelan tiga media: majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik. Demonstrasi terjadi di berbagai kota. Tidak hanya mahasiswa, budayawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut bergerak melakukan aksi.

Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang sebenarnya masih dalam konsolidasi tertutup, tiba-tiba dimunculkan. Sebagian besar anggota SMID adalah peserta kongres yang mendirikan PRD.

SMID mengambil-alih peran PRD sebagai organisasi terbuka yang melawan Soeharto. Antara lain ditunjukkan dengan menggelar mogok makan di depan Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Aksi itu berakhir dengan penangkapan hampir 30 peserta aksi.

Sebulan kemudian, tepatnya 1 sampai 3 Agustus 1994, SMID melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Mega Mendung. Kongres menyepakati program politik: Cabut 5 UU Politik 1985, Cabut Dwifungsi ABRI, dan Referendum di Timor-Timur.

Dua bulan berikutnya, kawan-kawan yang mengorganisir buruh mendirikan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dalam sebuah kongres di Bandungan, Ambarawa, yang dihadiri organiser buruh dari berbagai kota.

Sejak deklarasi kedua organisasi tersebut, aksi massa terjadi di berbagai kota.
Awalnya, "Cabut 5 UU Politik" dan “Cabut Dwifungsi ABRI" menjadi program politik kelompok Petisi 50, yang dikomandoi Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta. Berkat SMID dan PPBI, isu tersebut kian populer di kalangan masyarakat.

SMID menggelar aksi-aksi bersama buruh dan tani. Beberapa isu yang menjadi perhatian media antara lain; Peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 1995 di Semarang, aksi dengan kaum tani yang tergabung Serikat Tani Nasional (STN) pada 10 November 1994 mengguncang Ngawi, kota kecil di Jatim.

Dalam aksi-aksinya, SMID juga mengangkat isu Timor-Timur. Puncaknya, SMID, Presidium Sementara PRD (PS-PRD), dan Gerakan Pemuda Timor Leste melakukan aksi lompat pagar Kedutaan Belanda dan Rusia. Aksi ini menjadi perhatian media asing. Isu referendum bagi rakyat Maubere pun naik ke permukaan.

Organisasi dengan skala nasional yang kami bentuk telah mewarnai politik saat itu. Bersama kelompok mahasiswa radikal lainnya, organisasi kami mampu mengispirasi mahasiswa untuk berpolitik lagi. Jumlah mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota yang melawan meningkat. Secara kualitatif, terjadi peningkatan sentimen anti-Soeharto. Kampanye tentang kebijakan Orde Baru yang menindas secara politik dan ekonomi meluas ke masyarakat.

Terbentuknya Sebuah Partai

Suhu politik biasanya meningkat menjelang pemilihan umum (pemilu). Sebuah momentum untuk meningkatkan perlawanan rakyat sekaligus menuntut perubahan organisasi dan strategi taktik. Harus ada organisasi yang mampu mengkonsolidasikan gerakan multisektor.

Menjelang pemilu 1997, kami menjawabnya dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 15 April 1996. Aku terpilih sebagai sekjen. SMID, PPBI, STN, dan Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) menyatakan berafiliasi secara politik dan organisasi (underbouw) kepada PRD.

Dari strategi taktik, PRD harus mempelopori front persatuan dengan kekuatan elemen gerakan lain. Beberapa front berdiri seperti Oposisi Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan Majelis Rakyat Indonesia (Mari).

Ketika pemerintahan Soeharto mengintervensi PDI Megawati Soekarnoputri, dengan cara membuat kongres tandingan di Medan, PRD langsung menyatakan dukungannya kepada Megawati. Kepada pimpinan PDI di Jakarta dan berbagai daerah, PRD menawarkan jalan keluar perlawanan dengan aksi massa.

Di berbagai daerah PRD dan pemimpin PDI yang radikal menggelar aksi. Di Jakarta, PRD dan berbagai kelompok oposisi mendukung aksi massa yang dilancarkan PDI Megawati. Bahkan aksi besar terjadi di Jakarta pascakongres Medan 20 Juni 1996. Ketika itu aksi dipukul, terkenal dengan insiden “Gambir Berdarah”. Perlawanan tidak surut, dilanjutkan dengan mimbar bebas yang digelar di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Berhari-hari mimbar bebas berlangsung. Semua orasi mengecam penindasan yang dilakukan Soeharto. Hampir setiap hari massa mendatangi acara tersebut, dan jumlahnya semakin membesar. Situasi yang berbeda dari sebelumnya, aksi sudah mampu menggerakan rakyat. Mimbar Rakyat itu menjadi simbol perlawanan rakyat kepada Rezim Soeharto, dan dampaknya meluas ke mana-mana.

Sikap rezim Soeharto sudah dapat diduga. Mimbar bebas itu bisa menjadi embrio people power, dan harus dihentikan dengan cara kekerasan, walau itu akan memakan korban. Pagi hari, tanggal 27 Juli 1996, kantor tersebut diambilpaksa oleh PDI Soeryadi, dengan dibantu aparat militer.

Ketika kantor itu diambil alih secara paksa dan jatuh banyak korban, massa rakyat berkumpul di sekitar Jalan Diponegoro. Awalnya, kemarahan mereka ditumpahkan dalam mimbar bebas. Lama-kelamaan massa bentrok dengan aparat Brimob yang menjaga kantor itu. Menjelang sore, ketika massa dipukul dan digiring ke arah Salemba berubah menjadi kerusuhan. Sepanjang jalan Salemba ke Matraman dan juga ke arah Senen, gedung-gedung dibakar massa.
Dua hari setelahnya, 29 Juli 1996, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengumumkan ke publik bahwa PRD Dalang Kerusuhan 27 Juli.

Para pemimpin PRD ditangkap. Semua elemen gerakan direpresif. Terjadilah situasi di mana gerakan tiarap.

Banyak yang mengatakan semua ini adalah kesalahan PRD karena terlalu maju melawan Soeharto. Tapi PRD menjawab gerakan hanya tiarap sementara, dan akan segera bangkit lagi dengan kekuatan berkali-kali lipat. Seperti kata Budiman Soejatmiko, “Peristiwa 27 Juli” hanya senam untuk melatih otot gerakan rakyat semakin kuat.

Penulis adalah mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.


---

Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)

Dari dalam penjara menyaksikan perlawanan terhadap rezim Soeharto dan kejatuhannya.

Petrus Hariyanto – 21 Mei 2018

Partai Rakyat Demokratik.

SELAMA 1993 sampai 1994, setiap kali kereta api yang kutumpangi memasuki Stasiun Jatinegara, sejenak aku menengok ke kiri. Kupandangi tembok Lembaga Pemasarakatan Cipinang yang terlihat begitu angkuh.

“Suatu saat aku akan berada di sini. Cepat atau lambat rezim Soeharto akan memenjarakanku,” gumamku.

Dan benar, sekitar Desember 1996, aku dan beberapa kawan PRD dan Mochtar Pakpahan dipindahkan ke LP Cipinang, sementara Budiman Soejatimiko dan kawan-kawan lainnya ke Rutan Salemba. Setelah vonis jatuh, kami dipenjara di LP Cipinang, sebagian di Surabaya dan Malang.

Seperti biasa, di pagi hari, sebelum para napi kasus kriminal bangun, kami sudah bangun. Rapat di pagi hari, agar aman tidak didengar napi lain. Sekitar pukul 05.30, para napi belum bangun, dan kebetualan pintu sel sudah dibuka. Kebiasaan ini kami lakukan bertahun-tahun. Agenda utamanya, mengumpulkan data dan informasi yang kami terima dari ruang bezukan. Informasi itu datang dari para pembezuk, kader PRD muda yang belum terdeteksi aparat, dan ada juga dari kurir yang dikirim kawan-kawan dari luar.

Sesungguhnya, penjara tidak membuat kami terisolasi dari dunia luar. Kami selalu bisa mengikuti perkembangan perlawanan yang dilancarkan kawan-kawan di luar.

PRD Bawah Tanah

Kawan-kawan di luar menyatakan akan tetap melawan, walau dengan cara klandestin. Metode perlawanannya melalui distribusi selebaran dan Pembebasan (terbitan PRD bawah tanah), masuk ke basis massa PDI Pro Mega, serta mengorganisasi mahasiswa dan buruh.

Pada 30 September 1996, Komite Pimpinan Pusat PRD (KPP-PRD), organ kepemimpinan organisasi bawah tanah PRD, mengeluarkan pernyataan sikap yang dikirim ke media massa.

“Pemenjaraan, penahanan, pemberangusan, dan fitnah politik terhadap PRD bukanlah jalan keluar untuk mengatasi problem rakyat Indonesia yang demikian parah di bawah Rezim Orde Baru ini. Di tengah represi dan teror putih Rezim Orde Baru yang ganas, kami akan terus bergerak walaupun harus meratap di bawah tanah. PRD akan terus berjuang bersama rakyat untuk sebuah Indonesia yang demokratik multipartai kerakyatan,” tulis Mirah Mahardika (nama samaran), ketua KPP PRD.

Pembebasan edisi perdana terbit Oktober 1996. Tabloid terbuat dari kertas buram berukuran HVS itu memuat judul: "PRD Menjawab Fitnah dan Tuduhan".
"Sebenarnya tuduhan tersebut tak berdasar. Pemerintah hanya menyebutkan alasan bahwa bahwa orang-orang PRD terlibat aksi-aksi mendukung Megawati Soekarnoputri. Walaupun tuduhan itu tidak masuk akal, namun didukung dengan pemberitaan media massa yang gencar. TVRI, RRI, beserta koran-koran yang ada di bawah kontrol pemerintah dengan gencar memberitakan tuduhan itu," tulis Pembebasan edisi No. 1, Oktober 1996.

Pembebasan juga berisi taktik yang harus dijalankan rakyat dalam melawan pemerintah dan tuntutan program politik strategis.

Pada Oktober 1996, menurut kesaksian Ilhamsyah, mahasiswa YAI yang pada 1999 menjadi sekjen Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), kader PRD sudah berani melakukan aksi bersama dengan massa pendukung Megawati. "Aksi mendatangi Polres Jakarta Selatan menolak politik intervensi pemerintah kepada PDI Megawati Soekarnoputri," ujar Ilhamsyah.

"Bahkan, pada 28 April 1997, saat sidang vonis untuk Budiman dan kawan-kawan, simbol-simbol berbau PRD mulai berani ditampakkan. Basis mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta, dan basis pengorganisiran kaum miskin kota dimobilisasi dalam vonis tersebut," ujar Lukas Dwi Hartanto, yang saat itu tercatat sebagai mahasiswa Institut Sosial dan Ilmu Politik (ISIP), Jakarta.

"Para demonstran menamakan dirinya Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Demokrasi (FPMD). Mereka meneriakkan ‘Boikot Pemilu’, ‘Bebaskan Budiman’. Mereka juga menyanyikan ‘Mars PRD’ dan ‘Darah Juang’," tulis Harian Suara Merdeka.

Sebelum mahasiswa bergerak, akhir tahun 1997 menurut Kamaludin Pane, ia dan Sulis memobilisasi buruh-buruh di 10 pabrik di Cakung untuk mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR). 
“Saat itu ribuan buruh kami gerakkan. Aku dan Ida Nashim ditangkap, kemudian disiksa dengan disundut rokok selama dua hari di markas militer,” ujarnya.

Tidak hanya di Jakarta. Di Semarang, wartawan koran minguan Inti Jaya Joni Budiono memberi kesaksian bahwa beberapa kader PRD memimpin aksi reli dari kampus Universitas Diponegoro (Undip) menuju Gedung DPRD I Jateng, tepat pada hari HAM 10 Desember 1997. "Saat itu gerakan mahasiswa masih tiarap," ujarnya.

"Di Yogyakarta, aksi mahasiswa pecah pertama pada 17 November 1996. Haris Sitorus (anggota SMID), mengundang aktivis pers mahasiswa se-Yogyakarta untuk melakukan aksi advokasi peristiwa penggrebekan percetakan tabloid Independen, terbitan AJI (Aliansi Jurnalis Independen)," ujar Nining Wahyuningsih, koordinator kader PRD bawah tanah di Yogyakarta.

Kemudian Nining bersama Nur Hiqmah, keduanya mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), membentuk Komite Keprihatinan Mahasiswa (Kokam) UGM. Walau mengangkat isu internal kampus, aksi yang diikuti 500 mahasiswa memecah kebisuan gerakan mahasiswa di Yogyakarta.

“Setelah itu, bak jamur di musim hujan, banyak komite perlawanan mahasiswa berdiri di Yogyakarta,” ujar Nining.

Di Lampung, kader-kader PRD baru terkonsolidasi setelah pengurus dari Jakarta mengadakan kursus politik. "Sekitar Oktober 1996, Agus Jabo ke Lampung. Saat itu berbarengan dengan aksi mogok sopir angkot di Bandar Lampung. Kita langsung pimpin aksi tersebut, dan itu aksi pertama sejak 27 Juli 1996," ujar Putra Budi Anshori.

"Waktu itu aku ditunjuk sebagai sekretaris kota PRD bawah tanah. Kader-kader PRD aktif mengorganisir tani, massa PDI Pro Mega, dan mahasiswa di berbagai kampus," ujarnya dalam wawancara beberapa waktu lalu.

Atas militansi kader di sana, pada Maret 1998, sebelum Sidang Umum MPR, terjadi aksi mahasiswa dan rakyat besar-besaran.

"Aksi itu menggunakan nama Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung (KMPPRL). Ribuan orang terkonsentrasi di Universitas Lampung (Unila). Bentrok besar terjadi melawan aparat. Dan seingatku itu bentrok yang pertama kali," ujar Putra Budi Anshori, yang kini menjadi dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Riau.

"Aku, Kamaludin Pane, Ihkyar Velayati sempat ditahan selama dua minggu setelah 27 Juli meletus. Dibebaskan bukan berarti leluasa mengorganisir mahasiswa lagi. Selama enam bulan aparat menjaga rumah kami masing-masing. Kami dilarang ke mana-mana. Kalaupun pergi lama, orang tua kami ditekan agar kami segera balik ke rumah," ujar Aswan Jaya, yang saat itu mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatra Utara, ketika aku wawancarai beberapa waktu lalu.

Akhirnya, ketiga mahasiswa IAIN Sumatra Utara itu nekat kabur dari rumah. Dan mereka berhasil mendorong mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) melakukan mimbar bebas. "Itu aksi mahasiswa UMSU pertama kali sepanjang sejarahnya. Aksi mahasiswa pertama kali setelah 27 Juli. Dampaknya, banyak kampus di bulan April 1997 mulai bergerak," ujar Aswan Jaya yang kini menjadi ketua wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz.

Di Palu, para aktivis PRD dan LSM pasca-27 Juli harus berurusan dengan kejaksaan. "Selama seminggu kami dipanggil untuk di-BAP, dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00," ujar Fermasyah yang saat itu sekretaris wilayah PRD Sulawesi Tengah.

Menurutnya, yang tidak terdeteksi sebagai PRD ditugaskan mengorganisir mahasiswa dan pemuda. “Pada April 1997, kami melakukan aksi pertama kali di tengah situasi gerakan tiarap. Ada dua organ yang kami mobilisasi, yakni Forum Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah (FMIST) dan Forum Pemuda Demokrasi. Isi tuntutannya: Tolak Hasil Pemilu 1997,” ujarnya.

Menurut Prijo, koordinator PRD Jateng-DIY, mampu membentuk sel-sel baru (kader baru). "Sel-sel baru ini mampu membentuk Komite Pemuda dan Mahasiswa Surakarta (KPMS). Tanggal 28 Oktober 1996 mampu melakukan aksi peringatan Sumpah Pemuda, di tengah-tengah sunyinya gerakan perlawanan di Solo," ujar Prijo yang saat itu mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret atau biasa disingkat UNS.

Perlawanan Mahasiswa

Pada Oktober 1996, partai melakukan pertemuan nasional (Dewan Nasional). Keputusan pentingnya, organisasi menggunakan sistem komando, konsentrasi pengorganisasian perlawanan rakyat diprioritaskan di Jakarta.

“Saya menjadi koordinator wilayah Jakarta Selatan. Untuk Jakarta Utara dipegang Alit, Jakarta Timur dipegang Hari Subagyo, sedangkan Jakarta Pusat koordinatornya adalah Faisol Reza,” ujar Lukas Dwi Hartanto.

Seluruh kader terbaik dari daerah disebar ke Jakarta. “Banyak kader PRD Lampung dikirim ke Jakarta. Mereka berpengalaman mengorganisasi sektor rakyat seperti nelayan dan petani. Selama di Jakarta, mereka ditugaskan keliling kampus untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar tidak sektarian, mau berjuang bersama rakyat,” ujar Putra Budi Anshori.

Keputusan penting lainnya: isu gulingkan Soeharto harus dikampanyekan secara masif. Fenomena Mega-Bintang dan kemarahan rakyat kepada Rezim Soeharto sudah sangat meluas dan manifes. Mega-Bintang adalah perlawanan massa PDI dan PPP dalam kampanye Pemilu 1997. Terjadi radikalisasi massa, diwujudkan dalam aksi dan bentrok dengan aparat di berbagai daerah.

Taktiknya melalui grafiti action. “Saya tertangkap bersama Bimo Petrus (korban penculikan aktivis ‘98 yang sampai hari ini belum ditemukan) karena melakukan grafiti action: ‘Gulingkan Soeharto’. Kami berdua ditahan selama tiga bulan di kantor polisi,” ujar Ilhamsyah.

Grafiti action dengan tulisan “gulingkan Soeharto” dilakukan di semua daerah. Tujuannya memberi kepeloporan perlawanan. Perlawanan harus diarahkan lebih maju lagi. “Di Palu, kami membentuk tim, satu motor dua orang untuk melancarkan grafiti action dengan sasaran kampus, tembok pagar sekolah SMA, pertokoan.

Prioritas pengorganisasian di sektor kaum miskin kota. Ada juga yang mengorganisir kampus. Seperti diceritakan Lukas Dwi Hartanto dalam tulisannya di Indoprogres (media online progresif). Pertemuan cikal-bakal Forkot (Forum Kota) dilakukan sekitar akhir 1997.

“Saat itu kami yang di ISIP menjadi pengundang, dihadiri simpul gerakan mahasiswa dari Universitas Islam DJakarta, Universitas Djuanda, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Trisakti. Pertemuan kedua dilakukan di kampus Trisakti, semakin banyak kampus mengirimkan delegasinya. Pertemuan berikutnya berjalan terus-menerus dan konsisten memakai nama Forkot. Forkot itu sebenarnya adalah aliansi berbagai simpul gerakan mahasiswa antarkampus se-kota Jakarta,” tulisnya.

Dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, dia menjelaskan lagi, setelah Soeharto jatuh, beberapa elemen yang tergabung dalam aliansi Forkot memisahkan diri, antara lain Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Keluarga Besar UI (KB UI), dan Front Aksi Nasional (Fronas)). Sedangkan Lukas Dwi Hartanto dan basis pengorganisasian PRD membentuk Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad). 
Sementara Forkot tetap ada dan dipimpin Adian Napitupulu, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan periode sekarang.

Untuk masuk ke UI, dikirimlah Nezar Patria, Herman Hendrawan, Wigyo, dan Asep Salmin. Mereka mampu menemukan kontak baru untuk dikader. “Mereka memberi materi pengorganisasian buruh kepada kami mahasiswa FISIP UI yang tergabung dalam kelompok diskusi Humanist,“ ujar Ki Joyo Sardo Huminsa.

Ki Joyo Sardo atau sering dipanggil Sardo bersama Reinhard dan Karlos yang tergabung dalam Humanist, akhirnya bersama dengan elemen mahasiswa dari berbagai fakultas lain membentuk KB UI. Kelak, Sardo menjadi ketua PRD dan Reinhard menjadi ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Ketika Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain mulai bergerak, saya dan Ulin Niam Yusron yang saat itu menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa, diinstruksikan balik ke kampus. Kami harus konsolidasi untuk menggerakkan aksi di kampus UNS," ujar Kelik Ismunandar yang saat itu mahasiswa Fakultas Sastra.

"Aksi pertama di dalam kampus, memakai nama Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Awalnya, unsur di luar PRD belum bergabung," ujarnya lagi.
Semakin lama semakin membesar melibatkan unsur mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tapi minus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

"Aksi setiap hari Senin dan Jumat. Selalu dimulai dari boulevard UNS. Taktiknya menguasai dan memblokir jalan raya (yang menghubungkan Kota Solo dengan kota-kota lain di Jawa Timur) di depan gerbang kampus UNS. Jumlah yang terlibat ribuan, termasuk rakyat turut bergabung. Bila terjadi bentrok dengan aparat, masyarakat sekitar kampus memukul tiang listrik. Mereka turut melempari aparat dengan batu," ujarnya.

Pada 28 Februari 1998, mahasiswa Filsafat yang digerakan kader-kader PRD membuat aksi mogok makan, dengan menggelar tenda di depan Fakultas Filsafat UGM. Terpampang spanduk besar: Tolak Sidang Umum MPR dan Turunkan Soeharto.

“Setiap hari aksi itu didatangi oleh elemen gerakan mahasiswa. Saat itu, di sana satu-satunya tempat perlawanan mahasiswa di Yogyakarta. Terjadi konsolidasi gerakan selama beberapa hari mogok makan. Akhirnya, mampu mendorong terbentuknya KPRP. Hari Rusli Moti menjadi ketua, dan aku sekjennya,” ujar Fendri Panomban, yang saat itu mahasiswa Filsafat UGM.

Menurut penuturan Wirayanti, beberapa kader PRD di awal 1998 mulai berkeliling kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo dan Universitas Islam Sultan Agung. "Kami bertemu dengan kontak lama kami. Membangun kesepakatan untuk memulai mimbar bebas di kampus," ujar mahasiswa FISIP Undip itu.

Pada Mei 1998, katanya, aksi semakin membesar karena gabungan antarkampus. Joni Budiono, wartawan Inti Jaya yang saat itu masih mahasiswa Fakultas Sastra Undip, menyebut pertentangan kelompok Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Undip dengan non-SMPT sudah mencair. 
“Mereka mampu menduduki Gedung DPRD I Jateng beberapa hari sampai Soeharto tumbang,” ujar Joni.

Pada Maret 1998, kader PRD yang mengelola majalah mahasiswa Ganesha ITB Bandung mengundang pengelola majalah mahasiswa Boulevard ITB dan kelompok mahasiswa lain untuk membentuk Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan (GMIP).

"GMIP pertama aksi langsung keluar kampus dengan isu ‘Turunkan Soeharto’. Di depan Masjid Salman, aparat mengembuk massa aksi. Sejak itu, kami mendirikan Posko GMIP di halaman depan kampus ITB, untuk mengajak rakyat bergerak juga," ujar Ardi Putra yang saat itu mahasiswa ITB.

Sehingga, pada 1 Mei 1998, GMIP bersama buruh yang diadvokasi LBH Bandung, melakukan aksi Peringatan Hari Buruh Se-dunia. Ribuan orang terlibat dalam aksi tersebut,”

"Aksi GMIP terbesar terjadi tanggal 12 Mei 1998. Kalau di Trisakti hari itu aparat menembak dengan peluru tajam, di Bandung ditembaki dengan peluru karet," ujar Ardi.

Ada dua kelompok di Surabaya yang membidani lahirnya sebuah front perlawanan bernama Arek-arek Suroboyo Pro-Reformasi (ASPR). "Kami dari kader-kader PRD bawah tanah yang dipimpin Purwadi, dan satunya lagi dari Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). ASPR sejak Februari 1998 aktif melakukan aksi antarkampus. Tidak hanya mimbar bebas di kampus tetapi juga reli di jalan, dan sering digebug aparat," ujar Dandik Katjasungkana yang saat itu mahasiswa FISIP Universitas Airlangga (Unair), Surabaya.

Kalau ASPR organisasi front tingkat kota, di kampus Unair sendiri berdiri Mahasiswa Univeristas Airlangga Pro Reformasi (MUPR). Selain anggota SMID, beberapa elemen mahaasiswa lain di Unair tergabung dalam komite perlawanan tingkat kampus ini.

“Dari tanggal 1 Maret sampai 9 Maret 1998, MUPR menggelar aksi mogok makan. Aku salah satu pesertanya. Hampir setiap hari dijadikan ajang mobilisasi. Ribuan orang setiap hari menghadiri aksi yang kami gelar, reli dari depan Perpustakaan Pusat Unair menuju pintu gerbang Unair di Jalan Dharmawangsa,” ujar Heru Krisdianto mahasiswa FISIP Unair.

Kodam V Brawijaya melarang mahasiswa turun aksi pada 19 Mei 1998. “Kalau nekat aksi, militer akan memukul habis peserta aksi. Kami yang di Unair tidak mengindahkan ancaman itu. Ketika aksi memasuki jalan di samping Rumah Sakit dr. Soetomo, dua truk militer pasukan elit Kodam Brawijaya menabrak peserta aksi. Selain banyak yang terluka, terjadi juga penangkapan,” ujar Heru.

Ketika krisis ekonomi semakin dalam, dan di berbagai kota mahasiswa mulai melawan, Aswan Jaya dan delapan kader PRD lainnya langsung mendaftar kuliah di Sekolah Tinggi Al-Hikmah Medan.

“Sebagai mahasiswa kami telah dipecat dari IAIN Sumut. Agar punya legitimasi sebagai mahasiswa, kami harus kuliah lagi. Kami juga membentuk Senat ST Al-Hikmah. Kemudian, kami mengundang semua elemen gerakan di berbagai kampus. Sejak itu, hampir setiap hari mahasiwa bergerak dari berbagai kampus, bahkan pernah menduduki Bandara Polonia Medan,” ujar Aswan jaya.

Pada 12 Mei 1998 ada beberapa peristiwa penting. Selain tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti ketika melakukan demo, juga terjadi penculikan aktivis.

Menurut Aan Rusdianto, salah satu kader PRD yang diculik, pada tanggal itu Komite Nasional Perjuang Demokrasi (KNPD) mendeklarasikan dirinya di Kantor YLBHI. Setelah menghadiri acara tersebut, Herman Hendrawan, Faizol Reza, dan Raharjo Waluyo Jati diculik aparat tak dikenal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

“Pada tanggal 13 Maret, giliran aku, Nezar Patria dan Mugiyanto diculik di Rumah Susun Klender,” ujar Aan.

Menurut keterangan Nining Wahyuningsih, KNPD adalah organisasi yang mulai terkonsolidasi di Kaliurang, Yogyakarta, pada April 1997. Yang bergabung adalah basis pengorganisiran PRD ke basis massa PDI Pro Mega. Ketuanya Nuraini Hilir (mahasiswa Filsafat UGM), dan sekjennya Nur Hiqmah (mahasiswa Filsafat UGM).

“Kami perlu menjadi organisasi terbuka, agar bisa berhubungan dengan kelompok pro demokrasi lain. Selama dalam persembunyian, kader PRD susah membangun font dengan tokoh-tokoh oposisi. KNPD ini kepanjangan tangan PRD bawah tanah untuk tampil legal,” ujar Hiqmah.

Pada 13 dan 14 Mei 1998, pascapenembakan mahasiswa Trisakti, di Jakarta terjadi kerusuhan. Selain pembakaran gedung-gedung dan penjarahan, juga terjadi pemerkosaan terhadap perempuan etnis tertentu. Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, yang dirilis Oktober 1998, menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. 

Jumlah korban yang diverifikasi tim: 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.

Menurut Gubernur DKI saat itu Sutiyoso, 4.393 gedung rusak, termasuk 21 gedung milik pemerintah. Kerugian ditaksir mencapai Rp21 trilyun. Jakarta saat itu kacau sekali.

Peristiwa tersebut tidak membuat gerakan mahasiswa berhenti, justru semakin mengila. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai kampus tumpah-ruah menduduki Gedung DPR/MPR. Para mahasiswa memasuki gedung wakil rakyat itu pada tanggal 19 Mei sampai 21 Mei 1998, sampai Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri.

Menyaksikan Soeharto Jatuh

Dari penjara LP Cipinang kami menyaksikan asap hitam menjulang tinggi. Dari berita yang kami pantau melalui radio, banyak gedung pertokoan dan mall dibakar pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Pada hari itu, selain mendengarkan siaran radio, kami menandai pada sebuah peta DKI untuk setiap gedung yang telah dibakar massa.

“Hampir semua tempat ada gedung yang terbakar, ujar Ignatius Pranowo, yang saat itu sekjen PPBI.

Fauzi Isman, salah satu narapidana politik yang sedang menjalani proses asimilasi, mengabarkan kalau di luar banyak terjadi penjarahan. “Aku ditawari komputer dengan harga murah sekali. Kata orang-orang itu komputer jarahan. Banyak toko hancur karena dijarah,” ujar Fauzi.

Fauzi adalah narapidana politik Kasus Talangsari yang divonis 21 tahun penjara. Fauzi dan Darsono rekanannya bisa keluar penjara karena sedang menjalani proses asimilasi. Hak itu diberikan kepada napi yang sudah menjalankan hukuman lebih dari setengah massa hukuman.

“Pagi kami keluar penjara untuk bekerja, sore hari kami pulang dan dipenjara lagi," ujar Fauzi dengan tertawa.

Di LP Cipinang, para sipir lebih ketat menjaga warga binaan karena takut terjadi pemberontakan di penjara. Kami mendengar di Rutan Salemba, para napi sudah menggoyang penjara. Dan menimpakan kambing hitam, penggerak kerusuhan itu kepada Garda Sembiring, satu-satunya Napol PRD yang berada di sana.

Kalau dua bulan lalu kami selalu sedih, karena mendengar kawan-kawan kami diculik. Setelah tanggal 15 Mei, kami sangat bergairah menyaksikan perlawanan mahasiswa begitu masif. Kami memantau lima radio dan dua televisi sepanjang hari. Di pagi hari, kami memantau berita radio Nederland dan BBC London yang punya program bahasa Indonesia.

“Aku yakin, sebentar lagi Soeharto akan terjungkal dari kekuasaannya. Krisis ekonomi semakin mendalam, gerakan rakyat dan mahasiswa sudah tidak dapat dibendung. Dalam keadaan begini, pasti mendorong perpecahan juga di elit politik,” ujarku kepada Budiman dan kawan-kawan ketika mendiskusikan situasi di luar.

Pagi hari, tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00, kami mengikuti berita di TV dan radio. Kami mendengar siaran langsung saat Soeharto menyatakan dirinya mundur. Kalau di Gedung DPR RI para mahasiswa bersukacita dengan mandi di kolam air mancur, kami di LP Cipinang menceburkan diri ke kolam ikan di blok penjara kami.

Penulis adalah mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.

0 komentar:

Posting Komentar