Test Footer 2

Jumat, 25 Maret 2016

Aliansi Fasis Militer dan Fasis Keagamaan


DALAM waktu yang hampir berdekatan, tiga buah kegiatan kebudayaan dibubarkan paksa. Kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut adalah ‘Festival Belok Kiri Jalan Terus’ (Belok Kiri.Fest) di Taman Ismail Marzuki, pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Goethe Institute, dan yang terakhir “Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah.” Ketiga acara kebudayaan ini dianggap mengusung ajaran Komunisme.

Pelarangannya pun selalu didahului dengan aksi-aksi unjuk rasa. Pada acara Festival Belok Kiri, belasan pengunjuk rasa yang menamakan dirinya kelompok HMI Jakarta Raya menuntut pembubaran acara ini. Acara akhirnya dibatalkan karena alasan urusan perijinan dan dipindahkan ke kantor LBH Jakarta. Hal yang sama terjadi pada pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta.’ Ijin pemutaran film ini dibatalkan oleh pihak kepolisian dari Polsek Menteng dengan alasan keamanan. Front Pembela Islam (FPI) memprotes acara tersebut. Itu sudah cukup menjadi alasan pihak kepolisian untuk membatalkan pemberian ijin.

Yang terakhir terjadi di Bandung. Pementasan ‘Monolog Tan Malaka’ pun di demo oleh pihak FPI dan ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam. Alasan mereka, pementasan ini menyebarkan ideologi Komunis. Sama seperti di Jakarta, pihak kepolisian buru-buru melarang pementasan monolog ini. Pementasan ini agak beruntung karena Walikota Bandung, Ridwan Kamil akhirnya turun tangan. Dia mengijinkan pementasan ini dan bahkan ikut hadir menonton.

Semua pelarangan tersebut memiliki pola yang sama. Ketiga kegiatan kebudayaan itu di cap sebagai sarana penyebaran ajaran komunisme. Pelarangan itu pun didahului oleh unjuk rasa dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. Polisi akhirnya bertindak untuk melarang dengan alasan ‘keamanan.’
Persoalannya adalah mengapa pihak keamanan menurut pada kehendak kelompok-kelompok fasis yang mengatasnamakan agama ini?

***

Berbarengan dengan pemutran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta,’ sebuah peringatan datang dari pihak militer. Sekali pun wajah militer sama sekali tidak tampak dalam pelarangan film ini, namun rupanya mereka sangat ‘menaruh perhatian’ akan kegiatan-kegiatan yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme. Adalah komandan detasemen intel (Dandenintel) Kodam Jaya, yang menurut penelusuran kami saat ini dijabat oleh Mayor Cpl Azwan Abdi, yang mengingatkan bahwa pada saat ini pihaknya sudah mencium munculnya Komunis Gaya Baru (KGB).

“Jika dahulu pendekatan yang lebih dominan dilakukan oleh Komunis yaitu melalui kekerasan/pembunuhan namun sekarang ini melalui pendekatan strategis dengan soft power,” demikian kata perwira lulusan Akmil tahun 1998 dari kecabangan Corps Peralatan ini kepada PosKotaNews.[1] Komunisme, demikian katanya, “bergerak melalui seluruh sendi kehidupan baik di legislatif, eksekutif atau merayap di tengah-tengah masyarakat Indonesia.”

Kodam Jaya mengakui bahwa mereka memantau “setiap ancaman yang ditimbulkan oleh Komunis Gaya Baru ini” lewat aparat intelijen dan komando kewilayahan. Sekali pun diakuinya bahwa kegiatan KGB sekarang ini dilakukan terselubung dan berkedok sosial. “Cara ini membuat masyarakat menjadi terninabobokan dan mereka menebarkan anggapan bahwa faham komunis itu tidaklah berbahaya,” demikian katanya sebagaimana dikutip PosKotaNews.

“Akhir-akhir ini aparat intel mencium gelagat munculnya kembali Aksi dari kelompok Komunis Gaya Baru (KGB) melalui rencana kegiatan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta,” demikian kata intel yang pernah bertugas di Aceh ini. Dia mengaku, menurut informasi aparat intelnya, film “Pulau Buru Tanah Air Beta” ini akan diputar pada Rabu 16 Maret 2016 di Guest House Jalan Sam Ratulangi No. 9-5 Menteng Jakpus pada pukul 17.00-20.30 wib malam. (Pemutaran film ini sebenarnya diumumkan kepada publik. Tidak dilakukan secara diam-diam dan mendapat ijin pihak kepolisian, Red.).

Perwira intel ini mensinyalir bahwa film ini “memutar balikkan fakta dengan menceritakan negara telah melakukan perbuatan kejam dan tidak manusiawi dengan membuang warga ke pulau Buru.” Tujuannya adalah untuk menarik simpati masyarakat awam, khususnya kaum muda yang tidak mengetahui dan mendapat cerita langsung kekejaman PKI 1965.

“Kita berupaya kegiatan ini agar tidak dilaksanakan, karena jika dilaksanakan akan memancing reaksi dari Ormas yang selama ini menentang Komunis di Indonesia, yang akan berujung bentrok dan akan merugikan banyak pihak” demikian kata perwira muda ini. Dan memang itulah yang terjadi. Ada organisasi masyarakat yang menentang pemutaran film ini sehingga aparat kepolisian memiliki alasan untuk melarang pemutarannya.

***

Sulit bagi kita untuk tidak menghubungkan pelarangan-pelarangan ini dengan kekuatiran pihak-pihak aparat keamanan (militer dan kepolisian) dengan bahaya ‘penyebaran komunisme.’ Kekuatiran ini bertemu dengan kepentingan kelompok-kelompok fasis yang mengatasnamakan agama yang selalu dahaga untuk mendapatkan sesuatu yang dicap sesat dan dengan demikian menjadi absah (legitimate) untuk diserang. Kelompok-kelompok fasis senantiasa mendudukkan diri sebagai ‘pembela agama’ dan mengangkat diri mereka sebagai pihak yang memiliki kuasa untuk menerapkan versi agama yang paling benar.

Eksistensi atau keberadaan kelompok-kelompok ini ditentukan bukan oleh pencarian kebenaran agama yang meraka anut melainkan oleh pandangan mereka terhadap kesesatan kelompok lain. Mereka tidak tertarik pada pencarian spiritualitas agama yang mereka anut. Mereka lebih tertarik pada menyerang yang tidak berada dalam koridor keagamaan mereka. Mereka menjadi fasis karena tidak pernah toleran terhadap apa yang berbeda dari mereka. Mereka hanya ingin menyerang apa yang dianggap bida’ah, menyimpang, sesat, murtad. Tapi mereka tidak pernah mencari apa yang hakiki. Bahkan mereka tidak tertarik melakukan pencarian itu sendiri. Karena mencari yang hakiki itu sendiri adalah bentuk kesesatan.

Para fasis politik ini tidak tertarik pada dimensi sipil (civil) dari negara. Mereka tidak tertarik pada persamaan semua warga negara di depan hukum. Mereka lebih tertarik pada pemurnian ras dari warganegara. Sehingga, seperti yang kita lihat dalam sejarah Jerman, kaum fasis lebih tertarik untuk memusnahkan kaum yang bukan ras Arya ketimbang membangun sebuah sistem kewarganegaraan. Hal yang sama terjadi pada kaum fasis agama.

Dalam pandangan kaum fasis agama ini, komunisme adalah ateisme alias kaum tidak mengakui adanya Tuhan. Atas dasar inilah kaum komunis menjadi sasaran yang sah untuk diserang. Status kaum komunis ini tidak lebih dari bida’ah, kaum sesat, murtad yang pantas untuk diberantas.

Dengan demikian terbentuklah aliansi yang saling menguntungkan (alliance of convenience) antara pihak keamanan dan kelompok-kelompok fasis keagamaan ini. Sebagaimana kita lihat dalam kasus pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di atas, pihak intel militer yang kuatir dengan KGB lalu berpasangan dengan kelompok fasis agama untuk menggagalkan pemutaran film ini. Hal seperti ini terjadi secara terpola dan sistematis. Tidak saja di Jakarta namun juga di kota-kota lain.

Kita melihat bahwa kelompok-kelompok fasis ini sungguh bertindak sebagai ‘proxy’ (wali)[2] dari kepentingan militer yang tampaknya sangat kuatir akan perkembangan komunisme. Fenomena ini menjadi semakin menarik karena pihak militer akhir-akhir justru sedang mengkampanyekan konsep ‘proxy war’ (perang perwalian) yang diklaim sebagai perang masa kini.

Dalam konsep perang ini, kekuatan-kekuatan yang sedang berperang tidak terlibat secara langsung namun mendukung kombatan-kombatan yang berperang untuk kepentingan mereka. Dilihat dalam definisi ini, tidak diragukan lagi bahwa ‘proxy war’ justru sedang berlangsung antara militer dengan rakyatnya sendiri dengan memakai organisasi-organisasi fasis keagamaan ini sebagai proxy-nya. ***

———–
[1] http://poskotanews.com/2016/03/16/intelijen-kodam-jaya-endus-muncul-komunis-gaya-baru/
[2] Lihat, “Teror sipil sebagai proxy,” dalam Harian IndoPROGRESS 10 Mei 2012, http://indoprogress.com/2012/05/teror-sipil-sebagai-proxy/

0 komentar:

Posting Komentar